Esai

Klitih: Dari Geng Sekolah Menjadi Geng Pembantai

Ketika Anda menggunakan mesin pencari Google untuk mengumpulkan informasi dengan kata kunci “klithih”, Anda akan menemukan sebanyak 34.700 artikel (data tertanggal 30 Oktober 2020). Apabila Anda kemudian mengganti dengan kata kunci “klitih”, Anda akan menemukan jumlah lebih banyak: 213.000 artikel. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan pada 7 April 2022, dengan masing-masing data menunjukkan 280.000 artikel dan 40.200.000 artikel. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari 1,5 tahun, informasi mengenai fenomena tersebut hampir 200 kali lebih banyak. Jumlah tersebut menunjukkan betapa “klitih” sudah menjadi problem yang ramai dibicarakan orang. Arah pembicaraannya pun disertai dengan berbagai emosi: marah, sedih, takut, was-was.

Pembentukan kelompok agresif-destruktif ini lazim dan telah menjadi perdebatan serius di Yogyakarta sejak tahun 1980an. Pada Maret 1983, operasi pembantaian preman dilakukan di Yogyakarta dan dipimpin oleh institusi militer. Operasi yang kemudian dikenal sebagai Petrus (Penembak[an] Misterius) tersebut menjalar dari Yogyakarta ke kota-kota lain. Presiden Soeharto mengatakan bahwa operasi tersebut merupakan shock therapy bagi para preman yang menganggu keamanan dan ketertiban. Pada kenyataannya, para preman yang dibantai adalah mereka yang menolak setia pada pemerintahan. Para preman tersebut adalah pula bekas orang-orang yang berkampanye dalam partai politik Golkar yang pada saat itu memonopoli perpolitikan Indonesia (Siegel, 1998).

Pola relasi antara partai politik dengan geng ini terus dipelihara setelah Petrus berakhir (Kristiansen, 2006). Budiawan (2008) menemukan bahwa ada sebuah sekolah yang anggota geng sekolahnya kemudian direkrut untuk masuk ke dalam geng besar yang berafiliasi dengan partai politik bernafaskan Islam, yakni JXZ (Joxzin). Geng ini bermarkas di sekitar Keraton Yogyakarta. Orang lazim menyebut daerah ini sebagai daerah Jogja Selatan. Sementara itu, di bagian Jogja Utara ada geng besar lain yang berafiliasi dengan partai politik, yakni QZR (Q-zruh). Kelompok preman ini senantiasa berkembang mengikuti perkembangan Yogyakarta. Di daerah Babarsari misalnya, yang notabene banyak kampus dan pendatang dari berbagai daerah, muncul kelompok baru yang dianggap menguasai jalanan dan wilayah Babarsari. Namun, kelompok tersebut kemudian “dibantai” oleh kelompok dari militer Kopassus sebagai buntut perebutan lahan di Hugo’s Cafe pada tahun 2013. Kelompok Deki cs, yakni kelompok yang dibantai ini, juga diduga memiliki afiliasi dengan penguasa lokal di Yogyakarta (Harimurti, 2017).

Dalam konteks yang lebih lokal, terdapat geng-geng tongkrongan yang kemudian populer dengan geng klitih. Hari ini, klitih dikenal sebagai aksi yang dilakukan oleh remaja yang rerata berusia 14-19 tahun, artinya dalam kategori sekolah, para pelaku masih duduk di bangku SMP atau SMA. Perkara lebih serius muncul ketika klitih memungkinkan para korban terancam nyawanya, bahkan meninggal. Sebetulnya, apabila Anda hidup sejak kecil dalam alam pikir bahasa Jawa, kata “klitih” menunjukkan bahwa seseorang tengah tjari angin atau cari ide, santai-santai, dan sekadar berputar-putar menikmati lanskap kota. Kata “klitih” kemudian mengalami perubahan makna ketika masa-masa tawuran antar-pelajar di Yogyakarta tengah ramai-ramainya, yakni sekitar tahun 2000an.

Pada masa 2000an, kata “klitih” digunakan untuk mengambarkan kelompok pelajar sekolah tertentu yang “berburu” pelajar yang lain sekolah, yang dianggap sebagai lawan atau musuh dari sekolahnya. Perlahan setelah masa-masa tawuran terlewati (pasca-2007), ditandai dengan pergantian seragam sekolah yang tidak lagi dinamai sekolahnya masing-masing dan menjadi “Pelajar Kota Yogyakarta” (lihat detik.com, 2007), aksi “klitih” kembali terjadi dengan pemaknaan yang berbeda. Aksi tidak lagi didasarkan pada identitas sekolah, melainkan kelompok bermain (tongkrongan) yang membentuk suatu geng. Bahkan, dalam kelompok baru ini dibekali dengan berbagai peranti senjata: tongkat baseball, clurit, pedang katana, gir, parang, atau roman candle.

Selain identitas dan penggunaan senjata, ada dua hal lain yang membedakan klitih masa kini dengan klitih tahun 2000an, yakni soal waktu dan perlakuan terhadap target klitih. Klitih pada masa 2000an jamak dilakukan pada saat pulang sekolah. Kelompok geng sekolah yang melakukan klitih akan keliling-keliling untuk melakukan “patroli” terhadap pelajar sekolah lain yang dianggap sebagai lawan atau musuh. Pelajar yang sedang kena sial akan ditanyai dari sekolah mana ia berasal, apabila dari sekolah musuh para pelaku, maka ia akan diserang. Penyerangan dilakukan dengan tangan kosong dan hanya bersifat melukai sementara, tidak sampai pada penghilangan nyawa.

Pasca-pembantaian Deki cs, pada 2014 muncul geng klitih yang bersifat mematikan seperti Raden Kian Santang (RKS) yang beroperasi di Sleman. Pada awalnya, anggota geng RKS ini beranggotakan kelompok remaja yang nongkrong bersama dan karena identitas kelompokya kemudian menyerang kelompok lain. Namun seirinng berkembangnya waktu dan konteks politik pada 2014, anggota geng ini juga mengikuti kampanye-kampanye partai, yang artinya memiliki relasi dengan partai politik. Model ini kemudian diikuti dengan pembentukan geng remaja dari partai politik lain untuk mengimbangi “pasukan tempur”-nya. Geng RKS menjadi fenomena titik balik dari model klitih yang sebelum-sebelumnya dilakukan. RKS membawa isu baru mengenai kriminalitas remaja yang berpotensi lebih keji dari klitih sebelumnya. RKS memilih acak siapa yang menjadi targetnya, pada masa ini tidak seorang pun merasa aman untuk sekadar tjari angin di malam hari.

Pada masa yang sama dengan RKS, muncul berbagai kelompok tongkrongan klitih yang saling bermusuhan satu sama lain. Satu sama lain saling memusuhi dan menyerang yang bukan anggota kelompok geng-nya. Dalam sebuah pertemuan pada 2020 dengan seseorang yang berada dalam lingkaran geng-gengan ini, ia menuturkan bahwa geng RKS beroperasi di wilayah Palagan dan memiliki anggota sekitar 100an orang. Kemudian ada Prabu Siliwangi (PSW) yang beroperasi di Pakem, Palagan, dan Jalan Kaliurang. PSW memiliki anggota hingga 100an orang. Geng PSW dan RKS ini merupakan dua geng klitih terbesar di Sleman yang sering kali kecroh (istilah khas yang digunakan para anggota untuk menyebut “berantem”). Ada pula geng seperti Kalasan House of Mafia (KHM) yang beranggotakan 50an orang dengan area operasi di Kalasan atau SHF dengan anggota 50an orang dan beroperasi di Maguwoharjo. Sementara itu, geng klitih terbesar di area kota Yogyakarta adalah BWS22 yang beranggotakan 100an orang.

Lewat media dan percakapan keseharian, sering kali disebutkan bahwa geng klitih ini tidak lagi menyerang berdasarkan identitas sekolah, tetapi melakukan penyerangan secara random (acak). Pendapat ini ada betulnya, tetapi ada pula tidaknya. Dalam kelompok tongkrongan, anggota sering kali berasal dari sekolah yang saling mendukung dan membela satu sama lain. Sementara itu, kelompok sekolah musuh sering kali beranggotakan kelompok dari sekolah yang dianggap musuh. Maka, sebetulnya sisa kebesaran geng sekolah masih tampil dalam geng klitih. Ketika menyerang secara random, ada yang memiliki kode etik untuk menanyakan sekolah si orang yang diberhentikan di mana, baru kalau sekolah yang dianggap musuh, maka target akan diserang.

Anggota geng klitih juga mengembangkan cara identifikasi yang unik. Misal pada tahun 2014-2017, penggunaan motor dan helm menentukan penyerangan terhadap target. Motor matic atau Satria FU dengan helm cakil ber-sticker tertentu akan menandai bahwa seseorang mengikuti geng klitih tertentu. Dengan identifikasi ini, maka si orang akan mudah dijadikan target penyerangan anggota geng klitih lain.

Dalam penelitian mengenai sebuah geng klitih di Sleman, Yuda (2018) menemukan bahwa geng tersebut memiliki kode etik tertentu dalam menyerang target, misalnya berbadan besar. Badan besar yang menjadi target klitih ini menjadi simbol bahwa anggota geng berani dengan mereka yang dianggap memiliki “tenaga”, sekalipun badan besar tidak melulu bisa ditafsirkan memiliki keberanian. Penyerangan tersebut menjadi inisiasi si anggota apabila hendak bergabung dalam geng. Sementara itu, apabila ia hendak keluar, persoalan akan lebih berat. Ia akan diintai bahkan diserang oleh anggota lain. Ia bisa gantian menjadi target klitih. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah si anggota keluar.

Selain itu, Yuda juga menemukan bahwa fungsi pemimpin dalam geng tersebut amat lah penting. Pemimipin menentukan siapa yang diberikan penghargaan dan dalam bentuk apa. Penghargaan ini diberikan, misalnya, dalam bentuk minum-minuman beralkohol secara bersama-sama untuk merayakan keberhasilan aksi seorang anggota. Yang menarik, pemimpin dari geng tersebut adalah seorang paruh baya. Pemimpin ini memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu. Sesekali, anggota geng diajak menjadi garda terdepan dalam kampanye partai tersebut.

Bagaimana ketika masa-masa politik kepartaian ini telah lewat? Ketika tidak berada dalam masa perhelatan politik, sebagian anggota geng akan mengikuti supporter sepak bola. Agresi yang telah terbentuk dalam keseharian kelompok kemudian menemukan saluran lewat ruang lain. Geng-geng ini bertindak sebagai vigilante yang siap dipanggil kapan saja untuk melakukan “tugas”. Anggota-anggota ini dijamin keberadaannya, bahkan ada pula jaminan untuk keluarga. Jaminan ini diperolah dari siapa yang menjadi “tuan” bagi geng klitih ini; yang bisa jadi adalah geng-geng besar, partai, atau kelompok kriminal lokal yang menjadi bekking untuk geng klitih

Pada 2016 tercatat ada sebanyak 43 kasus klitih, 2017 ada 48 kasus, dan pada 2018 ada sekitar 25 kasus (Pangaribowo, 2019). Data tahun 2019 menunjukkan sebanyak 40 kasus (Anwar, 2020). Sementara itu, pada 2020 tercatat 52 laporan untuk kemudian meningkat pada 2021 menjadi 58 laporan (News.detik.com, 2021). Alih-alih menunjukkan bahwa klitih mengalami penurunan, data tersebut menggambarkan bahwa persoalan klitih belum teratasi dengan sempurna. Pengorganisasian remaja lewat klitih nyatanya masih terjadi. Pengorganisasian ini yang kemudian sulit untuk dipetakan oleh masyarakat awam.

Persoalan lain yang muncul adalah semua kriminalitas yang terjadi di jalanan dan mengambil waktu malam hari akan dikategorikan klitih, sekalipun pelakunya orang dewasa dan bertujuan untuk menjambret atau merampok. Ada beberapa kasus di sekitar Ringroad Utara DIY yang menyebutkan bahwa perempuan yang lewat daerah tersebut pada malam hari mengalami pelecehan seksual di jalanan, ada pula yang mengatakan bahwa siang hari juga mengalami pelecehan tersebut. Kelompok penjambret di Yogyakarta juga memanfaatkan situasi malam untuk melakukan tidak kriminalitas. Sekalipun demikian, hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda dengan klitih. Klitih bertujuan untuk melukai bahkan mematikan target yang diserang, sementara itu pelecehan seksual menyerang target tanpa melukai secara fisik dan penjambret menyerang untuk mengambil barang si target. Model macam inilah yang kemudian menjadikan nama RKS begitu mengemuka di telinga masyarakat, para kriminal dengan mudah mengaku-diri orang RKS untuk mendifusikan identitasnya. Padahal, belum tentu mereka sendiri adalah anggota RKS. Dengan demikian, orang dengan mudah mengasosiasikan kriminalitas jalanan yang terjadi di daerah Sleman dilakukan oleh RKS. Atau, RKS menjadi istilah pengganti untuk kriminalitas malam di jalanan.

Perdebatan dimunculkan dalam kalangan masyarakat terkait klitih yang rentan menular pada remaja yang notabene dianggap labil (bandingkan dengan Shiraishi, 1997). Kampanye anti-klitih berkali kali dilakukan (2016-2022) tetapi persoalan klitih ini betul-betul seperti pencuri di siang bolong, kita tak pernah tahu pada hari apa hal tersebut akan terjadi. Kebijakan untuk penyelesaian kasus telah digagas pemerintah, kerja sama antara sekolah, polisi, orang tua, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga dilakukan (Agung DH, 2017), tetapi klitih tetap berlangsung. Pada keyataannya, untuk melakukan himbauan saja tidak cukup. Persoalan klitih begitu kompleks, dari remaja yang butuh penyaluran diri hingga partai yang butuh mempertahankan diri.

Amatan lain yang tidak kalah menarik adalah terkait dengan pola spasial dalam klitih. Pemilihan lokasi operasi geng klitih ini bukan tanpa alasan. Mereka mencari jalan-jalan yang dianggap besar dan memungkinkan mereka untuk melarikan diri saat melakukan penyerangan. Jalan aspal kecil juga menjadi rute “favorit” yang digunakan untuk melarikan diri setelah melakukan aksinya. Barangkali, sebagaimana Gotham City, jalan-jalan cuma membutuhkan lampu yang lebih terang atau CCTV yang 24 jam mengamati perilaku jalanan laiknya Big Brother dalam novel 1984-nya George Orwell.

Lebih mengherankan lagi, dalam masa yang penuh dengan virtualitas ini, orang dengan mudah menemukan dan memainkan virtual sex. Sayangnya, kita belum menemukan bahasa untuk mengimajinasikan soal virtual war atau virtual klitih.

 

Referensi 

Budiawan, O. (2008). Bandit di kampung santri: Geng dan kawanan preman di Kauman, Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Gadjah Mada.

Harimurti, A. (2017). Merayakan pembantaian preman: Fantasi dalam penyerangan Lapas Cebongan. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Sanata Dharma.

Kristiansen, S. (2003). Violent youth groups in Indonesia: The cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1, hal. 110-138.

Anwar, R. (4 Februari 2020). Kapolda: Kami sudah kantongi data klitih. rri.co.id. https://rri.co.id/yogyakarta/peristiwa/hukum-kriminal/781887/kapolda-kami-sudah-kantongi-data-klitih

Shiraishi, S.S. (1997). Young heroes: The indonesian family in politics. Ithaca: Cornell Souteast Asia Progam.

Agung DH. (16 Maret 2017). Cegah klithih, sekolah DIY wajibkan deteksi perilaku siswa. Tirto.id.  https://tirto.id/ckQM

Pangaribowo, W.S. (4 Januari 2019). Kapolda DIY: Kasus klitih di Yogyakarta menurun. Jogja.tribunnews.com. https://jogja.tribunnews.com/2019/01/04/kapolda-diy-kasus-klitih-di-yogyakarta- menurun

Siegel, J.T. (1998). A new criminal type in Jakarta: Counter-revolution today. Duke University Press.

Yuda, N.C. (2018). Klitih: Kriminalitas jalanan dan ketakutan yang tewadahi. Dalam R.L.E. Prihatmoko dan A. Harimurti, Mencari peran psikologi dalam Indonesia masa kini (hal. 172-183). SDUP.

NN. (4 September 2007). Siswa SMA Bopkri 2 pulang dini. Detik.com. https://news.detik.com/berita/825395/siswa-sma-bopkri-2-pulang-dini

 

 

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *