Teori

Sejarah Psikologi Sosial/Psikologi Sosial Kesejarahan

Sebagaimana disinggung pada tulisan sebelumnya, apa yang disebut sebagai Psikologi Sosial memiliki keragaman epistemologis, moralitas, dan politik. Secara khusus, tulisan ini menunjukkan bagaimana untuk melakukan kajian Psikologi Sosial yang mengedepankan posisionalitas (keberpihakan) seorang peneliti. Peneliti perlu memiliki sebuah angan atau cita-cita mengenai apa yang mau dicapai atau ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk memahami bagaimana posisionalitas tersebut berlangsung, kita akan melihat bagaimana Psikologi Sosial selama ini dipraktikkan — yakni lewat sejarahnya.

Sejarah Psikologi Sosial

Apabila merujuk pada definisi umum Psikologi Sosial dalam tulisan sebelumnya, yakni ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam konteks sosial (Gough, 2017) atau ilmu yang berupaya menjelaskan bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku dipengaruhi interaksi antar-orang (Bandawe, 2010), maka dapat dipastikan bahwa sejarah Psikologi Sosial sebetulnya lebih tua dari ilmu Psikologi. Kruglanski dan Strobe (2011) menyatakan bahwa Psikologi Sosial berambisi untuk secara sistematis dan formal mengukur pikiran, perasaan, dan perilaku manusia.

Pada tahun 1860, terbit sebuah jurnal bernama Volkerpsychologie (folk psychology). Sembilan belas tahun sesudahnya, yakni tahun 1879, Wilhelm Wundt mendirikan sebuah laboratorium yang sampai kini dijadikan sebagai acuan kelahiran ilmu Psikologi. Menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terbit beberapa tulisan yang berbicara soal Psikologi sosial, namun karena tidak terbit di Inggris yang kala itu dianggap sebagai pusat keilmuan, maka bahasan mengenai Psikologi Sosial baru diakui hadir ketika ada beberapa penulis Inggris menerbitkan tulisan-tulisannya pada 1908 (McDougall, 1908/2003; Ross, 1908/1974).

Topik yang dikaji dalam Psikologi Sosial merentang dari yang awalnya persoalan perang hingga menjadi amat beragam hingga hari ini. Holocaust memicu perdebatan sengit terkait bagaimana mungkin kekejian tersbeut bisa berlangsung. Pasca-tragedi tersebut, topik dalam Psikologi Sosial berisi seputar ketaatan yang ekstrem (Sherif, 1936; Asch, 1952; Haney, Banks, & Zimbardo, 1973). Pada tahun 1970an, mulai muncul topik mengenai agresi yang diinisiatori Leonard Berkowitz (1974). Selain agresi, pada masa itu berkembang pula perilaku antar-kelompok dan diskriminasi. Kemudian, topik-topik baru bermunculan seperti sikap dan persuasi dengan pendekatan kognitif. Cara pandang kognitif ini kemudian mendominasi bidang Psikologi Sosial. Teori yang sangat populer adalah cognitive dissonance theory yang digagas Festinger (1957) yang kira-kira mengatakan bahwa apabila kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita pegang, maka akan muncul perasaan tidak nyaman.

Pendekatan kognitif dalam Psikologi Sosial disatukan dalam satu istilah yang disebut kognisi sosial (social cognition) atau sebuah pemahaman mengenai bagaimana pengetahuan kita terkait dunia sosial dibangun lewat pengalaman dan pengaruh struktur pengetahuan kita dalam memori, pemrosesan informasi, sikap, dan penilaian (judgement). Dalam perkembangannya hingga hari ini, pendekatan kognitif ini kemudian merambah hingga neurosains sosial yang mengatakan bahwa perilaku sosial kita memengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas di otak kita (Lieberman, 2010). Pendekatan neurosains tergolong evolusioner dalam arti pendekatannya lebih berfokus pada peran faktor genetis dalam perilaku manusia. Pendekatan psikologi evolusioner ini, sayangnya, tidak berhasil memotret bagaimana ekosistem seseorang (context-bound). Sebagai contoh, mengapa tipe laki-laki atau perempuan idaman bisa berubah dari masa ke masa (fluidity) tergantung konteks masanya? Implikasinya, persolan subyektivitas tidak terlampau diakui dan kecenderungan interpretatif begitu minim dalam Psikologi Sosial.

Kajian awal yang sangat terkenal adalah tulisan Kurt Lewin yang merumuskan perilaku sebagai hasil fungsi (f) dari individu (P) dengan lingkungan (E); atau dirumuskan sebagai B = f(P,E). Lewin melakukan penelitian eksperimen terkait dengan gaya kepemimpinan otoritarian, demokratis dan laissez-faire. Kajian yang dianggap lebih kritis adalah digagas oleh Institute of Social Research (Institut für Sozialforschung) dengan tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan psikolog sosial Erich Fromm – dikenal dengan Mazhab Frankfurt. Meskipun demikian, tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt cenderung kurang populer karena penelitian Psikologi pada masa setelah perang cenderung menghendaki kontrol atas agresivitas dan ketamakan manusia. Sementara itu, Mazhab Frankfurt lebih mengarahkan pada ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung bersifat interpretatif.

Kecenderungan interpretatif ini dianggap tidak terlalu obyektif sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan adalah pendekatan sebagaimana dilakukan oleh ilmu alam, memisahkan obyek penelitian dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penelitian eksperimen yang didominasi oleh pemikir dari Amerika Utara menjadi tren dalam Psikologi; misalnya gagasan Stanley Milgram (1963) yang menjelaskan mengenai perilaku perang disebabkan oleh ketaatan buta terhadap otoritas. Persoalannya, eksperimen mencerabut manusia dari konteks hidupnya.

Pada masa 1960-1970, mulai bermunculan kritik terhadap Psikologi Sosial yang dianggap reduksionis dan positivistik. Terkait dengan reduksionis, kita bisa mengambil contoh mengenai seseorang yang diberi coklat ketika valentine akan merasa senang. Padahal, masih dibutuhkan penjelasan lebih jauh mengenai siapa yang memberi atau mengapa ia bisa merasa senang. Artinya ada norma atau kondisi tertentu yang memungkinkan orang tersebut akan merasa senang. Sementara itu, positivistik bisa dipahami dalam kerangka bahwa teori atau temuan dalam Psikologi Sosial dianggap sebagai sesuatu yang menciptakan pengetahuan yang kaku dan beku. Misalnya saja, dalam paradigma Psikologi Sosial konservatif, apabila ada sebuah peraturan akan menciptakan perilaku, maka pelanggaran tidak akan terjadi. Lalu, bagaimana kita dapat menjelaskan mengapa ada orang yang melanggar lampu lalu-lintas? Apakah pelanggar lalu lintas di Yogyakarta atau Jakarta memiliki cara berpikir yang sama dengan pelanggar lalu lintas di Medan? Dari mana asalnya hasrat untuk melakukan pelanggaran tersebut?

Setelah tahun 1970an, pengembangan perspektif kebudayaan dan sosial semakin diperhatikan dalam Psikologi Sosial. Di tengah sebuah masyarakat dengan ragam karakteristik, pemahaman kontekstual mengenai mengapa sebuah perilaku bisa terjadi semakin dibutuhkan. Maka, pada masa kini bahasan mengenai tema identitas sosial atau representasi sosial menjadi semakin banyak dibahas dalam keilmuan Psikologi Sosial. Pembahasan tersebut kemudian diperumit dengan pertanyaan, untuk siapa Anda melakukan penelitian Psikologi Sosial? Apakah sekadar untuk kepuasan intelektual atau untuk sebuah perubahan sosial? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada model Psikologi yang transformatif. Model Psikologi transformatif ini berhadap-hadapan dengan Psikologi Sosial yang cenderung dipraktikkan untuk menciptakan keteraturan. Kedua model tersebut menciptakan tegangan dalam keilmuan Psikologi Sosial. Singkat kata: tengah terjadi sebuah gerakan dari dalam tubuh Psikologi (Fox & Prilleltensky, 1997; Tuffin, 2005; Parker, 2015).

Kritik paling banyak adalah soal isu terkait kekuasaan terhadap pengetahuan yang amat jarang dibahas dalam tradisi Psikologi. Psikologi mendaku diri sebagai sebuah ilmu yang bebas nilai, netral, dan demikian tidak memiliki agenda politik dalam disiplin keilmuannya. Kenaifan politik ini membangun semangat nir-perubahan dalam tradisi keilmuan Psikologi. Dengan demikian, Psikologi hanya akan menjadi pelayan bagi kelas atau komunitas tertentu yang ditempatkan “beruntung”. Kita dapat menunjuk komunitas yang tidak diuntungkan sebagai: buruh migran, ras tersingkir, kaum difabel, LGBTQ, kaum miskin (kota), penyintas politik, kaum lanjut usia (lansia) atau perempuan.

Sekalipun demikian, tren bebas nilai yang diusung tipe Psikologi Sosial tertentu seringkali abai dengan implikasi dalam praktik hidup manusia. Pernah pada tahun 1735, seorang ilmuwan Swedia, Carl von Linne, membuat kategori manusia berdasar warna kulit. Orang dengan kulit warna merah, misalnya orang Indian Amerika, dikatakannya sebagai orang yang yang hidupnya ditentukan oleh adat, sehingga dalam taraf tertentu bukan orang yang bebas. Lalu ketegori kedua adalah kulit kuning, yang ia gunakan untuk menyebut orang Asia. Linne mengatakan bahwa jenis ini memiliki watak yang arogan, rakus, tamak, dan cerewet. Jenis ketiga adalah orang berkulit hitam (Afrika) yang cenderung bersifat licik, lamban, dan ceroboh. Sementara itu, dapat ditebak, dari kalangan Linne sendiri yang adalah berkulit putih, memiliki sifat yang teliti, tekun, semangat tinggi, optimis, kreatif, dan taat aturan. Dengan demikian, Linne menggunakan kategori fisik untuk menggambarkan Psikologi seseorang. Intinya, golongan Linne adalah manusia dengan kelas yang lebih baik dibandingkan dengan golongan lain, tentu saja dengan kualitas nenek moyang yang berbeda pula. Temuan dan kategorisasi yang diciptakan Linne tersebut kini kita kenal dengan istilah scientific racism.

Apabila temuan Linne tersebut diakui secara akademis sampai saat ini, bayangkan apa yang terjadi. Apakah setiap kulit berwarna akan mendapatkan akses pekerjaan yang sama dengan kulit putih? Atau justru ras kulit berwarna akan punah dan digantikan oleh semua ras kulit putih, sebagaimana sindrom yang terjadi dalam Nazi atau kasus Melanesia? Beruntung bahwa kemudian ada teori evolusi Darwin yang pada awal abad ke-20 menyatakan bahwa semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yakni kera. Temuan Darwin ini memberi kesadaran bahwa sebuah ilmu dapat digunakan untuk melegitimasi kekuasaan dan pengetahuan. Dengan adanya ilmu tandingan dan sifat politis dari sebuah ilmu, maka kehidupan keilmuan baru akan bergerak.

Fox dan Prilleltensky (1997) menyatakan ilmu mustinya menggantikan kenaifan politik dengan kesadaran politik. Karenanya, tujuannya musti menyelidiki kaitan antara Psikologi dengan norma, kondisi, dan struktur sosial yang menguntungkan mereka yang memiliki kekuasaan dan mengancam mereka yang yang lemah. Bentuk-bentuk scientific racism sebagaimana dipraktikkan oleh Linne merupakan contoh bagaimana sebuah ilmu bukannya membebaskan manusia, tetapi justru semakin membelenggunya dengan menjadi otoritas yang menjustifikasi berlangsungnya perbudakan dan kolonialisme.

Belenggu keilmuan terseubt hanya mungkin terjadi apabila ada proses reproduksi pengetahuan. Menurut Wexler (1996), Psikologi Sosial hanya sekadar mengulang-ulang apa yang terjadi pada abad ke-18 dengan mengabaikan potensi perubahan sosial. Tidak sedikit praktisi yang berusaha untuk memprediksi perilaku berdasarkan pada temuan laboratorium atau eksperimentasinya. Pengulangan ini merupakan ekses dari waham kebesaran ilmu Psikologi yang berintensi untuk menghasilkan teori yang berlaku umum (universal) dengan harapan teorinya tersebut mampu memecahkan segala persoalan di muka bumi. Justru, karena kehendak untuk menciptakan teori yang universal malah meminggirkan apa yang tidak ideal (confirmation bias). Dengan intensi tersebut, pemahaman konteks menjadi terpinggirkan.

Kalau tidak meminggirkan soal konteks dan berpegang pada universalitas ilmu, maka proses reduksi pemahaman juga seringkali terjadi. Ambil saja contoh kasus perubahan nama Ahok menjadi BTP yang dilihat sebagai rekonsiliasi politik (Yustisia, 2019). Yustisia (2019) mengkaitkan keputusan BTP ini merupakan upaya pembentukan common-group identity. Dalam kenyataannya, kasus perubahan nama Ahok merupakan sebuah sejarah yang panjang nan-kompleks. Penggantian nama ini bisa jadi harus dipahami dalam logika atau konvensi kekuasaan yang mengandaikan bahwa “mayoritas” melindungi “minoritas”, dan sebaliknya “minoritas” harus menghormati “mayoritas”. Padahal, sejarah identitas ketionghoaan di Indonesia mengambil peran besar dalam menjawab mengapa Ahok bisa disingkirkan dalam keberlangsungan politik rasial.

Dengan kompleksitas dan logika yang terbangun dalam masyarakat, mau tidak mau Psikologi harus melihat bagaimana konteks politik, sejarah, budaya, ekonomi, maupun bahasa yang memiliki kontribusi dalam menentukan bagaimana sebuah kasus dipandang. Bukan hanya sekadar perubahan nama BTP, tetapi juga pada bagaimana Islam menjadi identitas mayoritas yang merasa terancam (Sidel, 2006) atau the inferior majority. Dengan kata lain, kedua identitas sama-sama mendapatkan unsur ancaman. Perasaan terancam inilah yang memungkinkan konflik berlangsung.

Sebelum kita melanjutkan pada bagaimana Psikologi Sosial mengalami pergulatan di dalamnya, pertama-tama kita perlu memahami gagasan Tuffin (2005) yang mengatakan bahwa banyaknya orang yang mempraktikkan Psikologi sama dengan banyaknya jumlah manusia di bumi. Meskipun demikian, para praktisi ini melakukan kajian Psikologi Sosial dengan akal sehat semata. Tidak ada proses disiplin seperti data, teori, dan metode yang digunakan secara teliti dalam praktik tersebut. Yang terjadi adalah pengulangan teori tetapi miskin data. Oleh karena itu, dalam perjalanannya, Psikologi Eksperimen dianggap sebagai kajian Psikologi Sosial yang tidak semata akal sehat, melainkan ada proses saintifik di dalamnya. Meskipun demikian, dalam perjalanannya, Psikologi Sosial yang didasarkan pada eksperimen kemudian menuai kritik karena sifatnya yang dalam ruang rekayasa menjauhkan dari keterkaitan dengan konteks sosial.

Psikologi Sosial dan Kekecewaan-Kekecewaannya

Dalam terminologi ilmu sosial, dikenal istilah Copernican Revolution (atau Copernican Shift). Setidaknya, Žižek (2006) menyebutkan ada tiga pergeseran Copernican yang terjadi dalam dunia sains. Pertama adalah perubahan dari geosentris menjadi heliosentris, dari bumi sebagai pusat tata surya menjadi matahari sebagai pusat tata surya. Kedua adalah temuan Charles Darwin yang menemukan bahwa manusia merupakan bentuk evolusi dari kera, yang berarti mendekonstruksi tempat manusia yang dianggap mulia di antara makhluk-makhluk lain. Terakhir adalah temuan Freud yang menyatakan bahwa kehidupan psikis manusia digerakkan oleh ketidaksadaran, padahal semenjak abad ke-16, temuan Descartes melingkupi cara berpikir keilmuan yang mendominasi setiap disiplin hingga hari ini. Freud jelas mengatakan: ego tidak mendiami rumahnya sendiri.

Perspektif yang disebut sebagai decentred subject, atau subyek dijadikan bukan sepenuhnya pusat, diperdebatkan lama sejak berdirinya Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pada abad ke-19. Dalam materi “hubungan” (relationships) di buku teks Psikologi Sosial, setidaknya kita bisa menemukan tegangan antara bagaimana manusia dipahami dalam kondisi sosial atau psikologis (misalnya dalam Branscpmbe & Baron, 2017). Pemisahan antara dua pendekatan ini kemudian menciptakan demarkasi dalam  memahami manusia. Pemahaman pertama yang berkiblat pada yang psikologis, menciptakan psychological-centered (PC). PC lebih menitikberatkan pada proses psikologi seseorang sebagai sebuah fenomena utama (Ross, 1908). Dengan demikian, konteks sosial tercipta dalam pengertian bahwa individu yang menciptakan konteks tersebut (McDougall, 1908). Sementara itu pada pendekatan kedua atau yang biasa disebut sebagai socio-centered (SC), menempatkan manusia sebagai subyek yang berkembang di bawah pengaruh besar produk, struktur, dan peran konteks sosiokultural yang kemudian menentukan proses psikologisnya.

Kedua pendekatan tersebut berimplikasi pada konsepsi hirarkis dalam mendekati manusia (Watts, 2017). PC berangkat dari individu untuk memahami bagaimana fenomena sosial terjadi. Maka dari itu, fenomena sosial merupakan efek dari hubungan antar-individu. SC sendiri lebih berfokus pada bagaimana kondisi sosial membentuk manusianya. Oleh karena itu, manusia merupakan efek dari sosio-kulturalnya yang berubah. Dalam perkembangannya, PC lebih mendominasi cara berpikir Psikologi Sosial, karena itu penelitian laboratorium menjadi tema-tema yang dengan mudah diterima untuk menggambarkan model dalam Psikologi Sosial. Namun, penelitian laboratorium diandaikan tidak mampu menangkap relasi-relasi yang natural yang mana tidak pernah netral dalam praktik kesehariannya.

Sebagai contoh adalah eksperimen terkenal dari Stanley Milgram (1963) soal kepatuhan buta. Dalam eksperimennya, Milgram mengumpulkan para mahasiswa yang bersedia menjadi relawan/subyek eksperimen. Ia kemudian mempertemukan para relawan dengan orang lain (orang upahan Milgram). Dalam eksperimen ini, masing-masing mahasiswa dan orang upahan Milgram dipertemukan dan diminta untuk mengambil kertas— yang tanpa sepengetahuan mahasiswa — semuanya diisi tulisan “guru”. Dengan manipulasi tersebut, orang upahan berperan menjadi “murid” dan mahasiswa sebagai “guru”. Mereka kemudian ditempatkan pada ruang terpisah, tugas guru adalah memberi pertanyaan dan menghukum murid dengan tegangan listrik apabila salah menjawab pertanyaan. Namun, mahasiswa yang berperan sebagai guru tidak diberi tahu bahwa tegangan listrik tersebut hanyalah pura-pura.

Pada mulanya, kesalahan menjawab akan diganti dengan hukuman 15 volt. Apabila terjadi kesalahan jawab lagi, hukuman akan ditambah sebesar 30 volt dan seterusnya sampai pada taraf 450 volt. Dari eksperimen ini ditemukan bahwa guru terus mematuhi perintah Milgram untuk memberikan hukuman sampai tegangan 450 volt – yang sekali lagi adalah pura-pura. Para murid berakting seakan-akan ia betulan kena tegangan listrik dan menjerit sampai meminta ampun. Dari temuan ini, Milgram menyimpulkan bahwa sebagian besar manusia akan taat pada perintah otoritas.

Sekalipun demikian, kita patut meragukan eksperimen ini atas beberapa kasus di luar kondisi eksperimen. Revolusi Prancis (1789), Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949), atau Reformasi (1998) menunjukkan bahwa perintah otoritas tidak lagi bisa dipenuhi dalam kondisi perkecualian (state of exception). Kondisi ini bukan melulu sesuatu yang besar atau agung, misalnya apabila guru dan murid saling kenal, maka yang terjadi adalah penolakan terhadap perintah untuk melakukan hukuman. Dalam beberapa kasus eksperimen lanjutan, guru menolak untuk melakukan hukuman sekalipun ia tak kenal dengan muridnya. Ini menunjukkan bahwa bukan persoalan kepatuhan buta, melainkan lebih pada keyakinan para guru bahwa mereka berkontribusi sebagai penyebab terjadinya hal buruk di situasi tersebut. Jadi dalam ruang laboratorium Milgram, terjadi kedangkalan dalam memahami kehidupan sosial. Eksperimen tersebut menempatkan manusia dan perilakunya selayaknya bola biliard yang kena bola lain. Karena bola putih mengenai bola nomor 4, maka terjadi perpindahan bola. Lebih jauh lagi, sebuah penelitian Psikologi Sosial mestinya mempertimbangkan soal perpindahan macam apa yang terjadi. Apakah bergerak ke kanan atau ke kiri, kalau ke kiri berapa derajat sudutnya serta kekuatan lentingnya. Singkat kata, diperlukan pengetahuan mengenai latar budaya dengan nilai-nilainya, proses interaksi atau komunikasi orang-orang, maupun dasar motivasi orang saat berhubungan.

Namun, mengapa kritik-kritik ini jarang terdengar atau tertulis dalam buku teks Psikologi Sosial? Misalnya saja dalam Branscombe dan Baron (2017) yang menjelaskan mengenai bagaimana seseorang di bawah pengaruh kepatuhan terhadap otoritas dan kemudian bagaimana cara mereka menghindarinya. Dalam tulisan tersebut, Branscombe dan Baron (2017) tidak sedikitpun melihat kecacatan saintifik mengenai validitas ekologis di luar kondisi laboratorium. Alasan kenapa tidak tercatat, tampaknya bisa dipahami dengan mudah, yakni perkara bias konfirmasi (confirmation bias). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan manusia untuk berpikir berdasar akal sehat semata, segala sesuatu yang sesuai dengan tujuan atau temuannya akan lebih tercatat daripada sesuatu yang dianggap menyimpang dari temuannya. Jadi, apabila kita hendak menunjukkan bahwa ada kepatuhan dalam sebuah eksperimen, maka hasil di luar ekspektasi dalam eksperimen bisa dikesampingkan. Ada pula yang menyebut bias konfirmasi ini sebagai self-fullfilling prophecy atau sifat profetik dalam pemenuhan ekspektasi dari si peneliti. Tuffin (2005) mencontohkan dengan penelitian Rosenthal dan Jacobson (1968) yang meneliti tingkat IQ anak-anak dengan memilih subyek yang punya potensi untuk berkembang. Pada akhir masa sekolah, dilakukan tes IQ terhadap para subyek dan dihasilkan tepat bahwa anak-anak ini mengalami peningkatan IQ.

***

Apabila kita hanya berfokus pada PC, maka dengan mudah kita akan terjerembab dalam kesalahan membidik. Kesalahan membidik ini dapat berakibat fatal. Salah satu kesalahan ini bahkan sampai saat ini masih terus direproduksi misalnya dalam buku Dr. Kartini Kartono berjudul “Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja” yang pada tahun 2014 lalu telah dicetak sampai 13 edisi. Dalam buku ini digambarkan remaja sebagai masa yang penuh pergolakan dan bahkan menjadi patologi sosial. Kenakalan remaja menjadi “produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber dan adolesens”. Meskipun Kartono (2014) menyatakan bahwa ini persoalan pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi si anak dan diatasi dengan cara-cara psikologi komunitas, tetapi patologisasi remaja tetap berlangsung. Remaja seakan-akan menjadi tahap perkembangan yang layak untuk diberadabkan, padahal tidak semua remaja mengalami delinkuen tersebut. Seakan-akan, kita memisahkan obyek penelitian dengan konteks lingkungan di mana ia hidup.

Ada sebuah humor yang tepat untuk mengambarkan kekeliruan dalam cara memandang lewat eksperimen ini. Pada suatu hari, seorang ateis pergi ke tengah hutan, tak ada orang lain selain ia dan makhluk-makhluk di dalam hutan. Tak diketahuinya, seekor harimau mengendus langkah dan gerak sang ateis. Si ateis pun kemudian dihadang si harimau yang telah seminggu tidak makan. Saking takutnya, si ateis berlutut dan berdoa, “Tuhan Yesus Kristus, aku tahu bahwa aku orang berdosa yang tak lagi percaya padamu. Tapi kumohon sekali ini saja supaya hidupku tidak berakhir sial dalam perut harimau ini. Jadikanlah ia makhluk yang kristiani.” Tiba-tiba saja si harimau, duduk dan menirukan gerakan seperti orang berdoa. Harimau tersebut kemudian mendaraskan “Bapa Kami yang ada si surga, jadilah kehendakmu…. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami.” Sama seperti si ateis yang berharap bahwa harimau tidak memakannya, maka peneliti dengan self-fullfilling prophecy berpikir demikian, tetapibukan apa yang diharapkannya yang kemudian terjadi. Kesimpulan kemudian seakan-akan bisa diubah dengan si harimau yang tidak bersedia memakannya, sehingga apa yang dipikirkannya terrealisasi.

Oleh karena itu, guna memahami pendekatan yang sifatnya Copernican shift dan menghindari kekeliruan berpikir, para ilmuwan Psikologi memperluas bidang kajian dengan mempertimbangkan bahwa perilaku sosial mungkin terjadi dengan adanya faktor makro (Bronfrenbrenner, 1979; Ratner, 2006). Misalnya, diskriminasi dan kondisi hidup miskin mengarahkan seorang anak menjadi rendah diri, fatalis, motivasi akademik yang rendah, ekspresi verbal tidak variatif, dan memberontak terhadap otoritas di sekolah. Tugas Psikologi Sosial bukan lagi sekadar bagaimana memahami perilaku dan mental orang yang miskin, difabel, LGBT, minoritas atau masyarakat tersingkir lainnya, melainkan memahami kondisi macam apa yang memungkinkan terjadinya pemiskinan, inferiorisasi, atau penyingkiran.

Dalam sebuah penelitiannya, Ratner dan El-Badwi (2011) membuat psikografi seorang berusia 25 tahun yang cenderung obsesif kompulsif. Orang ini bernama Faisal dan menjadi seorang homoseksual pasif sejak usia 11 tahun. Mengapa ia menjadi seorang homoseksual pasif? Sejak kecil, ia dididik dalam sebuah keluarga yang amat patriarkis. Ayahnya memperlakukan ibunya semena-mena dan menyebabkan posisinya menjadi tanpa kuasa (powerless). Setelah kumpul kebo pertama di usia 11, ia menjadi merasa sangat bersalah dan seringkali berdoa secara kompulsif. Kepasifannya muncul karena melihat ibunya yang didominasi oleh ayahnya yang otoriter. Bahkan, ia dipaksa menikah oleh ayahnya secara heteronormatif dan pernikahannya tidak bertahan lama. Sementara itu, dalam tradisi religiusnya, ia diajarkan untuk rutin berdoa. Lewat doa ini, ia harus berkata jujur dengan Tuhannya yang menyebabkannya semakin membesarkan rasa bersalah dan berujung pada obsesi. Dilihat dari faktor sosio-kultural, maka kecenderungan obsesif kompulsif ini tidak diciptakan oleh Faisal, melainkan lingkungan sosialnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gejala pemusatan pada individu (PC) berpotensi memperpanjang bias dalam penelitian yang terus direproduksi. Maka dari itu, apabila muncul pertanyaan Psikologi Sosial seperti apa yang mesti dikembangkan? Berdasar pada Copernican Shift, kita dapat memulai kajian Psikologi Sosial yang fokusnya adalah soal konteks sosial, yang didorong karena mainstream psychology cenderung mereduksi penjelasan terbatas pada level individu. The most we can hope for here is to fail better!

Psikologi Sosial Di Indonesia

Apa yang disebut sebagai Psikologi di Indonesia, pertama kali dikenal berbarengan dengan munculnya bidang tersebut di Universitas Indonesia pada awal 1960an – tepat saat Psikologi Eksperimen di Amerika Utara juga tengah berkembang. Meskipun demikian, pada masa Hindia-Belanda, khususnya di awal abad ke-20, disiplin serupa yang berusaha memahami perilaku sosial telah digagas oleh para dokter kolonial (Pols, 2019). Pada masa kolonial, sebagaimana dicatat Hans Pols, pemahaman akan Psikologi orang-orang di tanah jajahan digunakan untuk menempatkan para kaum terjajah sebagai manusia jenis kedua dalam struktur kolonial. Mereka digambarkan sebagai orang yang belum matang secara emosional sehingga dalam kehidupan sosial perlu untuk diberadabkan (civilized).

Sebagai contoh adalah penggambaran mitologis mengenai naga atau seorang tokoh. Dalam dongeng Eropa, naga ditampilkan dengan kepala dua atau tiga. Sementara itu, di Hindia-Belanda, naga digambarkan berkepala seribu. Hal ini senada dengan penggambaran sosok mitologis Rahwana yang dikisahkan memiliki sepuluh kepala. Menurut pendapat Travaglino, seorang psikiater kolonial, figur-figur fiktif tersebut menunjukkan bahwa orang Hindia-Belanda memiliki imajinasi serta emosionalitas yang aktif dan kuat. Imajinasi tersebut dibaca oleh Travaglino sebagai sebuah sifat infantil (kekanak-kanakan), naluri dan emosi yang mendahului nalar, sehingga tidak berkembang secara moral. Dengan pembacaan ini, Travaglino menunjukkan bahwa mental “bawaan” orang Eropa dengan orang Hindia-Belanda sudah berbeda (polimorfisme) sejak dilahirkan (Pols, 2019). Kekeliruan ini mungkin terjadi akibat cara berpikir Travaglino yang sama sekali tidak historis dan menetralkan dengan cara menaturalkan sebuah fenomena. Psikiatri kolonial cenderung ambil posisi untuk keuntungan pemerintah kolonial dan melegitimasi kolonialisasi untuk terus berlanjut.

Pendapat P.H.M. Travaglino terkait masyarakat pribumi yang kekanak-kanakan diteruskan oleh pendapat F.H. van Loon pada tahun 1920an yang juga menunjukkan bahwa pikiran orang Melayu itu kekanak-kanakan karenanya “keberhasilan mereka yang luar biasa dalam belajar bahasa, mengadopsi teknologi, dan pengetahuan Barat menunjukkan tidak adanya kapassitas intelektual yang kuat, tetapi sekadar kemampuan meniru yang hebat.”

Pendapat van Loon ini menuai kritik dari kalangan intelektual Hindia-Belanda yang menyetujui politik Etis seperti H. Bervoets yang mengatakan bahwa gagasan van Loon hanyalah karateristik negatif dari masyarakat Melayu. Karakteristik tersebut tidak tepat dalam mengambarkan alam psikologis orang Melayu. Intelektual lain berpendapat bahwa orang Melayu juga memiliki karakteristik setia, ramah-tamah, spiritualitas, dan memiliki daya tahan yang baik. Bagi seorang intelektual Batak, Alinoeddin Enda Boemi, pendapat van Loon terlalu keblinger. Ia melakukan generalisasi yang menyesatkan. Protes dari kalangan intelektual, yang kebanyakan adalah dokter Indonesia, memiliki kesimpulan sebagaimana kasus psikiatri kolonial di Afrika yang mana kekuatan kedokteran kolonial terletak pada kemampuan menjelaskan kondisi masyarakat yang “dinaturalisasi” dan dipatologisasi (Vaughan, 1991).

Sekitar 45 tahun setelah gagasan kontroversial van Loon yang penuh kritik ini, peran psikolog kembali hadir dalam sejarah buruk Indonesia merdeka. Pada masa pembantaian 1965, Amriel (2015) menyebutkan bahwa pengklasifikasian tahanan yang dianggap PKI — nama partai yang kemudian dipersonalisasikan — dilegitimasi oleh para psikolog ke dalam kategori A, B, dan C. Amriel (2015) menuliskan bahwa “Mereka yang termasuk dalam kategori A dianggap memiliki keterlibatan langsung dengan PKI dan menjalani eksekusi mati. Kategori B berisikan para tahanan yang dihukum hingga belasan tahun. Banyak dari mereka yang dikirim ke Pulau Buru dan dieksekusi di sana. Sedangkan para tahanan di kategori C dibebaskan setelah menjalani masa tahanan yang bervariasi sesuai kebijakan Kopkamtib pada masa itu.” Peran Psikologi dalam masa chaotic tersebut dilakukan lewat psychological testing tanpa mempertimbangkan moral-politic (implikasi) dari temuan penelitian yang dianggap sah untuk dijadikan tumpuan kebijakan (Wieringa & Katjasungkana, 2019).

Kajian lain yang cukup terkenal adalah yang dilakukan para peneliti dari Universitas Indonesia (UI). Dalam tulisan Sarwono tahun 1970an, dibahas mengenai dinamika mahasiswa di Indonesia, terkhusus setelah peristiwa Malari 1974 yang menolak kedatangan perdana menteri Jepang. Peristiwa Malari merubah kehidupan mahasiswa menjadi semakin terkontrol oleh pemerintah, terutama setelah teridentifikasi adanya penyusupan gerakan mahasiswa oleh orang-orang suruhan Ali Moertopo. Bahkan pada masa tersebut, gerakan untuk mendisiplinkan mahasiswa terjadi secara sistematis, misalnya terkait larangan gondrong (Yudhistira, 2010). Selain itu, Suwarsih Warnaen (1979) merilis penelitiannya yang dianggap stereotipikal terkait dengan karakteristik etnik di Indonesia. Kelemahan penelitian Warnaen ini sebagaimana dengan model psikiatri kolonial pada masa Hindia-Belanda: menganggap ada yang esensial dalam identitas etnis.

Tegangan terhadap Psikologi Sosial yang membahas tema etnisitas muncul dalam bentuk kritik terhadap universalitas teori dalam Psikologi Sosial. Kritik universalitas ini sebetulnya telah muncul dari disiplin ilmu lain sebagaimana ditemukan Malinowski (1922). Berbeda dengan gagasan Freud yang meyakini bahwa di Eropa ada gagasan Oedipus Complex, maka Malinowski menemukan bahwa complex tersebut tidak ditemukan di masyarakat Trobriand, Melanesia. Kritik dari pandangan kebudayaan ini terus berkembang dan kini dikenal sebagai Psikologi Kritis. Psikologi Kritis ini kini terus mengembangkan basis keilmuan yang kontekstual, oleh karena itu, apabila mau melihat perilaku sosial maka kita perlu datang, melihat, bahkan mengalami hidup bersama dalam konteks masyarakat secara langsung — atau dikatakan dengan melakukan exposure. Penekanan dalam Psikologi Kritis adalah bahwa mental dan perilaku manusia mungkin terjadi dengan adanya pengalaman hidup sehari-hari (lived experience), bukan karena kita memiliki mental yang stagnan dan berfungsi sebagai alat adaptasi semata. Melihat kondisi tersebut, maka Psikologi Sosial dalam konteks Indonesia perlulah untuk lebih mendekatkan diri dengan kondisi fisik maupun kebudayaan tempat si manusia hidup.

Meskipun demikian, peran Psikologi tidak melulu buruk. Penelitian dari Malik (2015) mengenai konflik di Maluku menunjukkan bahwa dengan semangat rekonsiliasi, ia melahirkan Gerakan Perdamaian Baku Bae dari tahun 2000-2003. Dalam penelitian dan gerakan ini, Malik menunjukkan bahwa proses penyingkiran berdasarkan keagamaan dapat diatasi dengan menciptakan rasa kebersamaan. Meskipun demikian, rekonsiliasi macam ini hanya bisa terjadi dengan konsensus antara mereka yang berkonflik. Hal tersebut merupakan syarat yang tidak mudah ditemui dalam beberapa kasus rekonsiliasi setelah konflik. Bahkan sesekali rekonsiliasi yang tidak diikuti dengan proses peradilan hanya akan menjadi preseden buruk dalam masyarakat (Toer, 2000; Santikarma, 2008).

***

Dengan melihat sejarah Psikologi Sosial yang tidak terlalu mengesankan ini, maka Psikologi Sosial yang dibangun di Indonesia mestinya Psikologi Sosial yang lebih berpihak. Tapi, keberpihakan pada siapa? Menurut Yang (2014), pada masa kini, terdapat tiga kelas dalam masyarakat, yakni: kelas menengah, kelas tersingkir, dan kelas yang berada di antaranya Kelas menengah adalah mereka yang potensial menciptakan wacana, misalnya wartawan, akademisi, pengacara. Sementara kelas tersingkir adalah mereka yang disingkirkan dari norma atau alam pikir, misalnya kaum miskin, LGBTQ, perempuan, difabel, atau kelompok sosial seperti korban sejarah politik. Kelompok tersingkir ini adalah mereka yang secara sosio-Psikologis rentan mendapatkan akses terhadap sumber daya dalam masyarakat. Sementara itu, di antara kedua kelas tersebut terdapat kelas para aristokrat yang terancam oleh laju kapitalisme dna urbanisasi. Mereka mempertahankan nilai tradisional, tapi tergerus dalam laju modernitas. Sebagai kelas menengah yang berpihak, maka kita diberikan tanggung jawab sosial untuk menciptakan perdebatan mengenai bagaimana meminimalisir penyingkiran terhadap kelas tersingkir berdasarkan konteks sosial yang kita hidupi. Lantas, Psikologi dengan sensitivitas terhadap produksi historis terhadap suatu konsep dan pendekatan, selayaknya diperkembangkan (Parker, 1999). Inilah yang kemudian saya sebut dalam judul tulisan ini sebagai Psikologi Sosial Kesejarahan, yakni Psikologi sosial yang memperhitungkan data historis untuk menggambarkan manusia. Bukan sebuah teori universal yang kemudian diterapkan di konteks lokal.

Dengan keluasan dan peluang dalam gerakan Psikologi Sosial yang bersifat global sebagaimana dijabarkan di atas, sebagai seorang yang mempraktikkan kajian Psikologi Sosial tidak melulu melakukan penelitian di lapangan. Penelitian yang membongkar bagaimana pengetahuan diproduksi dalam teks-teks Psikologi bisa juga dilakukan (Watts, 2017). Hal ini didasarkan pada pengetahuan keseharian kita yang secara sosial dikonstruksi. Kita patut  curiga dengan konsep “trauma” yang dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai (1) keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani atau (2) luka berat. Kata yang diserap dari bahasa Inggris ini memiliki arti berbeda dalam konteks Indonesia. Apabila dalam terminologi psikoanalisis,trauma merujuk pada sesuatu yang tidak bisa disembuhkan, lain halnya dengan trauma di Indonesia yang bisa disembuhkan. Kasus ini pernah ditemukan James T. Siegel (1998), seorang antropolog, yang menunjukkan bahwa dalam konteks kriminalitas di Indonesia, trauma masyarakat karena pembunuhan di sekitar tempat tinggalnya bisa “diobati” oleh polisi. Dengan demikian, kehadiran otoritas dapat mengontrol trauma yang terjadi di masyarakat dan menyebabkan peristiwa Penembak(an) Misterius atau Petrus (1983) mungkin terjadi.

Contoh lain adalah penggunaan kata sifat laki-laki, yakni kelaki-lakian. Kata kelaki-lakian mengandung implikasi bahwa ia yang disebut dengan sifat tersebut memiliki keberanian terhadap sesuatu, tidak peduli ia seorang laki-laki, perempuan, ataupun banci. Sebaliknya, kata keperempuan-perempuanan mengandung pengertian yang lebih buruk bahwa si orang yang disebut tidak cukup berani atau bahkan secara kultural disebut banci dengan nada insinuatif.

Singkat kata, hanya dengan memahami bahasa dan konteks penggunaannya, maka Psikologi Sosial masih memiliki harapan menjadi sebuah keilmuan yang dinamis dan mampu menyelenggarakan praktik sosial yang transformatif.

 

Daftar Acuan

Amriel, R.I. (2015). Peran Psikologi dalam pembersihan pasca-G30s. Koran SINDO.

Bandawe C. (2010). A brief history of social psychology and its contribution to health in Malawi. Malawi Medical Journal: The Journal of Medical Association of Malawi, 22(2), 34–37. https://doi.org/10.4314/mmj.v22i2.58788

Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Evenston: Row, Peterson.

Gough, B. (Ed.). (2017). The Palgrave handbook of critical social psychology. Leeds: Palgrave Macmillan.

Kartono, K. (2014). Patologi sosial 2: Kenakalan remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kruglanski, A., & Stroebe, W. (2011). Handbook of the history of social psychology. Philadelphia, PA: Psychology Press.

Lieberman, M. D. (2010). Social cognitive neuroscience. Dalam S. T. Fiske, D. T. Gilbert, & G. Lindzey (Eds.), Handbook of social psychology (5th ed., Vol. 1, hlm. 143–193). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Malik, I. (2017). Intractable Conflict Maluku: Local Wisdom in Reconciliation and We-ness. Dalam Y.B.C. Widiyanto & A. Harimurti. Proceeding of the international conference on psychology 2016 – People’s search for meaning through ethnicity, culture, and religion: Psychology’s role in handling conflicts and sustaining harmony in multicultural society. Yogyakarta: SDUP.

McDougall, W. (2003. original published 1908). An introduction to social psychology. Mineola, NY: Dover.

Parker, I. (ed). (2015). Handbook of critical psychology. London & New York: Routledge.

Pols, H. (2019). Merawat bangsa: Sejarah pergerakan para dokter Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.

Ratner, C. & El-Badwi, S. (2011). A cultural psychological theory of mental illness, supported by research in Saudi Arabia. Journal of Social Distress and the Homeless, vol. 20, #3-4, 217-274.

Ross, E. A. (1974; original published 1908). Social psychology. New York, NY: Arno Press.

Santikarma, D. (2008). Menulis sejarah dan membaca kuasa: Politik pasca-1965 di Bali. Dalam H.S. Nordholt, B. Purwanto & R. Saptari. Perspektif baru penulisan sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan.

Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (Peny.). (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Toer, P.A. (2000). Saya bukan Nelson Mandela (Tanggapan buat Goenawan Mohamad). Majalah Tempo.

Tuffin, K. (2005). Understanding critical social psychology. London: Sage.

Siegel, J.T. (1998). A new criminal type in Jakarta: Counter-revolution today. Durham and London: Duke University Press.

Watts, S. (2017). Relationship: From social cognition to critical social. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Leeds: Palgrave.

Yustisia, W. (4 Februari 2019). Dari Ahok menjadi BTP: upaya rekonsiliasi yang positif? The Conversation.

Yang, M. (2014). Marx. Dalam R. Butler (ed.), The Žižek dictionary. New York: Routledge.

Žižek, S. (2007). How to read Lacan. London & New York: W.W. Norton.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *