Buku

Tentang Politik Jatah Preman

Catatan Awal: Tulisan ini pernah diterbitkan di jurnalruang.com pada 22 Maret 2019. Lebih lanjut, silakan buka link berikut: https://jurnalruang.com/read/1553177714-tentang-politik-jatah-preman. Ditayangkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Ian D. Wilson. (2019). Politik Jatah Preman. Marjin Kiri. xxii+315 hlm.

Sumbangan buku Ian Wilson, “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru” (Marjin Kiri, 2018) terletak pada kekayaan penggambaran kehidupan preman yang berubah menjadi terpusat pada lokalitas semenjak awal 1990an dan menguat setelah tahun 1998. Buku yang diterjemahkan dari judul aslinya “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive Capital, Authority and Street Politics” (Routledge, 2015) ini merupakan hasil penelitian etnografi Ian Wilson di Jakarta pada kurun waktu 2006-2014. Menurut Ian Wilson, proses desentralisasi membuat kekuatan preman yang teroganisasikan oleh negara menjadi terpecah ke dalam lingkup-lingkup lokal yang kemudian meningkatkan tegangan antarpenguasa dan pengusaha yang menghendaki kekuasaan jalanan. 

Dalam bagian-bagian awal, Ian Wilson menyebutkan bahwa bukunya “hendak memetakan pergeseran pola praktik, pengorganisasian, serta hubungannya [preman] dengan kekuatan dan kewenangan politik formal dan informal” (hal. 2). Ia mengamati bahwa penciutan peran militer (hal. 3) semakin membuat organisasi preman lebih tidak menghamba pada satu bos, yang pada masa Orde Baru adalah negara—dan secara khusus Jenderal Besar Bapak Suharto. Penciutan peran militer ini berarti, sebagaimana disiratkan Taylor (1982) dan Tilly (1975), pelemahan sarana koersi yang bisa dikontrol secara efektif oleh negara, yakni tentara dan polisi.

Preman hanya bisa dipahami lewat sebuah penanda mengambang yang bisa disematkan kepada siapa saja. Karenanya, banyak sebutan untuk menamai “preman” seperti “gali”, “gentho”, “jawara”, “bromocorah”, “jago(an)”, atau “dedengkot”. Penyebutan atau penyematan nama bahwa suatu kelompok atau seseorang adalah preman amat bergantung pada siapa yang memiliki kuasa dominan dalam konteks tertentu. Keberadaan kuasa ini menciptakan cara pikir bahwa “ada kekerasan yang absah” dan ada yang “tidak absah”. Pada masa Orde Baru, kekerasan absah ini bisa ditunjukkan lewat koersi resmi bikinan negara, yang menjadi pengontrol keamanan dan ketertiban (rust en orde). Sementara itu, kekerasan tidak absah bisa diwakili gangster (digambarkan sebagai “sekumpulan preman”) yang tak jarang merupakan proxydari negara lewat aparatnya. Kendati demikian, pembiaran bermacam gangster dan penempatan Soeharto sebagai bos tertinggi, membuat gangster bisa terkontrol dan mencegah warlordism atau bosisme (hal. 30). 

Pasca-1998, kekerasan terorganisir yang terpusat pada negara mulai runtuh dan melahirkan aktor-aktor baru yang memiliki ragam kepentingan sosial, ekonomi, dan politik (hal. 34). Kelahiran aktor-aktor barumenunjukkan bahwa dominasi kuasa tersebut tidak seterusnya menciptakan kondisi layaknya seorang tuan dan seorang budak. Ada kalanya kedua pihak memerlukan negosiasi, bahkan yang dianggap budak ini bisa menentukan bagaimana si tuan mengambil keputusan. Karena itu, dalam kacamata Ian Wilson, premanisme pasca-Orde Baru mengalami rekonfigurasi.

 

Bagaimana Preman dalam Konteks Indonesia Dibicarakan?

Loren Ryter (2001) menyatakan bahwa untuk memahami bagaimana istilah “preman” terbentuk, maka kita perlu kembali menilik Batavia abad ke-17 dan Deli awal abad ke-20. Istilah tersebut berasal dari bahasa Belanda, “vrij” berarti “bebas” dan “man” berarti “orang”. Di Batavia abad ke-17, istilah “preman” digunakan untuk menyebut orang-orang yang ikut berdagang namun tidak terikat dengan VOC(Vereenigde Oostindische Compagnie). Sementara itu, di Deli “preman” digunakan untuk menyebut mereka yang tidak tergabung dalam kuli kontrak. Mereka bukan “budak bebas”, melainkan kuli lepas atau pengawas kuli kontrak yang bekerja di perusahaan perkebunan namun tidak terikat dengan perusahaan termaksud. Selain itu, para “preman” dikenal seringkali membuat masalah dalam perkebunan. Unsur “ketidakterikatan” dan “sumber masalah” kemudian menjadi perkara penting dalam memahami sejarah “preman” di Indonesia.

Istilah “preman” menyeruak dalam perdebatan publik Indonesia pada pertengahan dekade 90-an menjelang runtuhnya Orde Baru. Pada masa sebelumnya, tahun 1983, istilah “preman” kalah populer dengan “gali-gali” (gabungan anak liar) yang digunakan untuk menyebut mereka yang bikin onar dalam ruang sosial (lebih lanjut lihat Siegel, 1998). Penggunaan istilah “gali” dalam Petrus (Pembunuh[an] Misterius), memungkinkan istilah “preman” dilihat sebagai hal yang ditafsirkan secara positif dan disematkan dalam cara orang berpakaian. Tidak heran apabila istilah “polisi berpakaian preman” menjadi frasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam konteks Indonesia.

Setelah terjadi penyerangan terhadap anggota kepolisian dan tentara pada 1995, istilah “preman” kemudian mengalami perluasan semantik (Ryter, 2001). Penyerangan yang berbuntut tewasnya aparat di Jakarta tersebut kemudian membentuk pemahaman bahwa “preman” adalah mereka yang melanggar hukum dan berpotensi membuat kerusuhan sosial. Penempatan preman sebagai orang yang mengancam kondisi masyarakat kemudian meluas dan digunakan untuk mereka yang tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap (lumpenpoletariat). Penyematan nama preman dengan para lumpenproletariat ini dapat ditemukan dalam pengiriman milisi pro-integrasi ke Timor Timur (Kammen, 2003). Tidak memiliki pendapatan tetap menjadikan penyebutan preman merujuk pada mereka yang disingkirkan dari proses produksi.

Ketersingkiran dari proses produksi dan pendapatan yang tidak pasti ini memungkinkan para preman diasosiasikan dengan kehidupan orang-orang di kelas sosial bawah. Pengasosiasian dengan orang kelas bawah ini, menghidupkan logika bahwa “kemiskinan membuat orang menjadi jahat”. Orang tidak lagi perlu melihat bagaimana ketimpangan ekonomi berlangsung, paling penting adalah untuk membuat para kelas menengah takut dengan ancaman dari mereka yang dianggap dari kelas bawah.

Dengan lahirnya ketakutan antarkelas ini, pola pembentukan jaringan preman tak lagi bisa dihindari. Bahkan, mereka yang disebut preman ini justru diperlukan untuk menjalankan kehidupan sosial. Pada kenyataannya, dalam menjalankan kekuasaan, orang-orang tertentu butuh energi preman untuk memantapkan diri sebagai penguasa atau pengusaha yang mampu menaklukkan kelas menengah, yakni kelas dengan anggota terbanyak dalam masyarakat.

Dalam wawancaranya dengan seorang yang dianggap preman, Ryter (2001) menemukan bahwa “Preman berarti seorang yang bebas, sungguh-sungguh orang yang bebas. Salah satunya adalah saya. Seorang preman adalah orang yang bebas, tak terikat dengan apa pun, bebas untuk menentukan hidup atau matinya, sepanjang dia memenuhi persyaratan dan hukum negeri ini.” Meskipun demikian, ilusi mengenai kebebasan ini patut untuk dikaji-ulang. Robinson (2001) menuliskan bahwa selama masa kolonial, preman memiliki kuasa untuk menentukan hukum di suatu wilayah kekuasaan dan tak jarang melakukan kekerasan demi menjaga wilayahnya. Adanya unsur “menjaga wilayah” ini membuat kelompok-kelompok preman bekerja dalam bentuk gangster yang kemudian tercipta pada wilayah dan kelas tertentu.

Setidaknya, ada dua hal penting dalam temuan Robinson (2001). Pertama, preman tak lagi bisa dikatakan sekadar kelas bawah, istilah ini dapat menembus hingga ke kelas atas yang praktis membutuhkan tenaganya untuk kepentingan ekonomi maupun politik. Pembentukan kelompok ormas menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bahwa preman dan organisasi semacamnya menjadi produk yang tidak bisa terpisahkan dari kekuasaan. Kedua, preman tidak bisa dipahami secara sempit dalam pengertian individual, mereka senantiasa bersifat sosial. Sifat sosial dalam konteks ini adalah bahwa mereka sering tidak menyebut diri sebagai preman, tetapi masyarakat menamai mereka preman. Selain itu, mereka juga hidup secara berkelompok. 

Menurut Barker (2001), apa yang disebut preman memiliki konsentrasi khas dalam perebutan lahan berkaitan dengan pemerasan jatah. Sesekali mereka bersandar pada bantuan militer, meski demikian, sifatnya hanya sementara. Preman bukan melulu mereka yang difantasikan bertato, punya fisik kuat, atau keluar-masuk bui. Fantasi tersebut, menurut Wilson (2008), hanyalah sebatas gambaran brutal rekayasa media populer dan statistik tele-visi. Rekayasa ini kemudian menutup kemungkinan bahwa preman bisa saja berubah. Wilson kemudian menceritakan hasil wawancaranya dengan Bang Aa yang tadinya menjadi salah satu elite dalam Forum Betawi Rempug (FBR) tetapi kemudian ditolak oleh FBR sendiri karena ia tak mau menyerang balik orang-orang Ikatan Keluarga Betawi (IKB) yang membunuh dua anggota FBR.

 

Masa Kini Preman Jakarta Masa Lalu

Kehidupan preman di Jakarta, sebagaimana dikatakan Wilson (2018), menandai retaknya citra negara sebagai entitas koersif. Kasus Jakarta memperkuat keadaan di mana negara terpecah dan tak lagi mampu mengendalikan “anak-anak didiknya.” Dipimpin oleh tokoh yang berpengaruh dalam konteks lokal, premanisme menjadi sesuatu yang lebih kooperatif. Sebelum menjadi besar, mereka membutuhkan patron yang mampu memberi akses terhadap kepentingan ekonomi yang diperlukan bagi keberlangsungan organisasi preman. Alih-alih koersif, organisasi preman lebih memilih menjadi kooperatif dengan harapan akan memperoleh restu, baik dari masyarakat, penguasa, maupun pengusaha.

Jumlahnya yang makin banyak dan bisa lahir di tiap kampung, membuat kerumitan politik para preman dalam mempertahankan kondisi kelompoknya. Menurut Wilson (2018), ada beberapa hal yang bisa dicatat dalam kondisi tersebut. Pertama adalah penyesuaian terhadap bentuk kekuatan sosial-politik. Kedua adalah proses urbanisasi dan eksklusi terhadap kaum miskin kota. Ketiga adalah pembuatan aturan baru yang mengabsahkan sistem jatah preman dalam alam demokrasi dan desentralisasi. Dalam sebuah struktur atau pranata sosial yang menghambat pemenuhan kebutuhan dasar, masyarakat—sebagian besar kaum miskin kota—menemukan bahwa gangster menjadi “sarana partisipasi politik, sumber strategi, dan identitas kolektif” (hal. 50).

Ada dua siasat yang dilakukan preman-preman “baru” di Jakarta. Dikatakan baru, sebab pengidentifikasian ini menguat ketika Orde Baru hampir tumbang. Preman kini menjelma sebagai sebuah organisasi yang mengusung tema kedaerahan (sebagaimana diwakili FBR) dan tema keagamaan (FPI[Front Pembela Islam]) yang mendaku diri untuk menanggapi kemuakan masyarakat terhadap premanisme, kekerasan, dan maksiat. Keduanya bisa diterima dan dianggap sebagai organisasi populis yang berhasil mendapat dukungan dari masyarakat—khususnya mereka yang di/ter-pinggirkan dari arena kapital—karena mampu mengisi kekosongan identitas yang dibutuhkan banyak orang sebagai sumber identifikasi simbolik. Dengan adanya identifikasi simbolik ini, mereka yang tengah bingung terkait bagaimana mendefinisikan diri, menemukan sumber makna baru. Penempelan identitas ini juga menawarkan akses ke kehidupan ekonomi yang menjadi pengikat dalam model organisasi tersebut.

Sebagai seorang Betawi, perasaan tersingkir dari Jakarta yang membuat mereka hidup di pinggiran, menjadi pemicu mengapa FBR perlu dibentuk. Bagi sebagian besar orang, FBR mampu mewakili suara para korban dari kemajuan. Apabila dirunut ke belakang, etnisitas Betawi terbentuk dari kumpulan orang yang dipekerjakan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia. Banyak dari masyarakat ini yang berasal dari India, Ambon, Papua, Flores, Madura, Jawa, maupun Tionghoa. Dengan demikian, dilihat dari demografi masyarakatnya, Betawi merupakan percampuran etnis—yang tentunya tidak seragam. Oleh karena itu, ironis bahwa kemudian ada klaim soal pribumi atau orang asli terkait etnis ini.

Sementara itu, apabila kita adalah seorang Muslim yang taat, FPI mampu menjawab persoalan moralitas yang buruk dari orang-orang yang tinggal di Jakarta. Keburukan moral yang dimaksud tampil dalam bentuk klub malam, prostitusi dan segala sesuatu yang berbau kebarat-baratan—bahkan juga patung!Wilson (2018) menulis bahwa apabila maksiat dikaitkan dengan “kelas sosial dan ekonomi, seperti gaya hidup kelas menengah dan perkotaan yang liberal dan sekuler, amarah dan kebencian kelas yang lebih luas juga bisa dimobilisasi” (hal. 58).

Kedua model premanisme baru tersebut bisa hidup karena mampu merebut wacana masyarakat soal logika dominasi kapital yang memaksa orang-orang menjadi tersingkir dari arena kehidupan sosial. Dalam bahasa Castells (2010), identitas resistensi berhasil diciptakan dan diwakili lewat organisasi-organisasi populis seperti FBR dan FPI. Keduanya membangun sebuah parit perlawanan terhadap dominasi kehidupan kota yang dikuasai kelas menengah dan elite. Selain itu, tema kepribumian dan moralitas juga mampu menggaet serta mengisi kekosongan ideologis kelas menengah pasca-Orde Baru. 

Organisasi populis (yang merupakan jenis vigilante!) juga dibutuhkan para elite untuk membangun kekuatan sosial-politik. Tidak heran apabila orang-orang yang tergabung dalam FPI maupun FBR menjadi garda terdepan dalam unjuk rasa membela patron-patronnya. Mereka memiliki posisi mendua, bisa di posisi para elite dan di lain pihak juga mengadvokasi terkait isu dari anggota dan lingkungannya. Model advokasi yang sebetulnya semacam bentuk permintaan politik (political demand) menjadi karakteristik baru dalam jejaring preman Jakarta. Menurut Wilson (2018), karakteristik advokasi sering terpinggirkan dari kajian soal gangster dan preman yang melulu dianggap terkait kriminalitas dan orang bayaran.

Mengapa nuansa kedaerahan dan keagamaan ini “laku” dalam masyarakat Jakarta? Pertanyaan ini tentunya membutuhkan jawaban berbeda di masing-masing kelompok. Wilson (2018) menunjukkan bahwa dalam FBR sebetulnya juga hidup wacana soal keagamaan. Pada 2001, FBR lahir dari rahim sebuah pesantren yang didirikan oleh Fadloli el-Muhir, seorang yang aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama (NU). Para anggota berikrar setia pada Fadloli untuk menegakkan nilai-nilai Islam (hal. 182-183). Paduan Islam dengan Betawi, ditambah dengan advokasi terhadap ketersingkiran dari arena produksi, menjadikan FBR berkembang begitu pesat. Rasa malu terhadap kekalahan digantikan oleh budaya kesalehan, yang dicirikan oleh kemurnian, kezuhudan, dan semangat kebersamaan (hal. 178). Peran budaya populer si Pitung yang ramai pada masa 70an dan 80an menjadi pemantik kesadaran bahwa menjadi Betawi adalah perkara menjadi seorang pendekar yang takwa dan karismatik dalam melawan ketidakadilan sosial demi membela akhlak masyarakat (hal. 178-179).

Dalam membentuk ikatannya, FBR juga mengembuskan isu terkait perantau dari Indonesia Timur, Madura, maupun Sumatra. Para perantau dianggap sebagai orang yang berkontribusi dalam ketersingkiran mereka dalam arena produksi, akses ekonomi orang Betawi menjadi minim. Dalam terminologi psikoanalisis, pendatang ini diposisikan layaknya “pencuri kenikmatan” (lihat Žižek, 1995) masyarakat adat Betawi. Logikanya demikian: seandainya tidak ada para pendatang, maka orang-orang Betawi dapat hidup makmur. Logika bahwa ada faktor eksternal yang jadi biang masalah juga menjadi alasan mengapa FPI perlu dibesarkan. FPI yang mengangkat isu moralitas yang menganggap sesuatu yang tidak menjadi tradisi Islam (Islam seturut definisi kelompok ini) membuat orang melakukan dosa dan maksiat. Oleh karena itu, para pendatang dan pendosa dianggap oleh kelompok ini sebagai orang yang diandaikan layak untuk dirisak. Perisakan ini tidak melulu menggunakan kekerasan, mereka bisa saja mengembuskan wacana dan mendatangi untuk melakukan “negosiasi”.

Keberadaan FPI, yang secara khusus menyematkan nama “Islam”, perlu dipahami dalam konteks historiografi Islam di Indonesia. Sejak masa kolonial, muncul perasaan “tidak terwakili” dari orang-orang Islam yang notabene memiliki jumlah terbesar di Hindia-Belanda (kemudian Indonesia).Ketidakterwakilan muncul dalam ekspresi golongan tertentu dalam Islam yang gemar bersuara bahwaselama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, peran ummat disingkirkan dari logika para tokoh Islam, misalnya dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Golongan Islam tersebut melihat ICMI hanya sebatas sebagai kumpulan elite dengan nama tenar dan suara ummat yang absen.

Perasaan ketidakterwakilan dan ketersingkiran dalam arena kebangsaan ini dengan mudah menyulut kekuatan tersembunyi untuk muncul dalam kancah negara-bangsa Indonesia. Pembentukan Pam Swakarsa oleh militer sebagai kekuatan menghadapi para mahasiswa yang hendak menduduki Sidang Istimewa MPR 1998 menjadi kelahiran dan pintu masuk FPI ke dalam wacana nasional. Hanya selang tiga atau empat tahun, FPI tidak lagi dikontrol penuh oleh militer. Dengan mendaku diri sebagai penegak kehidupan Islami, yakni amar ma’ruf nahi munkar (mengajak yang baik, mencegah hal buruk), FPI berhasil menarik dukungan masyarakat yang mayoritas beragama Islam.

 

Kisah-kisah Lain

Dalam sebuah pertemuan dengan Ian Wilson di UGM, kalau tak salah ingat pada 2016 silam, ia bercerita bahwa dirinya memiliki kartu anggota FBR (juga FPI?). Ia bercerita untuk menjadi anggota FBR cukup dengan mendaftarkan diri dan mengikuti beberapa pertemuan yang sering mereka adakan. Ada dua hal yang patut kita catat di sini, pertama adalah identitas Ian Wilson dan kedua adalah soal keanggotaan FBR dan FPI. Dalam melakukan penelitian etnografi, hidup bersama komunitas merupakan hal yang mutlak dilakukan. Ian Wilson merupakan seorang Australia yang kini bekerja di Murdoch University.Identitasnya bisa menjadi bentuk “keberuntungan” serta mendukung terlaksananya penelitian yang amat detail terkait dunia preman di Jakarta. Terkait keanggotaan, dalam buku Politik Jatah Preman, Ian tidak menceritakan bagaimana orang-orang bisa tergabung masuk, apa saja syaratnya, dan bagaimana sifat keanggotaannya.

Ada kisah menarik di luar Jakarta terkait tema keanggotaan. Ketika saya pergi ke Medan dan bercerita dengan beberapa anggota Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK), salah seorang dari mereka mengatakan bahwa keanggotaan PP dan IPK cukup terbuka. Tidak sedikit dari mereka yang berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain. Keikutsertaan organisasi bisa sangat praktis didasarkan pada seberapa organisasi tersebut dapat menjamin keselamatan anggota. Seorang yang pernah menjadi pengurus PP di Medan bercerita pada saya bahwa kini ia ikut IPK. Alasannya sederhana saja, IPK bisa melindungi ia dan usahanya dari palakan organisasi lain.

Cerita-cerita atau mitos juga berkembang dalam percakapan orang-orang Medan mengenai kebesaran para pemimpin. Dari sekian tokoh, Olo Panggabean merupakan tokoh IPK yang kiprahnya terus dibicarakan. Orang meyakini bahwa setelah Olo meninggal, kriminalitas menjadi tak terkendali. Tawuran menjadi semakin sering. Hal ini juga diyakini masyarakat di Jogja sebagaimana setelah Gun Jack meninggal. Namun, kisah mitos Olo jauh lebih menarik. Namanya pernah melejit secara nasional setelah membantu biaya operasi istri pelawak mashyur: Doyok. Kisah lain adalah mengenai seseorang yang kesulitan membayar biaya operasi keluarganya. Orang tersebut mendatangi Olo, Olo kemudian menelepon rumah sakit dan pihak rumah sakit kemudian membebaskan biaya pengobatan bagi keluarga tersebut. Lain lagi dengan kisah tantangan DL Sitorus, pengusaha tenar asal Sumatra Utara, terhadap Olo untuk berlomba membakar kerbau dengan uang. Singkat kata, cerita fantastis menjadi bagian penting dari apa yang disebut sebagai premanisme.

Dalam buku Ian Wilson, kisah fantastis muncul dalam peristiwa tahun 2002 ketika terjadi konflik antara FBR dengan orang-orang dari Madura. Diceritakan bahwa Fadloli, ketua FBR, diserang oleh massa dari kelompok Madura. Massa ini bersenjatakan golok, tetapi secara ajaib Fadloli lolos dan tanpa luka sedikitpun (hal. 186). Kisah ini diceritakan dan membuat ratusan warga Cakung bergabung ke FBR. Mereka percaya bahwa kekebalan Fadloli menunjukkan bahwa ia punya mandat ilahiah untuk membawa Betawi ke masa kejayaan baru. Sayangnya, kisah fantastis semacam itu sangat minim dikisahkan oleh Ian Wilson. Bisa jadi ada dua kemungkinan, memang kisah mitos tidak berkembang atau dianggap sebagai perkara remeh.

Kisah mitos atau narasi ini berpotensi membuahkan rasa keterikatan kelompok yang lebih kuat dibandingkan sekadar akses terhadap ekonomi. Sebagaimana gagasan Victor Turner terkait liminal society(1991) atau “bangsa”-nya Benedict Anderson (2006), mitos mampu membangun sebuah komunitas terbayang yang mampu menciptakan ikatan di antara anggota komunitas. Adalah menarik untuk mengumpulkan kisah-kisah “ajaib” atau “aneh” yang berkembang dalam sebuah kelompok untuk kemudian melakukan penafsiran mengenai bagaimana hasrat untuk (tetap) tergabung dimunculkan. 

 

Simpulan

Menurut Ian Wilson, premanisme di Jakarta dapat terus hidup karena hadirnya kaum miskin kota yangtersingkir dari gagasan pembangunan. Kaum miskin ini mengalami ancaman yang dirasa menghambat pemenuhan kebutuhan dasarnya (hal. 50). Kebutuhan dasar sendiri dapat berupa tanah dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam konteks spasial dan materi yang demikian, gangster dilihat para pemuda sebagai sebuah sarana untuk bersama-sama meratapi kondisi sehingga membangun identitas kolektif. Selain itu, gangster juga menjawab kebutuhan para pemuda dalam partisipasi politik dan strategi bertahan hidup.

Temuan Ian Wilson yang tak kalah menarik adalah kelompok-kelompok preman ini menyediakan akses kekuasaan dan daya tawar terhadap kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana disebutkan di atas, dengan memanfaatkan apa yang disebut Walter Benjamin sebagai kulturalisasi kebudayaan, kelompok preman menjadi jawaban atas kegagalan negara dalam menciptakan kondisi Negara Sejahtera. Tak heran apabila isu terkait ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi menjadi siasat ideologis untuk menjaga para anggota tetap tergabung.

Meski demikian, kulturalisasi politik ini tidak sepenuhnya menjawab isu ketidakadilan. Sebaliknya, kulturalisasi politik ini justru menyembunyikan eksploitasi ekonomi dan ketidaksetaraan politik. Keduanya dinaturalkan dan dinetralkan (Žižek, 2008). Para anggota kelompok preman belum tentu kemudian “naik kelas” sebagaimana para dedengkotnya, bahkan kelompok lain gantian disingkirkan atas nama ketersingkiran yang dialami kelompoknya sendiri.

 

Daftar Acuan

Anderson, B. R. O’G. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (ed. rev.). London & New York: Verso.

Barker, J. (2001). “State of fear: Controlling the criminal contagion in Soeharto’s New Order”, dalam B. R. O’G. Anderson (Ed.). Violence and the state in Suharto’s Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University.

Kammen, D. (2003). “Master-slave, traitor-nationalist, opportunist-oppressed: Political metaphors in East Timor”. Indonesia, 76, hal. 69-85.

Robinson, G. (2001). “War: Militias in East Timor and Indonesia”. South East Asia Research, Vol. 9, No. 3, hal. 271-318.

Ryter, L. (2001). “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?”, dalam B. R. O’G.Anderson (Ed.). Violence and the State in Suharto’s Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University.

Siegel, J.T. (1998). necriminal type in Jakarta: Counter-revolution today. Durham, NC: Duke University Press.

Turner, V. (1991). The ritual process: Structure and anti-structure. Ithaca: Cornell University Press.

Wilson, I. (2008, Agustus-Oktober). The rise and fall of a gangster. Inside Indonesia 93. Diunduh dari http://www.insideindonesia.org/the-rise-and-fall-of-a-gangster pada 25 Januari 2018.

Wilson, I. (2018). Politik jatah preman: Ormas dan kuasa jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru. Serpong: Marjin Kiri.

Žižek, S. (1995). “Eastern Europe’s Republics of Gilead”, dalam C. Mouffe (Ed.). Dimensions of radical democracy: Pluralism, citizenship, community. London & New York: Verso.

Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *