Teori

Asumsi Dasar Konstruksionisme Sosial

Dalam sebuah buku berjudul Outline of Theoretical Psychology (Palgrave Macmillan, 2018), Thomas Teo menuliskan bahwa untuk membuat konsep ulang  bagai­mana manusia didekati, kita mesti mempelajari beberapa status objek keilmuan; yakni ontologi, epistemologi, etika/politik, dan estetika. Dalam ontologi, kita diajak untuk mengkaji ulang bagaimana manusia didefinisikan dalam psikologi. Dalam psikologi mainstream manusia dianggap sebagai individu, yang artinya makhluk yang utuh atau tidak terbagi. Pertanyaan penelusuran dalam psikologi kemudian terarah pada karakteristik yang unik dan spesifik dari manusia  — yang dalam psikologi disebut sebagai individual differences. Implikasinya, (pemerolehan) pengetahuan (atau epistemologi) manusia adalah dari produk individu tersebut; yang penting adalah bagaimana individu yang unik ini kemudian menciptakan pengetahuan. Karenanya, secara moral/politis maupun estetik, individu memiliki kebebasan penuh dalam menciptakan produknya sendiri — terlepas dari apapun tetek-bengek di sekitarnya.

Apa yang hilang dari pendekatan status objek yang demikian adalah konteks sosial di mana individu hidup. Dalam sebuah penelitian eksperimen, manipulasi lingkungan menjadi cara agar mencapai individualitas ‘murni’ dari manusia dan lingkungan tak perlu merecoki keunikan manusia. Akhirnya, atas nama kemurnian, manipulasi konteks dimungkinkan muncul. Ambisi dalam memahami individu “semurni-murninya” inilah yang kemudian dikritik; bahwa manusia bukan sekadar individu, namun juga berada dalam sebuah saat dan tempat tertentu. Dengan demikian, bukan hanya aspek individual, tapi juga societal.

Apakah perubahan cara mendekati manusia tersebut punya implikasi lebih jauh? Ketika manusia dipahami sebagai individual dan/atau societal (selanjutnya saya tulis individual/societal), maka cara seseorang memperoleh pengetahuan bukan lagi melulu berpusat pada individu itu sendiri, melainkan juga dari segala hal yang berada di luar individu. Dengan kata lain, secara epistemologis, pengetahuan merupakan bentuk negosiasi antara individu (individual) dengan masyarakatnya (societal). Manusia dianggap sebagai pencipta makna yang reflektif dan terikat dalam konteks sosio-politis. Manusia tidak hanya bertanggung-jawab dengan dirinya sendiri, melainkan juga dengan kehidupan di sekitarnya. Dalam ontologi, epistemologi, dan etika/politik yang demikian, sebuah ilmu dituntut untuk melakukan refleksi teoretis untuk menggugat asumsi dan praktik yang sudah dianggap ‘benar’ dengan tujuan mampu memper­­­­oleh inspirasi kritis. Inilah yang kem­udian dimaksud mengapa sebuah ilmu perlu untuk mempertimbangkan sisi estetis, bahwa ada alternatif lain atau ada possible world di luar yang biasa dipraktikkan.

Berangkat dari semangat di atas, tulisan ini coba menawarkan perspektif konstruksionisme sosial yang memahami manusia bukan sekadar individual belaka, namun individual/societal. Konstruksionisme sosial dipilih bukan karena kebetulan belaka. Dalam konstruksionisme sosial, manusia dipahami sebagai produk sekaligus pencipta dunianya. Pemahaman bahwa manusia merupakan produk dunia hidupnya (struktur sosial) telah dibahas oleh Karl Marx dengan begitu detil. Karenanya, untuk menjelaskan manusia sebagai produk lingkungan semata, pembahasan mengenai bagaimana manusia menciptakan dunianya menjadi perkara vital dalam memahami manusia. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, konstruksionisme sosial (selanjutnya disebut “KS”) menjadi jembatan untuk membawa ilmu psikologi dalam tafsiran yang baru — yang tadinya hanya berfokus pada individu belaka.

Sebagian besar isi dalam tulisan ini dikerjakan berdasarkan pembacaan dari tulisan Vivien Burr yang berjudul An Introduction to Social Constructionism (Routledge, 1995). Dalam bagian pertama ini, akan dijelaskan mengenai asumsi dasar KS yang membedakannya dengan pendekatan psikologi tradisional (mainstream psychology). Asumsi-asumsi ini penting untuk diketahui sehingga nanti bisa mengantar ke dalam tulisan-tulisan selanjutnya. Maka dari itu, marilah kita masuk ke pengenalan asumsi dasar KS.

Asumsi Dasar Konstruksionisme Sosial

Pernahkah Anda mengamati perbedaan cara berjalan, cara berbicara, cara berpakaian, atau cara duduk seseorang? Apabila Anda perhatikan, seorang perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki dalam cara-cara melakukan hal tersebut. Namun, mengapa bisa berbeda? Dalam ilmu sosial, perbedaan tersebut dapat dijawab lewat perspektif KS. Dalam KS, perbedaan tersebut ditunjukkan dengan penelusuran sejarah dan bagaimana perilaku di atas terbentuk dan bersifat menubuh dalam diri manusia. Didasarkan pada gagasan materialisme historis, KS memandang bahwa apa yang menjadi dasar orang berperilaku, berpikir, atau merasa merupakan hasil konstruksi dari latar atau konteks sosial di mana orang tersebut hidup.

Alih-alih mendefinisikan apa itu KS, kita akan mengidentifikasi asumsi kunci dalam pendekatan ini. Berikut adalah asumsi-asumsi termaksud:

  1. KS merupakan cara pandang kritis terhadap pengetahuan yang telah diamini. KS mengajak kita untuk senantiasa curiga terhadap asumsi yang kita buat terkait bagaimana dunia tampak di mata kita. Misalnya mengenai pembagian gender, mengapa begitu penting untuk menekankan pada kategorisasi gender? Mengapa tidak membagi orang ke dalam berat badan atau tingginya?
  2. KS berupaya memahami dunia secara historis dan kultural. Cara pandang kita merupakan produk budaya dan sejarah. Sejalan dengan gagasan Foucault (Rabinow, 1984), pengetahuan merupakan hasil konstruksi yang bersifat historis dan spesifik. Misalnya terkait kriminalisasi Veronica Koman. Sebelum kasus Papua (Agustus 2019) mencuat, Veronica Koman dikenal sebagai aktivis dan pembela HAM, setelah kasus Papua dia justru dianggap provokator oleh negara (kriminalisasi). Kasus lain adalah penggerebekan pesta yang dikatakan oleh media sebagai “pesta seks gay” di Jakarta Selatan awal September 2020. Dalam memahami kasus tersebut, KS akan mempertanyakan mengapa “gayy” atau homoseksualitas menjadi perkara yang sangat penting dalam level nasional. Pesta yang sedianya tidak terkait dengan keamanan publik kemudian dicekal dan para pesertanya ditangkap atas tuduhan melakukan pornografi dan pornoaksi (di muka umum). Apakah memang pesta tersebut disiarkan secara live ataukah hanya konsumsi pribadi para peserta?
  3. KS berasumsi bahwa pengetahuan ditopang oleh proses sosial. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran merupakan produk proses sosial dan interaksi antar-manusia, bukan semata-mata observasi objektif terhadap dunia. Dengan kata lain, bukan semata-mata diri kita yang menentukan apa yang benar dan tidak benar terkait dunia di sekitar kita. Bahkan, cara kita menampilkan emosi pun bersifat sosial. Misalnya Anda jatuh cinta, apakah kita jatuh cinta begitu saja? Atau kita jatuh cinta dengan seseorang yang memiliki karakteristik tertentu yang mungkin terpengaruh oleh gagasan good-looking atau konsep kecantikan dan kegantengan yang berlaku? 
  4. Menurut KS, pengetahuan dan gerak sosial berjalan beriringan. Ada beberapa cara pandang terhadap fenomena alkoholik. Alkohol dianggap sebagai penyebab orang mabuk dan melakukan tindak kriminal, maka penjara menjadi jawaban untuk mereka yang mengonsumsi alkohol. Sementara itu, apabila seorang yang kecanduan alkohol dilihat sebagai korban dari kecanduan, maka perlakuan medis dan psikologis yang mungkin dilakukan; atau penjara tidak dibutuhkan. Singkat kata, cara pandang terhadap dunia menentukan pola dari tindakan sosial dan penyingkiran terhadap mereka yang dianggap liyan.

Mengapa perspektif ini perlu untuk kita akomodir atau setidaknya kita pahami? Apa yang membedakan KS dengan psikologi tradisional? Apakah KS bisa menjawab fenomena psikologis dengan lebih adil sehingga meminimalisasi ketidakadilan dalam melihat sebuah permasalahan? Burr (1995) menuliskan bahwa KS memiliki perbedaan dengan cara pandang psikologi tradisional dalam tujuh hal berikut.

Pertama adalah anti-esensialisme. Karena dunia sosial dan kita merupakan produk dari proses sosial, maka tak ada yang terberi atau hal alamiah yang menentukan dunia atau manusia. Behaviorisme mungkin akan sepakat dengan gagasan ini, tetapi psikoanalisis-ego dan pendekatan kognitif jelas-jelas mengedepankan pre-existing content seperti ego atau persepsi. Apakah ego memang yang paling penting untuk dikembangkan selama rentang hidup? Mana yang relevan, apakah menentukan apa persepsi seseorang atau menggambarkan bagaimana persepsi tersebut senantiasa dalam proses yang berubah (on going process)? Apakah sejak lahir kita telah suka (unsur afektif) makan beras? Ataukah kita suka makan beras karena terbiasa memakannya dari waktu ke waktu?

Kedua adalah anti-realisme. Secara khusus, KS menyangkal bahwa pengetahuan kita merupakan persepsi langsung dari realitas. Lebih tepatnya, persepsi tersebut hanyalah versi tertentu dari cara pandang kita. Dalam konstruksionisme sosial tidak ada yang namanya fakta objektif. KS berusaha untuk mengakui hadirnya subyektivitas manusia dalam usaha melihat sesuatu secara obyektif. Semua pengetahuan merupakan hasil dari cara kita melihat dunia dari sudut tertentu dan untuk kepentingan tertentu.

Selanjutnya, atau ketiga, adalah pengetahuan yang bersifat spesifik secara kultural dan historis. Teori dan penjelasan psikologi tak lagi bisa dianggap sekali-dan-berlaku-untuk-semua, melainkan mesti terikat waktu dan budaya. Penelitian mesti diarahkan pada studi historis dari bentuk kehidupan psikologis dan sosial serta praktik sosial yang tengah berlangsung. Oleh karena itu, kalimat dengan muatan kata “pada umumnya”, “pada dasarnya”, atau “biasanya” bisa dipastikan tidak sesuai dengan semangat KS yang hendak mempertanyakan ulang sesuatu yang dianggap benar. Misalnya, “Orang Jawa itu sopan”, bisa dipertanyakan dulu soal: Kasusnya bagaimana? Dibandingkan dengan siapa? mengapa sopan jadi kategori penting dalam alam pikir Jawa? 

Keempat adalah pemahaman bahwa bahasa sebagai pra-kondisi untuk pikiran. Kita terlahir ke sebuah dunia di mana kerangka konseptual dan kategori digunakan oleh orang lain yang telah ada sebelum kita. Burr (1995) mencotohkan Piaget sebagai orang yang meyakini bahwa pikiran kita dibentuk pada masa kanak-kanak sebelum mengenal bahasa. Selain itu, dalam psikologi kebanyakan, bahasa diposisikan sebagai ekspresi dari pikiran dan emosi kita. Bukankah justru “kebudayaan datang lewat bahasa”? Hari ini, orang mengenal bagaimana rasanya takut lewat bahasa seperti “hantu”, “kekejian”, “sadis”, dan lain sebagainya; bukan karena ia merasa takut lalu muncul istilah tersebut. Kita seringkali mendengar seseorang bilang, “Awas, di jembatan itu ada penunggu-nya!” Hanya dengan istilah “penunggu”, kita seringkali merasa ketika lewat jembatan yang dimaksud akan merasai bulu kuduk berdiri.

Kelima, KS berbeda dengan psikologi tradisional dalam hal memahami bahasa sebagai bentuk dari tindakan sosial. Tidak sekadar mengekspresikan buah pikir kita atau bentuk ekspresif, bahasa merupakan bentuk tindakan atau performatif. Misalnya dalam kasus pelecehan seksual, beberapa media dan akademisi dengan sengaja menanggalkan istilah “pelecehan seksual“ dan menggantinya dengan istilah “perkosaan”. Apa implikasinya? Ketika menggunakan istilah “perkosaan”, maka perilaku yang diterima si penyintas ditempatkan dalam logika kriminalitas yang memuat unsur kejahatan. Sementara, ketika menggunakan istilah “pelecehan seksual”, unsur kejahatan tidak ditampilkan dengan kesan yang lebih berat dibanding “perkosaan”.

Keenam, KS fokus pada interaksi dan praktik sosial. Psikologi seringkali mengatakan bahwa proses dalam diri seseorang yang menyebabkan terjadinya fenomena sosial. Misal terjadi tawuran atau klithih, maka psikologi sosial (mainstream)akan mengatakan bahwa ada pengaruh sosial dan agresi yang tidak bisa terkelola dengan baik oleh si individu atau keluarga yang disfungtif. Sementara itu, pendekatan sosiologis akan cenderung menganalisis bahwa tawuran atau klithih terjadi akibat ketimpangan ekonomi, pengkondisian remaja sebagai orang labil, atau tata ruang kota yang buruk. Penjelasan fenomena tidak ditemukan dalam jiwa individu atau struktur sosial, melainkan dalam proses interaktif antar-manusia. Jadi untuk menjawab fenomena tawuran atau klithih, maka dibutuhkan analisis psiko-sosiologis perlu dilakukan, misalnya mengapa tidak semua remaja ikut tawuran? Kalau dikatakan keluarga disfungsional menghasilkan remaja yang ikut dalam agresi sosial, tetapi mengapa tidak semua kasus menunjukkan pola yang demikian? Mengapa model klithih hanya terjadi di Yogyakarta dan tidak di tempat lain?

Terkait dengan poin keenam, perbedaan ketujuh antara KS dengan psikologi tradisional adalah pada fokusnya dalam proses. Bagaimana fenomena atau bentuk pengetahuan dicapai orang-orang lewat interaksi? Pengetahuan tidak dimiliki seseorang, tetapi yang dilakukan bersama oleh orang-orang. Misalnya pertanyaan: “mengapa si Lisa suka boneka dan memiliki koleksi rok?”. Dalam psikologgi tradisional, mungkin akan dijawab bahwa evaluasi si Lisa terhadap boneka rok hasilnya positif, si Lisa adalah orang yang feminin. KS akan mencobanya menganalisis tanpa labelling, misalnya dengan menunjukkan bagaimana sejarah hidup si Lisa sejak kecil, seberapa dekat dia dengan artifak berupa boneka dan rok selama hidupnya, mengapa boneka dan rok bisa menandai femininitas; kalau dunia ini menghendaki seorang perempuan bermain robot-robotan, mungkinkah Lisa dewasa bukan menyukai boneka dan rok, melainkan remote control dan mesin-mesin?

Pendekatan KS berkembang dalam tradisi Sosiologi, untuk kemudian diapropriasi ke berbagai disiplin keilmuan. Berger dan Luckmann (1966) menyatakan bahwa manusia secara bersama-sama membuat dan menopang fenomena sosial lewat praktik sosial. Mereka mengatakan bahwa ada tiga tahapan dalam konstruksi realitas sosial, yakni: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Dalam eksternalisasi, ide atau gagasan diungkapkan lewat arti­fak dan praktik. Misal pengetahuan bahwa matahari sebagai pusat tata surya, saat ini statusnya menjadi semacam objek dalam ilmu pengetahuan (obyektivasi) karena telah dieksternalisasi oleh Nicolaus Copernicus (1473-1453) kemudian diinternalisasi dalam astronomi dan diamini dalam kehidupan sosial. Atau, sama dengan yang tengah kita lakukan sekarang terkait pendekatan KS, kita sedang berkontribusi dalam melakukan “konstruksi sosial terhadap konstruksionisme sosial”.

Dalam Psikologi, kajian terkait KS dianggap bermula ketika Gergen (1973) menerbitkan artikel berjudul “Social Psychology as History”. Dalam artikel tersebut, Gergen menekankan bahwa apa yang dinamakan psikologi sosial merupakan produk dari konteks historis dan spesifik. Pada waktu itu psikologi sosial (selama dan pasca-Perang Dunia II) digunakan untuk menjaga kondisi mental para tentara agar tetap mau berperang atau bahkan berani memakan makanan yang tidak biasa mereka makan (adaptasi dalam kondisi perang, bukan justru mengakhiri perang!). Setelah perang berakhir, psikologi sosial tetap digunakan sebagai alat manipulasi dan melayani mereka yang memiliki kekuasaan. Selain itu, psikologi sosial juga mewarisi pendekatan positivistik dalam psikologi yang bersifat empirisis, ilmu berdasar pada laboratorium yang kemudian meminggirkan suara-suara orang awam atau bahkan mengatur orang awam ini agar terbentuk disiplin sosial (rust-en-orde). Artinya, terjadi dekontekstualisasi terhadap objek kajian, yakni manusia.

KS semakin mendapatkan ruangnya seiring dengan lahirnya gagasan posmodernisme yang ditunjukkan dalam gerakan intelektual pasca-1960. Gagasan posmodernisme pada awalnya tidak terpusat pada produk yang tidak dianggap sebagai ilmu sosial, melainkan dari seni dan arsitektur, sastra, dan kemudian kajian budaya (Jameson, 1991). Posmodernisme lahir sebagai upaya untuk melawan gagasan yang berkembang sejak renaisans (pertengahan abad ke-18) di mana ada ambisi besar-besaran dunia modern untuk mencari kebenaran dan memahami asal-usul realitas lewat penerapan akal dan rasionalitas. Modernisme sendiri hadir sebagai anti-tesis dari abad pertengahan yang menjadikan agama sebagai sumber utama kebenaran atau manusia tak perlu susah-susah mencari kebenaran; cukup menengok ke gereja saja. Pada masa modernisme, manusia menjadi fokus dalam pencapaian kebenaran dan moralitas. Namun, pada praktiknya, pencapaian kebenaran dan moralitas ini seringkali didefinisikan dan didominasi oleh kelompok tertentu. Padahal, pada kenyataannya banyak pula yang tak sepakat dengan kelompok tersebut. Posmodernisme mengakui bahwa kontestasi kebenaran terjadi di antara manusia-manusia yang hidup di muka bumi.

Meskipun demikian, mengapa KS dianggap menarik dalam psikologi? Bagaimana kondisi dan kontestasi dalam ilmu psikologi sehingga KS diapropriasi? Tradisi apa saja yang beroperasi dalam psikologi? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita bahas dalam bagian di bawah ini.

Mengapa dan Bagaimana KS Diapropriasi?

Gergen (1985) menuliskan bahwa dalam tradisi epistemologi atau model pemerolehan pengetahuan, ada dua tradisi intelektual yang saling berselisih satu sama lain. Tradisi pertama adalah exogenic perspective (perspektif eksogenik) yang diwakili oleh John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776), dan John Stuart Mill (1806-1873). Tradisi eksogenik melihat bahwa pengetahuan diperoleh dari luar diri manusia. Locke berargumen bahwa pengetahuan diperoleh lewat pengalaman. Manusia terlahir sebagai tabularasa dan selama rentang hidupnya ia akan mengadopsi pengetahuan. Pengetahuan, dengan demikian, merupakan peta atau cermin aktual dari dunia nyata. Sementara itu, tradisi kedua adalah endogenic perspective (perspektif endogenik) menunjukkan bahwa pengetahuan tergantung pada proses endemik atau bawaan dari organisme. Manusia memiliki tendensi untuk melakukan kategori dan memproses informasi. Tendensi tersebut yang kemudian menjadi puncak pentingnya cara memperoleh pengetahuan. Dalam tradisi ini ada orang-orang seperti Baruch Spinoza (1632–1677), Immanuel Kant (1724-1804), dan Friedrich Nietzche (1844-1900). Nietzche, misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan amat tergantung dari cara bagaimana kita memandang sesuatu. Dalam kacamata Nietzchean, kita memiliki kecenderungan untuk menginterpretasi dunia dan mendefinisikan-ulang suatu obyek atau pengalaman.

Sementara itu, dalam perkembangannya di Amerika, psikologi dibangun dari filsafat pragmatik dan positivistik, yang mana lebih condong dalam perspektif eksogenik. Behaviorisme misalnya meletakkan penentu aktivitas atau perilaku manusia pada lingkungan. Seseorang yang berhasil beradaptasi berarti menunjukkan bahwa pengetahuan merepresentasikan atau merefleksikan lingkungannya. Perkembangan tradisi behaviorisme inilah yang kemudian mendominasi ilmu psikologi di Amerika. Meskipun demikian, tradisi endogenik tampil dalam pendekatan Gestalt dan fenomenologis dalam gerakan keilmuan yang lebih kecil.

Pendekatan behaviorisme yang berkembang dari 1920an-1950an, kemudian mendorong munculnya tradisi endogenik, yakni psikologi kognitif yang kian populer mulai 1960an. Psikologi kognitif memberi perhatian pada inferensi logis, skemata kognitif, penyimpanan dan penerimaan informasi, serta heuristik kognitif. Premis utama yang dikembangkan Kurt Lewin (1890-1947) dan para Lewinian adalah: aktivitas manusia tergantung pada pemrosesan informasi. Implikasi dari penekanan pada pemrosesan informasi ini adalah munculnya revolusi kognitif dalam bidang psikologi. Meskipun demikian, keberakaran psikologi dalam tradisi eksogenik behaviorisme ini tidak serta-merta digantikan dengan psikologi kognitif. Kecenderungan yang muncul dalam disiplin psikologi adalah membuat eksperimen dengan metode yang mampu memperoleh pengetahuan obyektif, sebagai contoh adalah kepatuhan terhadap otoritas yang dilakukan Milgram (1963). Tujuan eksperimen tersebut adalah untuk mengetahui seberapa jauh orang akan patuh pada perintah otoritas, sekalipun perintah tersebut mengancam keberadaan orang lain. Dari eksperimen tersebut, setidaknya kita bisa membaca bahwa orang dilihat pada domain kognitif yang disebabkan oleh rangkaian mekanisme intrapersonal — atau ada semacam hipotesis yang mengatakan bahwa seseorang atau individu perlu diteliti dalam dirinya sendiri (study people in isolation). Dengan kata lain, konteks sosial dianggap tidak berarti banyak atau sekadar menjadi efek sekunder (Watts, 2017).

Masalah lebih jauh dalam pendekatan kognitif yang eksogenik adalah: bagaimana kognisi seseorang bisa terbentuk? Apakah lewat pengalaman atau secara genetik sudah terprogram? Pada masa yang bersamaan, 1950an dan kemudian diperkembangkan lebih kuat 1980an, muncul pertimbangan terkait apa yang bisa disebut pengetahuan dalam hubungan antar-manusia. Ilmu linguistik kemudian muncul sebagai titik tengah dalam perdebatan eksogenik-endogenik yang memunculkan dualisme subyek-obyek. Proposisi linguistik menunjukkan bahwa apa yang disebut pengetahuan adalah yang ada dalam buku, jurnal, dan berbagai artefak lain. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan sesuatu yang berada dalam praktik sosial, tidak diposisikan dalam kepala manusia, dan sesuatu yang dilakukan atau dipraktikkan bersama. Apa medianya? Kita dapat mengenalnya sebagai bahasa, yang dibagikan dalam aktivitas satu sama lain. Studi bahasa menjadi hal vital dalam psikologi (sosial) sebab bahasa merupakan bentuk paling dasar sekaligus pervasif dalam interaksi (Potter & Wetherell, 1987). Dengan demikian, para pakar kemudian berhenti untuk semata-mata menyelidiki basis psikologis dari bahasa (kognitif) dan berfokus pada sisi performatif bahasa dalam hubungan antar-manusia atau kita kenal dengan pendekatan konstruksionisme sosial — sebagai antinomi dari tradisi eksogenik-endogenik.

Dengan tujuan untuk memperselisihkan konsepsi keilmuan Barat yang obyektif, individualistik, dan ahistoris, pendekatan konstruksionisme sosial kemudian dipraktikkan dalam berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, sastra, sosiologi, antropologi, sejarah, dan tak terkecuali psikologi. Karena berfokus pada sisi performatif bahasa, maka pengetahuan tidak hanya diperiksa lewat orang Barat semata. Muncul berbagai penelitian yang menyelidiki hemisfer dunia lain, misalnya Clifford Geertz yang terkenal dengan penelitian sabung ayam di Bali (1973) dan agama Jawa (1960). Artinya, penelitian mulai diarahkan pada kontekstualitas dan historisitas dalam mode konstruksionis. Misalnya, dalam penelitian soal sabung ayam di Bali, Geertz (1973/1977) menggambarkan bahwa seorang yang menyabung ayam juga merawat, memberi makan, mengamati, dan menceritakan ayamnya satu sama lain. Ayam jago menyimbolkan diri dari si pemilik, ego laki-laki yang narsistik, dan pembalikan animalitas (estetik, moral, metafisik) orang Bali. Lewat kultur dan ritual sabung ayam, Geertz menyimpulkan bahwa sabung ayam adalah persoalan identitas.

Implikasi lebih jauh dalam bidang psikologi adalah: kita bisa mempertanyakan lebih jauh dan menantang konstruksi dominan terkait suatu konsep psikologis (Willig, 1999). Menyoal kemarahan (anger), Averill (1982) menyatakan bahwa kemarahan tidak lagi sekadar dilihat sebagai determinisme fisiologis atau kondisi mental belaka, tetapi sebagai peran sosial atau cara kita melakukan performansi di hadapan orang lain. Ratner (2006) menjadi contoh yang baik untuk menjelaskan persoalan marah ini. Subyek Amerika meyakini bahwa marah merupakan hal baik untuk diketahui dan diekspresikan, orang Bali mengatakan bahwa marah mesti diterima dan dipastikan tidak diekspresikan, orang Ifaluk di Filipina mengatakan bahwa marah merupakan hal berbahaya makanya perlu dihindari. Pengalaman “marah” dari ketiga kultur tersebut akan berbeda. Orang Amerika akan lega bila mengekspresikan, orang Bali dan Ifaluk mungkin akan takut, terkejut, dan malu kalau memperlihatkannya. Hal-hal seperti itulah yang kemudian akan bermasalah apabila didekati dengan konsep psikologis yang siftanya universal. Artinya, kemarahan hanya akan dipahami secara mendalam apabila kita melihat “mengapa”, “bagaimana”, dan “di mana” kemarahan tersebut berlangsung.

Contoh lain adalah konsep diri (self-concept) yang tidak lagi secara solipsistik dibayangkan sebagai pendekatan kognitif atas diri yang didominasi oleh pembedaan antara individualisme versus kolektivisme (Jones, 2014). Pembedaan tersebut didasarkan pada kognisi sosial yang merupakan studi mengenai bagaimana individu memproses informasi tentang diri dan liyan serta bagaimana perilaku dipengaruhi oleh keyakinan, persepsi dan sikap. Analisis mengenai diri lebih diarahkan pada bagaimana konsep diri ini dikonstruksi melalui percakapan dalam lingkungan sosial seseorang. Sebagai contoh, lihatlah wawancara yang dikutip dari kebiasaan minum mahasiswa di Australia dan pengalaman tekanan sosial untuk minum ketika di universitas (Hepworth dkk.,  2006). Dalam wawancara tersebut, Chloe menggambarkan dirinya sebagai seorang yang tidak pernah minum dalam suatu party (pesta).

Chloe: Saya tahu bahwa laki-laki yang saya kenal benar-benar berbeda dalam hal apakah orang lain di sekitar mereka minum, misalnya jika saya berada di sebuah pesta dan seorang laki-laki juga turut di sana;  “Oh, apakah kamu tidak minum?”  dan jika saya katakan;  “Tidak”, mereka akan berkomentar;  “Oh, keren”, dan selesai.  Tapi teman perempuan, mereka mengatakan seperti;  “Oh, kenapa kamu tidak minum?” “Oh, ayolah”, “Ayo minum”. Teman perempuan memiliki banyak sekali jenis komentar, sedangkan laki-laki lebih mau menerima, “OK”,  kamu punya alasan sendiri untuk tidak minum.

Dalam percakapan tersebut, ditunjukkan bahwa Chloe mendeskripsikan dirinya sebagai seseorang yang tidak minum dengan dasar “alasan pribadi”. Dalam tipe respon gender, laki-laki hanya merespon “Oh, keren”, sementara dari perempuan justru lebih bermacam komentar dengan pertanyaan seputar “kenapa” atau tuntutan alasan yang mesti dibalas Chloe. Chloe menunjukkan bahwa “diri” dalam kisahnya tersebut dikonstruksi sebagai “tidak konform dengan apa yang diharapkan”. Dengan demikian, diri ditampilkan dalam pengalaman internal sekaligus bagaimana orang mengetahui dan mengenal Chloe dalam suatu kondisi atau situasi sosial di mana Chloe berada. Dalam contoh ini, sekali lagi, kita diajak KS untuk melihat sebuah fenomena psikologis secara kontekstual.

 

Daftar Acuan

Averill, J. (1982). Anger and aggression. New York: Springer-Verlag.

Berger, P. & Luckmann, T. (1966). The social construction of  reality: A treatise in the sociology of knowledge. New York: Doubleday and Co.

Burr, V. (1995). An introduction to social constructionism. London & New York: Routledge.

Geertz, C. (1973/1977). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Gergen, K.J. (1973). Social psychology as history. Journal of Personality and Social Psychology 26:309–320.

Gergen, K.J. (1985). The social constructionist movement in modern psychology. American Psychologist, 40(3), 266-275.

Hepworth, J., McVittie, C., Schofield,  T., Lindsay, J., Germov, J.  & Leontini, R. (2016). ‘Just choose the easy option’: Students’ talk about alcohol use and social influence.  Journal of  Youth Studies, 19, 251-268.

Jameson, F. (1991). Postmodernisme or, the cultural logic of late capitalism. London: Verso.

Potter, J. & Wetherell, M. (1987). Discourse and social psychology: Beyond attitudes and behaviour. London, California, New Delhi: SAGE Publications Inc.

Rabinow, P. (Ed.). (1984). The Foucault reader. New York: Pantheon Books.

Ratner, C. (2006). Cultural psychology: A perspective on psychological functioning and social reform. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Teo, T. (2017). Outline of theoretical psychology: Critical investigations. London: Palgrave Macmillan.

Watts, S. (2017). Relationships: From social cognition to critical social. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology (hlm. 365-385). Leeds: Palgrave Macmillan.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *