Buku Slavoj Žižek, Pandemic! Covid-19 Shakes The World (2020), sangatlah menarik untuk dibahas. Betapa tidak? Karena buku ini tidak hanya membahas mengenai virus Corona, melainkan keberadaannya di konteks dunia yang saling berhubungan satu dengan lainnya (globalisasi). Keterhubungan ini membuat penyebarannya sangat masif hinggamembuat dunia terguncang. “We should of course analyze in detail the social conditions which made the coronavirus epidemic possible. Just think about the way, in today’s interconnected world, a British person meets someone in Singapore, returns to England, and then goes skiing to France, infecting there four others.“
Pernyataan Žižek (2020) tersebut patut dicermati lebih dalam. Dengan melihat peta perjalanan (traveling) masyarakat dunia, akan terlihat pula peta penyebaran virus corona. Hal ini pula yang menandakan bahwa adanya daftar urutan negara-negara yang terinfeksi Covid-19 sesuai dengan daftar WHO (World Health Organization) dapat juga diartikan sebagai negara-negara (baca: warga) yang memiliki tingkat mobilitas (traveling) tinggi ke luar negeri. Atau, hal termaksud dapat pula diartikan sebaliknya dengan melihat peta mobilitas masyarakat China, khususnya warga Kota Wuhan sejak mewabahnya Covid-19 ke segala penjuru dunia, seperti yang terjadi di Thailand yang melaporkan kasus pertama Covid-19 pada 13 Januari 2020 dari seorang turis asal China.
Pola penyebaran semacam ini membuat Covid-19 menjadi ancaman bersama bagi negara-negara di dunia, dan Žižek(2020) menggambarkan fenomena ini dengan meminjam kata-kata Martin Luther King: “We may have all come on different ships, but we’re in the same boat now.” Tidak cukup hanya satu atau beberapa negara yang aktif melakukan usaha pencegahan ini, melainkan haruslah dilakukan secara serentak di seluruh negara. Dalam arti, menghilangkan peredaran pandemi ini di satu atau dua negara/kota belum menjamin terbebasnya masyarakat dari pandemi ini. Akan selalu muncul kasus-kasus baru selama pandemi tersebut masih ada atau selama belum ditemukannya vaksin virus tersebut.
Melihat pola penyebaran semacam ini, maka tidak ada jalan lain selain melakukan pendekatan, seperti yang Žižek (2020) katakan sebagai, Comprehenssive Approach yang menjangkau melampaui sistem pemerintahan tunggal. Dalam arti bahwa hal ini mencakup kepada mobilisasi masyarakat lokal di samping adanya kendali pemerintah dan lembaga internasional yang saling berkoordinasi dan berkolaborasi. Menarik kemudian untuk melihat bagaimana masyarakat, negara dan lembaga internasional berkoordinasi dan berkolaborasi dalam mengatasi pandemi ini?
Bahasa dan Ideologi
Selama masa pandemi Covid-19, banyak beredar bahasa-bahasa yang merupakan bentuk pencegahan dan penanggulangan dalam mengatasi penyebaran virus corona. Misalnya saja work from home (WFH), social distancing, physical distancing, lockdown, #dirumahaja, dan sebagainya. Bahasa-bahasa ini sangat sering didengar dan selalu menghiasi media sosial, televisi, koran, dan sebagainya. Beredarnya bahasa-bahasa tersebut bukanlah bentukan dari bahasa lokal atau pribumi, melainkan menjadi bahasa yang “diakui” sebagai bahasa bersama (global) yang diikat dengan masalah kesehatan. Keberadaan virus Corona membuat dunia memiliki bahasa bersama untuk menanggulangi penyebaran virus ini.
Munculnya bahasa bersama tersebut ke permukaan menurut Celeste Langan, seperti yang dikutip Rudolf Mrázek dalam bukunya Engineers of Happy Land (2006), selalu dihubungkan dengan “simulasi” dalam bentuk imajinasi kebebasan, untuk ‘datang’ dan ‘pergi’ tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motifnya. Oleh sebab itu bisa jadi huta (desa) Pagarsinondi yang berada di Kecamatan Sipohon, Tapanuli Utara melakukan “tutup kampung” (lockdown) selama masa Pandemi ini. Tutup kampung (lockdown) ini sebagai suatu bentuk imajinasi kebebasan, termasuk daerah-daerah lain berskala kecil, semisal Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) yang juga melakukan hal serupa, meskipun lockdownbukan merupakan kebijakan dari pemerintah Indonesia sendiri.
Menurut Žižek (2020), yang dipengaruhi oleh pendekatan psikoanalisa Jacques Lacan, adanya bahasa semacam ini menunjuk kepada sesuatu yang dikatakan sebagai symbolic order atau ideologi; dalam hal ini gagasannya dapat berupa doktrinasi, kumpulan ide-ide, keyakinan, konsep, dan sebagainya. Memang symbolic order tidaklah sama dengan bahasa, namun demikian ia dapat hadir melalui bahasa yang dapat diartikan sebagai “the pact which links… subject together in one action. The human action par excellence is originally founded on the existence of the world of the symbol, namely on laws and contracts”. Oleh sebab itu, di dalam psikoanalisa, symbolic order (ideologi) akan menstrukturkan imajinasi manusia (baca: masyarakat), atau dengan kata lain, meminjam istilah Louis Althusser, sebagai interpelasi, yakni yang memanggil masyarakat untuk patuh dan mengikuti ideologi tersebut.
Intinya, dengan bahasa bersama maka akan muncul imajinasi di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk respon panggilan terhadap masalah kesehatan. Panggilan terhadap masalah kesehatan tersebut termasuk reaksi pemerintah dan lembaga lainnya sebagai lembaga represif dan konstruktif di tengah-tengah masyarakat. Menarik kemudian untuk melihat fenomena yang terjadi di masyarakat sebagai suatu respon atas munculnya bahasa bersama tersebut yang mungkin selama ini kurang mendapat respon atau terabaikan di segala aspek kehidupan masyarakat.
Merespon Panggilan
Majalah Guardians memprediksi bahwa selama vaksin virus Corona belum ditemukan maka social distancing di tengah-tengah masyarakat akan tetap dilaksanakan sampai tahun 2022. Itu artinya, ancaman itu akan berlangsung lama dan imajinasi masyarakat akan juga selalu muncul sebagai bentuk respon akan adanya “panggilan” tersebut, termasuk dalam hal ini lembaga atau pemerintah yang merespon dengan “menerjemahkannya” menjadi tatanan New Normal.
Bahasa dalam imajinasi selalu memberikan kemajuan dalam suatu pembangunan bagi masyarakat. Hal ini berlaku juga bagi bahasa yang diikat dalam bidang kesehatan, yang selalu ingin terlibat dan memberikan sumbangsihnya, termasuk pembangunan infrastruktur. Rudolf Mrázek mencatat bahwa di zaman kolonial, pembangunan infrastruktur tidak hanya diikat oleh teknologi, melainkan juga dalam bidang kesehatan. Pembangunan jalan, rel kereta api dan transportasi massal menjadi suatu hal yang harus juga dipikirkan dari segi kesehatannya.
Adalah H.F. Tillema, seorang ahli farmasi, yang selalu melihat pembangunan infrastruktur dari bidang kesehatan. Baginya kemajuan sebagai kebersihan yang bersifat klinis. Segala pembangunan infrastruktur juga tak lepas dari kritikannya. Yang paling nyata adalah Jalan Daendels yang dibangun pada tahun 1811 dan menjadi jalan penghubung antara Jawa bagian Timur dengan Jawa bagian Barat ini, yang dilihatnya seperti layaknya “sebuah jamban besar” (Mrázek, 2006).
Bagi Tillema, ini adalah stofjeremiade (kisah sedih) yang melihat kendaraan-kendaraan melintas lalu lalang melindas kotoran manusia, kuda dan kerbau hingga menjadi debu. Kemudian berterbangan ke segala tempat, termasuk ke rumah-rumah di dekat jalan tersebut. Jalan seperti ini haruslah “disembuhkan.”
Sumbangan Tillema ini adalah imajinasi yang selalu memberikan saran bagi perkembangan masyarakat. Bukankah seharusnya demikian, ketika bahasa-bahasa memberikan suatu imajinasi untuk duduk bersama dalam mewujudkan sesuatu hal yang tak terpikirkan sebelumnya demi sebuah masyarakat?
Daftar Acuan
Mrázek, R. (2002/2006). Engineers of happy land: Perkembangan teknologi dan nasionalisme di sebuah koloni (Penerj. Hermojo). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Žižek, S. (2020). Pandemic! Covid-19 shakes the world. New York: OR Books.
Penulis adalah Pendeta HKBP dan kini menjadi Dosen Sekolah Tinggi Bibelvrouw (STB) HKBP, Laguboti.