Kwee Thiam Tjing (1900-1974) alias Tjamboek Berdoeri adalah seorang wartawan nasionalis dan kosmopolitan anti-kolonial. Kwee juga seorang sastrawan yang dengan “bahasa indah tanpa nama” (Anderson, 2009) menulis novel jurnalistik kondang Indonesia dalem Api dan Bara (1947/2004). Bahasa yang digunakan Kwee kurang lebih adalah bahasa Melayu-Indonesia sebelum EYD, “bahasa pasar(an)” yang “pas” untuk dibaca dan memberi rasa jeli, mendalam, sekaligus jenaka. Meminjam istilah Roland Barthes, kalimat-kalimat “liar” dalam novel jurnalistik Kwee (yang dominan menggunakan ejaan Soewandi) membuat pembaca layaknya menonton orang yang sedang menari; bukan sekadar orang yang baris-berbaris. Terlebih, bahasanya sama sekali bukan bahasa yang hari ini diagung-agungkan sebagai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengapa perkara bahasa Indonesia yang “baik” dan “benar” menjadi perdebatan panjang dalam kebahasaan? Apakah ini menjadi gejala ketidakberanian kalau-kalau bahasa Indonesia akan menjadi bahasa pasar(an) yang liar dan sekadar comot sana-sini? Apabila “liar” yang dimaksud adalah butuh dijinakkan lewat kamus, maka agaknya orang mudah melupa bahwa bahasa Indonesia terlahir dari pasar — dengan semacam ke-liaran-nya yang indah. Alih-alih ketakutan terhadap liarnya bahasa Indonesia, justru mereka yang masih merasa diri orang Indonesia boleh saja menikmati bahasa Indonesia sebagai bahasa pasar yang egaliter dan bukan milik kelompok bahasa ibu manapun (Anderson, 2016).
Bahasa Pasar(an), Siapa Takut?
Apabila menilik ulang sejarah berbahasa Melayu-Indonesia, kita bisa saja sampai pada kesimpulan bahwa orang menjadi anarkis sejak dalam bahasa. Dengan suasana linguistik yang begitu beragam di Hindia-Belanda, lahirlah lingua franca yang awalnya digunakan sebagai bahasa dagang pasar. Bahasa yang kini kita kenal sebagai bahasa Indonesia ini bukanlah bahasa yang berasal dari ketidakpahaman orang-orang yang berbahasa, melainkan sebagai dampak dari perjumpaan dan komunikasi antarorang yang tidak saling kenal. Lantas, menyerap (baca: menyadur) menjadi sesuatu yang galib dalam bahasa Indonesia.
Penggunaan Melayu pasar ini di sisi lain mengabaikan bahasa Belanda dan Melayu resmi yang tadinya lebih dipertimbangkan dan dianjurkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Namun karena di kota-kota besar menjadi bahasa yang paling banyak dituturkan, Melayu perlahan menjadi bahasa yang menyambung lidah, baik antara sesama pribumi, antara pribumi dengan orang Indo, antara pribumi dengan orang Belanda, bahkan juga antarorang yang berbahasa asing lainnya.
Meskipun demikian, identitas penutur tidak dengan mudah didefiniskan lewat bahasa Melayu. Masyarakat seperti inilah yang oleh J.C. Furnivall disebut dengan masyarakat plural, di mana orang-orang saling berkomunikasi, namun hidup terpisah satu sama lain dan tidak memiliki kebudayaan yang serupa-sama.
Pasar Bahasa tanpa Rasa Rikuh dan Cermin
Sebuah kamus disusun bukan sekadar atas dasar ketakutan bahwa ada bahasa yang hilang sehingga perlu ditata sedemikian rupa seperti sebuah masa lalu di ruang museum. Kamus disusun antara lain untuk menampung bahasa yang sudah pernah ada di Indonesia – termasuk di daerah-daerah yang tergabung dalam sebuah komunitas bangsa Indonesia.
Dan di dalam pasar, bahasa menjadi perkara menemui/kan dan kehilangan. Hasrat kebaruan dalam pasar menunjukkan betapa dalam setiap edisi KBBI selalu mengalami penambahan antara 6000-10.000 kata.
Bahasa dan kata dalam kamus hanya menunjukkan bahwa bahasa itu datang dari bawah untuk kemudian dilegitimasi dan disahkan dari atas. Sebabnya, alih-alih bahasa berasal dari kamus, justru kamus yang berasal dari bahasa. Atau, orang bisa saja menyebut bahwa bahasa lahir dari pengalaman penutur. Pengalaman penutur inilah yang kini kita kenal sebagai kebudayaan. Sebuah poster di salah satu ruang kelas pascasarjana Universitas Sanata Dharma – yang pernah melahirkan penyair berbahasa “liar”, Joko Pinurbo – berbunyi: Culture comes through language.
Melakukan “penerjemahan” tidak sepantasnya hanya memilih hegemoni salah satu bahasa ibu yang terlibat. Kita sah-sah saja mengatakan bahwa “download” atau “upload” bukan bahasa Indonesia, namun kita tidak bisa menampik bahwa keduanya telah menghidupi suasana berbahasa antarorang di Indonesia.
Asalkan bahasa Indonesia tetap menjadi lingua franca, berbahasa menjadi hal yang asyik. Kwee pernah berkisah bahwa ia tanpa rasa rikuh menyapa mantan bawahannya (seorang pribumi) pada masa Revolusi di Malang (1942-1947) yang menjelma seorang petinggi militer dan, tentu saja, dalam bahasa Melayu-Indonesia. Ia menunjukkan bahwa berbahasa Indonesia idealnya tidak membuat rasa rikuh dan tidak saling menggunakan cermin pada diri sendiri saja – si/apa kelas sosial, suku atau agamaku – namun juga dibanding-bandingkan dengan pihak yang dilainkan. Meskipun, yang bersangkutan adalah juga sesama kita.
Memecah Kebekuan dan Kebakuan Berbahasa
Pendisiplinan yang dilakukan dalam bahasa hanya akan mengalami kegagalan. Bukan berarti pendisiplinan itu tidak diperlukan, namun apabila pendisiplinan tanpa disertai keterbukaan terhadap kebaruan, yang terjadi hanyalah kebakuan dan kebekuan berbahasa. Dalam pasar, orang dengan mudah akan membuat kosakata baru melalui perjumpaan. Dunia media baru internet setidaknya membuktikan; meskipun keindahan berbahasanya tidak sebagaimana Kwee, namun setidaknya kosakata baru didapat. Dalam pasar pula, bahasa Kwee lahir dan menawarkan kosmopolitanisme tanpa susah-susah menjadi ahli bahasa, asalkan tetap jeli untuk membuat perbandingan antarbudaya.
Justru, permasalahan bahasa Indonesia saat ini bukan pada masalah bahasa pasar atau bukan pasar, melainkan lebih pada bagaimana bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa revolusioner yang turut serta menanggalkan struktur-struktur yang tercipta lewat bahasa, yakni tidak membuat rikuh dan tidak saling mencerminkan. Artinya, tidak lagi perlu kosakata resmi yang dilebih-lebihkan menjadi sesuatu yang keramat.
Ben Anderson pernah berpendapat soal absennya sesuatu yang keramat dan lahirnya masyarakat yang tanpa struktur sebagaimana dicontohkan si Tjamboek Berdoeri, wartawan Kwee Thiam Tjing. Menurut Ben, dalam sebuah wawancara oleh Cynthia Foo di Columbia University (2008), menjadi seorang nasionalis kosmopolitan tidak berarti seseorang lebih sering berada di bandara daripada di tempat tidur. Seseorang memiliki pandangan seluas dunia bukan karena sekadar jalan-jalan keliling dunia, melainkan karena tidak takut terbuka pada pluralitas masyarakat dan kebudayaan (Anderson, 2016). Pluralitas masyarakat dan kebudayaan ini menjelma dalam bahasa; entah bahasa yang “liar” ataupun yang sudah didisiplinkan.
Daftar Acuan
Berdoeri, T. (2004). Indonesia dalem api dan bara. Malang: Elkasa.
Anderson, B. (2009). Bahasa Tanpa Nama. Dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO – Coéditions, Pusat Bahasa & Universitas Padjadjaran.
Anderson, B. (2016). Hidup di luar tempurung. Serpong: Marjin Kiri.
Foo, C. & Anderson, B. (2008). Interview with Benedict Anderson. Invisible Culture, 13.
Furnivall, J.S. (1939). Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.