[Tulisan ini sebelumnya terbit dalam halaman substack Made Supriatma]
Tanggal 4 Desember nanti, Prof. James C. Scott akan dianugerahi Albert O. Hirschman Prize. Ini adalah penghargaan yang diberikan setiap dua tahun sekali kepada ilmuwan sosial yang dianggap berjasa mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Hirschman Prize diberikan oleh sebuah lembaga bernama Social Science Research Council (SSRC atau Dewan Riset Ilmu-ilmu Sosial).
Prof. James C. Scott adalah seorang ilmuwan politik. Dia adalah the Sterling Professor dalam Ilmu Politik di Universitas Yale, Amerika Serikat. Selain mengajar ilmu politik, dia adalah juga profesor di Jurusan Antropologi, di Agrarian Studies (studi agraria), di School of Forestry & Environmental Studies (kehutanan dan lingkungan) serta di Institute for Social and Policy Studies.
Dia adalah juga seorang ahli wilayah Asia Tenggara. Lokasi penelitiannya terpusat di Asia Tenggara Daratan (mainland Southeast Asia). Dia pernah melakukan riset di Burma (Myanmar), Malaysia, dan perbatasan Thailand, Laos, dan China.
Seperti banyak ilmuwan besar lainnya, James Scott tidak terpaku pada disiplin ilmunya semata. Sekalipun menggeluti ilmu politik, dia banyak memakai etnografi sebagai metode penelitiannya. Inilah yang membuatnya juga dikenal sebagai seorang ahli antropologi politik.
Memang ada resiko bagi seorang dari satu disiplin memakai metode disiplin lain. Dia sering dipandang kurang teoritik sebagai ilmuwan politik. Sebagaimana kita ketahui, ilmu politik modern lebih mengutamakan keketatan teori (theoretically parsimonious), kemampuan membuktikan secara empiris, dengan data-data silang antar-negara (cross-countries), serta klaim kemampuan untuk melakukan generalisasi.
Sementara, para antropolog pun tidak selalu menerimanya dengan tangan terbuka. Kemampuan etnografisnya dianggap rendah. Dia kurang mengulik secara mendalam subyek penelitiannya. Tidak seserius yang umumnya dilakukan para antropolog.
Namun itu tidak terlalu dipedulikan oleh James Scott. Dia terus menuliskan hasil penelitiannya dalam berbagai buku. Dan hasilnya adalah sebuah perjalanan intelektual yang kaya, yang terbentang selama lebih dari empat puluh tahun.
Saya mengenal nama James Scott pertama kali pada tahun 1980an dari sebuah bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “Moral Ekonomi Petani.” Ketika itu, saya adalah mahasiswa S1 yang sedang gandrung dan jatuh cinta dengan ilmu sosial. Menurut saya, ini adalah satu buku bahasa Inggris yang diterjemahkan sangat baik ke dalam bahasa Indonesia.
Di dalam buku ini, Scott mengulas tentang hubungan antara para petani penyakap dengan pemilik tanah. Disini saya berkenalan dengan konsep “subsistensi” atau kalau bisa saya terjemahkan secara kasar sebagai “hanya sekedar cukup.” Alias, tidak berkelebihan. Di bagian awal dari buku ini, Scott mengutip R.H. Tawney yang secara tepat menggambarkan keadaan petani subsisten: seperti orang yang berdiri di air sebatas dagu, sehingga riak air yang kecil saja sudah sanggup menenggelamkannya.
Foto: Prof. James C. Scott
Scott memperkenalkan klaim moral subsisten yang mendefinisikan hubungan antara petani penyakap dengan pemilik tanah. Dia membahas adanya ambang batas moralitas antara apa yang disebut ‘adil’ dan ‘tidak adil.’
Batas-batas moralitas ini selalu situasional. Dalam musim paceklik, tuan tanah diharapkan lebih murah hati untuk memberikan bagian kepada penggarap. Karena dalam masa paceklik hidup para petani penggarap menjadi lebih sulit dan ancaman kelaparan menjadi lebih nyata.
Adalah tidak adil, dan bahkan suatu tindak kriminal, jika para petani penyakap kelaparan namun tuan tanah masih bisa makan atau bahkan berkelimpahan. Sehingga, dalam situasi terancam (insecurity) para petani penyakap bahkan bisa mengklaim untuk tidak membayar bagi hasil sebagai bagian dari sewa tanah.
Scott akhirnya menghubungkan moral ekonomi ini dengan terjadinya pemberontakan petani dan penindasan oleh tuan tanah dengan para elit sekutunya, khususnya yang menguasai negara. Para petani akan memberontak jika batas-batas moral subsistensi ini dilanggar. Dengan kata lain, dalam persepsi petani penggarap, jika hubungannya dengan tuan tanah menjadi eksploitatif.
Dua buku dari Scott yang keluar kemudian persis mengulas masalah resistensi ini. Hanya saja, pertanyaannya menjadi lain: Mengapa para petani yang tertindas ini tidak melawan secara terbuka? Mengapa mereka jarang sekali memberontak? Mengapa mereka tidak melakukan protes, berdemonstrasi, atau menuntut ini dan itu yang membuat keluhan dan penderitaan mereka diketahui secara umum?
Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab dalam buku Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (1985) atau Senjata Kaum Lemah: Bentuk-bentuk Resistensi Sehari-hari Para Petani dan Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts atau Dominasi dan Seni Melawan: Transkripsi Tersembunyi (1990).
Dua buku ini yang mematri nama Scott dalam kancah ilmu-ilmu sosial. Buku yang pertama adalah hasil penelitiannya di Kedah, Malaysia. Scott mengamati perubahan sosial di pedesaan Malaysia akibat dari Revolusi Hijau. Kita tahu bahwa Revolusi di bidang pertanian, lewat pengenalan bibit unggul, mekanisasi, pupuk buatan, pestisida dan herbisida, telah meningkatkan produksi pertanian. Akibat efisiensi ini, tenaga kerja makin berkurang. Petani bertanah makin kaya, petani penggarap makin sengsara.
Namun mengapa tidak ada pemberontakan? Teori Scott sebelumnya mengatakan bahwa pelanggaran moral akan membuat petani memberontak.
Scott mengatakan bahwa pemberontakan terbuka tidak terjadi. Namun resistensi atau perlawanan dengan membangkang terjadi secara dalam keseharian. Ia mulai meneliti desas-desus, pembunuhan karakter kaum petani kaya, sabotase, pembakaran kebun secara diam-diam, dan lain sebagainya. Pembangkangan ini terjadi secara simbolik. Scott menyebut gerakan tanpa protes dan tanpa suara ini sebagai ‘infrapolitics.’
Pembangkangan ini tidak dilakukan secara terbuka. Itulah sebabnya dia diberi nama ‘hidden transcript’ sebagai kebalikan dari ‘public transcript.’ Taruhlah misalnya sebutan “Haji Kedekut” atau haji pemilik tanah yang kikir dan tamak. Semua tetangga membicarakannya di belakang. Diam-diam kebun tebunya dibakar atau dicuri. Air yang mengalir ke sawahnya dihentikan. Galengan sawahnya dipacul hingga sawahnya kering tak berair.
Bahkan hal yang remeh temeh bisa menjadi modus pembangkangan. Ketika si petani kaya lewat, penduduk desa menundukkan badan seakan menghormat seraya diam-diam kentut.
Foto: Prof. Scott di antara ayam-ayam peliharaannya. Dia hidup dari lahan pertanian dan peternakan yang dikelolanya sendiri. Andrew Henderson/The New York Times
Namun semua fenomena ini sesungguhnya tidak menjelaskan mengapa para petani ini tidak memberontak? Scott memberikan setidaknya dua penjelasan. Pertama adalah bekerjanya hegemoni. Kaum kaya ini berkuasa secara hegemonik. Mereka tidak saja menguasai basis material namun juga simbolik. Mereka tidak hanya menguasai tanah dan produksi padi, tetapi juga menjadi penguasa agama dan kebudayaan (perguruan pencak silat, misalnya).
Yang kedua adalah kesadaran palsu. Sebagaimana pemikiran Marxian, pemberontakan dapat dicegah ketika kaum yang tertindas gagal mengenali kondisi-kondisi obyektif yang membuat mereka menderita. Kesadaran palsu ini adalah kabut yang disebabkan oleh mitos-mitos sosial dan doktrin keagamaan. Orang dibuat menerima nasib apa adanya.
Kritik paling tajam dari pendekatan Scott ini datang dari para rasionalis. Samuel Popkin, misalnya, menulis buku yang berjudul “Rational Peasant” (Petani Rasional). Dalam buku itu Popkin menunjukkan bukti-bukti bahwa para petani penggarap pun sebenarnya adalah aktor ekonomi yang rasional. Para petani menghitung beaya-beaya ekonomi untuk melawan maupun menerima keadaan mereka.
Intinya, masyarakat petani tidak diatur oleh moral atau norma. Masyarakat diatur oleh kepentingan-kepentingan yang rasional. Dengan cara itu masyarakat mengatasi problem kolektifnya.
Perdebatan antara pendekatan moral/normative dengan pendekatan rasional ini kemudian menjadi klasik dalam ilmu-ilmu sosial.
Perjalanan akademik dan intelektual Scott selanjutnya banyak berkaitan dengan negara. Ini adalah “superstruktur” yang mengatur hidup manusia. Dalam buku “Seeing Like a State” (Tampak Seperti Negara, 1999), Scott memperlihatkan kegagalan pengaturan negara modern lewat cara-cara scientific yang cenderung terpusat. Dia bicara tentang penyeragaman yang dilakukan oleh negara sehingga membuat warga negara mudah ‘terbaca’ (legible). Ini dilakukan lewat sensus, standarisasi pengukuran dan timbangan, dan bahasa (seperti kita punya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa).
Semua proses standarisasi ini sesungguhnya membuat kemunduran dan gagal mengembangkan masyarakat. Dia memberikan banyak contoh seperti pengelolaan kehutanan atau penataan bangunan. Scott lebih mengidealkan bentuk komunitas yang beragam. Negara menghilangkan semua ini dengan penyeragaman dan sentralisasi.
Scott makin tenggelam dalam studi tentang negara dalam periode selanjutnya. Dia tidak mempelajari negara sebagai sebuah bangunan kekuasaan dan kerangka dominasi. Itu dipandang sudah melekat dengan sendirinya pada negara. Scott mempelajari negara dari perspektif pinggiran, yakni dari orang-orang yang menghindar dari kekuasaan negara.
Pada 2009, Scoot mengeluarkan karyanya The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (2009) atau Seni Untuk Tidak Diperintah: Sebuah Sejarah Anarkis di Perbukitan Asia Tenggara. Buku ini menelaah orang menelaah orang-orang yang hidup di perbukitan yang terbentang antara perbatasan Laos-Vietnam hingga ke Utara India dan berbatasan dengan China. Ini adalah daerah-daerah yang terkenal sulit diperintah.
Para penduduknya hidup bebas dari negara. Mereka menghindari negara khususnya untuk dua hal: pajak dan wajib militer (conscription). Strategi untuk menghindar dari negara inilah yang menjadi fokus penelitian Scott. Dia menunjukan bahkan pilihan makanan, dan dengan demikian pilihan jenis tanaman, adalah untuk menghindar dari negara. Suku-suku pegunungan ini juga menghindar untuk memiliki huruf yang mungkin akan mengintegrasikan mereka dengan negara.
Argumen dalam buku ini mengingatkan saya pada Saminisme yang pernah tumbuh di daerah Jawa Tengah, antara Pati ke Blora dan sekitarnya. Orang-orang Samin melakukan perlawanan terhadap negara persis dengan cara-cara seperti yang ditunjukkan Scott. Mereka menolak untuk membayar pajak. Ketika ditagih oleh administrasi pemerintah kolonial, mereka akan menggali tanah dan mengatakan, “Sedulur Sikep (sebutan mereka untuk diri mereka sendiri) hanya akan membayar pajak kepada tanah yang menghidupi mereka.” Lalu mereka menaruh uang sesuka mereka dan menanamnya.
Atau mungkin tidak terlalu tepat karena suku-suku di perbukitan daratan Asia Tenggara ini selama berabad-abad menolak untuk tunduk kepada negara. Bahkan dengan membiarkan diri mereka ‘terasing’ dan dicap ‘tidak beradab.’ Scott menerjemahkan hidup sosial mereka sebagai anarkis.
Itulah tema selanjutnya dari karya Scott yang berjudul, “Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity, and Meaningful Work and Play.” Buku ini berusaha memberikan pondasi kepada anarkisme, yang menurut Scott sangat miskin dari sisi filosofi. Namun Scott bukan seorang yang radikal dan dia bukan seorang anarkis sebagaimana anarkis itu dikenal. Dia tidak mengharuskan penghapusan negara sebagaimana anarkis pada umumnya. Dia cenderung tidak mempedulikan negara dengan kekuasaannya.
Tidak heran jika dia dikritik oleh kalangan para ahli teori Kiri. Tuduhan terhadapnya adalah bahwa dia adalah anarkis yang berbulu liberal. Sebaliknya di kalangan Kanan menyambut buku tipis ini dengan baik. Bahkan The Cato Institute, sebuah think tankyang berpandangan libertarian mengabdikan satu volume jurnal untuk membahas pikiran Scott ini.
Dalam buku ini Scott memberikan banyak fragmen tentang bagaimana anarkisme dijalankan dalam hidup sehari-hari dalam melawan para elit teknokratis.
Apakah Scott seorang Anarkis atau seorang Libertarian? Dalam interview dengan The New York Times, dia mengatakan dirinya adalah seorang ‘crude Marxist’ atau Marxis mentahan. Baik anarkis maupun libertarian sama-sama memusuhi negara. Namun, menurut saya, ada perbedaan mendasar antara libertarianisme dan anarkisme (setidaknya dalam versi James Scott).
Anarkisme, menurut definisi sederhana dari Proudhon seperti yang dikutip oleh Scott adalah ‘kerjasama tanpa hirarki atau aturan negara.’ Sementara libertarianisme lebih menekankan pada otonomi dan kemaksimalan kebebasan individu. Penekanan libertarianisme adalah pada kebebasan untuk memilih, kebebasan untuk berkumpul/tidak berkumpul, individualisme, dan kesukarelaan untuk berasosiasi.
Prinsip dasar libertarianisme adalah kebebasan dan kemerdekaan individu yang absolut. Sebaliknya anarkisme memang mengakui kemerdekaan manusia namun masih percaya bahwa manusia juga bisa bekerjasama dan menciptakan aturan bersama dalam skala terbatas seperti misalnya di tingkat komunitas.
Menurut saya, anarkisme dari Scott ini tidak lebih dari pengembangan tesisnya tentang pembangkangan yang dilakukan oleh para petani dan suku-suku perbukitan yang telah ditelitinya. Hanya saja, kali ini dia lebih memperhatikan dinamika masyarakat di berbagai negara, khususnya di Amerika. Dia memperlihatkan bahwa anti-hirarki dan anti-negara itu sangat hidup dalam keseharian manusia.
Karya terakhir dari Scott adalah “Against The Grain: A Deep History of the Earliest States”(2017). Di sini Scott membahas tema perkembangan peradaban manusia yang mengiringi tumbuhnya negara. Scott menganalisis periode panjang sejarah bagaimana manusia mengumpulkan makanan, mengorganisasi masyarakat, dan kemudian membentuk organisasi negara. Proses ini dilakukan tidak dengan cara beradab (civilized) melainkan dengan sangat barbar menurut standar masa kini. Penyediaan makanan juga sangat terkait dengan dominasi.
Perjalanan intelektual dan akademis Scott sangat panjang. Namun selalu saja satu tema besar muncul dari setiap karyanya. Menurut saya, itu adalah dominasi dan bagaimana resistensi terhadapnya. Scott selalu menunjukkan ruang untuk melakukan resistensi. Seringkali itu tidak dilakukan secara terbuka dan konfrontatif. Ia biasa dilakukan secara anonim dan dalam kegelapan.
Semakin dalam saya menyelami pemikiran-pemikiran James C. Scott, semakin saya bertanya, apakah ada perubahan yang muncul dari perlawanan-perlawanan semacam itu? Jika iya, perubahan macam apa itu? Apakah resistensi sehari-hari tidak justru melakukan sabotase terhadap masyarakat itu sendiri?
Bagaimana pun juga, saya berhutang secara intelektual kepada Prof. Scott. Buku-bukunya membuka pikiran saya pada banyak hal. Tidak saja dia menerangkan pola-pola dominasi dalam masyarakat namun juga resistensi terhadapnya.
Scott tidak saja berpikir secara teoritik. Dia juga menjalani secara langsung hidupnya yang ‘anarkis’ itu. Dia hidup dari hasil yang ditanam dan dibesarkannya sendiri di sebuah lahan pertanian dan peternakan miliknya di Durham, Connecticut. Dia membangun koperasi dengan beberapa petani lokal dan ikut membangun ekonomi lokal. Saya kira, tidak banyak ilmuwan sosial yang punya kemampuan seperti ini. ***
