Rerasan

Hidup Teramat Terjal, Bukan Berarti Pejal

Dalam rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati pada 10 Oktober 2020 mendatang, saya akan menuliskan pengalaman dan refleksi saya berhadapan dengan isu kesehatan mental. Pada tulisan bagian pertama ini, saya menceritakan pengalaman yang saya alami sejak dua tahun belakangan. Sementara itu, dalam bagian kedua, saya akan lebih berfokus pada refleksi dan berupaya menempatkan pengalaman — yang saya ceritakan dalam bagian pertama ini — dalam konteks yang lebih luas.

***

Est-ce que vous pourriez supporter la vie que vous avez?” Bisakah kamu menanggung hidup yang kamu punya? Begitulah pertanyaan Jacques Lacan kepada audiens yang menghadiri seminar di Catholic University of Louvain, Perancis pada 1974. Sebagai seorang psikoanalis, ia melontarkan pertanyaan tersebut dalam topik besar yang ia bicarakan kala itu: Kehidupan dan Kematian. Beruntungnya, topik termaksud pula yang dua tahun belakangan ini menghiasi hari-hari saya. Susah untuk mencerna topik itu dan tak kunjung ada habisnya, tetapi sebuah lagu yang saya dengar dalam masa tergelap dalam hidup saya menjadi momen di mana pertanyaan Lacan tadi terasa mengerikan sekaligus relevan.

Siapa yang pernah ingin bunuh diri? Pernahkah sebuah lagu menyelamatkanmu dari bunuh diri? Apabila pernah, saya dan kalian berbagi pengalaman yang sama. Untuk kali pertama pengalaman seperti ini akan saya bagi di sini. Pengalaman yang setidaknya membuat saya berpikir bahwa segelap apapun hidupmu, seberantakan apapun hidupmu, sebuah lagu dapat menarikmu untuk merasakan harapan. Hal paling naif tapi membuatmu bisa tetap hidup.

Malam itu saya duduk terdiam di kamar kos sempit berukuran sembilan meter persegi. Sebotol anggur merah sudah habis tak bersisa. Hanya tersisa sebatang rokok kretek yang menemani. Kamar itu sungguh berantakan: buku-buku terserak di atas meja dan lantai, botol-botol minuman entah yang alkohol maupun tidak juga berserakan di mana-mana. Belum lagi, debu yang belum saya bersihkan menambah kesempurnaan betapa berantakannya kamartersebut. Chaos. Asap rokok yang sedari tadi saya hembuskan menambah sesak di dada. Sudah berantakan, sesak pula. Mala, begitu istilah dalam bahasa jawa kuno untuk menggambarkan kondisi malam itu. Begitu kotor, penuh noda, cemar, dan jahat hingga tak terlihat cerahnya. Waktu itu dalam kepala saya hanya terpikir bahwa malam ini aku akan menambah awalan me di awal kata mala atau menambah petaka setelah mala. Ya, memala yang berarti bencana atau malapetaka yang kurang lebih artinya sama. Mengakhiri semuanya hingga rasa sakit itu tak bersisa.

Pelan-pelan pengalaman pahit muncul, membombardir pikiran yang sudah kalut. Sembilan bulan sebelumnya, saya ditinggal pergi oleh perempuan yang betul-betul saya cintai. Mungkin terdengar biasa saja, tetapi bagi saya momen itu menyulut ingatan-ingatan akan berbagai luka lain di masa lalu dan juga berbagai masalah yang muncul kemudian. Bukankah cinta memang begitu? Ia menawan sekaligus menyeramkan di saat bersamaan. Cinta pandai menyulut api tapi kadang hanya bergeming tak ikut memadamkan api itu. Cinta, kata Lacan, adalah tindakan memberi sesuatu yang tak kaumiliki kepada orang yang tak menginginkannya (Žižek, 2006). Menyeramkan, bukan? Cinta, dalam pandangan ini, membuat hidup teramat terjal.

Lebih menyeramkan lagi adalah tentang jatuh cinta yang ditulis oleh Neil Gaiman dalam Sandman. Begini ia menggambarkan jatuh cinta: “Pernahkah kamu jatuh cinta? Menyebalkan, bukan? Jatuh cinta membuatmu rapuh. Jatuh cinta membuka dada dan hatimu dan itu berarti seseorang dapat masuk dan membuatmu berantakan. Kamu lalu membuat berbagai macam benteng pertahanan selama bertahun-tahun dengan harapan taka da yang dapat melukaimu. Lalu, datanglah seseorang yang bodoh memasuki kehidupanmu yang juga bodoh. Kamu memberinya sekeping dirimu. Ia tak memintanya. Suatu hari dia melakukan sesuatu yang konyol seperti menciummu atau tersenyum padamu. Saat itu juga hidupmu bukanlah milikmu lagi. Cinta mennyenderamu. Cinta masuk ke dalam dirimu, memakanmu dan membiarkanmu menangis dalam gelap. Ucapan sederhana seperti ‘kita temenan aja, ya?’ berubah menjadi pecahan kaca yang menusuk hatimu. Sakit. Bukan hanya dalam imajinasi saja, bukan dalam pikiran saja, tetapi itu merusak jiwa dan badan. Kesakitan nyata yang mengoyak dirimu. Tak ada hal selain cinta yang bisa melakukan hal itu. Aku benci cinta.” Menyeramkan sekali, bukan? Rupanya, itu yang terjadi pada saya. Cinta bisa membuat orang mati! Ia membuat hidup tak berarah dan memicu hantu berupa luka-luka masa lalu lainnya muncul kembali.

Selama sembilan bulan itu pula saya begitu gontai, muak dengan semua hal yang terjadi. Tak ada kawan yang menemani, ingin bercerita pun tak mampu karena lidah terasa kelu. Saya betul-betul sendiri. Hal-hal yang selama ini saya gunakan untuk melampiaskan kesakitan: musik dan menulis, tak berguna lagi, tak manjur lagi. Dua hari sebelumnya, seorang kawan menyarankan untuk mendengarkan lagu-lagu dari Kunto Aji dan Hindia. Pop motivasi katanya. Huh. Tidak manjur. Semakin saya dengar, semakin muak saya dibuatnya. Semakin saya dengar berulang-ulang, rasanya malah ingin melempar diri sendiri ke arah bus AKAP yang melaju dengan kecepatan tinggi atau melempar diri ke jurang yang dalam.  Menulis pun terasa hampa, tak ada isinya. Rasa sakit yang tak tertahankan, kesepian yang semakin mendalam, dan berbagai himpitan, serta penat dan penuhnya pikiran membuat saya berada pada sebuah kesimpulan, yang malam itu, terasa logis: saya ingin mati saja. Ini untuk kedua kalinya saya memiliki niat jahanam seperti itu. Memang bangsat sekali malam itu. Sudah jam 3 pagi. Anggur sudah habis, rokok sudah tinggal abunya. Kegelapan sudah merangsek masuk. Saya tak melihat jalan keluar. Mala akan jadi memala atau malapetaka. Pikirku, hidup yang terjal ini rupanya juga pejal.

Namun, entah kenapa saya ingin mendengarkan musik lagi, pikir saya untuk terakhir kali. Satu lagu yang selama ini tak pernah saya dengar. Saya ingin menikmati satu lagu saja tentang sebuah harapan. Bukan pop motivasi pujaan anak-anak masa kini yang trendy dan edgy. Saya tidak mau di penghujung hidup malah mendengar lagu-lagu macam itu. Saya butuh alternatif! Saya ambil handphone dan langsung menekan aplikasi Spotify. Saya ketik “aku harap”. Random. Saya memang ingin mendengar lagu tentang harapan. Yang muncul paling atas adalah sebuah lagu yang asing bagiku. Judulnya “Aku Harap Laguku” dari AGONI, band indie asal Yogyakarta. Wah, pas betul band-nya bernama AGONI, seperti rasa sakit yang sedang  saya rasakan malam itu. Saya hanya bisa menebak-nebak akankah lagu ini memberiku sepercik harap di momen tergelap dalam hidup atau lagu ini hanya akan berakhir memuakkan seperti lagu-lagu pop motivasi yang sedang trendy itu. Tak perlu berpikir lagi, saya putar.

Alunan lembut gitar memulai lagu ini lalu diikuti suara sendu yang bersenandung “Aku harap laguku bisa menjelma jadi pijar kunang-kunang dalam gelap malammu yang tak sebenderang, semegah, dan segemerlap nyala-nyala lampu di kotamu. Tapi bisa bercahaya di dasar hatimu, merengkuh perasaan cintamu, merengkuh lara yang membebani, menggurat senyum dalam pedihmu”. Entah mengapa lirik ini menyentuh relung hati. AGONI hanya berharap dengan segala kerendahan-hati bahwa yang dinyanyikan bisa menemani jiwa-jiwa yang sedang kalut. Saya bisa merasakan dalam lirik pertama itu bahwa AGONI memiliki tujuan yang jelas dengan yang disampaikan. Tak seperti lagu-lagu pop motivasi trendi kegemaran anak-anak edgy yang seolah jadi ahli tentang kesehatan mental, lagu dari AGONI ini hanya berharap tanpa tendensi, menemani tanpa menggurui. Saya terheran-heran karena lirik pertama lagu ini pun membuat saya tak ingin segera menekan simbol stop. Berikutnya saya terlarut dalam buaian lagu ini. Persetan dengan teknik musiknya, kali ini saya hanya ingin mengalami rasa dari sebuah komposisi musik. Lalu, rasa macam apa yang kudapat? Sederhana: compassion. Niatku untuk mengakhiri hidup pelan-pelan mengendur. Ada rasa haru ketika mendengar lagu ini. Ada rasa diterima dan ditemani meski bukan dalam bentuk fisik, tapi lewat nada dan suara. Sesuai lirik lanjutannya, AGONI membuat sebuah lagu “mampu meluruhkan kebisingan yang membelenggu benakmu, emnarikmu sejanak dari riuh hidup yang menghimpitmu”. Dan bagiku, itulah compassion yang dihadirkan oleh AGONI. Compassion yang saya butuhkan terutama dalam salah satu momen tergelap dalam hidup saya.

Momen suram tersebut di kemudian hari mengingatkan saya pada salah satu adegan terindah dari seorang almarhum Robin Williams dalam film Patch Adams (1998). Adegan itu adalah ketika ia mencoba lari dari keadaan. Pacarnya mati terbunuh dan ia terancam tak bisa mendapat gelar dokter. Ia pergi ke sebuah tebing dan menyumpah-serapah, mengutuk Tuhan atas kejadian yang menimpanya dan orang terdekatnya. “Lalu sekarang apa? Apa maumu dariku? Aku bisa melakukannya. Kita sama-sama tahu bahwa aku tak mungkin berhenti. Tolong jawab aku, katakan apa yang kau lakukan padaku! Baiklah, kita lihat dengan logika sederhana. Kau menciptakan manusia. Manusia menderita karena kesakitan yang mereka alami. Manusia mati. Mungkin kau seharusnya melakukan brainstorming dulu sebelum menciptakan. Kau beristirahat di hari ketujuh. Mungkin seharusnya kau menciptakan compassion. Kau sama sekali tak berharga!”, begitulah ia menggugat Tuhan. Sejurus kemudian, ia melihat seekor kupu-kupu terbang di tebing itu. Ia lalu tersadar dan menemukan harapan. Mungkin, baginya itulah simbol harapan itu. Bagiku, simbol harapan itu ada di lagu “Aku Harap Laguku” dari AGONI. Compassion yang mereka tawarkan seperti oase di padang gurun, laksana matahari pagi yang terbit sehabis badai di malam sebelumnya. Lagu yang sebelumnya ingin saya denga terakhir kali sebelum mati justru membelokkan arah dengan menawarkan hal yang saya rasa sudah langka di zaman ini: compassion.

“Aku Harap Laguku” benar-benar menjelma menjadi sebuah nyala sinar yang terang, putih, dan suci. Mala yang tadinya kupikir akan menjadi Memala atau Malapetaka kini justru berubah awalan Wi yang dalam bahasa jawa kuno berarti tanpa. Wimala, begitulah kata itu terbentuk. Bersih, putih, tanpa noda dan cemar. Suci dan terang. Meski singkat dan mustahil untuk selalu menyala, putih, dan suci, tapi bagiku kumustahilan itu menjadi sesuatu yang perlu untuk membuatku untuk tetap hidup. AGONI menjadi Wimala yang menarik saya sejenak untuk berefleksi dan mengajari saya untuk memiliki harapan serta belajar untuk menarik pecahan kaca yang tertanam di hati. Betapa istilah yang dimaksudkan untuk menggambarkan penderitaan tak terperi, justru membuat saya memiliki peluang untuk berharap akan hidup ini. AGONI mencegah saya bunuh diri!

Lagu dari AGONI menjadi manifestasi compassion dan harapan. Bagi saya, dua hal itu saya masukkan ke dalam kategori pemaknaan kata Wimala. Dari yang awalnya Memala alias bencana kini menjadi Wimala yang bersih, tak bernoda, dan suci melalui compassion dan harapan yang ditawarkannya. Setidaknya, saya mulai memikirkan ulang tentang hidup yang terjal nan pejal. Hidup teramat terjal, tapi adanya compassion membuat hidup tak sepejal yang kubayangkan. Lalu, apakah sampai di situ saja? Tentu saja tidak. “Aku Harap Laguku” kuharap akan selamanya menjadi wimala yang menemani saya dalam menjawab pertanyaan paling esensial dalam hidup: “Est-ce que vous pourriez supporter la vie que vous avez?” Bisakah kamu menanggung hidup yang kamu punya?

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Ulasan. Suka bergosip soal musik dan mendengarkan nyanyian angin gunung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *