Esai

Krisis Psikologi Vis-à-vis Psikologi Kritis

Post-Truth: Misinformasi, Makna, dan Upaya Mencari Kebenaran

Hakikatnya manusia akan mengalami, dan melalui pengalaman timbullah makna (Frankl, 2006; Schulenberg, 2003). Saat dalam ruang kelas Metode Penelitian Kualitatif di S1 Psikologi, saya bertanya pada dosen: Apa yang sekiranya menjadi permasalahan terbesar di Indonesia saat ini? Kala itu, dosen saya menjawab bahwa permasalahan yang akan menjadi tantangan bagi Indonesia, adalah transisi perubahan data nominal ke data ordinal (meminjam kosakata Metodologi Penelitian Kuantitatif).  Memaknai pernyataan tersebut, saya menyadari bahwa yang dimaksud adalah bagaimana informasi yang tersebar begitu bebas tidaklah sebatas hitam dan putih, dan pemaknaan serta wilayah berperilaku saat ini justru dalam spektrum abu-abu. Kita (seharusnya) tidak lagi hidup dalam kategorisasi baik-buruk, benar-salah, penjahat-pahlawan, informasi tidak bisa kita cerna mentah-mentah, diskursus kebenaran menjadi tantangan masa kini. Toh kenyataanya dalam era globalisasi ini kita telah bertransformasi dalam kekacauan era yang kerap disebut post-truth.

Kalau boleh kita sebagai umat manusia mengalami pandemi COVID-19 yang bermula di tahun 2019 lalu, agaknya kita tidak hanya berperang melawan yang liyan dalam bentuk virus, tapi juga melawan begitu banyaknya misinformasi yang tersebar begitu saja. Meminjam kosakata Direktur Umum Tedros Adhanom, hari ini kita masih terus melawan infodemik, saat berita hoax yang menyebar serupa dengan virus dan tak kalah mengerikannya (WHO, 2020). Relevan dengan keresahan yang boleh saya rasakan akhir-akhir ini, membuka akses media sosial sama dengan menceburkan diri dalam arus informasi dan diskursus tiada henti yang menuntut pemahaman lebih dan usaha mencari kebenaran.

Merujuk data statistik, paling tidak kisaran penduduk Indonesia saat ini adalah 280+ juta (BPS-Statistic Indonesia, 2024). Sekian banyak penduduk Indonesia tersebut paling tidak sebanyak 185,3 juta telah menggunakan atau mengakses internet (Kemp, 2024), dan sebanyak 167 juta di antaranya mengakses media sosial (Wolff, 2024). Tak terbayangkan berapa banyak konsumsi informasi yang terjadi setiap menitnya. Agaknya, masyarakat telah diarahkan menjadi subjek hiperstimulus – dengan demikian juga hiperatensi – yang selalu diposisikan untuk melakukan/memproses banyak informasi atau stimulus sekaligus.

Konsep multitasking dalam subjek yang dituntut memberikan hiperatensi sejatinya adalah kemunduran dari apa yang kita yakini sebagai upaya berkembang dalam peradaban (Han, 2015). Toh, manusia pada hakikatnya tidak dicipta untuk melakukan lebih dari satu tugas secara sekaligus. Apabila Han (2015) menjajarkan hewan dan manusia, agaknya hewan lebih superior karna mampu menjaga diri secara awas dari predatornya sembari mengunyah makanan di tengah hutan. Berbeda dengan manusia yang tidak mampu membagi atensinya secara bersamaan dalam menjalani perilaku sehari-hari. Apabila sekarang kita dituntut memberikan (tidak hanya atensi) hiperatensi dalam memproses begitu banyaknya informasi dalam era globalisasi ini, wajar jika kita pun telah bertransformasi menjadi sebatas hewan pekerja.

Memang kenyataannya, era post-truth telah menjadi salah satu potret keprihatinan bersama. Bagaimana tidak? Permasalahan ini menantang kemampuan kita sebagai masyarakat dalam membedah satu per satu informasi, membedakan apa yang kemudian berbentuk kebenaran objektif dan bukan sebatas apa yang kita yakini bersama sebagai benar (McIntyre, 2018).  Kalau kemudian kita hidup dalam era yang menantang koherensi realitas kita, besar celah manusia mulai kehilangan makna mendalam akan kehidupan, moral, dan nilai-nilai lainnya (Barzilai & Chinn, 2020). Terlebih lagi poin penting memahami fenomena post-truth adalah kebenaran bukan perihal menyintas masa lalu, tapi upaya menyibaknya dalam pandangan kritis (Buckingham, 2019).

Sama seperti maraknya penggunaan media sosial, psikologi pun ikut mendapat imbas dari globalisasi. Selain itu, lagi-lagi, dampak COVID-19 justru membukakan mata masyarakat untuk menaruh perhatian akan pentingnya kesehatan mental. Menurut survei pada 2022, 36% responden meyakini bahwa kesehatan mental menjadi suatu hal yang perlu difokuskan, bahkan mencapai peringkat yang cukup tinggi dalam survei (peringkat 2, di bawah COVID-19, dan di atas kanker) (Indraswari, 2023). Ibarat lampu sorot, kesehatan mental yang kemudian mendapatkan perhatian yang cukup banyak, menuntut tenaga profesional turut hadir (Pappas, 2022).

Epistemologi Psikologi: Positivisme, Konstruksionisme, hingga Realisme Kritis

Berangkat dari pemaknaan reflektif akan tantangan dunia mencari kebenaran objektif, dan upaya menjawab pertanyaan dan misteri kehidupan, saya berupaya menantang kembali pemahaman saya akan disiplin ilmu Psikologi yang telah menjadi passion saya selama ini. Kalau kemudian kebenaran tidak hanya cukup dilihat dari satu kacamata saja, pastilah keilmuan yang telah saya geluti juga dapat dilihat melalui berbagai perspektif. Maka sampailah saya pada persimpangan dalam begitu banyaknya jalan mencari kebenaran.

Pada titik ini bisa disepakati bahwa tuntutan hadirnya tenaga psikolog yang semakin dibutuhkan karena meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. Maka penting untuk menyadari bagaimana disiplin ilmu Psikologi menghadirkan kebenaran yang dimaknai selama ini (Barzilai & Chinn, 2020; Hook dkk., 2004; Indraswari, 2023; Pappas, 2022). Saya kemudian mencoba memahami epistemologi yang selama ini hadir dalam nuansa keilmuan Psikologi.

Positivisme merupakan epistemologi yang kemudian mendominasi awal berdirinya disiplin ilmu Psikologi selama paling tidak 75 tahun. Maxwell dan Delaney (2004) menerangkan bahwa pandangan ini berakar dari keyakinan bahwa semua hal di dunia (alam) dapat diobservasi dan diukur secara objektif. Tentunya berangkat dari dua asumsi awal; (1) Keabsahan alam, dan (2) Sebab akibat yang terbatas. Asumsi akan keabsahan alam berargumen bahwa semua hal yang ada di alam sejatinya dalam posisi yang penuh keteraturan dan pasti, sehingga bisa diobservasi dan diukur. Sedangkan asumsi sebab akibat yang terbatas berargumen bahwa apapun yang terjadi di dalam alam yang teratur, terjadi oleh karena hukum sebab akibat yang terbatas dan dapat diprediksi. Melalui dua asumsi inilah kemudian pengetahuan yang didapat (harapannya) dapat digeneralisasi sehingga bisa digunakan untuk dasar pengetahuan.

Positivisme dalam Psikologi sendiri kental terlihat dalam banyaknya penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dipergunakan sebagai dasar membuat rekomendasi, dan bahkan kebijakan. Harapan bahwa positivisme dapat memberikan kejelasan, objektivitas, dan kemampuan untuk direplikasi mendorong penelitian Psikologi selama ini (Meridian University, 2023). Pandangan akan pengetahuan ini sebenarnya selaras dengan sejarah psikologi yang bermula dari laboratorium penelitian dan tokoh Wilhelm Wundt yang mencoba memahami struktur kejiwaan manusia melalui studi introspeksi (Stangor & Walinga, 2014). Corak inilah yang kemudian kerap terasa pada disiplin Psikologi, yang memandang bahwa kejiwaan manusia dapat diukur secara objektif demi upaya mencari kebenaran dan men-teori-kannya dalam falsafah bidang keilmuan.

Kalau kemudian corak positivisme kuat mendominasi selama ini tentu tidak selalu berjalan tanpa tantangan. Kritik terhadap positivisme dalam Psikologi perlahan mulai dilancarkan; pendekatan kebenaran yang justru membuat stagnasi dan statis, penyadaran akan penggunaan dan pelanggengan kuasa dalam keilmuan, serta gaungan kesetaraan mulai dipertegas. Tantangan terhadap positivisme dalam Psikologi tidak lagi dirasa perlu dilakukan tapi memang patut terjadi.

Pertama, kritik utama dalam pendekatan positivisme dalam psikologi adalah kenyataan bahwa sejatinya tidaklah ada fakta objektif dalam memahami atau mengobservasi kejiwaan manusia (Hook dkk., 2004). Kalau kemudian dua asumsi positivisme Maxwell dan Delaney (2004), kita sejajarkan dengan kenyataan misteri kejiwaan manusia, maka paling tidak kita bisa melihat kenyataan bahwa alam (atau kejiwaan manusia) tidak selamanya hadir dalam keteraturan atau sebab akibat yang pasti dan terbatas. Toh positivisme dalam memandang alam saja akan ada kalanya mengalami keruntuhan, digantikan, dan diubah.

Contoh nyata yang telah terjadi adalah ada kalanya kita sebagai manusia meyakini secara kolektif bahwa bumi yang kita pijak menjadi pusat dari alam semesta (geosentris). Bukan Copernicus seperti yang selama ini kita tuduh sebagai dalang perspektif ini, nyatanya Aristarchus of Samos beserta kolega astronom Yunaninya yang kemudian mempopulerkan pandangan ini (Stahl, 1945). Kalau demikian maka paling tidak ada lapisan kebenaran yang kita bedah memandang fenomena ini; pertama, bahwa kebenaran tidaklah selalu tetap dan akan tergantikan seperti pandangan manusia yang bergeser dari geosentris menuju heliosentris. Transisi perspektif heliosentris inilah yang kemudian menjadi pintu masuk disiplin ilmu astronomi modern (Stahl, 1945). Kedua, bahwa keyakinan tokoh figural Copernicus sebagai dalang geosentris juga dapat ditantang dan akhirnya melalui usaha pencarian kebenaran ditemukan rekam jejak historis yang sebenarnya. Melalui contoh ini paling tidak kita bisa melihat pandangan postivisme tidaklah selalu dapat menggambarkan kebenaran yang objektif karena nyatanya alam tidak selalu (terasa) teratur dan sebab akibat terbatas tidak selalu mampu menjelaskan ke-(tidak)-teraturan alam. Apa yang kemudian diyakini sebagai kebenaran objektif akan ada waktunya ditantang dan diruntuhkan.

Pada titik ini maka dapat disepakati bahwa menantang positivisme dan berupaya mencari pendekatan keilmuan yang lain menjadi patut serta wajar terjadi. Sebagai tandingan, konstruksionisme sering dipergunakan untuk membedah kebenaran yang sejatinya subjektif dan merupakan hasil konstruk sosial. Memang pada dasarnya konstruksionisme meyakini bahwa upaya membangun ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan konstruk yang dibangun secara sosial (Wheelahan, 2010).

Melalui pandangan ini penekanan bahwa Psikologi kemudian dianggap objektif menjadi salah besar, sebab hakikatnya kebenaran merupakan konstruk sosial yang dibangun oleh manusia. Observasi maupun pengukuran yang dilakukan oleh ilmuwan Psikologi-pun pasti sebenarnya secara inheren sarat nilai (Gillborn dkk., 2018; Prilleltensky, 1999; Stage, 2007). Dengan menyadari bahwa sejatinya kita sebagai ilmuwan atau sederhananya seseorang yang menggeluti keilmuan Psikologi secara inheren penuh dengan konstruk nilai (Prilleltensky, 1999), kita jadi dapat menavigasi diri lebih baik dalam upaya menyibak dunia dan mencari kebenaran.

Bentuk contoh nyata yang dapat kita lihat adalah bagaimana pembentukan tes intelegensi yang sejatinya kontekstual dan tanpa disadari sarat akan nilai-nilai yang dibawa oleh pembuatnya. Salah satu refleksi saya saat mempelajari tes intelegensi di perkuliahan S1 adalah bagaimana saya tidak mampu menjawab salah satu item soal (perbedaan gambar) karena jawaban dari soal tersebut adalah tidak adanya salju di gambar yang satu dengan yang lain. Menyadari hal ini, saya menemukan satu permasalahan fatal kalau kemudian tes intelegensi ini dipergunakan sebagai penghakiman terhadap tingkat kecerdasan individu. Masyarakat yang datang dari negara tropis dan tidak mengalami musim salju tentu saja akan cenderung salah dalam menjawab soal ini.

Pandangan konstruksionisme menjadi salah satu pisau yang cukup tajam menyadari konteks dan nilai dari setiap bentuk produk keilmuan Psikologi. Meskipun demikian konstruksionisme tidaklah selamanya baik untuk digunakan begitu saja. Tentu penting memahami bagaimana konstruk sosial memengaruhi kita dalam memandang kebenaran. Namun jebakan betmen yang ada dalam sudut pandang ini adalah runtuhnya kebenaran itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dilihat sebagai produk sampingan yang sifatnya sementara dan terikat secara konteks. Pembedaan antara pengetahuan yang sifatnya teoretis dengan pengetahuan sehari-hari menjadi runtuh satu sama lain (Wheelahan, 2010). Dengan demikian tidak lagi ada batasan yang jelas antara kebenaran yang dapat diyakini sebagai dasar keilmuan dengan nalar akal sehat sehari-hari.

Saya kemudian kembali berfleksi setelah kurang lebih 3 bulan terakhir mempelajari pendekatan kritis dalam Psikologi (katakanlah: Psikologi Kritis). Menyadari positivisme dan mengenal konstruksionisme, saya sampai pada titik goyah dan mulai kehilangan pijakan. Bagaimana tidak? Pandangan positivisme yang telah merasuk dalam hampir setiap disiplin ilmu eksakta telah saya kunyah cukup intens. Tentu berangkat dari sini saya juga perlahan menginternalisasi keyakinan bahwa kebenaran objektif itu ada dan dapat dicari. Meskipun kini, saya sampai pada kesadaran bahwa pendekatan positivisme menjadi bermasalah, saya juga kesulitan mengamini pandangan konstruksionisme. Pada satu sisi penulis mampu mengilhami bahwa pentingnya menyadari bagaimana konstruk sosial membuat kita secara inheren sarat nilai. Namun, kembali lagi kalau semua hal pada akhirnya hanyalah konstruk, tidakah ada ruang untuk kebenaran yang sesungguhnya?

Saya kemudian menemukan “sesosok sahabat” dengan membaca refleksi Pilgrim (2019). Saya menemukan resonansi perasaan yang serupa, perasaan terombang-ambing di tengah dua arus positivisme dan konstruksionisme. Baru kemudian ada jalan tengah yang dirasa mampu menjahit dua pendekatan itu, yakni realisme kritis. Melalui realisme kritis, kita tetap meyakini bahwa ada kebenaran objektif dalam dunia (alam), dan perlu bagi kita sebagai manusia untuk mengupayakan pemahaman akan kebenaran tersebut. Meskipun demikian tentu juga penting kita menyadari bahwa manusia hidup di dalam dunia, dan sosok manusia hadir dengan sejumlah nilai dan konstruk di dalamnya. Melalui pandangan inilah penulis sekarang merasa lebih “nyaman” mengkaji ulang keilmuan psikologi.

Perspektif Kritis: Pendekatan dan Penyadaran akan Relasi Kuasa

Berangkat dari refleksi problematika epistemologi Psikologi, perspektif kritis dalam memandang objek psikologi mulai diupayakan. Sebagai penekanan penting, memahami Psikologi Kritis mengantar saya dalam refleksi yang cukup mendalam. Psikologi Kritis bukanlah sebuah disiplin ilmu yang dihadirkan untuk melawan apa yang disebut sebagai Psikologi Arus Utama (Mainstream Psychology). Psikologi Kritis pada hakikatnya adalah mengkaji ulang keilmuan Psikologi sebagai objek dengan menggunakan kacamata baru yaitu pendekatan kritis. Perpsektif kritis pun sejatinya bukanlah satu pendekatan yang pasti, melainkan upaya menggunakan berbagai pendekatan lainnya yang telah hadir untuk mengkaji objek psikologi itu sendiri. Hal tersebut relevan dengan Hook dkk. (2004) yang menekankan bahwa Psikologi Kritis lebih pantas dilihat sebagai pendekatan alih-alih sebagai sebuah teori dalam memahami Psikologi.

Pendekatan yang beragam kita gunakan dalam payung pendekatan kritis berasal dari kajian keilmuan yang bermacam pula. Sebagai contoh yang telah dijelaskan dalam epistemologi, tawaran konstruksionisme dan realisme kritis dapat menjadi pintu masuk lainnya mengkaji ulang Psikologi. Kemudian, sering kali dalam perspektif kritis, sarana mengkaji yang digunakan adalah studi sejarah, bahasa, politik, hukum maupun budaya. Terakhir, penting juga memahami relasi kuasa yang selama ini terjadi dalam keilmuan psikologi.

Mengapa kuasa menjadi begitu penting? Karena sejatinya Psikologi Kritis menyadari; (1) subjektivitas yang secara inheren sarat nilai, dan (2) adanya dinamika kekuasaan yang kemudian memengaruhi penelitian (Prilleltensky, 1999). Kembali kita ulas bagaimana pemikiran/pemaknaan akan kebenaran selain kemudian dipengaruhi oleh konstruk sosial juga secara historis dapat menciptakan relasi kuasa (Barzilai & Chinn, 2020; Hook dkk., 2004; Stage, 2007). Penting untuk menyadari bahwa kuasa sejatinya hadir dalam setiap hal.

Kuasa memang kemudian perlu dilihat sebagai suatu hal yang imanen, ia hadir di setiap individu, dan relasi kuasa terjadi ketika ada asimetri posisi dari kuasa (Foucault, 1990, 1995; Prilleltensky, 2008). Kalau kemudian kita dapat menyepakati kalau kuasa hadir di setiap individu, kita dapat kemudian melihat bagaimana ada begitu banyak tokoh ternama Psikologi pun hadir membentuk disiplin ilmu ini dengan kuasa masing-masing. Seperti contoh bagaimana tes intelegensi sering dipergunakan tanpa menyadari konteks, kita pun sering kali luput menyadari adanya kuasa yang dilanggengkan dalam pengunaan tes tersebut. Salah satu hal yang kemudian dikritisi dalam tes intelejensi adalah agenda tersembunyi tes tersebut dibentuk untuk melanggengkan segregasi. Bentuk-bentuk semacam ini memang kerap terjadi dalam keilmuan psikologi, yang hasil rekomendasi maupun kebijakannya membuat ketimpangan secara suku, agama, ras, dan adat (Gillborn dkk., 2018).

Implikasi Praktis: Menyadari Kuasa, Politik, dan Keberpihakan

Keilmuan Psikologi memang tidak lepas dari agenda politik. Sedari awal dibentuk pun sejatinya Psikologi telah menjadi objek politis (Parker, 2007). Berangkat dari penyadaran ini, saya kemudian melihat pentingnya keberpihakan dalam Psikologi. Ketimpangan kuasa atau asimetri kuasa tidak hanya mempersoalkan posisi yang tidak seimbang, tapi dampak konkrit dari asimetri tersebut adalah adanya bentuk opresi yang kemudian terjadi dan secara riil merugikan kelompok yang tak berdaya (Prilleltensky, 2008).

Kalau kemudian kesehatan mental menjadi isu hangat dan upaya menyejahterakan menjadi fokus potret hari ini (Indraswari, 2023; Pappas, 2022), maka penting untuk melihat bagaimana ilmu Psikologi juga dapat menyejahterakan kaum-kaum yang tidak berdaya. Permasalahan yang hadir dalam positivisme dan pendekatan Psikologi selama ini memang sering kali bergumul pada muara dinamika intra-psikis individu, kalaupun dyadic sering kali hanya melihat relasi antara individu dengan orang tua, atau dinamika keluarga saja (Prilleltensky, 2011). Padahal penting untuk melihat bentuk asimetri kekuasaan yang mungkin menjadi akar permasalahan kesehatan mental hari ini; paling tidak menyadari bentuk opresi, ketidakadilan sistemik, pengaruh ideologi kapitalis, maupun bentuk diskriminasi yang bisa jadi berkelindan satu sama lain melanggengkan penderitaan individu (Han, 2015; Prilleltensky, 2008, 2011).

Maka dari itu penulis kemudian merasa lebih siap “perang”, kalau kemudian dahulu lawan kita adalah yang liyan (virus dan bakteri) permasalahan kesehatan hari ini adalah kita melawan suatu hal yang imanen hadir dalam diri (Han, 2015). Dinamika individu tidak lagi sebatas kemampuan intra-psikis individu, tapi justru melihat dinamika individu dalam kacamata struktur yang menekankan relasi kuasa yang memengaruhi atau opresi yang terjadi (Prilleltensky, 2011). Perlahan saya diperlengkapi dengan kacamata akan struktur kuasa, keadilan, opresi, dan konstruk untuk kemudian berupaya membedah satu persatu permasalahan yang boleh hadir dalam kehidupan manusia.

 Penutup

Memahami perspektif kritis agaknya memang menuntut sebuah refleksi akan keilmuan itu sendiri. Saya menyadari betul bagaimana semangat positivisme telah merasuk dalam mempelajari ilmu eksakta selama ini. Kalau kemudian saya berangkat dikenalkan dengan Psikologi sebagai ilmu pasti, maka sekarang penulis dapat mengkaji ulang kebenaran yang dianggap pasti. Saya juga menyadari bahwa Psikologi Kritis bukanlah sebuah disiplin ilmu baru melainkan pendekatan yang harus dan patut digunakan untuk tidak hanya memahami dunia tetapi juga menyibaknya (Hook dkk., 2004; Meridian University, 2023; Parker, 2007; Pilgrim, 2019; Stangor & Walinga, 2014; Wheelahan, 2010).

Dalam era post-truth yang semakin kencang menderu, infromasi yang lalu lalang, pemahaman kebenaran menjadi sulit. Realitas yang koheren semakin sulit untuk dicapai termasuk realitas akan keilmuan Psikologi selama ini. Kalau kemudian kita hidup hanya melihat hitam dan putih, kita tidak akan mampu menyadari bagaimana ilmu Psikologi yang sekarang sedang mendapat fokus begitu besar membentuk perilaku kita sehari-hari. Membahas kesejahteraan tidak lagi pantas bermuara pada dinamika individu, penting untuk melihat pengaruh struktural dan opresi yang bisa saja terjadi. Kacamata inilah yang kemudian hanya dapat hadir melalui pemahaman atau perspektif kritis.

 

Daftar Acuan

Barzilai, S., & Chinn, C. A. (2020). A review of educational responses to the “post-truth” condition: Four lenses on “post-truth” problems. Educational Psychologist, 55(3), 107–119. https://doi.org/10.1080/00461520.2020.1786388

BPS-Statistic Indonesia. (2024, June 28). Mid year population (Thousand people), 2022-2024. BPS-Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id/en/statistics-table/2/MTk3NSMy/mid-year-population–thousand-people-.html

Buckingham, D. (2019). Teaching media in a ‘post-truth’ age: Fake news, media bias and the challenge for media/digital literacy education / La enseñanza mediática en la era de la posverdad: fake news, sesgo mediático y el reto para la educación en materia de alfabetización mediática y digital. Cultura y Educación, 31, 1–19. https://doi.org/10.1080/11356405.2019.1603814

Foucault, M. (1990). The history of sexuality: Vol 1. An introduction (Vol. 1). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (2nd ed.). Vintage Books.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning: An introduction to logotherapy. Beacon Press. https://search.library.wisc.edu/catalog/999542555202121

Gillborn, D., Warmington, P., & Demack, S. (2018). QuantCrit: Education, policy, ‘Big Data’ and principles for a critical race theory of statistics. Race Ethnicity and Education, 21(2), 158–179. https://doi.org/10.1080/13613324.2017.1377417

Han, B.-C. (2015). The burnout society. De Gruyter.

Hook, D., Mkhize, N., Kiguwa, P., & Collins, A. (Eds.). (2004). Critical psychology. UCT Press.

Indraswari, D. L. (2023, July 10). Kesadaran tentang kesehatan mental mulai tumbuh. Kompas. https://www.kompas.id/baca/riset/2023/07/10/kesadaran-tentang-kesehatan-mental-mulai-tumbuh

Kemp, S. (2024, February 21). Digital 2024: Indonesia. DATAREPORTAL. https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia

Maxwell, S. E., & Delaney, H. D. (2004). Designing experiments and analyzing data: A model comparison perspective, 2nd ed. In Designing experiments and analyzing data: A model comparison perspective, 2nd ed. Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. The MIT Press. https://doi.org/10.7551/mitpress/11483.001.0001

Meridian University. (2023, October 2). How positivism shaped our understanding of reality. Meridian University. https://meridianuniversity.edu/content/how-positivism-shaped-our-understanding-of-reality

Pappas, S. (2022). The rise of psychologists. https://www.apa.org/monitor/2022/01/special-rise-psychologists

Parker, I. (2007). Critical psychology: What it is and what it is not. Social and Personality Psychology Compass, 1(1), 1–15. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1751-9004.2007.00008.x

Pilgrim, D. (2019). Critical realism for psychologists (1st ed.). Routledge. https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9780429274497

Prilleltensky, I. (1999). Critical psychology foundations for the promotion of mental health. Annual Review of Critical Psychology, 1, 95–112.

Prilleltensky, I. (2008). The role of power in wellness, oppression, and liberation: The promise of psychopolitical validity. Journal of Community Psychology, 36(2), 116–136. https://doi.org/10.1002/jcop.20225

Prilleltensky, I. (2011). Wellness as fairness. American Journal of Community Psychology, 49, 1–21. https://doi.org/10.1007/s10464-011-9448-8

Schulenberg, S. E. (2003). Empirical research and logotherapy. Psychological Reports, 93(1), 307–319. https://doi.org/10.2466/pr0.2003.93.1.307

Stage, F. K. (2007). Answering critical questions using quantitative data. New Directions for Institutional Research, 2007(133), 5–16. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ir.200

Stahl, W. H. (1945). The Greek Heliocentric Theory and Its Abandonment. Transactions and Proceedings of the American Philological Association, 76, 321–332. https://doi.org/10.2307/283344

Stangor, C. G., & Walinga, J. (2014). Introduction to psychology – 1st Canadian Edition. https://api.semanticscholar.org/CorpusID:147639545

Wheelahan, L. (2010). Why knowledge matters in curriculum: A social realist argument (1st ed.). Routledge. https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9780203860236

WHO. (2020). Munich security conference. WHO Director-General Speech. https://www.who.int/dg/speeches/detail/munich-security-conference

Wolff, H. N. (2024, March 28). Social media in Indonesia – statistics & facts. Statista. https://www.statista.com/topics/8306/social-media-in-indonesia/#topicOverview

 

Tentang Penulis

Benjamin Haryono adalah seorang mahasiswa Program Studi Psikologi Program Magister Universitas Sanata Dharma (PSPPM-USD). Saat ini, ia aktif dalam Lingkar Studi Matari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *