Esai

Barangkali Seseorang Mesti Membayangkan Camus Bahagia

Pengantar

Prasangka yang bias kerap dialami oleh Sisifus, sang mitos penderitaan. Para pengelana mitosnya kerap mengeja pergulatannya lewat polisemi. Nampaknya, meromantisasi arppegio (selanjutnya disebut arpeggis) Sisifus bukan suatu kebuntuan dalam kehidupan, akan tetapi sebagai kebaruan dalam memaknai sebuah kehidupan. Secara lebih cermat saya melihat Sisifus bertarung bersama kecintaan dan kegilaannya akan kehidupan. Albert Camus (1965) begitu apik dalam mengejawantahkan mitos sang pemberontak takdir. Memang, sebagai seorang absurdis, kehidupan fiksi adalah hal yang sinting untuk terlalu dikekang dalam batas imaji. Sebab, pada akhir dari kehidupan kelak  ̶  sebagai sebuah asumsi) ­  ̶   akan berdistraksi dengan hal-hal yang di luar batas imaji. Delusional absurdisme begitu kuat dituangkan dalam bingkai penderitaan dalam kehidupan Sisifus. Bagaimana bisa kehidupan yang tak terbatas dijalani dengan keniscayaan yang sia-sia?

Dalam risalah cekak ini, saya tak hendak mengajukan apologi atas usaha untuk menimbang Sisifus. Namun, saya ingin memberikan intepretasi yang mungkin sudah usang, yang barangkali sudah tak terjamah kembali. Berawal dari itu pula, merayakan penderitaan seolah adalah hal yang usang, sejak sebermula kehidupan dituntut untuk menuju dan menjadi bahagia. Suaka penderitaan patut dirayakan dalam arpeggio kehidupan nan absurd yang niscaya dapat membawa kita keluar dari kubangan lumpur untuk menjadi manusia dalam pusaran takdir yang seadanya. Romansa Sisifus akan kehidupan adalah perkara tragis sekaligus magis. Pada tepian tebingnya, menalar rasa dalam romansa adalah alasan yang kuat untuk hidup sekaligus alasan yang indah pula untuk sekarat.

Arpeggis Sisifus di Pengasingan

Sebagai mitos, Sisifus hidup dalam masa pengasingan yang bernaung dalam keabadian sakratul maut. Inti diskusi dari sub-bab ini dirasa sederhana, arpeggis yang harus dijalani Sisifus. Ia mendorong batu ke atas bukit dan seketika itu pula batu tergelincir ke tempat semula. Hal itu akan terus diulang dalam keabadian yang seolah tanpa makna. Mempertanyakan makna dari kehidupan nampaknya suatu usaha yang romantis untuk berdamai dengan takdir. Seolah rangkaian kegiatan keseharian hidup kita adalah tindakan kehidupan mekanis. Keletihan datang pada akhir dari kehidupan yang demikian, tetapi pada saat yang sama, hal itu memberikan dorongan kesadaran. Serentetan tindakan kehidupan mekanis membangkitkan kesadaran dan memprovokasi apa yang akan terjadi selanjutnya. Kesadaran akan tindakan kehidupan mekanis, pada waktunya akan membukakan konsekuensinya: bunuh diri atau pemulihan.

Subyek tanda-tanya mendasar dari Mitos Sisifus adalah (1) bahwa manusia sah dan perlu bertanya-tanya apakah hidup memiliki makna dan (2) oleh karena itu adalah sah pula untuk menghadapi masalah bunuh diri secara langsung (Camus, 1965). Tentunya, repetisi dalam tindakan kehidupan mekanis akan mempertanyakan hal yang sama ditanyakan dalam subyek tanda-tanya mendasar di atas. Hal tersebut kemudian saya rapatkan dalam dua pertanyaan lanjutan, (1) seberapa jauh seseorang harus pergi untuk menghindari apa pun? (2) Apakah seseorang mati secara sukarela atau berharap terlepas dari segalanya? Dalam mempertanyakan makna kehidupan, ada motif yang dilibatkan secara sukarela ataupun yang mengharapkan hal lain. Keletihan dan kebosanan kerap menghantui dan menjadi momok yang mengerikan dalam tindakan kehidupan mekanis.

Makna adalah sebuah hal yang ideal, saya lebih senang menyebutnya sebagai suatu hal yang selalu satu langkah di depan realita. Keterlibatan perasaan yang sukarela memang akan selalu bersinggungan dengan pengharapan akan sesuatu hal. Kecintaan akan sesuatu akan berubah menjadi kegilaan. Berkaca dari  Demons, Dreamers, and Madmen: The Defense of Reason in Descartes’s Meditations (2009), Harry G. Frankfurt menjelaskan bahwa pertahanan akal Descartes melawan keraguan skeptisnya yang terkenal bahwa dia mungkin orang gila, bermimpi, atau, lebih buruk lagi, ditipu oleh iblis jahat untuk meyakini kekeliruan atas segala kecintaan yang ia miliki. Atas dasar apa nalar mengklaim dapat memberikan pembenaran atas kebenaran keyakinan kita akan makna kehidupan? Jalan pembenarannya adalah pilihan atas kehidupan, bunuh diri secara filosofis atau pemulihan fundamental spiritual. Descartes nampaknya mengangguk pelan menyetujui itu semua.

Romantisasi Suaka Penderitaan

Saya mencermati bahwa orang lain secara paradoks terbunuh demi sebuah ide atau ilusi yang memberi mereka alasan untuk hidup. Seturut Camus (1965), apa yang disebut alasan yang hebat untuk hidup pun juga merupakan alasan yang sangat indah untuk sekarat. Rasa cinta yang begitu hebat akan kehidupan menjadikan salah satu alasan yang indah pula untuk ia sekarat. Sakratul maut Sisifus dibingkai dalam limitasi ruang hampa azabnya.

Sisifus dan kecintaannya akan hidup, mengingatkan saya akan kisah legenda klasik abad pertengahan dari Celtic, Tristan dan Isolde. Dalam wawancara yang dilakukan Bill Moyers pada 1988 silam, Joseph Campbell menuturkan kisah klasik itu dengan mengutip kata-kata dari Tristan, “Jika kematianku yang kamu maksud adalah penderitaan cinta ini, itulah hidupku. Jika yang Anda maksud dengan kematian saya adalah hukuman yang harus kami derita jika diketahui, yaitu eksekusi, saya menerimanya. Tetapi jika yang Anda maksud dengan kematian saya adalah hukuman abadi dalam api neraka, saya juga menerimanya.” Barangkali terkait dengan kisal Tristan dan Isolde, Camus (1965) menuliskan dalam esainya bahwa kesadaran akan kematian adalah panggilan kecemasan dan sebuah keberadaan yang kemudian memberikan panggilannya sendiri melalui perantara kesadaran. Hal demikian adalah sebuah suara kesedihan dan meminta keberadaan, untuk kembali darinya sebuah kerugian dalam anonimitas mereka.

Betapa gila menurut saya! Sisifus sang hero absurd dan Tristan yang mabuk bisa-bisanya merayakan cinta dalam melankolianya. Seolah-olah hal tersebut berkebalikan dengan apa yang dimaksud Camus ketika mengutip Heidegger bahwa “dunia tidak bisa lagi menawarkan apa pun untuk pria yang dipenuhi dengan kesedihan”. Heidegger memandang kondisi manusia dengan dingin, sebab yang dahulu adalah kecintaan akan berubah menjadi kegilaan dalam perayaan akan kehilangan. Sekarat dalam penderitaan yang menjadi alasan yang hebat untuk tetap hidup. Penderitaan berubah menjadi pelanggaran, yakni keberanian Sisifus melawan kehendak para dewa dan ketidakpedulian Tristan menjarah harta sang paman. Hasrat yang absurd lahir dari konfrontasi antara kebutuhan manusia dan keheningan atau ketidakpedulian dunia yang tidak masuk akal. Sama seperti tokoh utama The Stranger, Meursault-nya The Stranger menyerahkan kehidupannya kepada ketidakpedulian dunia atas segala hasratnya.

Pesimisme ala Camus tampaknya juga muncul lewat gagasan Alain Badiou dalam In Praise of Love (2012). Badiou (2012) menuturkan bahwa cinta sungguhan ada dan hanya menutupi hasrat. Hasrat adalah satu-satunya hal yang benar-benar eksis. Bagi Badiou, cinta hanyalah sesuatu yang dibangun oleh imajinasi untuk memberi lapisan pada hasrat seksual. Akan tetapi ini semua akan menjadi hal yang amat kompleks apabila kita merunut ke dalam hal yang disebut hasrat. Secara gamblang dapat dirunut bahwa Sisifus mempunyai hasrat yang menggerakan kehidupan dalam setiap pilihan kehidupannya dan melalui penderitaannya. Sekalipun Sisifus memiliki jiwa yang pesimis, tetapi toh ia memiliki kehendak yang optimis.

Meromantisasi sebuah penderitaan adalah cara yang terdengar kurang waras dalam kehidupan. Kita diajari bahwa pilihan primordial dalam kehidupan adalah untuk hidup menuju dan menjadi bahagia. Karenanya, suatu penderitaan akan cinta dan kegilaannya seolah tidak mendapat tempat dalam proses kehidupan. Sekali lagi, sebuah alasan yang hebat untuk hidup adalah pula alasan yang indah untuk sekarat.

Epilog

Berbicara banyak perihal Sisifus, sang mitos penderitaan dihadapkan pada keteguhan hati untuk mengalami segalanya. Sejarah memang tidak kurang baik dalam agama maupun nabi, bahkan tanpa tuhan. Sisifus diminta untuk melompat, melakukan sebuah lompatan iman. Yang bisa Sisifus utarakan hanyalah, bahwa Sisifus tidak sepenuhnya mengerti dan segala hal yang terjadi adalah absurd. Memang, Sisifus tidak ingin melakukan apa pun kecuali apa yang Sisifus pahami sepenuhnya. Sisifus yakin bahwa ini adalah dosa kesombongan, tetapi ia tidak mengerti mengenai pengertian akan dosa, bahwa mungkin ada neraka (penderitaan abadi), tetapi Sisifus tidak memiliki cukup imajinasi untuk memvisualisasikan masa depan yang absurd itu. Bahwa Sisifus kehilangan kehidupan abadi, menurutnya itu adalah pertimbangan yang sia-sia. Segala upaya dilakukan untuk membuatnya mengakui kesalahannya. Ia merasa tidak bersalah.

Sejujurnya, hanya itu yang ia rasakan, kepolosannya yang tidak dapat memperbaiki yang memungkinkan segala keinginannya. Oleh karena itu apa yang ia tuntut dari dirinya sendiri adalah untuk hidup semata-mata dengan apa yang ia ketahui, menyesuaikan diri dengan apa adanya, dan tidak membawa apa pun yang tidak pasti. Sisifus diberitahu bahwa tidak ada apa-apa sebermulanya dan seberlanjutnya. Namun, ini setidaknya adalah sebuah kepastian. Dan inilah penderitaan Sisifus yang patut untuk dirayakan. Sisifus ingin mengetahui apakah ada kemungkinan, untuk hidup tanpa memohon dan membandingkan dengan apa yang disebut dengan kebahagiaan.

“Seseorang harus membayangkan Sisifus bahagia.”, ungkap Camus. Pun demikian, barangkali seseorang mesti membayangkan Camus juga berbahagia.

 

Daftar Acuan

Badiou, A. & Truong, N. (2012). In praise of love. Serpent’s Tail.

Camus, A. (1965). The myth of Sisyphus (Trans. Justin O’Brien). H. Hamilton.

Camus, A., Gillis, G. J., & Ward, S. (2002). The stranger: Albert Camus. Spark Pub.

Campbell, J. & Moyers, B. (1988, 25 Juni). EP. 5: Joseph Campbell and the power of myth — ‘Love and the goddess’. BillMoyers.com. Diunduh dari https://billmoyers.com/content/ep-5-joseph-campbell-and-the-power-of-myth-love-and-the-goddess-audio/

Frankfurt, H. G., & Goldstein, R. (2009). Demons, dreamers, and madmen the defense of reason in Descartes’s “Meditations”. Princeton University Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *