Teori

Sikap dan Atribusi: Dari Pendekatan Kognitif ke Negosiasi

Kajian mengenai sikap mendapatkan tempat spesial dalam psikologi sosial, terkhusus setelah berkembang pada pertengahan abad ke-20 di Amerika. Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009), sikap diartikan sebagai disposisi respon, yang tahan lama; memuat komponen afektif, behavioral, dan kognitif. Sikap bisa diarahkan atau selalu terarahkan pada orang, objek, maupun ide tertentu untuk mengevaluasinya (Branscombe & Byron, 2017). Oleh karena itu, elemen dasar sebuah sikap adalah proses evaluasi; entah itu evaluasi yang positif maupun negatif, lemah maupun kuat (McVittie & McKinlay, 2017). Namun demikian, nantinya akan ditunjukkan dalam tulisan ini bahwa pendefinisian sikap sebagai sebuah “disposisi respon” tidaklah memadai.

Dengan menjadi cara seseorang untuk mengevaluasi dunia di sekitar mereka, maka sikap menjadi jalan pintas bagaimana sebaiknya seseorang berperilaku dalam berbagai situasi. Jalan pintas di sini bisa dipahami dalam kerangka bahwa informasi tertentu diproses dengan cepat dan efisien agar problem kompleks dapat diatasi dengan cara yang lebih sederhana. Sebagai contoh, ketika Anda melihat seorang yang berpakaian rapi, berkacamata, dan berbicara tenang; maka ada kemungkinan Anda akan buru-buru menyimpulkan bahwa orang tersebut baik hati, menyenangkan, atau pintar dibandingkan mereka yang berpakaian berantakan, rambutnya acak-acakan. Justru, cara berpikir heuristik (yang dalam kasus di atas adalah sebuah efek halo) yang mengambil jalan pintas demikian adalah yang coba untuk “dibereskan” dalam kajian-kajian psikologi terbaru.

Sementara itu, atribusi merujuk pada “proses mengenali penyebab dari tingkah laku orang lain dan sekaligus  memperoleh pengetahuan  mengenai sifat-siifat serta disposisi yang menetap pada orang lain” (Takwin, 2009; Branscombe & Byron, 2017; Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Apabila sikap terarah pada bagaimana seseorang melakukan evaluasi terhadap dunianya, maka atribusi lebih pada bagaimana orang memahami dan menjelaskan apa yang terjadi dalam dunianya. Logika atribusi dapat dirumuskan demikian: mengapa sesuatu bisa terjadi sebagaimana hal tersebut terjadi? Dari rumusan tersebut, dapat kita pahami bahwa dengan melakukan atribusi maka kita akan membentuk sebuah sikap tertentu.

Dalam kajian terhadap sikap dan atribusi, lazim digunakan cara berpikir sebagaimana dipraktikkan Kahneman (2011) di mana proses kognitif manusia terjadi dalam dua sistem. Sistem pertama adalah yang berbasis pada perasaan, rasa suka-tidak suka, atau yang kemudian bisa kita tempatkan dalam arena afektif. Sistem kedua adalah sebuah pemikiran kritis terkait suatu hal. Artinya, afeksi tidak lagi mendapat peran utama dalam menentukan sebuah sikap atau atribusi seseorang terhadap persoalan hidupnya. Peran sistem kedua ini dipegang oleh pikiran kita. Namun, apakah kita bisa memahami sikap dan atribusi dengan hanya membuat kategori tersebut berdasarkan proses mental seseorang? Padahal, di lain pihak, individu dan masyarakat (individual/societal) merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan (Harimurti, 2020). Lantas, tulisan ini berminat untuk memahami sikap dan atribusi dalam kacamata yang lebih fluid, bahwa baik sistem pertama maupun kedua dapat berkelindan satu sama lain dan ditentukan oleh konteks sosial di mana seseorang hidup atau sebuah fenomena terjadi.

Kajian mengenai sikap dan atribusi dalam Psikologi Sosial, tak lagi bisa dipahami semata-mata dari sudut pandang kognitif. Misalnya, seringali kita terjebak dalam kausalitas ketika mencoba untuk memahami orang lain, atau lebih parah lagi: kausalitas dianggap yang paling mungkin dalam memahami perilaku (McVittie & McKinlay, 2017). Misalnya, karena seseorang kafir, maka perlakuan keras terhadapnya menjadi layak. Kausalitas tersebut tidak mempertimbangkan mengenai bagaimana konteks dan kondisi sosial membentuk bagaimana orang bertindak. Cara pandang kausalitas individual ini hanya akan menjauhkan kita dari pemahaman bahwa orang-orang coba memahami dunianya dalam sebuah konteks tertentu yang tidak dengan mudah dapat kita prediksi.

Sebelum lebih jauh memahami bagaimana sikap dan atribusi diteliti dalam psikologi sosial kontemporer, kita akan melihat bagaimana selama ini keduanya dibicarakan dalam kajian psikologi sosial. Pertama, akan dijelaskan bagaimana atribusi dikembangkan dari teori persepsi sosial. Lalu selanjutnya akan dibahas mengenai teori-teori apa saja yang biasanya digunakan untuk membahas sikap. Dan terakhir, akan diberikan contoh analisis sikap dan atribusi dalam psikologi sosial kontemporer.

Persepsi Sosial dan Atribusi

Takwin (2009) menyatakan bahwa persepsi berarti proses pemerolehan, penafsiran, dan pengaturan informasi secara indrawi. Sementara itu, persepsi sosial dipahami sebagai aktivitas untuk mempersepsikan orang lain dan membuat mereka kita kenali atau identifikasi perilakunya. Dalam persepsi sosial, kita berusaha (1) mengetahui apa yang dipikirkan, dipercaya, dirasakan, diniatkan, dan didambakan orang lain; (2) membaca apa yang ada di dalam diri orang lain berdasarkan komunikasi non-verbal; dan (3) menyesuaikan perilaku berdasarkan apa yang kita temukan ketika berhadapan dengan orang lain yang kita persepsikan. Singkatnya, dengan membuat persepsi, maka kita berusaha untuk memahami sebab-sebab tingkah laku dari seseorang atau dengan kata lain melakukan atribusi.

Dalam atribusi, penyimpulan atau pemahaman perilaku seseorang bisa dilakukan dengan mencatat dan menafsirkan data indrawi yang muncul pada ekspresi seseorang. Teori atribusi yang dikembangkan Heider (1925) berpangkal pada psikologi gestalt di mana ia coba “mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.”Sebagai contoh, kita melihat seorang laki-laki dan perempuan duduk dan mengobrol di kantin, ekspresi tubuhnya terkesan berjarak dan dengan cara bicara yang tidak menunjukkan intimitas (nada suara serupa ketika dua orang kawan bicara), apa yang dapat kita simpulkan dalam kondisi ini? Menurut Heider, orang akan membuat kesimpulan bahwa kedua orang tersebut hanyalah kawan biasa. Tidak ada hubungan romantis di antara mereka.

Dalam teori Heider, terdapat dua sumber atribusi, yakni internal (disposisional) dan eksternal (lingkungan). Atribusi internal terjadi apabila kita memahami seseorang bertingkah laku tertentu karena didahului unsur psikologis yang telah melekat padanya. Misalnya, pada tahun 1950an, kardiolog Mayer Frieldman dan Ray Rosenman membagi kepribadian ke dalam dua tipe, yakni A dan B. Pada kepribadian tipe A, melekat karakteristik seperti kompetitif, dikejar waktu, dan agresif serta punya kemungkinan besar untuk mengalami jantung koroner. Sementara itu, tipe B memiliki karakteristik sebaliknya yang santai, tenang, tidak ambisius, dan tidak agresif. Apabila kita memiliki teman yang mengerjakan sebuah tugas dengan sangat bersemangat, bicara blak-balakan, atau perfeksionis; kita akan membuat kesimpulan bahwa dia memiliki karakteristik tipe A. Sebaliknya, apabila teman kita itu mengerjakan alakadarnya, tidak terlalu memaksakan diri untuk mengerjakan, atau tidak terlalu peduli bagaimana hasilnya, maka kita akan menyimpulkan dia berkepribadian tipe B. Penyimpulan ini merupakan cara melakukan atribusi internal dengan melakukan penafsiran berdasarkan keyakinan, hasrat, niat, kehendak, atau tujuan dari seseorang yang coba kita pahami perilakunya.

Sementara itu, dalam atribusi eksternal, kita akan melihat bagaimana lingkungan mengkondisikan seseorang untuk berperilaku tertentu. Misalnya, seseorang yang sangat cerewet kemudian menjadi sangat pendiam ketika berada di ruang ibadah. Kita tidak lagi akan menyimpulkan bahwa dia memiliki kepribadian tipe B. Kita cenderung akan menyimpulkan bahwa ia diam karena dalam lingkungan ibadah, berisik merupakan tindakan yang tidak dikehendaki. Temuan dari atribusi eksternal ini disampaikan oleh Heider sembari merujuk pada gagasan Kurt Lewin mengenai perilaku.

Selanjutnya, Kelley (1972) tidak lagi berfokus pada intensi seseorang dalam melakukan sesuatu. Dalam teori kovariasi-nya, Kelley menekankan bahwa konsensus (consensus), kekhususan (distinctiveness), dan konsistensi (consistency) yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu. Kita bisa ambil contoh mengenai mengapa para musisi menolak kehadiran RUU Permusikan. Apabila seorang musisi seperti Jerinx SID ikut menolak RUU Permusikan, barangkali orang akan berpikir bahwa dia memang orang yang sukanya nyinyir dan bisa dimaklumi bahwa dia bertindak demikian – sebagaimana ia mengkritik Via Vallen dan mantan Mentri Kelautan Susi Pudyastuti dengan begitu “galak”. Namun, dengan adanya 267 daftar musisi yang menolak RUU Permusikan, barangkali kita akan mengganti kesimpulan bahwa bukan soal Jerinx yang nyinyir. Dengan banyaknya dan besarnya gerakan penolakan RUU, maka kesimpulan segera berubah menjadi: RUU ini memang buruk. Dengan mengambil kesimpulan pertama bahwa “seorang Jerinx merupakan tukang nyinyir, makanya menolak RUU Permusikan”, maka kita telah melakukan atribusi personal di mana kita mengaitkan penilaian dengan karakteristik personal seseorang (konsensus dan kekhususan rendah, konsistensi tinggi). Sementara itu, kesimpulan “RUU Permusikan merupakan preseden buruk dalam dunia musik” menunjukkan bahwa kita telah melakukan atribusi stimulus (konsensus, kekhususan, dan konsistensi tinggi).

Gambar 1. Teori Kovariasi Kelley

Menurut Miles dan Carey (1997), ada faktor internal yang tidak berubah seperti kepribadian dan temperamen, tetapi ada pula yang berubah seperti motif, kesehatan, atau suasana hati. Pun dengan faktor eksternal ada pula yang tidak berubah seperti kondisi geografis dan norma sosial (Takwin, 2009). Namun, agaknya pemahaman keduanya tidak sesuai ketika digunakan untuk memahami kondisi saat ini. Secara geografis, ada isu perubahan iklim yang kini tertanam dalam skema orang. Norma sosial pun tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang stagnan. Tiga puluh tahun lalu, kita mungkin belum bisa mengatakan atau mengangkat isu toxic relationship atau kekerasan dalam pacaran. Namun, dalam konteks masa kini, kesadaran akan penyalahgunaan hubungan dan kekerasan dalam pacaran menjadi sesuatu yang apabila tidak dibicarakan justru akan menimbulkan masalah dan rasa bersalah.

Dalam proses pemahaman perilaku orang lain, tidak jarang kita melakukan berbagai kesalahan. Dalam psikologi, istilah ini disebut bias atribusi. Ada beberapa penyebab bias, yakni (1) kesalahan atribusi fundamental, (2) efek aktor-pengamat, (3) konsensus palsu, dan (4) bias atribusi self-serving.

Dalam kesalahan atribusi fundamental, bias dapat terjadi karena kita terlalu menekankan personalitas seseorang (Jones & Harris, 1967; Ross, 1977). Misalnya, seseorang yang sedang kita ajak mengobrol bersikap dingin, bisa jadi kita menyimpulkan ia bukan orang yang ramah. Bias ini mungkin terjadi kalau kita tidak memikirkan alternatif lain, misalnya orang tersebut sedang ada masalah dengan pacarnya atau sedang dalam kondisi kelelahan berat. Dalam efek aktor-pengamat, orang cenderung mendeskripsikan dirinya melakukan suatu perbuatan karena alasan situasional, sedangkan perilaku orang lain dideskripsikan karena alasan personal.

Dalam konsensus palsu kita bisa mengambil contoh kasus Agni di UGM. Tidak sedikit yang memiliki pandangan bahwa kasus pemerkosaan terjadi akibat Agni menginap di hunian kawan KKN-nya dan dia sama sekali tidak menunjukkan bahasa penolakan ketika peristiwa terjadi. Cara pandang misoginis demikian, barangkali hanya terjadi pada orang-orang yang memandang bahwa kesalahan terjadi pada korban (victim blaming). Proses ini terjadi karena seseorang memandang bahwa banyak orang yang berpendapat sebagaimana ia yakini, padahal yang terjadi tidaklah demikian. Sementara itu, dalam bias atribusi self-serving dapat kita temukan misalnya dalam kecenderungan orang memandang bahwa kesuksesan dibuahkan dari kerja keras diri sendiri dan kegagalan terjadi karena ada intervensi dari situasi eksternal (Kingdon, 1967).

Lalu, bagaimana pendekatan atribusi dipraktikkan hari ini? Dalam atribusi, pendekatan kritis ditekankan pada wacana yang bersifat konstruktif, berorientasi pada tindakan, dan bersifat retorik. Dalam pendekatan klasik mengenai atribusi, wacana dianggap sebagai sesuatu yang menyediakan pengetahuan sebelumnya untuk melakukan tindakan. Dalam pandangan yang lebih kritis, wacana sendiri dianggap sebagai sebuah tindakan. Pendekatan ini berimplikasi bahwa pendapat yang dikatakan seseorang didesain untuk menyampaikan informasi yang entah mengkritisi sesuatu, menjadi pembenaran terhadap tindakan, atau menolak sebuah permintaan.

Kita bisa ambil contoh dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Ketika Prabowo Subianto berpidato di Jakarta Convention Center pada tanggal 14 Januari 2019, ia mengatakan pada pendukungnya: “Jadi jangan coba-coba stigmatisasi satu kaum atau kelompok, saudara-saudara.” Apa yang bisa kita atribusikan terkait pernyataan tersebut? Apakah kemudian ini membuktikan bahwa Prabowo merupakan seorang yang pluralis? Ketika kita melakukan atribusi, maka kita perlu untuk menyelidiki apakah yang dia katakan mencerminkan kenyataan di sekitarnya, alih-alih menyimpulkan bahwa hal tersebut bersumber dari sifat pribadinya. Apabila kita melihat kondisi para pendukung Prabowo, maka kesimpulan kita barangkali akan berbeda. Setidaknya, kita bisa menemukan lima orang yang bersikap miring terhadap minoritas. Pertama adalah Muhammad Rizieq Shihab, ketua umum FPI, yang mengharamkan Natal dan mempersekusi Ahmadiyah. Kedua adalah Muhammad Al Khaththath, Sekjen FUI dan Eks-Ketum DPP HTI, yang mengharamkan Natal, anti-Syiah dan Ahmadiyah. Ketiga adalah Tengku Zulkarnain yang terkenal anti-Syiah, Ahmadiyah, dan LGBT.

Dengan berbagai informasi terkait lingkungannya tersebut, apakah dengan mudah kita akan mengatakan bahwa pidato Prabowo tersebut menunjukkan pribadi yang pluralis? Berdasarkan informasi yang bertolak-belakang di atas, barangkali orang akan mengatribusi pernyataan Prabowo sebagai usahanya untuk mengangkat wacana populisme dalam kampanyenya. Artinya, apa yang diucapkan hanya sekadar bahasa politik belaka. Perubahan atribusi dan evaluasi terhadap pernyataan Prabowo, membawa implikasi bahwa dalam pendekatan kritis, hendaknya perhatian difokuskan pada bagaimana seseorang memproduksi dan menggunakan evaluasi serta atribusi dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap, Dari Kausalitas ke Kontekstualitas

Ada dua macam pembahasan sikap dalam psikologi arus utama (mainstream psychology). Pertama adalah menempatkan sikap sebagai representasi esensial individu. Implikasinya, ketika kita melihat seseorang menyatakan deskripsi terhadap orang lain atau fenomena tertentu, hal tersebut dianggap telah menyatakan apa yang sebetulnya berurat-akar dan konsistensi diri seseorang. Seorang pendukung pemerintahan Jokowi karena fokusnya hanya pada infrastruktur, belum tentu sepenuhnya bersikap setuju dengan pemerintahannya yang sama sekali tidak menyinggung persoalan HAM. Kedua, masih terkait yang pertama, proses menemukan sikap yang dilakukan seseorang bisa diprediksi dengan mudah. Misalnya, kita sediakan pertanyaan “Apakah Anda memiliki perasaan negatif terhadap pemanasan global?” dan bertanya seberapa negatif perasaan orang tersebut dengan rentang skala tertentu. Jawabannya mungkin bisa tertebak, ia memiliki perasaan negatif dengan level tertentu. Namun, alasan mengapa ia memiliki perasaan negatif tidak bisa diidentifikasi, bahkan gagasan dia terkait persoalan pemanasan global sama sekali tidak dielaborasi. Dengan demikian, dunia mental seseorang tidak bisa terakses dengan mendalam.

Contoh lain adalah saat kita pergi ke sebuah minimarket, kemudian pramuniaga menawarkan apakah uang kembalian boleh disumbangkan? Ketika kita mengetahui sistem yang terjadi, bahwa kemudian uang kembalian digunakan sebagai dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari minimarket tersebut, maka ada kemungkinan bahwa kita enggan untuk memberikan sisa uang kembalian. Pada kenyataannya, kita bukan membantu seseorang yang kesusahan, melainkan membantu perusahaan minimarket tersebut untuk mendapatkan keuntungan lebih. Namun, sekalipun kita tahu demikian, mengapa kita tetap saja menyumbangkan sisa uang kembalian? Sikap peduli kita terhadap kaum miskin mungkin menjadi salah satu yang berkontribusi. Jadi, dalam kasus ini sikap lebih terkait pada perilaku yang nampak, alih-alih suatu tindakan tertentu yang terkait erat dengan pemecahan masalah kemiskinan.

Dalam penelitian psikologi, sikap didekati dengan perspektif ABC (affective, behavioral, dan cognitive component). Misalnya dalam sikap terhadap penggunaan kondom. Seseorang mungkin sepakat menggunakan kondom dengan alasan bahwa dalam melakukan hubungan seksual butuh keamanan, persetujuan teman soal seks yang aman, dan kesediaan dalam membeli dan menggunakan kondom. Sementara itu, mereka yang tidak sepakat sah-sah saja mengatakan bahwa kondom mengurangi kenikmatan seksual, menimbulkan iritasi, dan canggung untuk memakai atau membeli. Pendekatan ABC ini seakan-akan memisahkan apa yang terjadi pada tiga ruang mental dengan dunia luar, bahkan tidak ada kaitan antara yang afektif, perilakuan, dan kognitif dengan situasi di mana seseorang berada.

Gagasan ABC kemudian dikritik oleh  Ajzen dan Fishbein (1977) yang menyatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor yang menentukan perilaku. Berdasarkan theory of reasoned action (TRA), perilaku seseorang ditentukan juga oleh norma-norma subjektif. Jadi selain bagaimana sikap kita, pertanyaan mengenai bagaimana kira-kira orang lain akan memandang perilaku kita menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu. TRA kemudian dikembangkan menjadi TPB (theory of planned behavior) yang menekankan pada perceived behavioral control dalam menerjemahkan sikap menjadi perilaku. Sebagai contoh, seorang mahasiswa memiliki sikap yang buruk terhadap berat badan berlebih. Ia kemudian berencana untuk melakukan diet. Namun, diet ini sama sekali tidak terlaksana sebab ia tetap jarang olahraga dan tidak berhasil mengontrol pola makannya. Dengan adanya kontrol perilakuan ini, maka sikap dipandang sebagai konfigurasi faktor yang memprediksi intensi perilakuan yang kemudian bisa terarah ke perilaku.

Gambar 2. Model TPB

Dalam kajian mengenai teori sikap ini, kita dapat mencatat: pertama, penelitian sikap yang berarti menggambarkan atau memprediksi perilaku beralih menjadi kecenderungan niat untuk berperilaku. Kedua, kajian mengenai sikap dan niatan perilaku menjadi perhatian yang penting bahwa keduanya terkait erat satu sama lain. Ketiga, psikologi sosial mulai bergerak menjauh dari pemahaman terhadap sikap yang cenderung ditekankan pada faktor intrinsik seseorang.

Lalu, bagaimana melakukan pendekatan kritis terhadap sikap? Dalam pendekatan kritis, fungsi bahasa dalam keseharian dipertimbangkan dalam menentukan sikap dan atribusi. Ketika seseorang berbicara, berpikir, atau merasakan sesuatu terkait fenomena sosial, mereka tengah mengkonstruksi fenomena termaksud. Sebagai contoh addalah kasus mengenai toxic relationship. Ketika kita memandang bahwa ketergantungan perempuan terhadap pacarnya merupakan sesuatu yang wajar, maka logika yang berjalan adalah seorang perempuan yang tidak mau diputus oleh pacarnya dan diperlakukan semena-mena bukanlah sebuah kondisi yang abusif. Kita akan memahaminya sebagai: “begitulah wajarnya pacaran”. Namun, ketika kita berpikir bahwa hubungan beracun ini adalah bentuk tidak waras dari hubungan pacaran, maka logika yang berjalan akan berbeda. Barangkali kita akan berpikir bahwa maskulinitas dan privilese laki-laki dalam hubungan menjadikan wajar kondisi pacaran yang beracun tersebut. Karena itu, bentuk wacana yang dihembuskan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan cara manusia untuk memahami dan mengkonstruksi dunianya. Tindakan melakukan konstruksi ini disituasikan dalam konteks sosial di mana wacana tersebut diproduksi.

Dalam sebuah perdebatan mengenai orang-orang dari Indonesia Timur di Yogyakarta tahun 2013, atau lebih tepatnya Melanesia, setidaknya tercipta dua wacana. Pertama, mereka dianggap sebagai pendatang yang mengacaukan Yogyakarta. Kedua, mereka boleh saja datang ke Yogyakarta, asal di Yogyakarta memberikan kontribusi yang signifikan. Ketika kita mengaplikasikan kondisi tersebut dalam pendekatan klasik terkait sikap sebagai sesuatu yang menetap dan inti dalam menentukan perilaku, maka kita akan terjebak dalam kesalahan bahwa para perantau tersebut memang perlu untuk didisiplinkan agar bisa mengikuti standar norma di Yogyakarta atau yang lebih ekstrim: tidak diperbolehkan ke Yogyakarta. Namun dengan adanya dua wacana di atas, maka kita tidak lagi bisa menyimpulkan sikap masyarakat Yogyakarta sebagai sebuah entitas yang tunggal. Komunitas orang Melanesia pun berbeda, evaluasi terhadap kelompok juga berbeda. Karena itu, sebuah sikap yang muncul terhadap kelompok tersebut bukan semata-mata proses kognitif, melainkan juga melekat pada konteks sosial yang bersifat lokal.

Dalam kasus Melanesia di Yogyakarta di atas, kita juga bisa mengamati bahwa dalam diri seseorang, evlauasi bisa saling kontradiktif. Dalam kondisi tertentu akan buruk namun dalam kondisi lain positif. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebuah evaluasi besifat argumentatif. Karena itu, untuk menjelaskan sikap sebagai sesuatu yang stagnan dan evaluasinya menetap adalah kekeliruan logika dalam memproduksi pengetahuan.

 Beberapa Contoh Analisis

Guna memahami lebih jauh bagaimana sebuah sikap dapat berubah dan dinegosiasikan, berikut di bawah ini merupakan petikan beberapa percakapan yang diambil dari tulisan McVittie dan McKinlay (2017). Percakapan pertama terjadi dalam sebuah meja makan keluarga. Beth merupakan seorang perempuan berusia 11 tahun, ia sedang makan bersama Laura (ibunya) dan pamannya, Bill.

Beth  : Bolehkah aku coba minum anggur (wine)?

Laura : Oh…. Mm-hm..

….2.0….

Beth  : Aku tidak suka yang merah.

Laura : Ini sangat enak.

….1.0….

Laura : Baiklah.

Bill     : Bagaimana kamu tahu, pernahkah kamu

              mencobanya?

Beth  : Aku sudah mencobanya berkali-kali.

            Aku tak suka anggur merah, rasanya

            terlalu kuat.

Dalam percakapan di atas, Beth meminta ijin ibunya untuk menikmati anggur merah (red wine). Namun, ibunya kemudian kaget dan agak ragu-ragu. Beth kemudian mengatakan bahwa ia tak suka anggur merah. Ibunya mengatakan bahwa anggur merah sangat enak. Setelah sedikit terhenti, ibunya kemudian mengamini yang dikatakan Beth. Bill, paman Beth, kemudian bertanya ke Beth bagaimana ia tahu bahwa anggur merah tidak enak. Beth kemudian mengatakan bahwa anggur merah rasanya terlalu kuat, ia telah mencoba sebelumnya.

Percakapan tersebut menunjukkan bahwa Beth memiliki evaluasi negatif terhadap anggur merah. Ibunya justru menanggapi dengan evaluasi positif terkait anggur merah. Beth menggunakan evaluasi yang sifatnya subyektif (selera diri), sementara itu ibunya menggunakan evaluasi yang sifatnya obyektif (selera pasar atau kebanyakan yang dikatakan orang). Beth kembali menggunakan evaluasi negatif terhadap anggur merah, ia mengatakan pada paman dan ibunya bahwa anggur merah rasanya terlalu kuat. Percakapan ini menunjukkan bahwa evaluasi atau sikap bukanlah sesuatu yang dengan mudah tersimpulkan. Sikap mengandung aspek negosiasi, tantangan, dan argumen-perlawanan. Selain itu, dalam percakapan tersebut kita juga menemukan bahwa ada penolakan, pembenaran, dan usaha persuasif (Laura). Evaluasi subjektif yang dilakukan Beth menunjukkan bahwa ada pembenaran terhadap penolakan yang tidak didasarkan pada akurasi sebagaimana evaluasi Laura yang lebih objektif.

Percakapan kedua berikut ini diambil dari wawancara seorang jurnalis, Tim Marshall, dengan Khaled Mashal yang adalah presiden Hamas (Harkat Al Mokwama Al Islamia). Hamas merupakan organisasi Islamis di Palestina yang pada tahun 2006 berhasil memenangkan kursi kekuasaan dalam parlemen Palestina. Hamas senantiasa menjadi lawan tarung Israel dalam Perang Timor Tengah. Meskipun demikian, banyak orang yang berpendapat bahwa Hamas merupakan kelompok teroris, terutama orang di Amerika.

Tim Marshall: Tidak ada yang tersisa bagi mereka dan bahkan akan semakin sedikit yang tersisa buat mereka apabila terus mengirim apa yang diyakini banyak orang sebagai manusia yang dicuci otaknya dan meledakkan diri mereka sendiri. Membunuh anak-anak kecil dan kemudian mendapat balas jasa atas pengorbanannya — ganjaran diperoleh.

Khaled Mashal: Pertama-tama, kami tidak mencuci otak siapa pun. Setiap orang Palestina secara spontan merasa bahwa tanahnya direbut dan ditempati. Bahwa Israel membunuh anak-anak dan perempuan, menghancurkan rumah-rumah mereka, mengambil tanah mereka, membangun tembok, pemukiman, jurnalisme yang menguntungkan Israel, dan penggalian di bawah masjid al-Aqsha. Jadi orang Palestina mendapati dirinya mau tidak mau berjuang demi perlawanan. Inilah tugas mereka. Ketika Prancis berperang melawan Nazi; dan dalam revolusi Amerika, sebagaimana rakyat Vietnam bertempur, (atau) seperti halnya Afrika Selatan. Ini adalah perilaku biasa yang tidak perlu dicuci otaknya.

Dalam percakapannya, Marshall mengkonstruksi tindakan Hamas sebagai sesuatu yang berdasarkan kacamata terbalik dari cara Mashal memandang. Deskripsi yang diberikan oleh Marshall bukan sekadar sebuah konstruksi dari sebuah tindakan, melainkan memberikan penjelasan mengenai penyebab dari tindakan Hamas. Apa yang disampaikan Marshall menekankan mengenai kebertanggung-jawaban Hamas sembari menempatkan Hamas sebagai pihak yang membuat anak-anak menjadi pelaku bom bunuh diri dan dibuat tidak bisa berpikir rasional.

Sebaliknya, Mashal menunjukkan bahwa atribusi yang dilakukan oleh Marshall terlalu berlebihan. Bukan Hamas yang mestinya bertanggung-jawab, melainkan Israel (atas bantuan Amerika) yang bertanggung-jawab. Jawaban Mashal menyiratkan adanya alternatif lain dalam memahami bencana kemanusiaan di Palestina. Alternatif tersebut dijelaskan oleh Mashal dengan lebih berpijak pada konteks khusus bencana. Mashal kemudian membuat kesimpulan bahwa apa yang dilakukan orang-orang Palestina adalah “perilaku biasa” yang dihasilkan oleh okupasi Israel sehingga pemahaman perilaku orang Palestina ini tidak melulu dilekatkan pada Hamas yang musti bertanggung-jawab. Dalam kasus ini, atribusi bukan sekadar memahami bagaimana orang berperilaku, namun mengajak orang lain yang mendengarkan untuk melakukan negosiasi pengetahuan terkait isu yang sedang berlangsung.

Kesimpulan

Lalu, bagaimana perubahan tren penelitian atribusi dan sikap terjadi? Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa ada dua hal penting yang perlu kita catat; pertama adalah soal dualisme Manichean dalam menjelaskan fenomena atribusi dan sikap yang didominasi oleh individual atau lingkungan (societal) semata. Dalam contoh ditunjukkan bahwa yang individual dan yang societal tidak bisa dipisahkan. Dengan kata lain, selalu ada negosiasi di antara keduanya. Penelitian psikologi mesti diarahkan pada proses negosiasi keduanya, bukan sekadar mengkategorikan mana yang individual dan mana yang societal.

Kedua adalah mengkaji-ulang peran bahasa dalam memahami atribusi dan sikap. Dalam pemahaman soal atribusi dan sikap, bahasa dianggap sebagai ekspresi dari cara seseorang memahami atau mengevaluasi sesuatu. Hal tersebut akan berbeda apabila kita menempatkan bahasa sebagai cara seseorang melakukan konstruksi atas realitas. Artinya, bahasa merupakan arena diskursif di mana negosiasi dalam memahami realitas berlangsung.

 

Daftar Acuan 

Ajzen, I., & Fishbein, M. (1977). Attitude-behaviour relations: A theoretical analysis and review of empirical research. Psychological Bulletin, 84, 888–918.

Branscombe, N.R. & Baron, R.A. (2017). Social psychology (14th ed., global ed.). Essex: Pearson.

Harimurti, A. (2020). Konstruksionisme sosial dalam psikologi. Naskah tidak diterbitkan

Jones, E. E., & Harris, V. A. (1967). The attribution of attitudes. Journal of Experimental Social Psychology, 3, 1-24.

Kelley, H.H. (1972). Attribution in social psychology. Nebraska symposium on motivation, 15, 192-238.

Kingdon, J. W. (1967). Politicians’ beliefs about voters. American Political Science Review, 61, 137–145.

McVittie, C. & McKinlay, A. (2017). Attitudes and attributions. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Leeds: Palgrave.

Miles, D.R., & Carey, G. (1997). Genetic and environmental architecture of human aggression. Journal of Personality and Social Psychology, 72, 207-217.

Ross, L. (1977). The intuitive psychologist and his shortcomings: Distortions in the attribution process. Dalam L. Berkowitz (Ed.), Advances in experimental social psychology. New York: Academic Press.

Takwin, B. (2009). Persepsi sosial mengenali dan mengerti orang lain. Dalam S.W. Sarwono & E.A. Meinarno (Peny.), Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2009). Psikologi sosial (ed.ke-12). Depok: Prenadamedia Group.

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *