Catatan Awal: Tulisan ini menjadi pengantar dalam pameran Timoteus Anggawan Kusno, lebih jauh lihat: https://www.tanahruncuk.org/crowd-vergadering-and-anticolonial-nationalism/
Tjrijosipoen tijang sepoeh: waos koela poenika bangsa sae, wani dateng sima. Mila pitados koela kala roemijin, sadaja sima ingkang kesenggol wilahing waos koela, pedjahipoen namoeng saking kamandèning waos koela pijambak, waosipoen tijang atoesan poenika namoeng toemoet natoni kémawon.
Ceritanya para tetua: mata logam saya itu jenis yang hebat, berani dengan harimau. Maka keyakinan saya jaman dulu, segala harimau yang kena bilahan mata tombak milik saya, matinya cuma akibat mata tombak saya, mata tombak ratusan orang lainnya hanya bikin luka semata.
(R. Kartawibawa, Bakda Mawi Rampog, 1923)
Hampir 25 tahun yang lalu, ketika reformasi tengah berlangsung di Indonesia, saya meminjam dan membaca sebuah buku dengan sampul didominasi warna kuning dan hitam. Sampul tersebut memperlihatkan seorang manusia yang tengah berjalan sedikit tergesa di tengah ladang dan memakai pakaian loreng serta topeng harimau. Buku yang secara resmi dibagikan pemerintah ke sekolah-sekolah ini menceritakan bahwa dengan menyaru sebagai harimau, orang tersebut mencuri ternak dari para penduduk. Ternak yang mereka bawa, kebanyakan kambing, kemudian di bawa ke hulu sungai dan disembelih. Sisa jeroan dan darah penjagalan ini kemudian dibuang dan ditemukan para warga yang tinggal di hulu. Dalam buku ini diceritakan bahwa kedok harimau adalah sesuatu yang benar-benar tampak, orang bisa melihat harimau yang hadir sebagai makhluk nyata yang dimanfaatkan untuk mengelabuhi.
Kisah tersebut menarik dalam kerangka bahwa harimau ditempatkan sebagai sosok yang berpotensi untuk mengganggu rust-en-orde (keamanan dan ketertiban). Selain model kisah tersebut, adapula cerita-cerita mengenai manusia yang bisa menyaru menjadi harimau jadi-jadian. Cerita kedua ini memiliki penafsiran lain yang lebih terarah pada perkara kesaktian seseorang. Kaitan antara harimau dengan manusia ini bahkan sampai pada pandangan bahwa harimau dan manusia berasal dari leluhur yang sama. Wessing (1995) menemukan cerita bahwa harimau, juga buaya, merupakan keturunan dari menantu Nabi Muhammad, Sayyidina Ali. Karenanya, tak heran harimau memiliki tenaga yang luar biasa.
Figur mitos mengenai kekuatan harimau ini juga diceritakan, bahkan menjadi judul, dari roman garapan Harimau! Harimau!-nya Mochtar Lubis. Dalam sebuah bagian, Mochtar Lubis menuliskan; “Tapi itu juga tempat nenek,” kata Sutan, “di mana ada rusa ada nenek.” Maksudnya harimau. “Huss,” kata Wak Katok. “Jangan disebut-sebut namanya [nenek; harimau].” Bagian ini menunjukkan bahwa penyebutan kata nenek yang merujuk pada harimau merupakan hal yang tabu apabila sedang di dalam hutan, sebab menyebutnya sama dnegan memanggilnya datang. Dalam fantasi orang Asia Tenggara, hutan dilihat sebagai tempat yang berbahaya, manakutkan, penuh kekuatan supranatural. Bahkan muncul keyakinan bahwa harimau bisa menghilang di tengah hutan, ia tak pernah muncul dan menghindari bertemu dengan manusia. Namun dengan pembukaan lahan-lahan hutan untuk kepentingan manusia, maka sifat supranatural ini perlahan sirna. Pudarnya sistem makna supranatural pada harimau dan kekuatannya yang dianggap mengerikan, mendorong perburuan terhadap harimau menjadi sebuah tantangan tersendiri. Meskipun masa kehamilan cenderung cepat, sekitar seratus hari, namun agaknya perburuan sekaligus habitatnya yang makin menyempit menyebabkan harimau Jawa menjadi subspesies terancam punah pada tahun 1970an.
Perburuan harimau ini bahkan telah dimulai sejak tahun 1600an. Pada masa itu, harimau diburu dan dipelihara untuk kemudian menjadi pusat dari ritual yang sering dilakukan di kerajaan-kerajaan. Ritual ini disebut sebagai rampogan sima (menghujani harimau dengan senjata). Wessing (1992) mencatat bahwa rampogan ini dihadiri lebih dari 2000 sampai 3000 orang.
Berbeda dengan sabung ayam sebagaimana dituliskan Clifford Geertz (1973) di Bali yang tidak dimobilisir oleh otoritas, rampogan sima justru ada sebagai penanda hadirnya otoritas. Namun untuk menyebutnya sebagai permainan mendalam yang mempertaruhkan status adalah kurang tepat. Justru status dalam rampogan sima seperti ditiadakan dengan konsentrasi terhadap harimau yang kapan saja bisa melewati pagar orang bertombak. Namun, keduanya memiliki kesamaan dalam merangsang “kekuatan kreatif kejantanan disertai dengan kekuatan destruktif kebinatangan yang berpadu-satu dalam drama berdarah tentang kebencian, kekejaman, kekerasan dan maut.”
Yang menarik adalah pada tahun 1905 ritual rampogan sima dilarang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan alasan jumlah harimau yang terancam habis. Masa di mana pelarangan terjadi adalah ketika gelombang anarkisme global sedang kuat-kuatnya, sementara di Indonesia nasionalisme anti-kolonial mulai menemukan ruang geraknya secara politis lewat lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) untuk kemudian disusul Boedi Oetomo tiga tahun berikutnya. Karena itu, alih-alih dikarenakan jumlah harimau yang semakin menipis, tulisan ini mencoba melihat gelombang anarkisme dan nasionalisme inilah yang menjadi konteks dari pelarangan ritual rampogan sima.
Rampogan Sima dan Perubahan-perubahannya
Sekitar empat abad yang lalu, seorang bernama Edmund Scott yang menjabat penguasa Inggris (head of the British Establishment), diundang ke kota Banten untuk menghadiri perhelatan di kasultanan. Acara yang ia hadiri merupakan rangkaian acara sunatan Sultan muda Banten. Dalam perhelatan tersebut, dihadirkan pula binatang-binatang yang bagi si penguasa aneh, salah satunya adalah matchan.
Selanjutnya, dalam sebuah surat dua orang Belanda kepada Gubernur Jendral VOC di Batavia, disebutkan bahwa Sultan Agung memerintahkan orang-orang di kerajaannya untuk menangkapi sebanyak 200 harimau dalam kurun waktu tiga bulan. Raja yang berkuasa dari 1613-1645 ini kemudian mengadu harimau dengan orang-orang di kerajaannya. Apabila seseorang mampu memenangkan pertarungan dengan harimau, maka orang tersebut akan memperoleh kedudukan, perempuan, keris ataupun pakaian yang telah dipersiapkan sang raja. Boomgaard (1994) berpendapat bahwa adu kekuatan ini menunjukkan fakta bahwa Sultan memberikan penghargaan bagi mereka yang mampu menunjukkan kemampuan yang luar biasa.
Meskipun demikian, kedua referensi di atas tidak bisa menunjukkan bahwa menangkapi dan menarungkan harimau ini telah menjadi ritual di kerajaan-kerajan pada masa itu. Referensi yang lebih terpercaya datang dari Rijklof van Goens yang mendatangi perhelatan di Mataram sebanyak lima kali. Ia mengisahkan bahwa Sunan Amangkurat I (berkuasa 1646-77) terkadang mengadakan pertarungan di arena turnamen antara banteng dengan harimau, atau antara dua ekor banteng. Ia sangat terkesan dengan pertarungan yang baginya seru namun kejam. Arenanya tidak lain adalah alun-alun, sebuah tempat yang akan mudah ditemukan di pusat-pusat kerajaan. Ritual ini tercatat diadakan secara berkala sampai pada awal abad ke-19 dan dikenal sebagai rampogan sima.
Tercatat bahwa setelah tahun 1686, di setiap kraton dibangun kandang harimau permanen, yakni Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Lokasinya pun hampir pasti, di pojok sebelah barat alun-alun untuk kemudian sejak abad ke-19 dipindahkan ke pojok tenggara alun-alun. Setidaknya, ukuran kandang ini cukup besar. Pada tahun 1850, dikatakan bahwa kraton Surakarta memiliki kandang yang mampu menampung sekitar 7-9 ekor harimau. Sementara itu, pada awal abad ke-20 di kraton Yogyakarta tidak lagi menunjukkan adanya harimau dalam kandang, yang ada hanyalah macan tutul.
Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat dalam ritual rampogan sima ini. Pertama adalah berkaitan dengan perubahan cakupan ritual. Apabila sejak awal ditunjukkan bahwa ritual ini dilakukan hanya di kraton-kraton, maka menjelang terpecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, ritual rampogan sima ini dilakukan juga oleh para bupati. Para bupati ini menyalin apa yang telah dilakukan penguasanya dengan menangkap harimau dan memeliharanya untuk kemudian melakukan ritual. Sebelumnya, para bupati ini dilarang untuk memiliki harimau. Bupati-bupati hanya menangkapi harimau untuk kemudian dikirim kepada para penguasa Jawa. Namun, pengadaan ritual ini juga memiliki tujuan untuk para pendatang dari Eropa. Artinya, ritual yang tadinya digunakan untuk memilih prajurit dengan kemampuan unggul ini kemudian semata-mata digunakan untuk tujuan kesenangan.
Kedua adalah berkaitan dengan hewan yang digunakan. Apabila di awal referensi ditunjukkan bahwa banteng menjadi hewan penting yang dihadirkan di ritual, maka pada masa selanjutnya (antara 1739-1775) pertarungan antara harimau dengan banteng semakin berkurang dan hanya menjadi penusukan harimau. Harimau yang ditangkapi sengaja dilepaskan di alun-alun dengan para prajurit berbaris secara melingkar, memegangi tombak dan berusaha menusuk harimau yang hendak melarikan diri.
Ketiga, menurut laporan Robert Wessing, penurunan jumlah harimau merupakan akibat dari cara pandang baru mengenai alam dan posisi manusia dalam alam. Harimau seringkali dianggap sebgaai figur asing yang menghalangi manusia untuk menguasai alam, karenanya harimau perlu untuk dibantai. Penurunan jumlah harimau ini, dicatat oleh Boomgaard bahwa pada tahun 1830 sampai 1860 harimau dan macan tutul yang dibunuh rerata 1250 ekor tiap tahunnya. Jumlah ini mnegalami penurunan hanya menjadi 400 ekor harimau yang dibunuh tiap tahunnya di sekitar 1900. Sementara itu, jumlah manusia yang mati terbunuh oleh harimau adalah 120 orang tiap tahun di sekitar 1860-an dan mengalami penurunan menjadi 30 orang tiap tahun pada 1900-an.
Pun demikian, bukan berarti ritual ini menjadi satu-satunya penyebab penurunan jumlah harimau di Jawa. Pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) pada 1809-1810 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memungkinkan lahan-lahan baru dibuka. Pembukaan lahan-lahan baru ini diikuti pada tahun 1830-1870 ketika dilangsungkan sistem Tanam Paksa yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah ekspor sektor agrikultural sebagai imbas dari biaya Perang Jawa (1825-1830) dan menipisnya modal perusahaan swasta milik Belanda. Sistem ini memungkinkan diretasnya lahan-lahan baru beserta sistem irigasi yang dibutuhkan berbagai perkebunan.
Pada masa Tanam Paksa, jumlah penduduk di Jawa semakin bertambah. Geertz (1963) mencatat, meskipun cukup spekulatif dikarenakan data yang diandalkan tidak ada, bahwa antara tahun 1830-1900 terjadi peningkatan jumlah penduduk sekitar 2% tiap tahunnya. Peningkatan ini memunculkan pameo bahwa orang Belanda bertambah besar kekayaannya dan orang Jawa bertambah besar jumlahnya. Dengan pertambahan jumlah penduduk ini, maka jumlah pemukiman turut meningkat sehingga lahan huni pun meluas. Perluasan lahan huni ini semakin mempersempit ruang gerak harimau yang cenderung untuk menjauhi pemukiman. Setelah habitatnya menyempit, maka sangat mungkin harimau-harimau ini kemudian juga bertemu dengan manusia dan dengan demikian pembantaian harimau bisa kapan saja terjadi.
Kerumunan yang Me-rampog
Sementara di Hindia Belanda ritual tersebut hampir hilang, terbitlah buku tulisan Gustave Le Bon di Perancis. Buku berjudul Psychologie des Foules (1895) memberikan analisis terhadap psikologi kerumunan, secara khusus bagaimana individu dalam kerumunan cenderung untuk mengikuti kesepakatan kerumunan. Seseorang dalam kerumunan laiknya butiran pasir di tengah butir-butir lain yang dengan mudah akan ditiup angin. Hanya dengan sedikit provokasi, individu akan bisa digerakkan secara masif.
Gerakan masif ini disatukan dengan gagasan, keyakinan maupun ideologi yang sama. Misalnya saja berkaitan dengan apa yang dicatat para peneliti rampogan sima, sima dilambangkan sebagai kekuatan kolonial yang secara tidak langsung akan dilawan oleh kekuatan rakyat. Meskipun demikian, pendapat tersebut terlalu spekulatif sebab tak ada data-data yang secara kuat menunjukkan kepentingan tersebut. Namun, pendapat tersebut menjadi bisa diterima secara logis dengan menunjukkan bahwa orang-orang berkumpul untuk merayakan ritual secara bersama-sama. Ada yang datang karena ingin mengadu kekuatan, ada yang datang karena suasana menyenangkan atau ada pula yang datang karena ritual ini bagian dari tradisi keagamaan. Dengan demikian, mereka memiliki kepentingan yang berbeda meskipun memiliki satu tujuan serupa: mengalami suasana rampogan sima.
Dalam kerumunan demikian, orang akan mudah terbujuk untuk mengorbankan dirinya demi mempertahankan gagasan kelompok. Pengorbanan ini sebagaimana seseorang yang mau merelakan diri mati demi sebuah bangsa karena hadirnya antusiasme dan merasa terhormat. Meskipun, tidak dapat ditampik bahwa seorang individu dalam kerumunan akan cenderung menerima ide secara superfisial untuk kemudian dijadikan alasan aksi revolusioner. “He is no longer himself,” tulis Le Bon, “but has become an automaton who has ceased to be guided by his will.”
Ada sebuah kisah yang menarik untuk dicuplik pada bagian kerumunan ini. Ceritanya adalah mengenai bagaimana antusiasme hadir di tengah suasana rampogan sima ini. Berikut adalah isi teks aslinya untuk kemudian diparafrasekan di paragraf selanjutnya:
Tijang katah makaten anakipoen tijang katah, dados inggih warni-warni polahipoen. Mila ningali gègèring tijang éwon waktoe sima ambabal makaten waoe méksa wonten tijang ingkang kober nindakaken leloetjon oetawi oegal-oegalanipoen. Inggih kala pambabalipoen sima ageng waoe wonten tangga koela tijang nénéman, nonton sawingkinging baris. Sareng sima babal, pijambakipoen maladjeng nerak dasaripoen tijang sesadéan ing pinggir aloen-aloen ngloempati lintjak dasaran sekoel, soekoe sasisih andoepak koewali wadah rawon, sisihipoen ngidak toemboe sekoel, ladjeng dawah ngroengkebi bakoel ingkang sadé sekoel waoe. Keleresan sima ingkang oetjoel kepanggih andelik ingandap lintjak ngrikoe, mila lintjak waoe ladjeng kakiter waos. Kotjapa bodjonipoen bakoel sekoel, soemerep manawi lintjakipoen dipoen brobosi sima, andjelih toeloeng-toeloeng, ngagar-agar pikoelan kagebragaken dateng lintjak. Inggih mawoed sadaja sadéjaning bodjonipoen. Déné tangga koela waoe dangoe anggènipoen kroewelan kalihan bakoel sekoel, sabab soekoenipoen sasisih toemoempang ing lintjak, kesokan djangan rawon panas. Sareng soemerep poen laki anggebagaken pikoelan, nginten manawi badé dipoen pentoengi, djalaran andawahi, bakoel enèm waoe ladjeng tangi garégah, kagét soemerep waos sami ngatoeng dateng lintjak, noenten bakoel sekoel waoe dipoen glandang kagèrèd loemadjeng, oewalipoen sareng sampoen dateng ing margi: poen bakoel babak boenjak, tangga koela mlotjot soekoenipoen tengen, soekoe kiwa gaboel oepa panas, oedengipoen itjal. Sima ingkang ambabal ladjeng dipoen karotjok waos. Sadèrèngipoen pedjah, medal saking ngandap lintjak, ingrikoe bodjonipoen bakoel medal bramantyanipoen, anggebagi sima waoe mawi pikoelan, ngantos sapedjahipoen, sarwi akrenggosan angoedjar-oedjari sima, déné andjalari mawoeting dasaran sekoel sarta kawiranganing bodjonipoen.
Kira-kira, bagian tersebut bercerita bahwa banyak orang yang berkumpul berasal dari berbagai macam latar belakang. Ada yang justru berkelakar ketika turut dalam suasana rampogan sima, adapula yang ugal-ugalan perilakunya. Dikisahkan oleh Kartawibawa (1923) dengan begitu jenaka bahwa seekor harimau pernah berhasil melewati pagar betis orang-orang yang bersenjatakan tombak. Seorang yang ketakutan lari tunggang langgang menuju ke pinggiran arena tempat di mana orang berjualan makanan. Tidak sengaja, saking takutnya, tetangga Kartawibawa tersebut terjatuh sebab menginjak nasi dan rawon milik seorang penjual. Setelah terjungkal, justru orang tersebut makin ketakutan melihat harimau yang tengah bersembunyi di bawah kursi bambu di dekat tempatnya terjatuh. Justru kemudian orang tersebut berteriak minta tolong saking histerisnya.
Kartawibawa menceritakan karena kejadian tersebut, tetangganya sampai memeluk-meluk seorang penjual nasi, sementara kakinya melepuh karena panas kuah rawon. Ia menggambarkan bahwa kaki kanan si tetangga tersandar di atas kursi bambu tempat si harimau bersemayam. Sementara itu, sedikit menggambarkannya dengan humor, kaki kanan tetangganya malah belepotan butiran nasi panas yang ia injak dan tendang sebelum terjatuh. Suami dari penjual nasi tersebut akhirnya punya keberanian untuk memaki si harimau yang kemudian mati meskipun tetap terlihat nafasnya yang terengah-engah (lelah dan ketakutan) dan rasa malu yang menimpa istrinya.
Perasaan sebagaimana diceritakan Kartawibawa yang diwarnai nuansa rasa takut, terheran-heran, sekaligus usil tersebut justru menandaskan perasaan bersama pada setiap orang yang berada dalam arena. Entah mereka adalah seorang yang hanya menonton, yang me-rampog maupun orang yang berjualan di sekitar alun-alun. Mereka memiliki kesempatan dan ketangguhan yang sama untuk merasa takut maupun merasa lebih hebat dari si harimau, hal ini tampak ketika suami si penjual makanan justru menyemburkan kata-kata pisuhan ketika si harimau mati. Di sinilah hadir sebuah perasaan yang mengabaikan ketidakmampuan atau ketidakpentingan seseorang menjadi sebuah kekuatan yang mendadak hadir dan merasa punya kekuatan lebih terhadap sesuatu yang ia takuti.
Meskipun demikian, berbeda dengan Le Bon, kita tak bisa dengan mudah mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam rampogan sima ini mencerminkan sebuah gagasan yang revolusioner dan anti-kolonialisme. Gagasan ini, tampaknya belum sepenuhnya menemukan wujud aksinya hingga kesadaran nasionalime anti-kolonial mulai termobilisir. Namun, brutalitas yang mewarnai pemberontakan-pemberontakan sepanjang tahun 1800-an telah hadir dalam ritual rampogan sima. Mengenai brutalitas, Gustave Le Bon mengatakan bahwa;
“…our savage, destructive instincts are the inheritance left dormant in all of us from the primitive ages. In the life of the isolated individual it would be dangerous for him to gratify these instincts, while his absorption in an irresponsible crowd, in which in consequence he is assured of impunity, gives him entire liberty to follow them.”
Brutalitas ini apabila digagas bersamaan dengan nasionalisme anti-kolonial yang revolusioner, akan meruntuhkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini sebagaimana kemudian terkisahkan dalam pembayangan mengenai Indonesia oleh Dr. Soetomo. Revolusi inilah yang amat berbahaya bila dilihat dari alur pikir otoritas yang berkuasa. Jaap van Ginneken (1992) menyebutkan bahwa sebuah revolusi ekonomi akan menghancurkan kekuasaan feodalisme dan secara gradual akan dibawa menuju pada kapitalisme. Revolusi teknis akan meningkatkan pendapatan agraria namun di sisi lain akan menggencarkan industri. Revolusi sosial memindahkan oposisi antara pemilik tanah dengan petani menjadi borjuis dan proletariat. Sementara itu, revolusi politik mengakhiri kedaulatan monarki absolut.
Kerumunan dalam alam pikir Jawa akan menjadi revolusioner dengan adanya pengkonsentrasian Kuasa oleh orang yang punya kharisma (kasekten). Pada masa setelah Tanam Paksa berakhir dan digantikan dengan sistem Perkebunan Besar, seorang pujangga (penyair istana) agung Jawa yang terakhir, Raden Ngabehi Rangga Warsita, menulis Serat Kala Tidha (Puisi Saat Kelam) (1873). Dalam puisinya tersebut, Rangga Warsita mempertunjukkan bahwa “konsep kuno tentang semesta tak lagi sahih, irama semesta telah terburai dan Kuasa Jawa telah tak berdaya.” Dalam perjalanan sejarah ini, orang Jawa telah melewati “saat-saat kelam”. Keadaan ini, disertai dengan adanya harapan akan datangnya seorang penguasa yang mampu kembali mengkonsentrasikan Kuasa dan menuju “saat gemilang” yang baru. Pada masa inilah kemudian nasionalisme anti-kolonial perlahan menerbitkan harapan akan masa depan sebuah bangsa baru bernama Indonesia. Kehadiran imajinasi kebangsaan inilah yang kemudian memungkinkan kerumunan menjadi sebuah kumpulan orang yang punya satu harapan akan masa gemilang dan dengan demikian mengancam kekuasaan kolonial.
Dari Kerumunan Menjadi Rakyat
Mengapa perkumpulan serupa vergadering ini perlu ditiadakan? Pada abad ke-19, terjadi ledakan-ledakan sosial yang tengah melanda pulau Jawa. Meskipun demikian, perlawanan terhadap pemerintahan kolonial belum menyentuh skala nasional. Artinya, pemberontakan terhadap kolonialisme ini masih berlangsung dalam lingkup-lingkup lokal. Pun, ide mengenai nasionalisme belum nyata-nyata hadir. Akibatnya, pemberontakan yang terjadi akan dengan mudah diikuti dengan penumpasan. Pada abad tersebut, muncul pula berbagai gerakan keagamaan dalam wujud sekolah agama dan aliran mistik.
Pemberontakan-pemberontakan ini antara lain terjadi akibat sistem tradisional yang digantikan oleh sistem modern. Dalam hal pertanian dan perkebunan, Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) berlangsung dari tahun 1830 sebagai dampak atas kerugian pemerintah Kolonial menghadapi Perang Jawa. Setelah 10 tahun berlangsung, sistem ini menuai kritik dan perlawanan yang menyasar pada isu kemiskinan dan kelaparan dalam kawula pribumi. Sistem ini, dituliskan C. Th. van Deventer dalam Een Eereschuld (Sebuah Hutang Kehormatan), mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda. Tulisan yang terbit dalam jurnal de Gids tersebut memperhitungkan bahwa Kerajaan Belanda berhutang sebanyak 187 juta gulden atas berlangsungnya sistem ini. Selain itu, masuknya ekonomi sistem uang dan pengawasan politik dalam lorong Politik Pintu Terbuka, tatanan ekonomi politik lama mulai runtuh.
De Waal mencatat bahwa pemberontakan sering terjadi selama 1840-1875. Berdasarkan dokumen resmi pemerintah kolonial, ia mengatakan bahwa hanya pada tahun 1844, 1847, 1860, 1863, 1871 dan 1874 tidak tercatat adanya pemberontakan. Meskipun demikian, tidak semua pemberontakan terdokumentasikan oleh pemerintah kolonial, misalnya pemberontakan tahun 1864 di Klaten; 1865 di Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Kedu; serta 1872 di Pekalongan. Pada tanggal 9-30 Juli 1888, Kartodirjo (1966/2015) mencatat pemberontakan petani di distrik Anyer. Pemberontakan ini memanfaatkan tarekat untuk bertukar informasi. Dengan menggunakan kedok agama, para pimpinan dapat bertukar pengalaman dan merencanakan pemberontakan. Kegiatan keagamaan seperti pengajian atau sholat Jumat menjadi digandrungi umat dengan adanya pemimpin-pemimpin kharismatik seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid.
Pengalaman riang dan gegap gempita dan gegap gempita sebagaimana dalam pemberontakan yang diteliti Kartodirjo juga ditemukan oleh Takashi Shiraishi pada awal abad ke-20. Pada masa itu, perasaan adanya kekuatan disertai solidaritas dialami kalangan anggota Sarekat Islam (SI) lewat vergadering. Para anggota SI ini kebanyakan adalah kaum kromo, mereka yang buta huruf dan tanpa pangkat, status, maupun harta. Pengalaman ini digambarkan oleh Shiraishi (1990/1997) demikian:
Buat kromo, pengalaman di vergadering-vergadering itu sama sekali baru, luar biasa, menggairahkan dan aneh. Kita bisa menggambarkan pengalaman itu begini. Bayangkan seorang petani di desa, mendengar kasak-kusuk tentang SI, lalu berjalan kaki bersama teman-teman dan sanak saudaranya ke tempat vergadering. DI sana ia melihat dan mendengar hal-hal yang belum pernah diketahui ataupun disangkanya. Ia mengalami sebuah dunia baru di mana tata hierarki Jawa Belanda ditiadakan untuk sementara dan di mana pemimpin-pemimpin SI berlaku sejajar dengan pejabat-pejabat Belanda dan bumiputra sambil mengatakan kepada hadirin bahwa semua orang bumiputra bersaudara dan sama-sama manusia seperti orang Belanda. Di tempat itu mereka membayar uang masuk, bergabung dengan SI, dan menerima kartu-kartu anggota. Kemudian mereka pulang dengan kartu anggota di tangan. Di rumah mereka bercerita tentang pengalaman yang luar biasa itu. Tetapi mereka tidak punya kosakata modern untuk mengungkapkannya. Kosakata Belanda yang begitu sentral dalam kesadaran kaum muda sama sekali tidak bermakna bagi mereka. Reli disebut vergadering dan pidato disebut voordracht. Oleh karena itu mereka mengungkapkan pengalaman baru yang luar biasa dan aneh pada saat vergadering dalam bahasa yang mereka kenal, termasuk bahasa Ratu Adil. Dalam studi-studi tentang SI, seringkali dikemukakan penjelasan bahwa orang-orang mendatangi SI karena harapan-harapan “milenarian” dan “mesianik”. Akan tetapi, alur logis penjelasan itu kelihatannya terbalik. Justru pengalaman orang-orang pada saat vergadering yang tidak lazim dan aneh itulah yang menggerakan bahasa Ratu Adil.
Dalam analisis Shiraishi, sebuah vergadering menjadi begitu gegap gempita bukan semata-mata karena ada pemimpin yang kharismatik. Orang berbondong-bondong dengan harapan akan memperoleh pengalaman baru yang aneh dan luar biasa. Pola-pola demikian, telah terjadi pula sebagaimana dalam ritual rampogan sima, sebagaimana diceritakan Kartawibawa. Kartawibawa berkisah bahwa dalam ritual rampogan sima, sejak pukul enam pagi jalanan telah dijejali dengan orang-orang yanng menuju ke alun-alun – dan tanpa putus! Kartawibawa menyebutkan bahwa ritual ini adalah cara kuna orang bersenang-senang. Meskipun demikian, cara bersenang-senang yang ia maksud cukup serius; taruhannya adalah dikejar harimau.
Mereka datang dengan penuh keberanian untuk menghadapi harimau. Yang belum tentu akan mati kena tombak. Barangkali, harimau tersebut justru akan lepas dan kuku maupun taringnya menyobek kulit salah seorang yang ada di alun-alun. Keberanian, sekaligus keriuhan, rakyat dalam ritual ini digambarkan Kartawibawa dalam tembang macapat Durma. Ia katakan bahwa semakin siang, semakin banyak yang berbondong. Ada yang dari distrik bersama-sama naik bendi. Wedana datang naik kereta sekeluarga. Asisten wedana naik bendi. Para hartawan, yang digambarkan Cina atau Belanda, naik bendi dan jalannya mendahului priyayi. Banyak orang berjualan dari makanan seperti jagung bakar hingga rokok dari Turki. Orang-orang mulai bermain dan membunyikan petasan.
Harimau menjadi simbol di mana Kuasa dikonsentrasikan dan dipumpunkan. Dengan dibantainya harimau, logika orang Jawa mengenai penyerapan kekuatan dari luar semakin dipertegas. Semakin banyak harimau yang dapat di-rampog, maka kekuatan yang mengalir kepada tubuh si pe-rampog makin besar. Dengan bersama-sama membunuh harimau, maka pengumbaran hawa nafsu dapat terjadi secara sistematis. Benedict Anderson menunjukkan bahwa ritual-ritual pembunuhan ini merupakan cara paling ekstrem untuk menuntaskan gairah manusiawi sehingga Kuasa manusia diperoleh tanpa gangguan.
Tidak dapat dikatakan bahwa raja pada masa rampogan sima ini adalah personifikasi kemanunggalan masyarakat. Agaknya, lewat logika terbalik, justru harimau-lah yang mendatangkan para kawula ke alun-alun. Karena ada harimau sebagai sosok yang fantastis, artinya berada antara ruang kenyataan sekaligus mistis, maka orang-orang datang untuk melihat bagaimana sosok fantastis tersebut dihabisi. Bahkan, kekhawatiran yang muncul pada harimau dibaca para penonton saat si harimau hanya tengok kiri-kanan seperti orang tengah melihat situasi.
Tjarijosipoen tijang malih, sima ingkang ageng oetawi sepoeh, sok wonten ingkang mrimpeni: boten poeroen karampog, jèn dipoen rampog badé ngobrak-abrik tijang sanagari. Sima ingkang makaten, ladjeng dipoen pedjahi sarana kablebegaken ing lepen, oetawi kakintoenaken dateng Sala.
Poenapa inggih sima saged milih dedamel awon lan saé, oetawi milih pedjah wetah (sakétja) oetawi soroh amoek? Sakétja-sakétja poenapa, tijang dipoen sosog waos!? Jèn saged milih saestoe, poenapaa boten ngoental napas wonten inglebet delangkoep. Saking kinten koela, sadaja waoe namoeng pangatik-atikipoen tijang, mangsa wontena tijang soemerep dateng karenteging manahipoen sima: boten! Dados sima mladjeng moebeng-moebeng, oetawi andjrantal nerak pager waos waoe, sadaja koela anggep amoeng ngoepados margi badé ngoengsèkaken gesang, tanpa éngetan badé sakit étjaning pedjah.
Berikut adalah sadurannya:
Cerita lain dari orang-orang, harimau yang besar atau tua, terkadang ada yang menghantui lewat mimpi: tidak mau dirayah, kalau dirayah akan mengacaukan orang se-distrik. Harimau yang demikian, lalu dibantai dengan cara ditenggelamkan ke sungai, atau dihanyutkan ke Bengawan Solo.
Apa iya harimau bisa milih bikin nasib buruk dan baik, atau memilih mati baik-baik atau lewat amuk? Sebaik apapun, orang akan ditancap mata tombak!? Kalau betulan bisa memilih, apa tidak menelan nafas di dalam kandang. Dari perkiraan saya, semua itu cuma bikinan orang-orang. Apa ada orang yang merasa bisa tahu mengenai isi hatinya harimau: tidak! Jadi harimau maju dan berputar-putar, atau lekas lari mendekati pagar mata tombak, semuanya hanya saya anggap mencari jalan buat hidup, tanpa tahu-menahu bakal sakit atau mati.
Logika terbalik ini menegaskan bahwa harimau berpotensi untuk mengumpulkan massa. Dengan menempatkan diri pada mode berpikir “kalau seseorang melihat pada zamannya” – meminjam istilah Dr. Soetomo – dibarengi pula dengan gerakan perlawanan anarkisme global terhadap kolonialisme, lalu juga melihat bagaimana subjek-subjek seperti Kartini dan Tirto Adhi Soerjo terbentuk pada masa setelah Tanam Paksa, maka tidaklah mustahil bahwa kerumunan dalam rampogan sima akan segera mewujud menjadi sebuah rakyat dengan pembayangan kebangsaan di mana rasa persaudaraan memungkinkan jutaan orang tidak hanya bersedia melenyapkan nyawa orang lain, melainkan rela untuk merenggut nyawanya sendiri.
Hanya tiga tahun berselang dari pelarangan rampogan sima, masa yang disebut sebagai Pergerakan Nasional Indonesia ditegaskan dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908) dengan salah satu tokohnya adalah Dr. Soetomo. Di sinilah kemudian sebuah masa ketemu dengan massa, dan lahirlah rakyat. Apa yang disebut “rakyat” ini memiliki satu kesamaan cita-cita soal kebangsaan dan bersifat revolusioner. Meskipun, dalam perkembangan selanjutnya, apa yang dinamakan rakyat ini hanya sekadar menjadi bahasa kosong untuk melegitimasi kekuasaan rezim. Dalam sebuah kerumunan nasional, tidak lagi hanya rakyat yang berdiam, di sana ada orang-orang yang secara fungsional bergerak atas nama langgengnya kekuasaan rezim.
Model “orang-orang” tersebut, menurut Kwee Thiam Tjing (2004) sudah jamak hadir dalam tiap-tiap negeri dan bangsa. Ia menyebut dan mengkategorikannya sembari meminjam bahasa ludruk, yakni Djamino & Djoliteng-gespuis serta Djamino & Djoliteng-gepeupel. Siegel menguraikan lebih panjang bahwa Djamino & Djoliteng ini berasal dari kelas yang sedikit di atas kelas yang paling rendah. Mereka dapat ditemukan dalam masyarakat berkelas dalam setiap kebudayaan. Gepeupel (‘rakyat’) tidak jahat seperti gespuis yang pada jaman revolusi “mendjadi pemboenoeh, toekang perkosa, toekang bakar roemah pendoedoek jang tida berdosa, toekang sembeleh korban-korbannja jang majit-majitnja kemoedian ditoewangin benzine boeat dibakar!” Dan yang disembelih ini, sebagaimana sima yang di-rampog, justru mereka yang memang merasa bahwa kepentingannya disuarakan.
Daftar Acuan
Anderson, B. R. O’G. (1983). Imagined communities. London: Verso.
Anderson, B.R. O’G. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
Anderson, B. R. O’G. (2005). Under three flags: Anarchism and the anti-colonial imagination. London: Verso.
Berdoeri, T. (2004). Indonesia dalem api dan bara. Jakarta: Elkasa
Boomgaard, P. (1994). Death to the tiger! The development of tiger and leopard rituals in Java, 1605-1906. South East Asia Research, 2(2).
Geertz, C. (1963). Agricultural involution: The process of ecological change in Indonesia. California: University of California Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.
Gouda, F. (2008). Dutch culture overseas: Colonial practice in the Netherlands Indies, 1900-1942. Singapore: Equinox.
Kartawibawa, R. (1923). Bakda mawi rampog. Weltevreden: Bale-Poestaka. Teks lengkap bisa dilihat dari https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/buku/bmr/Bibar.html
Kartodirjo, S. (2015). Pemberontakan petani Banten 1888 (Transl. Hasan Basari). Depok: Komunitas Bambu.
Le Bon, G. (2002). The crowd: A study of the popular mind. New York: Dover Publications.
Lubis, M. (1975). Harimau! Harimau! Jakarta: Pustaka Jaya.
Mohammad, A. (1982). Menyergap harimau kedok. Bandung: PT. Alma’arif.
Shiraishi, T. (1997). Zaman bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926 (Transl. Hilmar Farid). Jakarta: Grafiti.
Siegel, J.T. (1987). “Sembahyang dan Permainan di Aceh: Suatu Ulasan tentang Dua Foto”. Dalam Taufik Abdullah (ed.), Sejarah dan masyarakat: Lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Siegel, J.T. (2005). Review essay: The establishment of revolutionary violence. Indonesia, 79.
Toer, P.A. (2000). Sang pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Toer, P.A. (2003). Panggil aku Kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
van Dongen, P. (2014). Rampokan Jawa & Selebes. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
van Ginneken, J. (1992). Crowds, psychology, and politics, 1871-1899. Cambridge: Cambridge University Press.
Wessing, R. (1992). A Tiger in the Heart: The Javanese Rampok Macan. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 148(2).
Wessing, R. (1995). The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change. Asian Folklore Studies, Vol. 54, No. 2.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.