Catatan Awal: Tulisan ini merupakan seri kedua dari lima tulisan saat mengunjungi pameran Mia Bustam: Karya, Kehidupan, Pemikiran di Benteng Vredeburg
Yogyakarta (dalam rangka Biennale Jogja XVIII) pada 6 Oktober sampai dengan 20 November 2025.
Pada tanggal 9 Oktober 2025 pukul 18.00-19.00, saya mengunjungi pameran Mia Bustam di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Saat pertama kali memasuki area benteng di malam hari, suasana terasa tenang, tetapi sedikit menegangkan. Pencahayaan yang redup dan bau lembab dari bangunan tua menciptakan kesan yang agak mencekam, mungkin karena ini merupakan kunjungan pertama saya ke benteng tersebut pada waktu malam hari, sehingga tubuh saya secara otomatis merespons dengan waspada. Saat masuk ke ruangan pameran, saya berhenti sejenak. Ruangannya luas, tetapi di dalamnya terdapat sekat-sekat yang membagi area menjadi beberapa bagian. Warna merah tua dan putih mendominasi dinding latar pameran Mia Bustam, dipadukan dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana serius, mendalam, dan kuat.
Dari pengeras suara di dalam ruangan pameran, terdengar suara-suara yang berganti-ganti, seperti playlist yang dirancang khusus. Mulai dari kicauan burung yang riang, lalu gemericik air yang menenangkan, kemudian suara narasi Mia Bustam yang menceritakan tentang dirinya menjadi tahanan politik, dan diakhiri dengan suara gamelan. Pergantian suara tersebut menimbulkan sensasi emosional yang berlapis, yaitu tenang, kemudian tegang, dan kembali hangat. Hal ini menciptakan kesan ruang yang terus bergerak dan hidup, meskipun saat itu pengunjung tidak banyak; dan obrolan di antara pengunjung hampir tidak terdengar. Hanya ada tiga orang pengunjung di sana, dua orang lain berjalan pelan-pelan di antara karya-karya, sesekali berhenti membaca teks deskripsi karya tanpa banyak bicara. Ruangan tersebut terasa tenang, tetapi tidak sunyi. Suara yang terus berganti membuat suasananya dinamis. Tubuh saya terasa merinding karena atmosfer ruang pameran menghadirkan beban emosi yang kuat, perpaduan antara kesedihan, kekuatan, dan keberanian. Perasaan saya berpindah dari canggung menjadi penuh rasa hormat terhadap sosok yang karyanya saya lihat.
Salah satu karya yang paling menarik perhatian saya adalah lukisan yang berukuran cukup besar bergambar sepuluh sosok manusia dengan satu figur laki-laki tanpa wajah. Lukisan karya Nessa Theo, “The Other Side of Melacholia”(2025) ini tidak diberi penjelasan pada dinding penyangganya. Di bawah lukisan tersebut, menjuntai hingga ke lantai susunan kertas-kertas yang berisikan potongan bagian dari buku memoar “Sudjojono dan Aku” (2006). Setelah membaca penjelasan singkat mengenai Mia Bustam yang ada di dinding tepat sebelah kiri saat pintu masuk ruang pameran Mia Bustam, saya mengetahui bahwa lukisan Nessa Theo ini menggambarkan keluarga Mia Bustam, yaitu Mia Bustam, suaminya (Sudjojono) dan delapan anak mereka. Figur laki-laki tanpa wajah merujuk pada hubungan antara Mia Bustam dan Sudjojono yang berakhir setelah Sudjojono ketahuan berselingkuh dan ingin mempoligami Mia Bustam, tetapi Mia Bustam menolaknya. Sang seniman menuliskan dalam kapsyen lukisannya: “Bagaimana kita menciptakan karya seni yang membicarakan peristiwa yang dekat dengan kekalahan, tanpa mereduksi kehidupan menjadi kesedihan semata? Karya ini merajut potret dan arsip, serta bidang 3d, untuk bertanya mengenai bagaimana perjuangan dan cita-cita mereka yang telah berjuang tetap menjangkau kita hari ini. Karya ini merenungkan makna peringatan, perayaan, dan ingatan simbolis dalam arus melankolia.”
Gambar 1. The Other Side of Melancholia (2025), Nessa Theo Salah satu karya lukisan Nessa Theo. Dari luka yang pernah terucap maupun tidak, terciptalah warna yang paling tulus. Potongan bagian memoar yang menjuntai sampai ke lantai, seperti kisah yang tidak sempat dirapikan, tetapi tetap dapat dihayati.
Momen tersebut sangat kuat secara emosional. Saya merasakan campuran antara marah, kagum, dan iba. Namun, perasaan yang paling bertahan justru kekaguman terhadap ketegasan Mia. Keputusan Mia untuk menolak poligami memperlihatkan sikapnya yang tegas terhadap nilai patriarki dan menunjukkan keberanian untuk mempertahankan harga diri di tengah tekanan sosial. Bagi saya, bagian ini menggambarkan bagaimana keberanian personal juga dapat menjadi bentuk perlawanan sosial. Keputusan tersebut tidak hanya menggambarkan konflik pribadi, tetapi juga simbol perlawanan terhadap struktur budaya yang sering menempatkan perempuan pada posisi paling bawah. Pengalaman ini membuat saya memandang Mia Bustam bukan sekadar sebagai “korban sejarah,” tetapi juga sebagai perempuan dengan kekuatan moral dan kesadaran diri yang tinggi. Mia Bustam berani menolak tunduk pada norma patriarki, bahkan saat keputusan itu membuatnya sendirian.
Pameran ini tidak hanya membahas kisah rumah tangga, tetapi pameran ini juga menampilkan pengalaman Mia sebagai tahanan politik selama 13,5 tahun tanpa proses peradilan pasca-peristiwa 1965, saat itu ia dituduh terlibat dalam komunisme. Arsip, narasi, dan karya visual menunjukkan bagaimana seorang perempuan menghadapi penindasan politik dan stigma sosial yang berkepanjangan. Karya ini juga membuat saya menyadari bahwa seni dapat menjadi cara seseorang untuk mengubah penderitaan menjadi sesuatu yang bermakna.
Marcuse, Mia Bustam, dan Utopia
Dalam pemikiran Marcuse (1978), seni memiliki dimensi politik dan utopis bukan karena isi atau pesan moralnya secara langsung, tetapi karena bentuk estetiknya (aesthetic form). Bentuk estetik adalah hasil dari proses transformasi realitas sosial dan emosional menjadi pengalaman yang otonom, mandiri, dan utuh. Melalui transformasi ini, seni menciptakan dunia alternatif yang tidak tunduk pada logika sosial yang berlaku. Marcuse (1978), menolak pandangan Marxis yang melihat seni hanya sebagai “suprastruktur” dari ekonomi. Ia berpendapat bahwa kekuatan pembebasan seni justru lahir dari subjektivitas dan imajinasi dari pengalaman batin manusia. Dalam pameran Mia Bustam, melalui ruangan yang redup, aroma lembab dari ruangan, dan suara latar yang berganti ganti menjadi proses transformasi estetik. Unsur suara, warna, dan ruang tidak hanya sebagai fungsi dekoratif, tetapi sebagai bahasa alternatif untuk menghadirkan kembali pengalaman Mia Bustam dengan sublimasi estetika, di mana kenyataan diatur ulang untuk membebaskan kesadaran dari pandangan yang sudah membatu.
Dengan demikian, pameran ini bukan hanya menceritakan penderitaan politik seorang tahanan perempuan, tetapi mengundang pengunjung untuk merasakan “realitas lain” atau another reality principle. Contohnya, yaitu ketika saya merasa bahwa seseorang dapat berbagi luka tanpa takut dihakimi dan pengalaman perempuan tidak lagi disembunyikan, hal tersebut sejalan dengan istilah utopia estetis Marcuse (1978), yaitu gambaran harapan akan dunia yang lebih manusiawi yang disampaikan melalui bentuk estetika, bukan propaganda langsung.
Marcuse (1978), juga menekankan bahwa seni sejati tidak memberi kesadaran palsu (false consciousness), tetapi membentuk kesadaran tandingan (counter-consciousness), yaitu sebuah bentuk pemikiran yang menolak realitas konformis dan menantang ideologi yang diciptakan oleh kekuasaan. Dalam konteks pameran ini, kesadaran tandingan muncul ketika pameran ini menjadi ruang untuk mempertanyakan nilai sosial yang menindas. Penolakan Mia terhadap poligami dan keberaniannya menulis pengalaman pribadi di tengah tekanan menunjukkan resistensi terhadap patriarki dan otoritarianisme politik sekaligus.
Selain itu, Marcuse (1978) mengaitkan utopia dengan Eros (dengan konsep the Beautiful), yaitu naluri kehidupan yang melawan prinsip realitas dominasi. Lukisan dan arsip Mia memancarkan sisi “Eros,” yaitu dorongan hidup dan keindahan yang lahir dari luka. Keputusan Mia untuk menolak poligami setelah Sudjojono ketahuan berselingkuh dapat digambarkan sebagai bentuk penegasan martabat dan kehidupan, bukan tunduk pada “Thanatos” atau dorongan destruktif dari sistem patriarki.
Dengan kata lain, pada pameran ini, salah satunya pada karya lukisan dengan sepuluh figur manusia adalah contoh konkret dari bagaimana seni bekerja seperti yang dimaksud Marcuse (1978), bahwa seni tidak mengubah dunia secara langsung, tetapi mengubah kesadaran seseorang yang mengalaminya. Termasuk saya, saya mengalami perubahan dalam cara memandang sejarah, perempuan, dan kemanusiaan setelah melihat karya-karya dalam pameran tersebut. Pameran ini menantang ideologi ganda, baik struktur patriarki maupun narasi politik negara. Pameran ini juga menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu harus keras. Ketenangan dan kejujuran yang ditampilkan justru menonjolkan kekuatan untuk tetap manusiawi di kondisi sulit. Marcuse (1978), menyatakan bahwa seni sejati tidak tunduk pada logika pasar atau kekuasaan, melainkan berada di luar produksi dan konsumsi. Pameran ini memberikan gambaran yang sama, di mana karya dan arsip Mia tidak untuk konsumsi cepat, tetapi untuk bahan refleksi. Di ruang luas dan tenang, pengunjung diajak untuk berhenti dari rutinitas harian dan menyadari orang-orang yang tersingkir dari sejarah.
Rasionalitas yang Melampaui Pasar
Menurut Habermas (1989), seni berfungsi sebagai bagian dari ruang publik komunikatif, tempat komunikasi reflektif terjadi. Habermas (1989), menekankan ruang di mana masyarakat dapat berkomunikasi secara reflektif dan membentuk kesadaran bersama. Dalam seni, komunikasi dapat melalui simbol, pengalaman, dan emosi. Pameran Mia Bustam mengubah Benteng Vredeburg, yang dahulu identik dengan kekuasaan kolonial dan militer, kini menjadi ruang publik baru yang membuka percakapan tentang sejarah dan identitas. Di dalamnya, sejarah yang dulunya ditulis dari sudut pandang negara kini ditulis ulang dari pengalaman personal seorang perempuan. Melalui arsip, foto, teks, suara, dan lukisan, pengunjung diajak untuk merefleksikan peristiwa 1965 dari sudut pandang personal. Pengalaman ini tidak mengajarkan sejarah secara formal, tetapi menumbuhkan empati dan kesadaran kemanusiaan. Pengalaman ini juga membuat sejarah terasa lebih dekat dan lebih terbuka.
Dalam kerangka Habermas (1989), pameran ini adalah komunikasi reflektif, di mana makna dibangun lewat empati dan mendengarkan. Pengunjung tidak berdebat atau bertukar pendapat secara eksplisit, tetapi saling memahami melalui pengalaman estetik yang sama. Setelah melihat karya-karya tersebut, saya tidak berdiskusi politik, tetapi memahami bahwa bagaimana kekuasaan memengaruhi kehidupan pribadi secara mendalam. Pameran ini juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap ideologi dominan. Narasi peristiwa 1965 selama ini didominasi versi resmi negara. Dengan menampilkan kisah Mia, pameran ini membawa narasi alternatif yang menantang ideologi dominan. Menurut Habermas (1989), ini upaya untuk membangun rasionalitas komunikatif baru, di mana masyarakat memahami masa lalu secara lebih terbuka dan empatik. Selain itu, pameran ini menunjukkan bagaimana seni dapat memulihkan ruang publik yang pernah untuk kekuasaan. Benteng Vredeburg kini menjadi tempat dialog sosial. Di masyarakat yang masih sulit bicara terbuka tentang masa lalu, seni menjadi media yang aman untuk memulai percakapan.
Dimensi Psikologi dan Eksistensi Perempuan
Dari perspektif psikologi seni, karya dan arsip Mia Bustam menunjukkan hubungan antara seni, trauma, dan resistensi. Pengalaman traumatisnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun politik, tidak diabaikan atau dilupakan. Namun, diolah menjadi bentuk ekspresi yang bermakna. Mia tidak melihat dirinya sebagai korban, tetapi sebagai seseorang yang memproses pengalaman hidupnya. Seni di sini membantu mengintegrasikan trauma ke dalam narasi yang lengkap. Seni bukan sekadar pelarian, melainkan cara untuk memahami dan mengelola pengalaman emosional.
Bagi saya, pameran ini seperti ruang terapi sosial. Pameran ini memungkinkan pengunjung menghadapi sejarah tanpa rasa takut. Melalui suasana yang tenang, pameran ini menunjukkan bahwa mengingat masa lalu dapat menjadi cara untuk menata ulang makna kehidupan, bukan hanya membuka luka. Mia Bustam juga menunjukkan resistensi yang realistis. Ia tidak melawan dengan kekerasan, tetapi dengan konsistensi menjalani hidup. Penolakannya terhadap poligami dan komitmen berkarya menunjukkan kemampuan menjaga martabat di situasi sulit. Hal ini seperti sublimasi, mengubah emosi berat menjadi karya yang bermakna. Seni bukan hanya ekspresi, tetapi juga penyembuhan psikologis. Proses mencipta dan memamerkan karya membebaskan emosi terpendam, sehingga trauma menjadi bagian dari pertumbuhan, bukan hantaman yang terus-menerus.
Refleksi Etis dan Kontekstual
Pameran ini mengajarkan bahwa seni berperan dalam membangun kesadaran etis. Pameran tidak hanya tentang estetika, tetapi juga menghidupkan kembali yang terlupakan. Dalam sejarah Indonesia pameran seperti ini membantu mengingat bagian sejarah yang tidak ada di narasi resmi. Saya sadar bahwa mengingat masa lalu tidak mudah. Namun, melalui seni proses itu lebih diterima karena disampaikan secara empatik dan visual. Seni membuka percakapan sosial yang tertutup, terutama pengalaman perempuan yang jarang dibahas dalam sejarah nasional.
Secara pribadi, pengalaman ini memperluas pandangan saya tentang seni dan kehidupan. Pameran ini menunjukkan bahwa seni dapat menjadi media pemahaman sosial dan psikologis, bukan hanya hiburan. Pameran membantu mengenali dimensi kemanusiaan yang diabaikan oleh sistem politik dan sosial. Jika suatu saat saya membuat karya terinspirasi oleh Mia Bustam, saya akan menyoroti tentang ketenangan sebagai kekuatan. Dalam bayangan saya, karya yang akan saya buat adalah sulaman, karena sulaman menuntut kesabaran, ketelitian, dan ritme yang tenang. Sulaman menciptakan ruang yang aman, di mana dalam sulaman kita dapat berpikir, merasa, dan mengolah tanpa gangguan. Kekuatan tidak selalu terbuka, tetapi kadang muncul dalam kejujuran, ketenangan, dan ketabahan dalam situasi sulit. Dari kisah Mia Bustam, saya belajar bahwa seni membantu berpikir jernih dan tetap manusiawi di tengah ketidakadilan.
Syahdan, melalui perspektif Marcuse (1978) dan Habermas (1989), pameran Mia Bustam menunjukkan peran ganda seni, yaitu ruang pembebasan pribadi dan alat komunikasi sosial. Marcuse (1978), menyoroti kemampuan seni untuk membuka imajinasi manusia dari represi sosial. Sementara Habermas (1989), menekankan seni memperluas ruang publik melalui dialog reflektif untuk pemahaman bersama. Pameran yang menantang ideologi dominan seperti patriarki dan otoritarianisme ini menunjukkan bahwa seni dapat menjadi media penyembuhan luka sosial dan pribadi. Pameran membantu saya untuk memahami sejarah, menghadapi masa lalu, dan membangun empati. Pengalaman pada pameran ini membuat saya sadar bahwa seni dapat berfungsi sebagai jembatan antara trauma dan harapan, juga antara ingatan dan penyembuhan.
Daftar Acuan
Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (Penerj. T. Burger). MIT Press.
Marcuse, H. (1978). The aesthetic dimension: Toward a critique of Marxist aesthetics. Beacon Press.
Theo, N. (2025). The other side of melancholia [acrylic and modelling paste on canvas, print on canvas, embroidery]. Biennale Jogja 18 KAWRUH: Tanah Lelaku Babak II, The Vredeburg, Yogyakarta, Indonesia.

Adinda Kayla Ayu adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Program Sarjana Universitas Sanata Dharma (PSPPS-USD) yang memiliki minat di bidang klinis dan sosial. Ia menyukai proses memahami manusia dari berbagai sisi, baik diri maupun dari interaksi dengan lingkungan sekitar.