Rerasan

Mesut Özil, Arsenal, dan Eksploitasi Gerakan Sosial

Mesut Özil adalah salah satu gelandang serang terbaik di dunia. Dengan visi bermain yang kreatif dan imajinasi bermain yang cemerlang, ia mencatatkan assist-assist yang memanjakan striker. Posisinya sebagai salah satu gelandang serang terbaik di dunia ia buktikan dengan membawa Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014 di Brazil. Namun, pada tahun 2018 Özil menuai kontroversi karena pertemuannya dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Walaupun Özil menyatakan bahwa tidak ada intensi politik dalam pertemuan tersebut, ia kemudian memutuskan untuk keluar dari tim nasional Jerman setelah menuai banyak kritik. Ketika itu, Özil menyatakan kekecewaannya terhadap Reinhard Grindel, Presiden Asosiasi Sepakbola Jerman dengan mengatakan bahwa ia tidak akan bertahan di Tim Nasional Jerman hanya untuk menjadi kambing hitam bagi inkompetensi dan ketidakmampuan Grindel dalam melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. Selain itu ia juga mengungkapkan kekecewaannya berkaitan dengan rasisme yang ia alami, “Di mata Grindel dan para pendukungnya, aku adalah orang Jerman ketika kita menang, tapi aku adalah seorang imigran ketika kita kalah,” katanya. Ia pun akhirnya mengundurkan diri dari tim nasional Jerman.

Ternyata, kontroversi Özil tidak berakhir sampai situ saja. Di tahun 2020, ketika saya mengamati berita-berita perkembangan sepakbola dari media sosial, saya menemukan sesuatu yang menarik di suatu akun instagram dari media sepakbola yang berbasis di Inggris. Dalam gambar yang berjumlah 10 slide tersebut, disebutkan bahwa Mesut Özil harus menerima konsekuensi dari Arsenal, klub di mana ia bernaung, atas pernyataannya terhadap tindakan pemerintah China yang melakukan persekusi kepada etnis muslim Uighur. Dari sini saya melihat penyingkiran Özil dari Arsenal adalah karena pernyataannya yang bernuansa politis.

Pada bulan Desember 2019, Özil mengunggah pernyataannya tentang persekusi yang dialami oleh etnis muslim Uighur di China dan kritik terhadap negara-negara Muslim karena tetap memilih untuk diam terhadap persekusi yang terjadi. Pernyataan tersebut ia unggah di media Instagram dan Twitter dalam bahasa Turki. Ungkapan tersebut kemudian membawa dampak yang negatif terhadap klub. Pertandingan Arsenal melawan Manchester City tidak jadi ditayangkanoleh saluran TV di China, kemudian Özil juga dihilangkan dari game Pro Evolution Soccer 2020 versi China. Arsenal kemudian menyatakan bahwa pihaknya tidak melibatkan diri dalam politik, serta mengambil jarak dengan Mesut Özil. Saya pikir, sikap klub yang menyatakan bahwa mereka apolitis tidak menunjukkan sikap yang bebas-nilai, namun lebih karena dampak ekonomi yang akan mereka hadapi jika mendukung pernyataan politis yang dilontarkan oleh Özil. Özil sendiri tampaknya juga kesal dengan sikap Arsenal. Ia mengatakan bahwa ia sudah memberikan banyak hal untuk Arsenal baik di dalam maupun di luar lapangan, tetapi reaksi dari pihak Arsenal sungguh mengecewakan baginya.

Özil nampaknya berjuang sendiri di klub, untuk menyuarakan persekusi yang dialami oleh etnis Uighur di China. Namun di luar klub datang juga dukungan dari sesama pesepakbola. Adalah Demba Ba, mantan striker Chelsea, yang mendukung Özil untuk menyatakan sikap politiknya. Demba Ba melontarkan kritik yang bagus untuk Arsenal, “Arsenal berbicara tentang Black Lives Matter, namun ketika yang dibicarakan adalah kehidupan (etnis) Uighur, Arsenal enggan untuk berbicara karena adanya tekanan dan berimbas pada ekonomi (klub).” Ba melanjutkan, “Ketika ada keuntungan finansial, sebagian orang menutup mata mereka. Uang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan nilai-nilai yang sesungguhnya.” Saya rasa kritik Demba Ba terhadap Arsenal di sini cukup jelas, bahwa ketika berbicara mengenai persekusi Uighur, Arsenal menyatakan sikap yang apolitis, sedangkan ketika berbicara mengenai Black Lives Matter, Arsenal justru terlibat dalam sebuah ‘pernyataan politis’. Lebih jelas lagi karena ketika berbicara mengenai Uighur, mereka akan kehilangan dukungan dari pihak China, yang berarti kehilangan salah satu sumber finansial mereka. Kemudian ketika Arsenal berbicara mengenai Black Lives Matter, sebuah gerakan yang populer dari Amerika yang kemudian populer secara global, mereka akan mendapat dukungan, yang berarti juga akan mendapat sumber finansial atau tidak kehilangan sumber finansial mereka.

Mungkin popularitas sebuah gerakan itu bisa jadi bagus, karena dukungan publik juga penting untuk sebuah perjuangan, namun jangan sampai popularitas itu menjadi bumerang. Saya pikir, popularitas sebuah gerakan bisa jadi berbahaya bagi gerakan itu sendiri, karena akhirnya gerakan itu akan mudah dieksploitasi dan semakin menjauh dari nilai awal yang diperjuangkan. Arsenal adalah salah satu contoh bagaimana gerakan itu dieksploitasi demi kapital, commodity fethisism. Namun tak hanya itu, bagi saya, Arsenal juga memberi contoh bahwa kita selalu mempunyai bias dalam melihat realitas sosial. Bagaimana Arsenal menutup mata terhadap persekusi yang dialami oleh etnis Uighur namun ikut bersuara ketika membicarakan Black Lives Matter kemudian mengingatkan saya terhadap suatu kasus yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017. Pada bulan September 2017, sekelompok orang melakukan protes terhadap seminar dan diskusi mengenai Tragedi 65, yang mengejutkan bagi saya, kerumunan massa ini datang dari sebuah demonstrasi yang menentang pelanggaran HAM oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Selain itu, kasus yang lain yang juga mempunyai pola yang mirip adalah ketika Black Lives Matter populer di Indonesia, namun pada saat yang sama, orang-orang yang ikut menyuarakan Black Lives Matter menutup mata pada kekerasan aparat yang terjadi di Papua.

Bagi saya, bagaimana Arsenal menutup matanya terhadap isu persekusi Muslim Uighur setidaknya mengajak kita untuk lebih cermat ketika melihat suatu gerakan sosial, terlebih ketika gerakan itu begitu massif. Sebagai contoh, saya kemudian melihat bahwa kritik Slavoj Žižek, seorang filsuf asal Slovenia, terhadap gerakan #metoo yang terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu menjadi relevan untuk membicarakan isu ini. Bagi Žižek, dikatakan bahwa gerakan #metoo dimanfaatkan oleh kelas menengah ke atas sehingga gerakan ini tidak lagi menyentuh permasalahan sosial yang sesungguhnya. Gerakan ini telah direduksi menjadi sesuatu yang narsistik dan individualis. Karena gerakan ini dimanfaatkan oleh kelas menengah ke atas, tujuannya tidak lagi untuk “membantu orang-orang”, tetapi gerakan ini dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuatan, dan dengan begitu, kekuasaan. Secara ideologis gerakan ini terdistorsi oleh kapitalisme yang individualistik.

Dalam kasus Arsenal, Black Lives Matter direduksi menjadi gerakan ikut-ikut semata, tanpa menyentuh permasalahan rasisme yang sesungguhnya. Obsesi Arsenal terhadap gerakan sosial yang sedang ramai dibicarakan, bagi saya justru menunjukkan sikap yang narsistik dan individualis, persis seperti apa yang dikatakan oleh Žižek. Yang ingin mereka raih dengan ikut menyuarakan isu rasisme dalam Black Lives Matter adalah popularitas. Sementara itu, ketika membicarakan isu persekusi terhadap Muslim Uighur, Arsenal memilih bungkam karena itu justru merugikan klub. Saya melihat pernyataan Özil berkaitan dengan persekusi yang dialami oleh Muslim Uighur adalah sebuah dukungan bagi kemanusiaan, begitu pula dengan Black Lives Matter. Apakah ketika kita bicara mengenai masalah kemanusiaan, tidak semua manusia menjadi pantas untuk bersuara?

Tentang Penulis

Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur panjang, boleh kita berpikir lagi.

(1) Komentar

  1. Malky Ginting menulis:

    Saya rasa pola pikir seperti ini tidak bisa diaplikasikan terhadap klub sepak bola. Klub sepak bola bukan sebuah organisasi politik atau organisasi sosial, tetapi dia lebih kepada sebuah bisnis. Ketika peryataan sesorang anggota Klub tersebut merugikan secara finansial atau moril bagi klub, manajeman berhak untuk menghukum atau bahkan memecat anggota Klub tersebut. Di Arsenal, Ozil adalah seorang anggota Klub, dan dia tidak lebih besar dari klub. Jadi setiap pernyataan Ozil yang bersifat pribadi sekalipun, pasti memiliki imbas terhadap klub. Maka dari itu, Ozil sudah merugikan Klub secara moril dan finansial karena pernyataanya itu.
    Secara pribadi memang Ozil tidak salah mengatakan dukungannya terhadap komunitas Uighur di Tiongkok. Tetapi ingat, dia masih terikat status sebagai pemain Arsenal. Jadi bila ingin bebas mengeluarkan pendapat, silakan tinggalkan Arsenal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *