Esai

Ruwetnya Kerja, Kerja, Kerja!

Gabriella Adhyningsih, Vinny Amelia Putri, Regina Vika Rovanie

 

Saat ini tidak sedikit pekerja yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan berkutat pada pekerjaan dan terlihat seolah-olah mengabaikan kehidupan personalnya. Fleksibilitas merupakan salah satu solusi yang digadang-gadang mampu untuk menyeimbangkan antara pekerjaan, kehidupan keluarga, dan tanggung jawab lainnya. Namun, dengan kemajuan teknologi saat ini, fleksibilitas waktu yang telah diberikan, nyatanya, tidak mampu untuk menyeimbangkan berbagai dunia tersebut.

Lebih parahnya lagi adalah greedy institutions, yang dijelaskan oleh Sullivan (2013), di mana para petinggi bertindak serakah dengan berusaha melemahkan hubungan pekerja dengan kelompok lainnya. Tujuannya agar pekerja dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada institusi. Greedy institution ini memaksa para pekerja untuk bekerja melebihi jam kerja, dan mereka mau tidak harus melakukannya agar tidak kehilangan pekerjaannya. Terlebih, dengan adanya perkembangan teknologi, kemungkinan untuk melakukan eksploitasi secara halus semakin menjadi persoalan dalam dunia kerja. Orang tidak lagi bekerja enam atau delapan jam. Mereka boleh jadi harus bersiap 24 jam untuk bekerja. Institusi demikian semakin menghambat pekerja untuk mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal yang dicita-citakan atau yang biasa disebut work-life balance (WLB). Meskipun work-life balance dinilai memiliki manfaat yang positif bagi pekerja, akan tetapi masih ada berbagai kompleksitas yang dimiliki oleh konsep work-life balance. Pada kenyataannya, overwork menjadi persoalan kontemporer dalam dunia kerja.

Fenomena gila kerja atau overwork ini menjadi isu umum yang ada di Indonesia. Dilansir dari Jobstreet.co.id, 73% karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Berdasarkan 85% responden, salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan karyawan dengan pekerjaannya adalah mereka merasa tidak memiliki WLB. Pekerja yang tidak mampu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan personal mereka, hasilnya akan menurunkan produktivitas dalam bekerja dan kesejahteraan mereka sebagai individu. Namun, untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan kehidupan personal bukanlah hal yang mudah, karena masih banyak pekerja di Indonesia yang merasa stres akibat tekanan pada beban pekerjaan. Dengan demikian, pada tulisan kali kami akan membahas pentingnya WLB, cara untuk mencapai WLB yang baik, dan dampak yang terjadi apabila WLB dapat diupayakan dalam lingkungan kerja, secara khusus di Indonesia.

Work-life Balance dan Sejarahnya

Di Indonesia sendiri, work-life balance (WLB) merupakan sesuatu yang sudah lama digaungkan dan didambakan. Akan tetapi, meskipun WLB banyak diinginkan oleh para pekerja, pada kenyataannya menurut data yang dilansir oleh Statista, Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang memiliki tingkat WLB yang tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat WLB di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun WLB ini diidamkan di Indonesia, WLB belum tentu dapat dicapai. Lalu, sebenarnya apa itu work-life balance (WLB)? Work-life balance (WLB) dapat dipahami sebagai keadaan yang seimbang antara ambisi pekerjaan dan gaya hidup (Mullen, 2015). Implikasi dari WLB adalah terciptanya keadaan yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan personal pekerja (kehidupan rumah, kehidupan sosial, dan sebagainya). WLB membantu para pekerja agar dapat membagi prioritasnya dan menyeimbangkan kehidupannya, yang ditandai dengan adanya kepuasan dari pihak pekerja, baik mengenai pekerjaannya maupun kehidupan personalnya.

Konsep WLB dimulai dari adanya fenomena overwork. Huang, dkk. (2020) menjelaskan bahwa konsep dari overwork sendiri pertama kali muncul pada tahun 1960-an di Jepang dengan istilah karoshi, yaitu kematian akibat overworking. Kemudian baru muncul di Cina pada tahun 1984 oleh Eltze dan Liu Lin. Perekonomian di Cina semakin berkembang pesat dan dalam waktu yang bersamaan permasalahan overwork menjadi semakin serius. WLB selanjutnya hadir sebagai solusi untuk menangani fenomena overwork ini.

Sullivan (2003) menceritakan secara singkat mengenai sejarah dari WLB ini. Konsep work-life balance muncul pertama kali dari ditandatanganinya Fair Labor Standards Act (FLSA) pada tahun 1938 oleh Presiden Roosevelt. FLSA melarang pekerja di bawah umur, memasang upah minimum, memasang 44 jam/minggu untuk waktu maksimal dalam bekerja, dll. Acker (dalam Bloom, 2016) berargumen bahwa secara konvensional, ‘work‘ dan ‘life‘ dipisahkan menurut garis gender. Pekerja yang ideal adalah di mana hidup seorang pria adalah pekerjaannya dan seorang istri yang mengurus rumah. Akan tetapi, pada tahun 1960-1970-an, sudah banyak wanita yang memasuki lingkungan kerja untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarganya, sehingga lingkungan kerja mulai bersifat dual-career couples. Maka dari itu, pada tahun 1980-an, sudah ada banyak perusahaan dan organisasi yang menetapkan cuti hamil, jam kerja yang fleksibel, dan sebagainya, yang membantu para pekerja untuk menjaga work-life balance mereka.

Landmark hukum lain untuk WLB adalah pengesahan Family and Medical Leave Act pada tahun 1993. Undang-undang ini mengakomodasi orang tua yang bekerja dengan tidak memaksa mereka untuk memilih antara memiliki keamanan kerja atau menjadi orang tua yang baik. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menyeimbangkan tuntutan tempat kerja dengan kebutuhan keluarga, mempromosikan keamanan ekonomi keluarga, dan mempromosikan perhatian negara dalam menjaga integritas keluarga. Ini memberikan hak kepada pekerja untuk mengambil cuti medis, cuti kelahiran atau adopsi anak, dan cuti untuk merawat anak, pasangan, atau orang tua yang memiliki kondisi kesehatan serius. Pekerja yang memenuhi syarat, berhak atas cuti 12 minggu kerja dalam periode 12 bulan.

Pada saat ini, program WLB semakin banyak beredar di berbagai perusahaan. Selain itu, perlu dipahami pula bahwa berbagai perusahaan saling berlomba untuk menawarkan jam kerja yang fleksibel, cuti hamil, tunjangan kesehatan dan anak, konseling pekerja, dan layanan lainnya yang menunjang work-life balance para pekerja mereka. WLB dipandang sebagai sebuah konsep yang dapat menguntungkan banyak pihak, sehingga terwujudnya WLB semakin diidam-idamkan oleh banyak orang.

Pentingnya Pengadaan Work-life Balance

Menurut Wiradendi (2020), program work-life balance di Indonesia dimulai pada tahun 1930, di mana kebijakan dan peraturan perusahaan memungkinkan pekerja untuk bekerja secara efektif dan efisien serta memberikan waktu yang fleksibel untuk menangani masalah pribadi pekerja tersebut. Penerapan work-life balance memang memberikan berbagai keuntungan bagi pekerja, misalkan kebebasan memiliki shift kerja, jam kerja yang fleksibel dan dapat berkurang, bonus tahunan yang tetap, dll. Selain itu, work-life balance memiliki manfaat untuk mengurangi konflik kerja dan kehidupan pribadi pekerja. Hal ini dapat meningkatkan sikap dan perilaku pekerja dalam bekerja dan berdampak pada kinerja pekerja (Allen, 2001); (Darcy, dkk. dalam Wiradendi, 2020). Beberapa pekerja di Indonesia saat ini percaya bahwa work-life balance mencapai level yang diinginkan, salah satunya adalah waktu kerja yang fleksibel sehingga dapat melakukan pekerjaan dari jarak jauh dan dapat melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya, terutama bagi pekerja wanita (Mittal dalam Wiradendi, 2020). Hal ini membuktikan bahwa pekerja di Indonesia mengalami atau berada di situasi tekanan pekerjaan.

Permasalahan overwork merupakan isu umum yang terjadi di wilayah Asia, terlihat dari data yang menunjukkan bahwa 23% pekerja bekerja sekitar lebih dari 80 jam lembur dalam satu bulan, dan 11,9% bekerja lebih dari 100 jam lembur sebulan. Perilaku ini terbukti dapat memperburuk keadaan fisiologis dan psikologis, mengurangi efisiensi pekerja, memengaruhi kehidupan keluarga mereka (Kogure, 2011; Morioka, 2011; Washitani 2010 dalam Huang, dkk., 2020), serta meningkatkan keinginan mereka untuk berpindah kerja (Beckers, dkk. dalam Huang, dkk., 2020). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jam kerja yang terlalu panjang tidak baik untuk kesehatan para pekerjanya, baik secara fisik maupun mental. Davidson & Cooper (dalam Needle, 2015) menemukan kaitan antara jam kerja yang terlalu panjang dengan meningkatnya resiko untuk terkena penyakit jantung, gangguan kecemasan, insomnia, dan gaya hidup yang tidak sehat (merokok, kecanduan alkohol, dan obesitas). Sebagai contoh isu mengenai persoalan tingginya jam kerja di Asia dapat diamati dalam sistem kerja ekstrem bernama 996 working system. Salah satu pendukungnya adalah Jack Ma, pendiri Ali Baba. Sistem kerja ini sangatlah kontroversial karena memangkas hak hidup pekerjanya.

Walsh (2015) menjelaskan bahwa Inggris mendukung work-life balance dengan menyusun peraturan tentang waktu kerja, cuti kehamilan (parental leave), cuti hamil untuk ayah yang tetap digaji (paid paternity leave), serta hak karyawan untuk cuti kerja karena alasan keluarga. Kebijakan tersebut masih diusahakan sampai saat ini untuk perpanjangan parental leave dan paternity leave, serta perluasan hak kerja yang fleksibel kepada seluruh karyawan (Pemerintah HM, 2011). Selain itu, mereka menerapkan kebijakan formal atau informal yang memberikan batasan dalam penggunaan teknologi komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti larangan pengiriman email pada akhir pekan, atau larangan kepada para manajer untuk tidak mengirim email kepada karyawan setelah jam kerja (Boswell dan Olson-Buchanan, 2010). Dengan kata lain, work-life balance yang sehat tidak memberikan tekanan atau beban tugas kepada pekerja ketika mereka menggunakan waktunya untuk bersama keluarga atau menikmati hobinya.

Lalu, bagaimana dengan WLB yang tidak sehat? Dalam artikel Bourne (2014), disebutkan bahwa fleksibilitas merupakan salah satu solusi yang diberikan bagi individu untuk menyeimbangkan antara pekerjaan, kehidupan keluarga, dan tanggung jawab lainnya. Namun, fleksibilitas yang diberikan justru digunakan pekerja untuk mengubah jadwal mereka dan memilih waktu pekan kerja yang lebih padat, dimana mereka bekerja lebih lama selama beberapa hari untuk mencapai jadwal full-time. Selain itu, pekerja juga menambahkan sedikit lebih banyak jam selama satu minggu dan mengurangi jam kerja di minggu berikutnya untuk mencapai jumlah jam tertentu selama periode pembayaran. Dalam sebuah studi di IBM, ditemukan bahwa pekerja dengan persepsi fleksibilitas pekerjaan yang tinggi bersedia untuk menghabiskan sekitar delapan jam ekstra setiap minggu sebelum melaporkan peningkatan yang signifikan dalam konflik pekerjaan-keluarga daripada pekerja dengan persepsi tidak lebih tinggi (Hill, dkk., 2001). Dengan demikian, fleksibilitas mendorong pekerja untuk akhirnya bekerja lebih lama.  Artinya, WLB yang tidak sehat yang mana para pekerja tidak mampu memanfaatkan fleksibilitas dalam mengatur batasan jam kerja, cukup membuat mereka mengalami overwork, karena fleksibilitas seharusnya digunakan pekerja untuk membuat batasan kapan mulai bekerja dan kapan mulai berhenti.

Work-life balance yang sehat penting diterapkan agar tidak memunculkan stres pada pekerja. Hal ini juga disebutkan oleh Arora dan Wagh (2017) yang menjelaskan bahwa work-life balance yang tidak sehat akan memunculkan pemicu stres (stressor) kerja berkembang, ketidakmampuan untuk fokus pada tanggung jawab di tempat kerja, penurunan tingkat motivasi, kesehatan mental dan fisik yang buruk, ketidakhadiran pekerja, tingkat produktivitas yang rendah, kelelahan emosional dan generasi kecapekan (fatigue generation), dan ketidakmampuan meluangkan waktu untuk kehidupan keluarga yang menimbulkan sejumlah permasalahan pribadi. Konflik yang pada akhirnya mengakibatkan konflik di ruang kerja, meningkatnya niat meninggalkan pekerjaan di antara pekerja dalam sebuah organisasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wiradendi (2020) ditemukan bahwa work-life balance memiliki implikasi positif terhadap perilaku, sikap, dan kinerja pekerja generasi milenial. Apabila banyak organisasi mengakomodasi kebijakan work-life balance yang komprehensif, maka akan berdampak pada kepuasan kerja, organisasi yang lebih berkomitmen, dan mempengaruhi kinerja serta produktivitas organsiasi. Aspek penting lainnya dari work-life balance adalah kemampuan untuk membangun rasa memiliki pada pekerja yang dapat memicu komitmen kerja yang mampu menular pada hasil perilaku pekerja. Semakin tinggi tingkat work-life balance, pekerja akan berkontribusi pada retensi pekerja dan ketidakseimbangan merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hilangnya tenaga kerja yang kompeten (Lazar, dkk., 2010); (Yadav & Rani, 2015); (Oa, dkk., 2018); (Wong, dkk., 2017).

Usaha Pencapaian Work-life Balance beserta Perubahan yang Mengikuti

Pada bagian sebelumnya, sudah dibahas mengenai work-life balance beserta aspek-aspek kepentingan yang terkandung di dalamnya. Lalu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara mencapai work-life balance yang selama ini diidam-idamkan tersebut? Tentunya hal ini memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan, termasuk para pekerja itu sendiri, petinggi organisasi, dan komponen pemerintahan. Ketiga belah pihak tersebut perlu berkoordinasi dan berkolaborasi dalam rangka mencapai tujuan work-life balance ini.

Langkah pertama untuk meningkatkan WLB adalah mengenali kebutuhan perubahan yang memang bersifat individual (Mullen, 2015). Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesadaran individu dari pihak pekerja, berkaitan dengan pentingnya WLB dalam kehidupannya. Mereka perlu menyadari adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka, kemudian menumbuhkan keinginan akan perubahan di kehidupannya. Hal ini terjadi karena masih adanya permasalahan, keengganan untuk berhenti bekerja atau meluangkan waktu untuk keluarga dan liburan mereka (Hochschild, 1997; Kvande, 2009 dalam Bourne & Forman, 2014). Apalagi, kondisi perekonomian di Indonesia menuntut mereka untuk meningkatkan komitmen kerja dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, tahap awal yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi susunan prioritas dengan menginventarisasi kebutuhan individu dan stressor untuk memberikan pencerahan kepada para pekerja terkait dampak buruk yang akan mereka dapatkan melalui ketidakseimbangan tersebut. Dari situ, individu akan mendapatkan sebuah pemahaman baru bahwa hal yang sedang mereka lakukan saat ini di pekerjaan dan kehisdupan mereka adalah dua hal yang perlu diseimbangkan. Akan tetapi, hal tersebut saja tidak cukup, karena seperti yang kita ketahui, mengubah suatu kebiasaan laten tidaklah semudah menjetikkan jari. Maka dari itu, langkah yang perlu diterapkan selanjutnya adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa proses perubahan perilaku merupakan proses yang menantang, membutuhkan dukungan, dorongan, izin, dan keyakinan akan harga diri (Mullen, 2015). Penerapan tersebut penting sebagai upaya mengembangkan niat serta kemauan pekerja untuk mengubah perilakunya. Pelaksanaan program pelatihan menjadi salah satu hal yang penting supaya tujuannya tercapai. Para pekerja perlu bekerja sama dengan perusahaan untuk menyediakan alternatif fasilitas yang memadai, mengingat para pekerja merupakan komponen penting dalam perusahaan yang berperan sebagai sumber pengetahuan yang mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Sejalan dengan hal di atas, pihak kedua yang perlu memainkan perannya dalam mencapai WLB adalah para petinggi dalam struktur perusahaan. Hal ini berkaitan dengan kebijakan yang dibentuk oleh organisasi mengenai fleksibilitas jam kerja yang masih menjadi permasalahan. Pada awalnya, waktu kerja yang bersifat fleksibel tersebut menjadi sebuah solusi dalam pencapaian WLB, namun realitanya hal tersebut justru menimbulkan permasalahan baru, berkaitan dengan penentuan batasan kerja yang bersifat samar dan tidak ideal. Adapun perkembangan teknologi komunikasi baru yang semakin meningkat, misalnya penggunaan email dan gawai, semakin memudahkan pihak klien atau rekan kerja dalam berinteraksi di luar jam kerja. Teknologi yang mampu memberikan aksesibilitas tinggi tersebut menyebabkan semakin hilangnya batas-batas hari kerja konvensional (Walsh, 2015), yang pada akhirnya mengeksploitasi jam kerja para pekerja.

Berangkat dari permasalahan eksploitasi jam kerja para pekerja tersebut, organisasi/perusahaan perlu menerapkan work-life policy yang bertujuan membantu pekerja memenuhi aktivitas bekerja sekaligus kehidupan personal mereka. Diperlukan adanya kebijakan formal atau informal yang memberikan batasan dalam penggunaan teknologi komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti larangan pengiriman email pada akhir pekan, atau larangan kepada para manajer untuk tidak mengirim email kepada karyawan setelah jam kerja (Boswell & Olson-Buchanan dalam Walsh, 2015). Hal tersebut berkaitan dengan pembatasan waktu kerja yang menjadi hal terpenting dalam menangani kasus eksploitasi/overwork. Kemudian, berkaitan dengan kebijakan jam lembur, organisasi harus mampu menumbuhkan kepercayaan para pekerja dengan memberikan penghargaan (reward) yang sebanding dengan jam kerja yang dipenuhi oleh pekerja. Dalam konteks ini, reward yang diberikan dapat berupa materi, penghargaan spiritual, atau emosional. Adanya ketidakseimbangan antara rewards yang diberikan dengan kuantitas kerja dapat membangun perasaan tidak adil dan meningkatkan niat mereka untuk berpindah kerja, karena mereka mendambakan rasa keadilan dalam hubungan mereka dengan perusahaan (Huang, dkk., 2020).

Permasalahan fleksibilitas yang telah dibahas sebelumnya menjadi salah satu kunci penting dalam kasus overwork. Selain disebabkan oleh ketiadaan kebijakan yang dibuat oleh organisasi, kondisi budaya kerja yang terbentuk dalam perusahaan juga menjadi salah satu hal yang penting dalam menangani fleksibilitas kerja. Organisasi perlu membangun budaya organisasi yang selaras dengan prinsip work-life balance, karena sebenarnya sumber tekanan berasal dari budaya organisasi yang berlaku, yaitu budaya yang menerapkan persepsi bahwa pekerjaan berada di atas komponen lain dari kehidupan (Bourne & Forman, 2014).

Setelah kebijakan-kebijakan dan budaya organisasi tersebut diterapkan, hal yang diperlukan selanjutnya dari para pekerja adalah menumbuhkan sikap proaktif dan evaluatif terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh perusahaan. Mereka perlu bersikap objektif terhadap kebijakan tersebut dan berani untuk menunjukkan kekurangan yang perlu diperbaiki. Karena pada kenyataannya, terutama di Indonesia, kebijakan tersebut bersifat berat sebelah, mudah dilanggar, dan memberikan benefit lebih terhadap pihak atas dalam struktur organisasi. Hal ini juga berkaitan dengan kesadaran individu yang telah ditanamkan sebelumnya. Kondisi tersebut perlu dimanfaatkan untuk menghasilkan refleksivitas para pekerja terhadap komitmen kerja mereka, yang kemudian membantu mereka dalam mengatasi dorongan untuk bekerja terlalu keras, serta membangun motivasi untuk melawan ketidaksesuaian dalam kebijakan yang diterapkan perusahaan.

Dalam membantu berjalannya kebijakan yang baik dalam organisasi, diperlukan adanya dukungan dari pihak lain yang lebih berpengaruh dan memiliki wewenang, yaitu pihak pemerintahan, dalam mengatur peraturan yang posisinya lebih tinggi dibandingkan kebijakan organisasi. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan penyelewengan yang terjadi pada kasus-kasus yang sering ditemui di Indonesia ini, karena pemutusan kebijakan oleh perusahaan secara langsung bergantung pada bagaimana pemerintah mengatur hak ketenagakerjaan. Di Amerika, kebijakan Fair Labor Standards Act (FLSA) diterbitkan pada tahun 1938 untuk mengatur larangan terhadap pekerja di bawah umur, memasang upah minimum, memasang 44 jam/minggu untuk waktu maksimal dalam bekerja, dll (Sullivan, 2013). Kemudian, Sullivan (2013) juga menambahkan bahwa pada tahun 1980-an, sudah ada banyak perusahaan dan organisasi yang mengikuti kebijakan tersebut untuk menetapkan cuti hamil, jam kerja yang fleksibel, dan sebagainya, yang membantu para pekerja untuk menjaga work-life balance mereka. Tidak hanya di Amerika, Inggris juga menerapkan kebijakan yang mendukung work-life balance pada periode 1997 hingga 2010, dengan membuat peraturan tentang waktu kerja, cuti kehamilan (parental leave), cuti bersalin untuk ayah secara berbayar (paid paternity leave), serta hak pekerja untuk cuti kerja karena alasan keluarga (Walsh, 2015). Selain itu, kebijakan work-family balance pada Australia dan New Zealand menetapkan jam kerja pekerja wanita selama 29 jam per minggu, sedangkan pekerja pria selama 40 jam. Pada tahun 2002, New Zealand menetapkan kebijakan terkait parental leave yang dapat memberikan dukungan finansial pada karyawannya selama 14 minggu. Pada pemerintah Australia, memberi tunjangan kepada semua orang tua baru (‘bonus bayi’). Baik Australia maupun New Zealand juga menawarkan cuti kerja bagi orang tua yang tidak dibayar menurut undang-undang untuk caregiver utama, biasanya selama 52 minggu (Brough dkk., 2008).

Di Indonesia, terdapat beberapa undang-undang hak ketenagakerjaan yang mendukung berjalannya WLB ini, misalnya UU No. 21/2020 dan pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35/2021, yang mengatur jam kerja, yaitu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu; atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Selain itu, berkaitan dengan cuti kehamilan, UU No. 13 tahun 2013, pasal 82 ayat (1) menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Kemudian, permasalahan apa yang menyebabkan hak pekerja di Indonesia menjadi seolah-olah lenyap? Menurut ITUC Global Rights Index, Indonesia mendapatkan skor sebesar 5 pada tahun 2020. Skor tersebut mengindikasikan tingkat signifikansi terjadinya pelanggaran hak secara umum, khususnya berkaitan dengan hak pekerja, yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan. Hal ini juga mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin keberlakuan undang-undang tersebut. Maka dari itu, tidak jarang ditemui adanya permasalahan eksploitasi buruh/pekerja di seluruh Indonesia, di mana upah yang diberikan tidak sebanding dengan total waktu kerja. Kondisi inilah yang belum dapat dipenuhi di Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang memiliki tingkat WLB lebih tinggi.

Pentingnya keseriusan dalam menyikapi isu ini perlu ditujukan kepada segala pihak mulai dari pihak pemerintah, kemudian turun ke organisasi/perusahaan, dan para pekerja itu sendiri untuk dapat membangun dunia baru, yang tidak hanya soal bekerja, tetapi juga memenuhi keperluan kehidupan personal pekerja. Hal ini bertujuan untuk menciptakan perubahan menuju kehidupan kerja yang lebih seimbang, tetapi secara bersamaan juga dapat memenuhi idealisme. Apabila pihak bersangkutan mampu menjalin koordinasi yang baik dan membangun komponen-komponen pendukung work-life balance, maka kondisi pekerja di Indonesia mampu mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Permasalahan paling krusial yang dapat diatasi adalah terkait tingkat eksploitasi kerja yang masih menjadi kekhawatiran hingga saat ini. Seperti yang dilansir dalam AA Nasional, tercatat ada sekitar 16 juta buruh yang 60% di antaranya adalah buruh tidak tetap dengan pendapatan yang tidak menentu dan tanpa jaminan sosial, dengan jam kerja yang berada di atas rata-rata. Dalam rangka menangani permasalahan ini, perbaikan kebijakan dan aturan pemerintah menjadi salah satu solusi yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat work-life balance yang dimiliki para pekerja pun dapat mencapai tingkatan yang ideal, dan pada akhirnya mampu meningkatkan fungsi kerja yang maksimal, kemudian memberikan keuntungan tersendiri bagi pekerja, organisasi bersangkutan, bahkan perekonomian Indonesia.

Work-life Balance ≠ One Man Show

Work-life balance diketahui merupakan konsep yang diidamkan banyak orang memang bagaikan dua sisi mata uang yang kedua sisinya perlu dicermati oleh setiap pihak yang ingin atau sedang menjalankannya. Akan tetapi, dengan segala tuntutan yang diberikan dari pekerjaan dan kehidupan personal kepada pekerja, rasanya wajar jika pekerja mendambakan work-life balance untuk mencapai kepuasan pada kedua sisi kehidupannya. WLB hadir sebagai salah satu cara bagi pekerja untuk membagi prioritasnya dan menyeimbangkan kehidupannya. WLB mampu memfasilitasi pekerja untuk berfungsi secara maksimal, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan personalnya, serta meminimalisir konflik yang terjadi pada dua sisi ini. Maka dari itu, penerapan WLB menjadi salah satu solusi untuk mengatasi fenomena overwork yang semakin mengglobal. Program WLB yang tersedia pada tempat bekerja dapat digunakan secara maksimal untuk membantu pekerja dalam menerapkan WLB. Komunikasi yang sehat menjadi salah satu cara untuk membantu penerapan WLB dan menjembatani kedua sisi WLB tersebut. Berbagai langkah sederhana dapat diterapkan pekerja untuk mencapai WLB dan menerima dampak positif dari WLB itu sendiri.

Seluruh pemaparan terkait work-life balance (WLB) di atas mengindikasikan bahwa work-life balance merupakan sebuah konsep yang kompleks. Penerapan work-life balance tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak sekali komponen yang sebelumnya harus dipenuhi terlebih dahulu supaya work-life balance dapat berjalan dengan sehat dan seimbang. Salah satu aspek yang bisa dilihat lebih jauh adalah terkait fleksibilitas waktu kerja. Di satu sisi, fleksibilitas waktu kerja dapat menjadi sebuah cara untuk mencapai WLB. Namun, di sisi lain, fleksibilitas waktu kerja seakan-akan dapat menjadi “ranjau” bagi para pekerja, di mana saking fleksibelnya waktu bekerja, mereka terjebak dengan keadaan terus-menerus bekerja. Bahkan, boleh jadi fleksibilitas waktu kerja menjadi cara untuk meredam suara negatif pekerja. Pekerja tidak lagi merasa dieksploitasi karena iming-iming fleksibilitas yang membantu tercapainya WLB. Perusahaan sebagai tingkat manajemen para pekerja bertanggung jawab terhadap hal ini. Tidak jarang ada beberapa perusahaan yang memberikan iming-iming indahnya fleksibilitas waktu kerja terhadap para pekerjanya, padahal tujuan dari hal tersebut adalah agar perusahaan lebih mudah untuk mengeksploitasi pekerjanya. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa WLB dapat memberikan dampak positif, salah satunya adalah kinerja para pekerja yang meningkat karena kepuasan yang didapat dari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personalnya. Hal utama yang perlu menjadi perhatian bersama adalah terwujudnya work-life balance yang merata pada pekerja Indonesia merupakan hasil dari usaha bersama, baik dari pihak pekerja, perusahaan, maupun pemerintah sebagai lembaga produsen hukum. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah seluruh pihak mampu bekerja sama untuk mewujudkan work-life balance yang merata pada pekerja di Indonesia?

 

Daftar Acuan

73% karyawan tidak puas dengan pekerjaan mereka. (n.d.) Jobstreet.co.id. https://www.jobstreet.co.id/careerresources/73-karyawantidakpuasdenganpekerjaanmereka/.

Arora, C., & Wagh, R. (2017). Importance of work-life balance. International Journal of New Technology and Research, 3(6), 263-283.

Bloom, P. (2016). Work as the contemporary limit of life: Capitalism, the death drive, and the lethal fantasy of ‘work–life balance.’ Organization, 23(4), 588–606. doi:10.1177/1350508415596604.

Bourne, K. A., & Forman, P. J. (2014). Living in a culture of overwork: An ethnographic study of flexibility. Journal of Management Inquiry, 23(1), 68–79. doi:10.1177/1056492613481245.

Brough, P., Holt, J., Bauld, R., Biggs, A. and Ryan, C. (2008). The ability of work—life balance policies to influence key social/organisational issues. Asia Pacific Journal of Human Resources, 46, 261-274. doi:10.1177/1038411108095758.

Buchholz, K. (2019, 26 September). The countries with the best work-life balance. Statista. https://www.statista.com/chart/12977/countrieswiththebestworklifebalance/.

Cowell, R. (2005). Willing Slaves: how the overwork culture is ruling our lives by Madeleine Bunting. Practice Development in Health Care, 4(3), 167–167. doi:10.1002/pdh.11.

Huang, H., Xia, X., Zhao, W., Pan, X., & Zhou, X. (2020). Overwork, job embeddedness, and turnover intention among Chinese knowledge workers. Asia Pacific Journal of Human Resources. doi:10.1111/1744-7941.12272.

International Trade Union Confederation. (2020). 2020 ITUC Global Right Index: The World’s Worst Countries for Workers. ITUC CSI IGB.

Latief, M. (2017, 24 November). Eksploitasi buruh masih terjadi di industri kelapa sawit. Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/id/headlinehari/eksploitasiburuhmasihterjadidiindustrikelapasawit/977320.

Lupu, I. (2021). An autoethnography of pregnancy and birth during Covid times: Transcending the illusio of overwork in academia?. Gender, Work & Organization, 28(5), 1898-1911. doi:10.1111/gwao.12718.

Mullen, K. (2015). Barriers to work–life balance for hospital nurses. Workplace Health & Safety, 63(3), 96–99. doi:10.1177/2165079914565355.

Needle, D. (2015). Working hours. Wiley Encyclopedia of Management, 1–3. doi:10.1002/9781118785317.weom050078.

Sullivan, T. A. (2013). Greedy institutions, overwork, and work-life balance. Sociological Inquiry, 84(1), 1–15. doi:10.1111/soin.12029.

Walsh, J. (2015). Work-life balance: The end of the “overwork” culture?. Managing Human Resources, 150–177. doi:10.1002/9781119208235.ch8.

Wiradendi, C. (2020). The importance of work-life balance on employee performance millennial generation in Indonesia. Journal of Critical Reviews. https://ssrn.com/abstract=3717417.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *