Suatu ketika Anda berjalan ke pinggir sungai yang airnya tampak segar. Ikan-ikan kecil sesekali menggoda Anda dengan menyembulkan diri bernapas ke permukaan. Anda ingin mengetahui segala sesuatu mengenai ikan tersebut. Entah apa jenisnya, berapa jumlah kawannya, berapa menit sekali ia akan ke permukaan, berapa bulan usianya, berapa usia terpanjangnya, bagaimana kondisi ekosistem perairan tersebut, apa saja yang ia lakukan dari waktu ke waktu, dan masih banyak pertanyaan usil lainnya. Untuk mengetahui apa yang ia lakukan dari waktu ke waktu, tentu saja Anda membutuhkan cara yang berbeda dengan apabila Anda ingin mengetahui berapa kali ikan tersebut akan menyembul ke permukaan dalam se-menit. Kalau Anda ingin mengetahui apa yang ia lakukan dari waktu ke waktu, Anda bisa menandainya kemudian menyiapkan kecermatan Anda untuk selalu memantaunya. Anda bisa melakukannya dengan berdiri di pinggir sungai. Anda bisa melakukannya dengan naik sampan dan mengikutinya. Yang lebih absurd lagi, Anda berenang ke dalam air dan mengikutinya sehingga Anda akan masuk ke dunianya, merasakan segarnya air yang jadi habitatnya. Tentu saja, sesekali mencecap sampah yang tak sengaja masuk ke dalam mulut Anda. Cara-cara yang Anda pilih, entah di pinggir, memakai sampan, atau berenang, menggambarkan cara kerja dalam metode penelitian.
Sebagai sebuah cabang dari ilmu sosial, Psikologi Media memiliki berbagai pendekatan yang dicomot dari berbagai disiplin ilmu (Stever, 2021). Dari Sosiologi, Psikologi Media memelajari mengenai organisasi dan institusi dalam suatu budaya lewat analisis isi, survei kuantitatif, atau kelompok terarah (focus groups). Dari Antropologi, Psikologi Media memelajari observasi partisipan dan etnografi untuk memahami budaya dan fenomena sosial. Dari Psikologi, Psikologi Media memelajari eksperimen untuk memahami perilaku manusia sembari mengontrol variabel tambahan (extraneous variables). Kemudian, dari Ilmu Komunikasi, disiplin yang lahir belakangan, berupaya untuk memfasilitasi semua jenis pendekatan.
Metode merupakan cara seorang peneliti untuk mengoperasionalisasikan pertanyaan penelitian. Ketika suatu problematisasi masalah terjadi, maka akan dihasilkan pertanyaan penelitian. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, seseorang perlu menentukan data macam apa yang ia butuhkan. Setelah mengetahui apa yang ia butuhkan, maka ia harus menyatakan bagaimana ia akan mengambil data tersebut.
Sebagai catatan sebelum melanjutkan pada jenis-jenis metode, seorang peneliti perlu menyadari bahwa ada pertimbangan etis dalam melakukan penelitian (Stever, 2021). Hal utama dan paling penting dalam melakukan penelitian adalah: tidak membahayakan partisipan. Salah satu caranya bisa ditempuh dengan meniadakan identitas partisipan. Namun, tidak semua partisipan menginginkannya. Dalam beberapa kasus, partisipan akan melakukan kesengajaan agar namanya ditulis apa adanya. Hal tersebut merupakan cara partisipan untuk berbicara sesuatu terhadap dunia di sekitarnya dan ia bertanggung jawab dengan apa yang disampaikannya. Intinya, perkara kesepakatan (consent) merupakan hal wajib dalam setiap penelitian. Dalam level mahasiswa, kampus semestinya memiliki dewan review (institutional review board) yang bertugas melakukan kajian atas metode yang dipakai dalam penelitian dan kemudian mencari potensi resiko bagi partisipan.
Kembali pada bagian metode, dalam penelitian Psikologi Media, tentu saja akan ditemukan dua metodologi besar, yakni kuantitatif dan kualitatif. Tradisi kuantitatif menguasai sebagian besar disiplin Psikologi di Amerika bagian Utara, secara khusus Amerika Serikat. Sementara itu, tradisi kualitatif berkembang pesat di Eropa. Dalam metodologi kuantitatif, peneliti akan menghitung sesuatu. Dalam kualitatif, peneliti akan menginterpretasi sesuatu (Stever, 2021). Namun, kedua metodologi tersebut kemudian perlu diterjemahkan dalam suatu metode pengambilan dan analisis data. Dalam metodologi kuantitatif, ada dua metode yang kemudian sering kali dipakai Psikologi Media, yakni eksperimen dan survei. Sementara itu, dalam metodologi kualitatif ada tiga metode yang sering kali dipakai, yakni etnografi (ethnography), analisis isi teks (content analysis), dan analisis wacana (discourse analysis).
Tradisi Kuantitatif: Eksperimen dan Survei
Dalam tradisi kuantitatif, metode pertama adalah eksperimen. Eksperimen merupakan bentuk aplikasi metode empiris (Giles, 2003). Tradisi eksperimen merupakan cara yang umum mengkuantifikasikan fenomena. Tradisi eksperimen ini berangkat dari pendekatan behaviorisme yang secara khusus memelajari efek media. Eksperimen dilakukan dengan cara mengontrol kemunculan confounding variables, membagi partisipan penelitian ke dalam kelompok dan perlakuan yang terkontrol, serta kecermatan mendalam mengenai desain. Confounding variables sendiri merupakan variabel yang tidak disertakan dalam eksperimen, tetapi memengaruhi hubungan antara dua variabel dalam eksperimen. Karakter utama dalam penelitian eksperimen adalah nomotetik atau berupaya menjelaskan perilaku manusia lewat suatu hukum universal.
Dalam eksperimen, dikenal istilah pretest dan posttest untuk menunjukkan kelompok kontrol dan kelompok yang diberi perlakuan. Sebagai contoh, seorang peneliti ingin mengetahui efek film dengan tayangan kekerasan terhadap penonton. Ia memiliki hipotesis bahwa semakin terpapar oleh video yang berisi kekerasan, maka suasana hati (mood) seseorang semakin negatif. Dalam pretest, semua partisipan penelitian mengisi Brief Mood Introspection Scale (BMIS) (Mayer & Gaschke, 1988). BMIS merupakan skala mood yang terdiri dari 16 sifat mood yang mesti direspons oleh partisipan. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula mood positif. Setelah mengisi tes inventori tersebut, eksperimen mulai dilakukan. Kelompok kontrol disajikan dengan suatu video netral, sementara kelompok lain diberikan video yang memuat konten eksplisit terkait kekerasan. Setelah menonton masing-masing video, mood mereka kembali diperiksa dengan BMIS. Skor yang diperoleh menunjukkan ada tidaknya perubahan terhadap perlakuan, secara khusus didasarkan pada jenis video. Uji statistik kemudian dilakukan untuk memperbandingkan skor mood. Apabila dalam kelompok yang diberi perlakuan menunjukkan skor mood yang rendah, maka hipotesis penelitian akan diterima.
Penelitian eksperimen terkenal dengan sebagai penelitian yang elegan nan-hemat. Meskipun demikan, ada dua hal yang menjadi ketidakberuntungan dalam penelitian eksperimen, yakni terkait validitas eksternal dan statistik inferensial. Terkait dengan validitas eksternal, kritik paling sering diarahkan adalah pada lingkungan laboratorium artifisial yang sama sekali tidak menyerupai pengalaman ber-media sehari-hari. Kritik tersebut sering kali dihadapi dengan dua cara. Cara pertama adalah bahwa studi yang dilakukan memang tidak berniat untuk secara realistik menggambarkan penggunaan, tetapi ada efek tertentu yang berlangsung dalam jangka pendek. Kedua adalah dengan cara bersandar pada gagasan bahwa respons terhadap stimulus digerakkan oleh hukum behavioral sehingga demografi partisipan tidak relevan. Selain itu, karena secara umum menggunakan ANOVA, maka ukuran sampel menjadi perkara penting dalam eksperimen. Jumlah ideal yang dibutuhkan untuk masing-masing kelompok eksperimen adalah 52 orang.
Sayangnya, dalam penelitian eksperimen, penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana efek media terhadap diri seseorang seolah-olah tidak perlu dijelaskan. Penjelasan dan kesimpulan hanya mengatakan bahwa ada kausalitas antara tayangan dengan perilaku, tetapi penjelasannya tidak diberikan secara detail. Sebagai catatan, penelitian eksperimen mendasarkan pada tradisi filosofis yang disebut sebagai positivisme. Tradisi positivisme biasa digunakan dalam sains dan penciptaan produk dalam industri, misalnya pembuatan mesin, katakanlah sebuah mobil yang memiliki kestabilan dalam tekstur jalan buruk, beban penumpang tertentu, dan kecepatan tertentu. Tentu saja, praktik demikian belum tentu relevan diterapkan pada manusia.
Kemudian, kelemahan kedua adalah terkait statistik inferensial yang menunjukkan bahwa eksperimen sangat ditentukan oleh desain penelitian. Dalam penelitian statistik, pasti ada hipotesis penelitian. Sayangnya hipotesis tersebut seolah-olah harus diterima atau dengan kata lain hasilnya menunjukkan signifikan. Apabila dicermati dalam berbagai jurnal Psikologi, hasil yang diperoleh cenderung mengatakan signifikan yang artinya ada kemungkinan bias bahwa memang yang diterbitkan hanyalah yang signifikan (Peters & Ceci, 1982). Sebagai cara untuk mengatasi kritik kedua ini, para peneliti eksperimen atau kuantitatif biasanya melakukan penelitian meta-analisis. Meta-analisis dilakukan dengan memeriksa hubungan antara variabel x dengan variabel lain dalam berbagai macam studi yang pernah dilakukan dengan memanfaatkan variabel x. Meskipun demikian, meta-analisis juga memperoleh kritikan terkait dengan variabel psikologis yang lebih sulit dikontrol dalam variasi stimuli, pengukuran, dan desain penelitian; yang tentu sangat berbeda dengan bidang lain seperti mikrobiologi.
Dalam tren kontemporer, tradisi eksperimen kemudian melakukan penelitian yang lebih bersifat neurosains, misalnya dengan menghitung detak jantung atau aktivitas otak. Contoh lain adalah dengan menghitung gerakan mata saat menonton. Artinya, perilaku yang tampak (overt behavior) menjadi konsen para peneliti eksperimen. Berbeda dengan eksperimen klasik, penelitian model demikian lebih memberikan data yang berguna, sebab tidak semata berasal dari laporan diri si partisipan. Meskipun demikian, kecanggihan analisis statistik menjadi lebih dibutuhkan dalam kasus ini, misalnya dengan time-series analysis. Dalam time-series analysis, peneliti menganalisis urutan titik data yang dikumpulkan selama interval waktu tertentu. Analis mencatat titik data pada interval yang konsisten selama periode waktu tertentu daripada hanya merekam titik data secara acak. Sekali lagi, persoalan confounding variables tetap menjadi masalah. Dalam satu kasus tertentu, gerakan mata atau detak jantung seseorang belum tentu disebabkan oleh tontonan atau media yang berada di hadapannya, melainkan juga kondisi-kondisi lain yang sukar diketahui oleh para peneliti.
Selanjutnya adalah metode survei. Apabila seseorang berminat untuk melakukan kajian pengalaman sehari-hari dalam bermedia, maka survei akan menjadi alternatif yang tepat (Giles, 2003). Dalam survei, seorang peneliti dimungkinkan untuk menanyakan media apa yang digunakan partisipan dan memperoleh pengukuran tidak langsung terhadap efek atau pengaruh media tersebut. Survei menjadi alat utama untuk cultivation research. Berbeda dengan eksperimen yang menggunakan kelompok kontrol, para peneliti yang meyakini survei menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin. Seseorang yang menonton televisi belum tentu tidak mengonsumsi media lain, yang artinya perilaku yang ditampilkan seseorang bukan berasal dari satu efek media belaka. Oleh karena itu, variabel yang muncul dalam survei tidak lagi variabel tunggal sebagaimana dalam eksperimen. Survei mengakomodasi desain korelasional untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variable dependen.
Dalam penelitian korelasional, segala sesuatunya ditentukan oleh koefisien korelasi (r) atau nilai yang mengukur derajat asosiasi antara dua variabel. Misalnya, kita berpikir bahwa kaum millenial lebih sering menggunakan Twitter dibandingkan dengan generasi baby boomers. Hipotesisnya bisa demikian: Ada hubungan positif antara generasi dengan penggunaan Twitter. Korelasi positif akan ditunjukkan dengan nilai r > 0. Nilai sempurna dari korelasi adalah r=1.0. Namun, nilai sempurna ini sangat jarang diperoleh, bahkan apabila diperoleh justru akan dipertanyakan keabsahannya.
Sekalipun cara meneliti dengan model korelasional ini elegan, tetapi hasilnya sering kali dianggap sebagai sebuah relasi palsu. Hal ini tampil dalam model pe-rating-an televisi yang senantiasa dimanfaatkan media dalam ratings war. Boleh jadi, orang merasa tidak pernah menonton televisi, tetapi seolah-olah data rating digeneralisasi dari sekadar sampel menjadi keseluruhan populasi.
Tradisi Kualitatif: Etnografi, Analisis Isi, dan Analisis Wacana
Ada kecenderungan perubahan tren penelitian dari efek media menuju bagaimana audiens berinteraksi dengan media. Berbeda dengan penelitian efek dan kuantitatif yang berfokus untuk mengontrol dan memprediksi perilaku, penelitian audiens aktif dan kualitatif lebih berminat pada bagaimana memahami perilaku manusia (Giles, 2003). Penelitian kualitatif sendiri masih terbagi ke dalam berbagai macam model seperti etnografi, grounded theory, atau analisis wacana.
Dalam pengambilan data, metode yang lazim dipakai adalah wawancara yang berfokus pada pengalaman penggunaan media pada audiens secara individual. Berbeda dengan wawancara, focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah juga dimanfaatkan dalam rangka menelisik bagaimana orang membicarakan media dan perannya dalam kehidupan sehari-hari. FGD mampu untuk mengumpulkan kekayaan data yang dapat dianalisis dari perspektif interpretatif. Idealnya, FGD dilakukan bersama 6-8 orang dengan masing-masing orang merepresentasikan kelompok sosial tertentu (Morgan, 1988). Jumlah kelompok FGD juga tergantung pada keluasan audiens, misalnya lingkup nasional dengan lokal akan berimplikasi pada besaran jumlah. Dalam perkembangan terbaru, penetrasi internet memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara virtual maupun FGD virtual. Keduanya bisa dilakukan secara synchronous maupun asynchronous (Evans, Elford, & Wiggins, 2008).
Etnografi
Tradisi etnografi lahir dan besar dalam penelitian antropologis. Dalam Antropologi, seorang peneliti akan menggabungkan diri ke dalam suatu komunitas dalam waktu yang cukup lama, bahkan menahun. Etnografi dikenal dengan penelitian yang membuat deskripsi tebal (thick description) mengenai komunitas yang diteliti. Selama berada dalam komunitas, peneliti membuat catatan lapangan (field-notes), mengumpulkan arsip, dan material lain terkait dengan komunitas termaksud. Berbeda dengan etnografi yang menahun, tradisi penelitian etnografi hari ini tidak begitu memakan waktu. Asal berbagai kebutuhan untuk pengambilan data sudah mencukupi, seorang etnografer bisa memulai analisis data. Apa yang perlu dilakukan dalam etnografi adalah menjaga relasi dan kontak dengan komunitas tersebut. Tipe penelitian etnografi memungkinkan seseorang melakukan exposure dan mengasah sensitivitas kultural terhadap konteks di sekitarnya.
Etnografi memanfaatkan berbagai macam cara untuk mengambil data, atau dengan kata lain tidak ada metode pengambilan data yang spesifik. Ada satu metode pengambilan data yang amat penting dalam etnografi, yakni observasi partisipan. Berbeda dengan observasi dalam suatu eksperimen, etnografer tidak perlu menciptakan suatu kondisi eksperimen untuk melakukan pengamatan. Artinya, dalam suatu etnografi termuat validitas ekologis yang tinggi. Seorang etnografer juga tidak perlu susah-susah menyembunyikan identitasnya. Namun, dalam beberapa kasus, identitas etnografer juga tidak diketahui dengan harapan bisa menyatu bersama suatu kelompok tanpa dicurigai.
Selain observasi partisipan, seorang etnografer juga perlu memelajari wawancara. Wawancara yang dilakukan tidak harus wawancara yang dipersiapkan begitu ketat, dengan rekaman, dan berbagai hal lain. Ada dua tipe wawancara yang diakui oleh etnografi, yakni wawancara informal dan formal. Dalam wawancara informal, seorang etnografer bisa melakukan percakapan harian dengan partisipan tanpa perlu dicurigai mendalam sebagaimana dalam wawancara terekam. Fungsi wawancara informal dalam hal ini adalah untuk pembuatan deskripsi tebal dari catatan lapangan. Sementara itu, wawancara formal bisa dilakukan dengan lebih tertata dan terencana untuk kemudian direkan dan ditranskripsi. Pemosisian wawancara formal ini juga sebagaimana dalam wawancara informal, yakni untuk menambah detail penting dalam catatan lapangan.
Selain pengamatan dan wawancara, seorang etnografer hendaknya juga menjadi seorang pengarsip. Seorang pengarsip akan mengumpulkan berbagai macam data arsip berupa dokumen, material teks, data visual, dan berbagai hal lain yang berguna untuk menyusun laporan penelitian. Sebagai contoh, ketika Anda hendak meneliti mengenai pengaruh internet dalam suatu kelurahan, maka Anda perlu mengumpulkan data-data penetrasi internet di kelurahan tersebut. Data tersebut misalnya adalah pemasangan jaringan internet rumahan, pemasangan tower dari provider, jumlah pengguna smartphone, dan lain sebagainya.
Analisis Isi/Teks
Metode analisis kedua adalah analisis isi atau teks media. Dalam analisis teks media, seorang peneliti dapat memanfaatkan analisis isi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebagaimana telah disebut di awal, metodologi kuantitatif bersifat menghitung, sehingga apa yang dilakukan analisis isi kuantitatif adalah melakukan hitungan atas suatu fenomena. Sebagai contoh, seseorang hendak meneliti soal representasi gender dalam iklan minuman beralkohol. Apa yang perlu dilakukan peneliti adalah mengumpulkan berbagai macam iklan minuman beralkohol kemudian menghitung kemunculan figur perempuan dibandingkan laki-laki.
Dalam melakukan analisis isi kuantitatif, peneliti sering kali memanfaatkan tes chi-square (Giles, 2003). Chi-square digunakan untuk mengukur perbedaan antara frekuensi yang diamati dan yang diharapkan dari hasil serangkaian peristiwa atau variabel. Chi-square bermanfaat untuk menganalisis perbedaan dalam variabel kategori, terutama yang bersifat nominal. Sayangnya, chi-square tidak bisa memberikan informasi mengenai kekuatan hubungan antar-variabel.
Sementara itu, dalam analisis isi kualitatif merupakan metode penelitian untuk memperoleh interpretasi subjektif dari data teks lewat klasifikasi sistematik proses coding dan pengidentifikasian pola (Hsieh & Shannon, 2005). Berbeda dengan etnografi atau analisis wacana yang bersifat tematik, analisis isi kualitatif berfokus pada karakteristik bahasa sebagai komunikasi dengan memperhatikan isi atau makna kontekstual dari sebuah teks. Data teks yang dimaksud bisa berupa verbal, tercetak, atau elektronik yang diperoleh lewat survei, wawancara, FGD, observasi, atau media cetak. Berbeda dengan model kuantitatif yang menghitung kata, analisis isi kualitatif berupaya menyediakan pengetahuan dan pemahaman terhadap fenomena yang tengah diteliti (Downe-Wamboldt, 1992).
Analisis Wacana
Meskipun pada contoh analisis isi kuantitatif mengenai penggambaran gender begitu menarik, tetapi analisis tersebut tidak memiliki kekuatan untuk menjelaskan. Dalam rangka menjelaskan dan melakukan analisis interpretatif, analisis wacana dapat dimanfaatkan sebagai pisau analisis (Giles, 2003). Parker (1992) menyatakan bahwa wacana merupakan sistem pernyataan yang mengonstruksi suatu objek. Wacana merupakan rangkaian makna, metafor, representasi, gambar, cerita, pernyataan dan segala sesuatu yang secara bersamaan memproduksi versi peristiwa tertentu (Burr, 1995). Karena banyaknya cara pandang terhadap suatu objek, maka apa yang dinamakan wacana ini saling bertumbuk satu sama lain. Tumbukan antara satu konstruksi dengan konstruksi lainnya inilah yang dikerjakan oleh wacana. Burr (1995) menyatakan bahwa para peneliti wacana meyakini bahwa dunia kita bukan berisi sekadar harmoni, melainkan konflik dan perbedaan yang perlu dipahami agar secara praktis dapat berkontribusi pada penyelesaian persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini, terdapat dua tradisi dalam penelitian wacana. Tradisi pertama berasal dari pendekatan sosio-linguistik dan analisis percakapan (conversation analysis) yang berfokus pada penggunaan bahasa dan membutuhkan perhatian khusus pada fitur linguistik. Tradisi ini dimanfaatkan oleh mereka yang hendak menganalisis gaya naratif dari struktur cerita. Sebagai contoh, ketika Anda hendak menganalisis suatu film, Anda perlu membaginya ke dalam plot. Dalam plot tersebut, Anda harus menentukan apakah film tersebut tertata secara kronologis, menggunakan flashbacks atau flashforwards, identifikasi tema dan isu dalam film, angle seperti apa yang sering dipakai, audio yang dimanfaatkan, dan lain sebagainya. Dalam bentuk holistiknya, kita bisa menebak mengenai genre film. Dalam film Train to Busan (2016), Sok-woo, seorang ayah yang memiliki tidak banyak waktu untuk putrinya, Soo-ahn, menaiki KTX (kereta cepat) yang akan membawa mereka dari Seoul ke Busan. Selama dalam perjalanan, kiamat dimulai, dan sebagian besar penduduk kota menjadi zombie yang mendambakan daging manusia lain. Para penumpang berjuang untuk keluarga mereka, hidup melawan zombie dan satu sama lain. Secara holistik, kita dapat menentukan bahwa film tersebut ber-genre drama keluarga dan kehidupan dipadukan dengan distopia apokaliptik, yang ditandai dengan kekacauan sosial.
Sementara itu, tradisi kedua berasal dari pendekatan ilmu sosial yang diawali dengan gagasan Michel Foucault (1926-1984). Dalam tradisi Foucaldian, suatu teks terikat erat dengan praktik sosial dan diskursif dari suatu budaya. Wacana mengonstitusikan versi realitas yang diterima oleh suatu masyarakat. Gagasan Foucault ini senada dengan cara baca audiens yang diidentifikasi dalam model sirkuit komunikasi yang diutarakan Hall (1980), yakni dominant code, negotiated code, atau oppositional code.
Sekalipun teori wacana ini merupakan yang paling mutakhir, tampaknya ia juga tidak luput dari kritik. Kritik pada analisis wacana diarahkan pada subjektivitas dan prosedur baku yang kurang kentara. Namun, keduanya kembali disangkal oleh para pemikir wacana bahwa seorang peneliti tidak akan bisa lepas dari subjektivitas tertentu. Bahkan, analisis statistik pun meyakini bahwa kebenaran data hanya bisa dibuktikan lewat hitungan matematis. Sementara itu, dalam perkara prosedur baku, kini telah berkembang langkah-langkah untuk melakukan analisis wacana (Willig, 2013).
Arah Lanjutan dalam Penelitian Media
Selama ini, area minat penelitian yang berkembang dalam Psikologi Media adalah penelitian efek dan audiens (Stever, 2021). Masalahnya, pada hari ini seseorang menjadi audiens sekaligus kreator suatu produk media. Penelitian efek tidak lagi begitu relevan sebab perlu ditambahkan dengan gagasan audiens aktif. Dalam rangka mencermati ekosistem baru ini, penelitian kualitatif seperti etnografi dan analisis wacana memiliki peluang untuk memotret cara transformatif audiens dalam menjadi kreator dalam ber-media. Oleh karena itu, identifikasi oligarki atau penguasa media juga menjadi bagian dalam model penelitian etnografi maupun analisis wacana Foucaldian.
Di lain pihak, muncul tren baru dalam penelitian media, yakni big data analysis (BDA). Berbeda dengan penelitian kritis media, BDA memanfaatkan rangkaian data kuantitatif yang besar. Sampai hari ini, terdapat 2 problem besar dalam BDA, pertama adalah biaya yang amat besar dan kedua adalah soal pengakuan akan aspek kemanusiaan. Dalam problem kedua, penelitian BDA tidak menghubungkan penelitian statistik dan komputasional pada analisis lebih jauh mengenai makna, interpretasi, pengalaman, sikap, nilai moral, dilemma etis, kontradiksi, dan implikasi makro-sosiologis dari media (Fuchs, 2017). Selain itu, penelitian dengan big data juga membutuhkan persetujuan dari platform yang digunakan melalui Application Program Interface (API). Tentu saja, ini bukan perkara mudah.
Daftar Acuan
Burr, V. (1995). An introduction to social constructionism. Routledge.
Downe-Wamboldt, B. (1992). Content analysis: Method, applications, and issues. Health Care for Women International, 13, 313-321.
Evans, A., Elford, J., & Wiggins, D. (2008). Using the internet for qualitative research. Dalam C. Willig & W. Stainton-Rogers (Eds.), The Sage handbook of qualitative research in psychology (hal. 315-333). Sage Publications.
Fuchs, C. (2017). From digital positivism and administrative big data analytics towards critical digital and social media research. European Journal of Communication, 32(1), 37–49. doi:10.1177/0267323116682804
Giles, D. (2003). Media psychology. Lawrence Erlbaum Associates.
Hall, S. (1980). Encoding/decoding. Dalam S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, media, language (hal. 128–138). Hutchinson.
Hsieh, H. F., & Shannon, S. E. (2005). Three approaches to qualitative content analysis. Qualitative health research, 15(9), 1277–1288. https://doi.org/10.1177/1049732305276687
Mayer, J. D., & Gaschke, Y. N. (1988). The experience and meta-experience of mood. Journal of Personality and Social Psychology, 55(1), 102–111. doi: 10.1037/0022–3514.55.1.102
Parker, I. (1992). Discourse dynamics: Critical analysis for social and individual psychology. Routledge.
Peters, P. D., & Ceci, S. J. (1982). Peer-review practices of psychological journals: The fate of published articles, submitted again. Behavioral and Brain Sciences, 5, 187–255.
Stever, G.S. (2021). Key theories and concepts from Media Psychology. Dalam G.S. Stever dkk., Understanding Media Psychology. Routledge.
Willig, C. (2013). Introducing qualitative research in psychology (3rd ed.). McGraw-Hill Education.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.