Wawancara

Selayang-Pandang Gender/Seks

“Kita dilahirkan ke dalam sebuah dunia yang penuh dengan gendered process, maka ya wajar-wajar saja kalau sejak kecil kita diperkenalkan dengan gender. Dunia kita menghendakinya. Perkenalan dengan gender ini setidaknya juga membantu anak dalam mengenali dirinya atau membangun identitasnya.“

Di bawah ini disajikan kutipan wawancara yang dilakukan Vannya Purnamasari terhadap A. Harimurti (saya). Saya menyajikan-ulang wawancara berikut dengan mengedit beberapa bagian sejauh hal tersebut diperlukan. Vannya mengajak saya untuk memperbincangkan mengenai bagaimana seks/gender dipahami dan dikaji dalam psikologi. Berikut adalah wawancara termaksud:

Vanyya Purnamasari (Vanyya): Menurut Anda, apa saja faktor yang dapat mempengaruhi gender dan seksualitas seseorang?

A. Harimurti (Abet): Agar kita memiliki persepsi yang sama dalam melihat gender/seks, saya akan memberikan penjabaran singkat mengenai gender/seks yang saya maksud. Apa yang saya pahami sebagai gender/seks di sini adalah terkait identitas, atau suatu pemahaman yang dimiliki seseorang terkait dengan keberadaannya di dunia. Anda melakukan identifikasi yang menurut Anda sesuai dan mengisi kedirian Anda. Identifikasi atau pemahaman ini bisa tampak dari kognitif, emosi, maupun perilakuan. Misalnya, Anda seorang perempuan, ketika Anda memilih (perilakuan) botol minum, barangkali Anda akan lebih memilih (kognitif) botol minum berwarna merah muda dibandingkan biru. Mengapa demikian? Pilihan Anda terhadap warna botol ini tidak secara mendadak terjadi, melainkan karena ada semacam unwritten rules yang ‘mengharuskan’ Anda memilihnya. Dengan kata lain, selera atau hasrat (emosi) Anda akan sesuatu ditentukan oleh unwritten rules tersebut. Bagaimana unwritten rules ini bisa ada? Menurut saya, kita mesti memahami secara kultural dan historis. Asosiasi perempuan dengan warna merah muda baru terjadi beberapa abad silam, ketika Revolusi Industri berlangsung. Artinya tidak ada yang alamiah dengan selera kita. Reproduksi kultural terhadap asosiasi tersebut yang memungkinkan kita lebih memilih warna satu dibanding lainnya.

Lalu kini kita masuk pada faktor apa saja yang memengaruhi gender/seks seseorang. Saya sudah menyebutnya di atas, yakni faktor historis dan kultural. Sebagai contoh adalah terkait konsep ‘keluarga’. Dari sudut pandang Marxist, keluarga dapat dipahami sebagai institusi yang menjadi perpanjangan tangan dari sistem kapitalisme. Dalam keluarga ada pembagian peran gender, kalau Anda laki-laki maka akan lebih diharapkan memiliki peran sebagai pencari nafkah. Sementara, apabila Anda seorang perempuan, maka Anda lebih diharapkan bertanggung-jawab memelihara anak dan menjaga rumah. Jadi, ketika Anda seorang laki-laki dan bercita-cita untuk menjadi tokoh masyarakat, barangkali Anda akan lebih memiliki privilese dibanding mereka yang perempuan. Anda terkondisikan dalam logika masyarakat bahwa sebagai seorang laki-laki, Anda memiliki wajah publik untuk keluarga Anda.

Vanyya: Mengapa faktor-faktor tersebut berpengaruh? Seberapa besar pengaruh lingkungan (keluarga dan orang-orang di sekitar)?

Abet: Faktor historis dan kultural tertentu bisa sangat berpengaruh karena memang konsep ‘kebenaran’ tertentu dianggap lebih benar dibandingkan kebenaran yang lain — dengan demikian, kebenaran tersebut yang mengatur penyelenggaraan sebuah masyarakat. Adalah lebih dianggap benar ketika seorang laki-laki menyatakan cinta lebih dulu dibandingkan seorang perempuan. Adalah lebih benar seorang perempuan memakai rok dibandingkan seorang laki-laki. Kebenaran tertentu yang diamini kemudian direproduksi atau diwariskan melalui sistem keluarga. Dalam keluarga, Anda akan diajari caranya menjadi perempuan atau menjadi laki-laki. Pun dengan di lingkungan Anda, Anda diajari supaya perempuan tidak pulang melebihi jam malam. Artinya, Anda tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun selama Anda hidup, Anda belajar menjadi perempuan. ‘One is not born, but rather becomes, a  woman’, kata Simone de Beauvoir (1972).

Meskipun demikian, apa yang dianggap ‘kebenaran’ atau yang kemudian menjadi unwritten rules ini sangat mungkin untuk berubah. Seorang perempuan yang merokok, akan dianggap sebagai seorang perempuan nakal — ini pandangan konservatif yang sampai saat ini sangat dominan. Apabila Anda membaca kembali gerakan feminisme gelombang pertama, sekitar 1920an, Anda akan menemukan bahwa perempuan merokok sebagai protes mereka terhadap aturan yang hanya memperbolehkan laki-laki yang merokok. Dalam kasus tersebut, kebenaran dikontestasikan. Dengan adanya kontestasi dari berbagai kebenaran yang berasal dari sudut pandang tertentu, maka kebenaran yang dominan dengan demikian juga berpotensi mengalami perubahan. 

Vannya: Menurut Anda, sejak usia berapa seseorang dapat memahami gender dan seksualitasnya?

Abet: Ini pertanyaan yang cukup rumit dan berusaha untuk dipahami banyak pemikir terkait gender. Saya mengamati anak kecil di sekitar saya dan sepakat dengan pandangan seorang psikoanalis Perancis bernama Jacques Lacan. Lacan mengatakan bahwa hidup kita diorganisasikan oleh bahasa. Artinya, kita pertama-tama bisa hidup dalam dunia sosial karena ada bahasa. Bahasa yang memungkinkan kita mengorganisasikan segala sesuatu di sekitar kita. Bahasa memungkinkan kita menentukan identitas. Kita tidak bisa mengatakan ‘saya seorang perempuan’ tanpa melalui bahasa. Lalu, kapan bahasa ini mulai dikenal dalam rentang hidup? Lacan mengatakan bahwa anak berusia 6-18 bulan sudah mulai untuk melihat orang lain di sekitarnya, anak tersebut memasuki fase cermin. Setelah itu, ia mulai untuk mengenal bahasa, memahami apa yang membedakan dirinya dengan orang lain. Di sekitar usia 3-4 tahun, anak mulai tahu bahwa dirinya memiliki kelamin tertentu yang berbeda dengan orang lainnya. Ia mulai heran mengapa bisa begitu. Sementara itu, dunia sekitarnya mulai memberinya pengetahuan siapa dirinya, laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini, si anak mulai memahami gender dan seksualitasnya.

Tapi itu tadi merupakan pengalaman subyektif yang dibentuk si anak. Kalau dari sudut pandang orang-orang di sekitarnya, gender/seks sudah diperkenalkan sejak pertama kali si anak lahir. Sebagai seorang perempuan, Anda akan diberikan nama yang dianggap punya asosiasi terhadap perempuan. Anda tidak dinamai dengan ‘Joko’. Lalu, barang-barang yang Anda kenakan ketika baru lahir mungkin juga simbolisasi gender, misal karena Anda laki-laki maka baju, selimut, atau penutup kepala Anda berwarna biru dan bukan merah muda. 

Vannya: Apakah wajar apabila seorang anak kecil sudah memahami gender dan seksualitasnya?

Abet: Kita dilahirkan ke dalam sebuah dunia yang penuh dengan gendered process, maka ya wajar-wajar saja kalau sejak kecil kita diperkenalkan dengan gender. Dunia kita menghendakinya. Perkenalan dengan gender ini setidaknya juga membantu anak dalam mengenali dirinya atau membangun identitasnya.

Vannya: Menurut Anda, bagaimana seharusnya lingkungan (baik keluarga maupun masyarakat sekitar) menyikapi seorang LGBT?

Abet: Kalau pertanyaannya adalah ‘bagaimana seharusnya’, maka kita akan jatuh pada bagaimana norma menentukan bagaimana orang hidup. Di lingkunga tertentu, tidak akan menjadi masalah apabila Anda seorang LGBT. Tapi, di lingkungan lainnya, Anda tidak lagi dianggap sebagai orang — Anda berhak diperlakukan seperti binatang. Menurut saya, persoalannya bukan sekadar ‘bagaimana seharusnya’, melainkan lebih pada bagaimana norma-norma tertentu justru menampilkan ketidakadilan atau tidak memanusiakan seorang LGBT. Ada kasus menarik di negara Arab Saudi, justru karena seorang laki-laki ditekankan supaya memiliki sifat maskulin, dia menjadi takut dengan maskulinitas (yang ia anggap begitu kasar). Pada akhirnya, si anak menjadi kebingungan menentukan identitasnya dan memilih menjadi seorang homoseksual. Dan menjadi homoseksual dalam norma heteroseksual, bukanlah hal yang mudah. Bayangkan saja, apabila Anda seorang LGBT di daerah yang anti-LGBT, maka Anda akan dituntut supaya menjadi orang yang sesuai kelamin Anda. Heteronormativitas bekerja dalam kasus ini, norma tersebut menghendaki Anda untuk memiliki identitas sesuai dengan kelamin Anda. Sebagai seorang LGBT, Anda akan dianggap kumpul kebo kalau hidup bersama dengan pasangan Anda. Di lain pihak, supaya tidak dianggap kumpul kebo, Anda mau menikahi pasangan Anda. Tapi, juga tidak mungkin untuk menikah bukan?

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *