Pada tahun 2016, seorang mahasiswa UGM menuliskan pengalaman diusir dari kampusnya sendiri. Ketika ia tengah duduk-duduk di taman UGM, seorang petugas keamanan mendekatinya. Mahasiswa tersebut memberi pengakuan demikian: Saya mengerti orang ini mengusir saya karena fisik dan asal saya dari Papua. Karena dari omongannya “Saya takut akan ada orang lain yg datang dan duduk-duduk di sini pula.” Loh? Memangnya kenapa kalau ada orang lain? Yah tentu saja maksudnya orang-orang yang fisiknya sama seperti saya. Lalu saya menyatakan bahwa saya mahasiswa UGM yg hendak duduk di sini. Lalu bapaknya mengatakan, “Kenapa Mbak tidak ke Asrama Papua Kamasan saja untuk duduk?” Pengakuan ini tentu saja sangat problematis, di mana hadir unsur rasisme terhadap orang Melanesia di Yogyakarta. Bahasan rasisme merupakan hal yang terus-menerus diperbincangkan dalam psikologi sosial, terutama ketika kita membuka topik mengenai stereotip, prasangka, dan diskriminasi.
Lantas, bagaimana Psikologi Sosial membicarakan soal stereotip, prasangka, dan diskriminasi? Branscombe & Baron (2017) menyatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif dalam sikap terhadap kelompok sosial tertentu, atau secara khusus merujuk pada keyakinan mengenai seperti apa kelompok tersebut. Sementara itu, dalam ranah afektif, prasangka merupakan respon emosi negatif terhadap seseorang berdasarkan ketergabungannya dalam kelompok tertentu (Branscombe & Baron, 2017; Prawasti, 2009). Apabila respon emosi atau evaluasi (sikap) ini tampil dalam bentuk perilaku, maka dalam istilah psikologi kemudian disebut sebagai diskriminasi.
Prasangka dan diskriminasi yang diarahkan terhadap orang dan kelompok tertentu, memiliki sebutan yang berbeda-beda dalam psikologi, misalnya seksisme, rasisme, ageisme, atau juga terkait difabel. Dalam seksisme, kita akan menemui pembedaan dan penyingkiran bedasarkan seksualitas. Dalam rasisme, kita akan menemui pembedaan dan penyingkiran berdasarkan ras dan etnis. Ageisme sendiri merupakan pembedaan dan penyingkiran berbasis pada usia seseorang. Sementara itu, prasangka dan diskriminasi terkait difabel tampak dalam cara memandang dan memperlakukan kaum difabel. Karena itu, untuk menentukan kepada siapa prasangka dan diskriminasi diarahkan, menjadi tugas utama bagi kita yang belajar Psikologi Sosial.
Kajian terhadap prasangka bisa dimulai dengan siapa yang menjadi target prasangka. Selanjutnya, kita mesti mencari mengapa dan bagaimana prasangka ini bisa terbentuk. Penyelidikan mengapa prasangka ini terbentuk bisa kita telusuri secara historis dan dalam konteks seperti apa prasangka terbentuk dan berubah dari masa ke masa. Sementara itu, pertanyaan bagaimana prasangka terjadi akan lebih menyasar pada praktik prasangka dan diskriminasi yang menimbulkan problem sosial dalam relasi antarmanusia. Dalam kasus seksisme, ditemukan bahwa perempuan dilihat memiliki skor tinggi dalam kehangatan dan rendah dalam kompetensi (Branscombe & Baron, 2017). Namun, apakah perbedaan tersebut bisa menjelaskan “mengapa” perbedaan tersebut bisa terjadi? Karena tidak bisa menjelaskan bagaimana hal tersebut terjadi, maka pertanyaan “mengapa dan bagaimana” ini akan mengantarkan kita memahami cara mendekati persoalan prasangka dan diskriminasi yang dalam Psikologi Sosial ditekankan pada kognisi sosial, kepribadian, dan keanggotaan kelompok; menjadi pendekatan yang lebih bersifat konstruksi sosial. Tulisan ini akan membatasi pada prasangka dan diskriminasi yang berbasis pada etnis dan ras atau kita kenal dengan istilah rasisme – yang dalam konteks sosiokultural Indonesia memiliki sejarah kelam.
Sejarah Prasangka Rasial
Mempelajari prasangka rasial, berarti mempelajari bagaimana kolonialisme Eropa menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Afrika kita dapat menemukan Belgia dan Prancis, di Asia kita akan menemui Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis, di Amerika kita akan menemui Spanyol dan Inggris. Kolonialisme menandai narasi perbedaan rasial, etnis, dan kelompok budaya tertentu yang mengeksploitasi dan mendominasi kelompok budaya lain (Tuffin, 2017). Lewat kolonisasi daerah dan kelompok budaya yang lain, para penjajah menekankan sistem baru keagamaan, politik, hukum, bahasa, dan teknologi. Dengan misi pember-adab-an, para penjajah menggantikan adat dan praktik dari para penduduk pribumi. Misi tersebut kemudian menyingkirkan kebudayaan setempat menjadi hal yang kuno dan tidak beradab.
Dalam konteks rasisme, kita dapat menemui kerja-kerja intelektual yang pada masa kini akan dianggap sebagai rasisme ilmiah (scientific racism) (Biondi & Rickards, 2007). Kajian awal yang menyebut soal ras adalah yang dilakukan oleh Francois Bernier (1684) dengan pembagiannya ke dalam empat ketegori. Pembagian manusia ke dalam ras selanjutnya dilakukan oleh Richard Bradley (1721) ke dalam tiga kategori, yakni Whites (Eropa dan Amerika), Negroes (Abyssinian dan Negro), dan Intermediates (Mulattoes, campuran dua ras awal).
Namun, pembagian yang dianggap sebagai awal mula memahami kajian ras adalah yang dikerjakan oleh Carl Von Linne dalam Systema Naturae (1735). Von Linne membagi manusia ke dalam empat kategori ras, yakni Europaeus albesc.; Americanus rubesc.; Asiaticus fuscus; dan Africanus niger. Berpatok pada teori temperamen pada masa Renaisans (abad 14-17), dia mendefiniskan orang Eropa bertemperamen sanguinis (bersemangat tinggi, te;iti, kreatif, taat hukum), orang pribumi Amerika koleris (terbelenggu adat), orang Asia melankolis (rakus, arogan, tamak, cerewet), dan orang Afrika plegmatis (licik, lamban, ceroboh, tidak berpendirian). Pembagian ini kemudian diteruskan oleh Georges Le Clerc Buffon (1749) ke dalam enam ras. Montagu (1964) menyebut bahwa Buffon mengklasifikasikan manusia berdasarkan wilayah geografis. Menurut Buffon, manusia berasal dari monogen, yakni Adam dan Hawa yang adalah orang Kaukasian (sekitar Pegunungan Kaukasus). Pegunungan Kaukasus ini dianggap Buffon sebagai pintu gerbang ke Firdaus (Eden). Dengan keyakinannya terhadap monogenisme, Buffon menyimpulkan bahwa ras lain merupakan degenerasi dari ras Kaukasian yang muncul akibat faktor lingkungan seperti matahari, angin, dan makanan. Kajian selanjutnya, seperti Johann Friedrich Blumenbach (1795), membagi manusia ke dalam lima ras.
Gagasan soal pembagian ras ini kemudian menyebar ke penjuru dunia seiring dengan imperialisme dan kolonialisme. Pembagian ras tersebut kemudian ditentang oleh temuan Darwin (1859) yang menyatakan bahwa perbedaan antarmanusia mungkin terjadi karena prinsip evolusi. Meskipun demikian, temuan Darwin ini justru disalahgunakan untuk menentukan ras tertentu yang mengalami “cacat” dalam proses evolusi (eugenika). Ideologi yang dipakai oleh Nazi menggunakan eugenika untuk menentukan inferioritas orang Yahudi, Roma, homoseksual, atau difabel. Sampai pada tahap ini, ras masih dilihat sebagai variabel alamiah yang berasal dari genetika manusia.
Karena dilihat sebagai bagian dari genetika, ras dianggap tidak berkaitan dengan persepsi manusia dalam melihat orang lain yang berbeda dengan dirinya. Ras dikonseptualisasikan esensialis, objektif, dan tidak dipengaruhi oleh konstruksi sosial (Goodman, 2017). Akibatnya, gagasan mengenai superioritas kulit putih dibandingkan kulit berwarna menjadi pemahaman yang dominan dengan legitimasi dari ilmu pengetahuan. Gagasan inilah yang kemudian kita kenal sebagai rasisme ilmiah. Pada bagian selanjutnya, kita akan mengeksplorasi bagaimana pandangan naturalistik ini menjadi bermasalah secara etis dalam penerapan di lingkup keilmuan maupun keseharian.
Pendekatan Tradisional terhadap Prasangka
Ada tiga konsep utama yang digunakan psikologi sosial untuk mendekati prasangka (Tuffin, 2017). Pertama adalah prasangka sebagai kesalahan berpikir. Dalam pendekatan ini, prasangka dipandang sebagai keterbatasan akal manusia. Manusia memiliki kapasitas terbatas untuk memproses informasi perseptual yang sangat berjibun. Guna mengatasi keterbatasan ini, manusia melakukan pengkategorian dan stereotip. Prasangka sendiri muncul karena adanya kecenderungan untuk melakukan generalisasi. Generalisasi ini memungkinkan manusia untuk dilihat sekadar prototip dari kelompoknya. Implikasinya bisa berupa stereotip, generalisasi berlebihan, dan penilaian yang terburu-buru. Dalam kasus di Yogyakarta, kita bisa menemuinya terkait dengan kehadiran orang Papua atau orang dari Indonesia Timur. Keterbatasan kognitif menciptakan padangan terhadap orang dari Indonesia Timur dianggap sebagai pengacau.
Meskipun demikian, usaha kognitif manusia tidak serta merta mendefinisikan orang atau kelompok lain berdasarkan keterbatasan kognitif. Dalam praktiknya, tidak semua orang Papua atau orang dari Indonesia Timur mengalami diskriminasi. Hal ini akan mengantarkan kita pada pertanyaan mengapa orang atau kelompok tertentu mengalami diskriminasi, sedang orang atau kelompok lainnya tidak. Untuk memahami kondisi Papua atau orang Indonesia Timur di Yogyakarta, kita perlu menilik lebih jauh terkait bagaimana interaksi dan institusi sosial membentuk kondisi ini. Apabila kita hanya meggunakan cara pandang Psikologi Kognitif, maka kita akan buru-buru menyimpulkan bahwa orang Papua dan orang Indonesia Timur tidak terkecuali semua akan mendapatkan diskriminasi.
Kesalahan berpikir kedua adalah menganggap prasangka bersumber dari sifat kepribadian. Gagasan ini mendapatkan kritik dari kajian Adorno soal kepribadian otoriter pada tahun 1950. Argumennya demikian: model pola asuh orang tua akan menciptakan anak dengan kepribadian otoriter. Pola asuh ini terkait dengan karakteristik orang tua yang kaku terhadap konvensi sosial, tidak memberikan kesempatan anak untuk kritis terhadap yang superior, dan permusuhan terhadap mereka yang melanggar nilai sosial. Menurut Gough, McFadden, dan McDonald (2013), untuk memahami karakter kepribadian ini kita harus melihat ideologi yang beroperasi, lingkungan sosiopolitik, dan psikologi individu. Dengan kata lain, prasangka yang terjadi karena sifat kepribadian tidak memadai untuk menjelaskan mengapa pada abad ke-20 fasisme menjadi gaya pemerintahan yang populer. Fasisme sendiri menyediakan prasangka ruang untuk mereproduksi diri dan dilegitimasi dalam konteks sosiopolitik. Artinya, prasangka tidak bisa dipahami dalam kondisi psikologi individual semata. Lantas, mengubah prasangka seseorang bukan kemudian harus mengubah sosialiasi masa kanak-kanak terhadap afiliasi politiknya, melainkan lebih melihat pada faktor struktural (ekonomi, kesejarahan, politik, institusional, dan sosial) yang memungkinkan prasangka terjadi.
Terakhir, kesalahan berpikir ketiga adalah terkait dengan penekanan prasangka yang tercipta akibat keanggotaan kelompok belaka. Dalam perspektif ini, ada dua teori yang menuai kritik, yakni teori konflik realistik dari Sherif dan Sherif (1969) dan teori identitas sosial Tajfel dan Turner (1979). Keduanya menekankan kelompok sebagai pencipta prasangka individual. Dalam eksperimen Sherif dan Sherif (1969), yang dikenal sebagai Robbers Cave experiment, dua kelompok dikondisikan saling berkompetisi dan saling bermusuhan dengan cara memberikan sumber daya yang berbeda pada dua kelompok (Bull Dogs dan Red Devils). Setelah terbentuk budaya permusuhan dan kompetisi, Sherif dan Sherif kemudian berusaha mereduksi antagonisme dan prasangka dari kedua kelompok dengan anjuran untuk toleransi dan kerja sama serta melakukan aktivitas bersama. Keduanya gagal dan membuktikan bahwa prasangka merupakan sesuatu yang sifatnya sukar diubah sekali ia terbentuk. Lebih lanjut, Sherif dan Sherif menciptakan kondisi kedua kelompok agar dapat mengatasi masalah bersama, yang kemudian terkenal dengan istilah tujuan superordinat.
Dalam eksperimen Robbers Cave, orang akan menemui kegagalan apabila situasi eksperimental tidak mampu menstimulasi kompetisi. Artinya, kohesi grup lemah dan identifikasi individu dengan kelompok yang lemah akan mengantarkan kita pada kegagalan pemahaman bahwa prasangka adalah persoalan kelompok yang mereduksinya dari persoalan individu. Selain itu, isu mengenai kondisi eksperimental yang direkayasa menimbulkan pertanyaan mengenai relevansi eksperimen ini dalam kehidupan sosial nyata yang penuh dengan kompleksitas konflik dengan unsur historis yang kebetulan melibatkan ketidaksetaraan politik dan perbedaan kekuasaan. Artinya, eksperimen ini tidak berhasil menjelaskan variasi dalam prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada kelompok tertentu dan tidak pada kelompok yang lain.
Sementara itu, teori identitas sosial yang dikembangkan oleh Tajfel dan Turner melihat favoritisme in-group sebagai pemicu terjadinya diskriminasi terhadap kelompok lain. Dalam teori ini, kita akan menemukan bahwa identitas personal berubah karena adanya keanggotaan terhadap suatu kelompok. Ketika seseorang mengkategorikan diri ke dalam kelompok tertentu, maka mereka akan mendefinisikan diri berdasarkan keyakinan dan karakteristik kelompoknya. Kategori sosial ini menonjolkan pemahaman bahwa dunia diciptakan dengan persepsi terhadap diri dan orang lain. Prasangka adalah cetakan fenomena kelompok di mana konteks sosial dan prasangka terhadap liyan secara kuat terkait dengan keanggotaan mereka terhadap kelompok. Oleh karena itu, Tuffin (2017) memberikan dua catatan terhadap pendekatan teori identitas sosial. Pertama adalah ada kesamaan dalam teori ini dengan pendekatan kognisi sosial yang menyatakan prasangka sebagai hasil persepsi informasi. Kedua, ada mekanisme universal yang beroperasi dalam sistem pembentukan prasangka. Artinya, teori tersebut mereduksi perbedaan latar sosial, kultural, dan historis dari terjadinya prasangka dan diskriminasi. Pemahaman keterkaitan dengan konteks ini yang kemudian akan mengantarkan kita pada pendekatan prasangka berbasis bahasa, di mana kebudayaan terbentuk dengan adanya bahasa. Namun, sebelum menuju ke pendekatan berbasis bahasa, kita akan memahami dulu bagaimana ras juga dikonstruksi oleh bahasa.
Kritik terhadap Penggunaan Istilah Ras
Ada tiga kritik utama dalam penggunaan istilah ras (Goodman, 2017). Kritik pertama adalah dasar biologis untuk menentukan ras tidaklah kuat. Kritik kedua adalah pengkategorian ras dalam psikologi sosial dengan sendirinya menambah panjang rasisme ilmiah. Ketiga adalah reproduksi yang dilakukan psikologi sosial terhadap ras yang dianggap sebagai identitas yang menetap dan stabil.
Goodman (2017) menyebutkan bahwa dasar biologis pembagian ras telah ditentang oleh UNESCO sejak tahun 1950. Setelah bencana kemanusiaan pada Perang Dunia Kedua (1939-1945), UNESCO menyatakan bahwa:
Fakta biologis dari ras dan ‘mitos’ ras seharusnya dihilangkan. Karena semua praktik sosial yang terkait ‘ras’ tidak sepenuhnya fenomena biologis sebagai sebuah mitos sosial. Mitos ‘ras’ telah menciptakan sejumlah besar kerusakan sosial dan kemanusiaan.
Para ahli biologi kemudian memperkuat pernyataan UNESCO tersebut dengan menunjukkan bahwa konsep ras tidak memiliki basis genetik atau ilmiah yang kuat. Craig Venter (2000) mengklaim bahwa ras bukanlah kategori yang signifikan, kita tidak bisa melihat susunan dan informasi genetika seseorang kemudian menentukan apa ras seseorang.
Dalam kritik kategori ras, Gillespie, Howarth, dan Cornish (2012) menunjukkan ada empat masalah utama. Pertama adalah cara seseorang membuat kategori amat bergantung pada posisi sosialnya. Posisi di sini bisa dibaca dalam kacamata bagaimana seseorang tersebut melihat dan kepentingan macam apa yang mendasari cara melihat orang tersebut (lebih lanjut baca Pols, 2019). Masalah kedua adalah gagasan bahwa kategori sosial memiliki sifat historis. Dari sejarah kajian ras, kita dapat melihat bahwa cara memahami ras tertentu sangat terkait dengan kondisi geografis dan kolonialisme Eropa. Pemahaman terhadap ras inilah yang kemudian melegitimasi eksploitasi. Masalah ketiga hadir dengan adanya kemungkinan bahwa orang dapat mengalami perubahan ras. Dengan kacamata variabel alamiah, kita akan kesulitan memahami bahwa sebuah ras bisa berubah. Namun, adanya pernikahan beda ras memungkinkan lahirnya ras campuran. Contoh ini bisa kita temukan misalnya dalam tulisan Anderson (2001). Anderson (2001) menceritakan bertemu dengan tiga orang mahasiswa yang dalam pengamatannya tampak sebagai Tionghoa – berdasar wajah dan warna kulit. Orang pertama bicara dalam aksen Pantai Barat Amerika dan mengatakan bahwa ia seorang Cina, sekalipun dia lahir di Amerika dan tak pernah ke Tiongkok. Orang kedua menyebut dirinya sebagai orang Taiwan. Orang ketiga dengan agak gusar menyebut dirinya orang Singapura. Kritisisme ke empat terkait bahwa kategori sosial memengaruhi fenomena sosial. Artinya, dengan kita membuat kategori sebelum berkomunikasi dengan orang lain, maka kita akan mudah terjebak pada kekeliruan atribusi.
Sementara itu, kritik ketiga dalam penggunaan istilah ras dalam psikologi sosial dapat berpotensi memperpanjang rasisme ilmiah. Penggunaan istilah ras secara tidak kritis memungkinkan membuat definisi abstrak dari ras menjadi semakin konkret. Apabila pengkategorian rasial ini tidak dipahami secara lebih jeli, maka yang terjadi adalah pelabelan rasial yang dianggap sebagai sesuatu yang tak lagi perlu dipertanyakan kebenarannya. Dengan demikian, ilmu berpotensi untuk menjadi sumber kredibilitas sebuah konstruk sosial. Bagi Hopkins, Reicher, dan Levine (1997), teori psikologi sosial soal ras (secara khusus dalam perspektif kognisi sosial) merupakan cerminan dari akal sehat semata yang tidak ditempatkan pada ranah konstruksi sosial. Oleh karena itu, kategori sosial soal ras semestinya dipelajari sebagai sebuah objek kajian, bukan sekadar kategori yang tiba-tiba jatuh dari surga (Wetherell & Potter, 1992).
Pendekatan Alternatif terhadap terhadap Prasangka
Dalam pendekatan alternatif, psikologi sosial menawarkan cara analisis terhadap prasangka yang menekankan pada peran bahasa (Goodman, 2017). Bahasa di sini bukan sebagaimana dipahami psikologi kognitif bahwa ia merupakan cerminan interior dari kognisi seseorang. Bahasa dipandang sebagai bentuk performatif dari seseorang. Sifat performatif ini menunjukkan bahwa bahasa memungkinkan konstruksi identitas yang ditentukan oleh di mana seseorang hidup. Identitas tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang stabil, melainkan cair, terpecah-pecah, dan dikonstruksi lewat bahasa. Oleh karenanya, pemahaman mengenai prasangka hanya bisa didekati dengan mempelajarinya lewat pemeriksaan terhadap teks dan percakapan sehari-hari.
Berbeda dengan pendekatan tradisional yang menyatakan bahwa prasangka berasal dari kepribadian, kognisi, dan identifikasi terhadap kelompok sosial, pendekatan alternatif ini melihat prasangka menyebar dengan mudah lewat bahasa. Seseorang yang terlahir dari orangtua asal Jawa dan Sumatra, akan mendefinisikan diri berbeda di hadapan publik Sumatra. Lain lagi, ketika ia berhadapan dengan publik Jawa. Tugas peneliti yang menggunakan pendekatan alternatif ini adalah mengidentifikasi sumber daya kunci yang memungkinkan prasangka terbentuk dan memperbincangkan dinamika pembentukan prasangka tersebut. Harapannya, akan diketahui struktur pemahaman terhadap prasangka.
Penelusuran prasangka lewat bahasa ini dapat dipahami ketika kini kita lebih cenderung menemui rasisme halus (subtle racism) dibandingkan rasisme yang menyolok (blatant racism) (Branscombe & Baron, 2017; Goodman, 2017). Misalnya, supremasi kulit putih dan rasisme personal kini disangkal dan digantikan dengan argumen terkait egalitarianisme yang didasarkan pada nilai individualisme dan nasib diri. Atau dengan kata lain, rasisme terang-terangan (blatant/overt racism) digantikan oleh rasisme dengan versi yang halus, simbolik, dan lebih bisa diterima dalam keseharian. Sebagai contoh, kita dapat menilik logika multikulturalisme. Multikulturalisme digunakan untuk menjelaskan padangan seseorang terkait keragaman hidup di dunia. Norma yang diterima oleh multikulturalisme adalah penerimaan terhadap ragam budaya.
Dalam praktiknya, multikulturalisme merupakan ekses dari keterhubungan antarbudaya yang semakin diperkuat dengan kemudahan teknologi – baik media maupun transportasi. Keterhubungan tersebut menciptakan nilai-nilai kultural yang memungkinkan pendefinisian diri atau pengkategorian sosial bahwa ada yang menjadi tuan rumah (host) dan perantau. Pola interaksi antarbudaya yang terjadi kemudian senada dengan apa yang dikatakan Peter Sloterdijk bahwa “lebih banyak komunikasi pertama-tama berarti lebih banyak konflik” (dalam Žižek, 2008). Tanggapan yang muncul dalam perjumpaan antarbudaya ini kemudian memunculkan rasisme populis. Rasisme jenis ini menganut logika; “Orang lain OK-OK saja, saya menghargai mereka.” Kalimat ini kemudian dilengkapi dengan; “Namun mereka hendaknya tidak masuk terlalu dalam dalam ruang hidup saya” (Žižek, 2010).
Contoh kehadiran orang Indonesia Timur menjadi kasus yang menarik untuk diikuti. Terkait mencari tempat kos, mereka yang tinggal di Yogyakarta akan menemukan bahwa terdapat penolakan para pemilik kos terhadap orang dari Indonesia Timur. Penolakan ini semakin kentara pada tahun 2013 setelah ada insiden Pembantaian Cebongan (lihat Harimurti, 2017). Dalam pembantaian tersebut, empat orang tahanan Polda DIY mati diserang oleh para anggota Kopassus. Selama proses persidangan, isu mengenai “pendatang” mendominasi narasi masyarakat keseharian. Spanduk-spanduk dipasang secara sistematis. Salah satu dari spanduk berbunyi demikian: Terima Kasih Kopassus, Yogyakarta Aman Preman Minggat. Spanduk tersebut memahfumi bahwa preman merupakan orang yang berasal bukan dari Yogyakarta, atau singkatnya mereka pendatang. Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berkomentar demikian:
“Waktu itu, bersamaan dengan Natalan yang digelar Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), mereka berjanji bahwa siapa saja yang bikin kerusuhan di Yogya harus pulang. Itu, mereka sendiri yang janji. Sekarang saya akan tagih janji itu….. Ini tidak hanya berlaku kepada mahasiwa NTT, tetapi juga semuanya, ya Papua, Ambon, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, semua, tidak terkecuali. Saya sedih, kenapa Yogya jadi seperti ini.”
Sepintas, komentar di atas sama sekali tidak salah sebab menganut political correctness. Namun, justru karena komentar tersebut menganut political correctness, maka rasisme menjadi lebih halus dan terkontrol. Ketika Gubernur mengatakan “pulang” dan “mereka”, implikasinya menjadi jelas: bukan orang Jogja yang melakukan kerusuhan. Karenanya, alih-alih membuat komunikasi semakin lancar, apa yang disampaikan Gubernur sebetulnya malah memperpanjang daftar prasangka dan stereotip yang dilayangkan pada pendatang. Kasus ini menunjukkan bahwa multikulturalisme dengan nilai toleransinya, justru mengandung ironi terkait misinya untuk mereduksi prasangka.
Kasus lain adalah soal Tionghoa di Indonesia. Mereka dianggap kurang Indonesia untuk menjadi orang Indonesia. Akibatnya, mereka ditempatkan dalam posisi dilematis bahkan cenderung dijadikan sasaran agresi dalam kerusuhan seperti Mei 1998. Siegel (1998) menunjukkan bahwa fantasi mengenai kemewahan dan keberlimpahan menjadi cerminan mereka yang dikatakan sebagai orang Cina. Istilah “cina” sendiri merupakan kategori rasial yang menandai identitas melalui warisan fisik dan karakteristik moral. Cina dianggap lahir dari nenek moyang di Tiongkok atau bahkan mereka sendiri lahir di Tiongkok. Persoalan di mana ia lahir menjadi justifikasi bahwa mereka seorang yang tidak cukup menjadi Indonesia. Siegel (2009) menuliskan bahwa: ““Orang-orang Cina” mungkin sekali lahir di Indonesia, tidak berbicara dengan bahasa Cina, dan mempunyai leluhur yang mungkin telah menikah dengan orang-orang pribumi; mereka mungkin sekali pula tidak mempunyai nama Cina.” Lebih lanjut, Siegel meneruskan bahwa Cina dianggap memiliki ciri bawaan, yakni keadaan kaya, sekalipun bila mereka sebenarnya miskin.
Penelitian Kontemporer terkait Prasangka
Dalam penelitian kontemporer terkait prasangka, ada dua hal yang dibicarakan. Pertama adalah bahasa yang digunakan oleh mereka yang mendapat perlakuan rasis, alih-alih mereka yang melakukan tindakan rasis. Kedua adalah melakukan kalibrasi ulang terhadap prasangka dan diskriminasi dengan mempertimbangkan cara melihat pengalaman orang dari sudut pandang yang mengalami (insider’s perspective).
Target Rasisme
Dalam studi Mellor (2003), orang Aborigin mengaku menjadi korban baik rasisme subtil maupun rasisme interpersonal yang terang-terangan. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, kecenderungan penelitian mengenai rasisme adalah melihat dari sudut pandang para pelaku rasisme. Namun, dengan mengangkat suara mereka yang dibisukan, akan muncul gagasan baru bagaimana orang membuat strategi dalam pengalaman yang mereka hidupi. Bukan berarti kita lalu menyingkirkan penelitian yang fokus pada sudut pandang pelaku, namun kita perlu melengkapi dengan sudut pandang terhadap mereka yang menjadi target rasisme. Mereka yang menjadi target rasisme ini diandaikan memiliki sensitivitas dan perspektif unik terhadap perlakuan rasis, di lain pihak mereka yang menjadi pelaku dianggap tidak sadar dengan kehadiran rasisme dan efeknya yang merusak.
Pack, Tuffin, dan Lyons (2015) menggambarkan tiga hal yang butuh untuk diteliti berdasar pada penelitian pada orang Maori, Selandia Baru. Pertama adalah pemahaman para target rasisme terkait mengapa rasisme terjadi, atau mengapa ada orang-orang tertentu yang memperlakukan mereka dengan buruk. Kedua adalah menyelidiki bagaimana orang-orang yang menjadi target rasisme menghadapi atau bersiasat terhadap perlakuan rasis tersebut. Pertanyaan kedua ini menyasar bagaimana coping terhadap pengalaman negatif dilakukan oleh mereka yang menjadi target rasisme. Ketiga adalah pertanyaan seputar bagaimana rasisme dapat diminimalisir.
Alasan terbentuknya Prasangka
Dalam penelitian soal rasisme terhadap orang Maori, Pack, Tuffin, dan Lyons (2015) menemukan bahwa rasisme terjadi dalam kerangka empat wacana: pengabaian, superioritas, media, dan rasisme institusional. Dalam kaitan dengan pengabaian, orang Pakeha mengabaikan orang Maori, kebudayaan Maori, serta pengabaian terhadap rasisme itu sendiri. Pakeha dikonstruksi sebagai orang yang tidak menyadari tindakan harian yang dianggap sebagai rasis, misalnya mereka menghendaki diri mendapat layanan lebih dulu dibanding orang Maori ketika dalam pusat pertokoan. Ketidaksadaran ini membuat rasisme menjadi hal yang dirasa tak perlu lagi diperiksa. Orang Maori menggambarkan orang Pakeha merasa memiliki superioritas, sedangkan Maori diasumsikan sebagai yang inferior dalam hal intelektualitas kebudayaan, dan moralitas. Inferiorisasi ini bisa dipahami dalam konteks misi pemberadaban dan tekanan kolonisasi terhadap orang lokal yang membutuhkan Eropanisasi.
Wacana ketiga adalah media yang menyimpang dengan membuat berita dan penyebaran informasi negatif mengenai Maori. Maori lebih sering diasosiasikan dengan pelaporan tindak kriminal dan amat sedikit berita yang berfokus pada pencapaian yang positif. Terakhir adalah rasisme institusional yang merupakan ekses imperialisme kultural. Rasisme institusional ini yang kemudian ditanamkan oleh para penjajah yang menanggap bahwa peradabannya lebih superior dibandingkan mereka yang pribumi. Penanaman ini bisa dilakukan dalam teknologi, bahasa, adat, dan praktik yang dipaksakan. Dalam kasus orang Maori, hierarki kolonial dipertahankan dan mencerminkan kuatnya budaya dominan hasil kolonialisme.
Melawan Rasisme
Ada tiga hal yang teridentifikasi dalam perlawan terhadap rasisme: kesukaran dalam perlawanan verbal, perlawanan dengan diam, dan perlawanan yang disuarakan. Kesukaran dalam menyuarakan perlawanan secara verbal dimungkinkan dengan adanya keengganan terhadap konfrontasi, sensitivitas terhadap ketidakseimbangan kekuasaan, dan ketidakinginan mendapatkan label politis yang negatif. Sekalipun Maori menggambarkan diri sebagai orang yang seharusnya tidak mendapatkan perlakuan rasis, posisi tersebut tidak menjamin keberhasilan respon verbal terhadap rasisme.
Dalam perlawanan yang dilakukan dengan diam, terdapat dua bentuk. Pertama adalah dengan membangun benteng pertahanan psikologis dengan kekuatan diri dan kepercayaan diri. Perlawanan ini bisa terjadi dengan memasukkan kebanggaan etnis yang berkontribusi pada kekuatan internal untuk melawan olok-olokan rasis. Kedua, dengan menggunakan bahasa tubuh yang mengindikasikan pencelaan atau tindakan yang menentang rasisme. Diam bisa menjadi kekuatan yang menunjukkan kebutuhan untuk berubah dan resistensi. Selain itu, diam bisa mendemonstrasikan resistensi non-konfrontatif.
Ketiga adalah perlawanan verbal. Perlawanan ketiga ini dianggap sebagai yang paling berisiko, namun apabila dapat diatur dengan baik bisa menghasilkan perlawanan yang berhasil terhadap stereotip rasis. Dalam perlawanan ketiga ini, keahlian verbal menunjukkan pengalaman dan kematangan dalam menghadapi rasisme. Strateginya pun bermacam-macam, dari gerakan, propaganda, bahkan sampai humor. Atau dalam kondisi lain, bentuk perlawanan verbal bisa berupa permintaan untuk menjelaskan rasisme yang dilakukan seseorang: Apa yang Anda maksud dengan hal tersebut? Permintaan klarifikasi ini seringkali membuat para pelaku rasisme terdiam dan tidak mampu menjawab atau menguraikan olok-olokan dalam komentar rasis mereka.
Mereduksi Rasisme
Setelah mengetahui kenapa dan bagaimana rasisme terjadi serta mengetahui strategi menghadapi rasisme, isu selanjutnya yang digarap Pack, Tuffin, dan Lyons (2015) adalah bagaimana mereduksi prasangka. Ada empat kunci dalam mereduksi rasisme: (1) mengurangi rasisme struktural, (2) intervensi pendidikan, (3) interaksi positif antara Maori dengan Pakeha, dan (4) menggunakan idnetitas tunggal Kiwi.
Dalam kasus Maori, minimnya pegawai di bidang hukum memungkinkan orang Maori untuk mendapatkan pengawasan yang berlebih dan mendapatkan vonis dari hakim yang telah diracuni oleh gagasan rasis. Karena itu, partisipan menyarankan untuk memasukkan orang-orang Maori dalam sistem hukum seperti polisi, jaksa, hakim, atau pengacara. Atau misalnya dalam pekerjaan, promosi jabatan lebih dibuka untuk orang-orang Pakeha, sehingga orang Maori membutuhkan usaha lebih untuk melampaui orang-orang Pakeha. Rasisme struktural tersebut terwujud dalam lingkup sistem hukum dan kesehatan.
Kedua, lewat intervensi pendidikan, pemahaman mengenai Perjanjian Waitangi (1840) yang berisi mengenai kemitraan antara Kerajaan Inggris dengan orang Maori perlu kembali ditekankan. Intervensi dan revitalisasi terhadap perjajian tersebut diharapkan orang Maori untuk bisa meminimalisir rasisme berdasarkan sejarah dan peninggalan kebudayaan. Sementara itu, dalam ruang-ruang kelas, intervensi dapat dilakukan dengan penghargaan terhadap perbedaan budaya dan pentingnya guru yang bisa menjadi model peran positif. Dalam pelajaran, para partisipan mengatakan supaya kurikulum pendidikan dipikirkan ulang. Mustinya, kurikulum mengkaji ulang pengetahuan bahwa orang Pakeha adalah para pahlawan sementara orang Maori ditempatkan sebagai orang primitif yang lemah. Dengan kurikulum yang mengedepankan penghargaan terhadap perbedaan, maka diharapkan akan muncul apresiasi kultural, empati, dan pemahaman antarbudaya. Selain pendidikan, penghargaan terhadap perbedaan ini bisa diperluas hingga merambah pada pelayanan kemasyarakatan atau bidang lain.
Cara ketiga adalah dengan membangun interaksi yang positif antara orang Pakeha dengan orang Maori. Interaksi positif di sini bisa berupa pembicaraan mengenai integrasi, berkerjasama, dan pentingnya hubungan satu sama lain. Cara ketiga ini juga terkait erat dengan cara keempat, yakni memiliki kesamaan identitas atau identitas bersama sebagai orang Kiwi. Pembentukan identitas bersama ini membutuhkan penekanan pada kesalingtergantungan satu sama lain dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Dengan pembentukan identitas bersama ini, mereka juga diharapkan untuk tidak melupa pada sejarah kelam di mana bahasa Maori pernah dilarang di sekolah; orang Maori dilarang masuk hotel, bis, atau bioskop; orang Maori ditolak dalam pekerjaan; dan orang Maori tidak lagi dilihat semata-mata buruk di dalam media.
Daftar Acuan
Anderson, B. (2007). Western nationalism and eastern nationalism. New Left Review, 9, 31-42.
Biondi, G. & Rickards, O. (2007). Race: The extinction of a paradigm. Annals of Human Biology, 34:6, 588-592, DOI: 10.1080/03014460701497236
Branscombe, N.R. & Baron, R.A. (2017). Social psychology (14th ed., global ed.). Pearson.
Gillespie, A., Howarth, C., & Cornish, F. (2012). Four problems for researchers using social categories. Culture and psychology, 18(3), 391–402. doi:10.1177/1354067X12446236.
Goodman, S. (2017). Critical approaches to race. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave.
Gough, B., McFadden, M., & McDonald, M. (2013). Critical social psychology: An introduction (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
Harimurti, A. (2017, April). Pembalikan gagasan “preman”: Yogyakarta dan kekecewaan-kekecewaannya. Makalah dipresentasikan dalam Ascoltaci, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Hopkins, N., Reicher, S., & Levine, M. (1997). On the parallels between social cognition and the ‘new racism’. British Journal of Social Psychology, 36(3), 305–329. doi:10.1111/j.2044-8309.1997.tb01134.x.
Mellor, D. (2003). Contemporary racism in Australia: The experiences of aborigines. Personality and Social Psychology Bulletin, 29(4), 474–486.
Pack, S., Tuffin, K., & Lyons, A. (2016). Reducing racism against Maori in Aotearoa New Zealand. New Zealand Journal of Psychology, 45(3), 30–40.
Pols, H. (2019). Merawat bangsa: Sejarah pergerakan para dokter Indonesia. Penerbit Kompas.
Prawasti, C.Y. (2009). Stereotip, prasangka, dan diskriminasi. Dalam S.W. Sarwono & E.A. Meinarno (Peny.), Psikologi sosial. Penerbit Salemba Humanika.
Sherif, M., & Sherif, C. (1969). Social psychology. Harper & Row.
Siegel, J.T. (1998). Early thoughts on the violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta. Indonesia, 66, 75-108.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (hal. 33–47). Nelson Hall.
Tuffin, K. (2017). Prejudice. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave.
Wetherell, M., & Potter, J. (1992). Mapping the language of racism. Harvester Wheatsheaf.
Žižek, S. (2008). Violence. Picador.
Žižek, S. (2010, 3 Oktober). Liberal multiculturalism masks an old barbarism with a human face. The Guardian.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.