Jika ada orang-orang yang meragukan seni musik tradisi karawitan bisa menjadi basis sebuah musik kontemporer, maka orang-orang itu harus merenungkan kembali keraguannya ketika mendengar album Dua Naga dari Rinuwat. Karina Utomo (voice, gong), Rama Parwata (drums, reyong, gong, ceng-ceng, jublag, suling), dan Mike Deslandes (guitar, bass, tuk, electronics) adalah tiga sosok dalam proyek musik konseptual bernama Rinuwat ini. Dirilis pada November 2021, Dua Naga menjadi album pertama mereka yang menyajikan sajian segar bagi para pendengar dan penikmat musik eksperimental metal ekstrem (extreme metal). Secara tatanan suara, sajian segar ini dapat terdengar dari seni musik tradisi karawitan (gamelan Bali) yang menjadi basis album ini dan dipadu dengan pengaruh musik beragam varian musik metal ekstrem. Serupa dengan sisi suara, secara lirik pun Rinuwat membawa pendekatan berbeda. Selama ini, Karina Utomo sebagai penulis lirik selalu menggunakan bahasa Inggris dalam menulis lirik lagu. Namun, untuk Dua Naga, ia memasukkan unsur Bahasa Jawa Kawi dan juga lirik Bahasa Indonesia di dalamnya. Secara keseluruhan, bangunan track per track dalam album ini terasa seperti musik yang mengiringi sebuah upacara ritual memanggil kekuatan bagi jiwa dan raga.
Album ini dibuka dengan “Sewu”. Track ini dapat dibilang menjadi track yang menunjukkan arah musikal Rinuwat yaitu membuat album berkoridor metal ekstrem dengan basis musik tradisi karawitan. Distorsi gitar mengawang-awang dengan feedback noise yang kental mengawali track ini. Saya begitu terkejut ketika noise itu lantas beralih ke suara gamelan yang harmonis dipadu dengan rapalan bagian Sastra Panulak dalam prosesi ruwatan. Karina merapalkannya dengan suara geraman yang terasa menghantui dan menimbulkan nuansa mistis. Bahasa Jawa Kawi yang di atas sudah saya singgung digunakan dalam lirik “Sewu”. Karina menggunakan Sastra Panulak dalam proses Ruwatan untuk ia rapalkan di komposisi ini. Sastra Panulak yang sakral dalam sebuah prosesi Ruwatan mendapat interpretasi musikal baru di tangan Rinuwat dengan menggabungkan musik kontemporer dan seni tradisi. Mendengarkan “Sewu” mengantarkan saya ke dimensi lain yang penuh misteri dalam sebuah upacara ritual. Ia bengis tetapi terasa magis untuk menolak Batara Kala yang akan memakan orang-orang Salekso. Komposisi “Sewu” menjadi penanda meleburnya wall of noise yang dihasilkan oleh distorsi gitar dengan harmonisasi karawitan. Rapalan vokalnya membuat bergidik, tetapi membuat nalar dan rasa semakin tertarik untuk hanyut di nuansa ritualistik di dalamnya.
Track kedua adalah “Taring Emas”. Track ini membawa kejutan. Pembukaan berupa nuansa ambience dan sedikit bunyi gamelan seolah mengisyaraktan bahwa lagu ini adalah lagu kontemplatif. Namun, tiba-tiba terdapat suara rapalan mantra yang terdengar laksana suara siluman ular yang berdesis. Sejurus kemudian nuansa musiknya berubah drastis menjadi sebuah komposisi musik metal ekstrem dengan suara gitar dari Mike Deslandes meraung-raung dan dentuman drum dari Rama Parwata yang merong-rong segenap jiwa raga. Suara gamelan masih sayup-sayup terdengar di dalamnya. Kejutan berlanjut ketika tempo berubah menjadi lebih lambat menyisakan suara feedback gitar dan drum. Di momen itu, Karina mengubah gaya vokal geramannya dengan semacam spoken word layaknya orang sedang membaca mantra. Di bagian akhir, ia kembali pada gaya vokal geramannya. “Taring emas, Taring emas, Serigala, Serigala”. Track ini menjadi perpaduan musikalitas yang kompleks baik secara suara yang dihasilkan dari instrumen masing-masing personel (termasuk gaya vokal) maupun lirik. Naik turun dan perubahan suara instrumen dan gaya vokal dalam komposisi adalah bukti bahwa “Taring Emas” adalah mantra yang, mengutip Rinuwat di halaman bandcamp mereka, memiliki intensi untuk dinyanyikan dengan beragam suara layaknya sebuah mantra kolektif untuk menghimpun energi.
Track ketiga berjudul “Arawa”. Track ini adalah track favorit saya dalam album ini. Tidak banyak lagu atau komposisi musik yang menyentuh ruang terdalam dalam diri saya. Namun, “Arawa” menjadi salah satu yang berhasil membuat saya merasa sangat terhubung. Lagu ini membuat saya rela mengunjungi kembali kerapuhan-kerapuhan yang jarang tersentuh dalam diri saya sendiri secara sukarela. Notasi pertama dari petikan gitar Mike terasa terngiang-ngiang dan “ngancing”. Notasi itu bagi saya kemudian terasa kontemplatif penuh misteri ketika suara vokal Rully Shabara sebagai kolaborator muncul. Uniknya, “Arawa” adalah hasil saling respons antara Rinuwat dan Rully. Karina dalam wawancara dengan Nalarasa pada akhir Januari lalu menegaskan hal tersebut. Respons-merespons ini kemudian menjadikan “Arawa” menjadi sangat unik baik secara komposisi suara maupun komposisi lagu secara keseluruhan. Vokal sakti Rully Shabara terdengar seperti makhluk gaib penunggu rawa-rawa atau hutan belantara di gunung yang sangat sakral. Suara Rully pada lagu ini menjadi gerbang pengantar bagi saya menuju dimensi lain secara imajinatif. Imajinasi saya terlempar ke sebuah gunung di mana untuk pertama kalinya saya berkontemplasi mengenai kehidupan dan kematian. Kalau pengalaman saya itu menjadi sebuah film, “Arawa” adalah musik latar yang sangat cocok. Ia terdengar kontemplatif. Ia terdengar brutal ketika elemen distorsi menyeruak bedampingan dengan suara geraman vokal dan pukulam drum yang bertubi-tubi menghujani kerapuhan hati. Mungkin itulah simbolisasi kehidupan fana dan penuh kerapuhan ini. Namun, di satu sisi, “Arawa” menyiratkan sebuah nuansa harapan. Ia mengingatkan saya bahwa kerapuhan hidup perlu dipeluk sebelum pada akhirnya ajal yang tak terelakkan datang untuk menjemput.
Berbicara mengenai nuansa kontemplatif, track “Laknat Bumi”, “Suro”, dan “Nagaloka” adalah tiga track yang menyajikan nuansa kontemplatif dan mistis. Bebunyian dari gamelan mendominasi ketiga komposisi ini sehingga nuansa kontemplatif juga berbalut nuansa mistis dan sakral. Dengan demikian, tiga track ini juga mempertegas bahwa Rinuwat berkarya dengan menjadikan seni musik tradisi karawitan sebagai basis eksplorasi mereka. Bagi saya, mendengarkan tiga kompisisi ini secara khusus dalam album ini serasa menghadiri sebuah ritual kuno meski keseluruhan bangunan album terasa seperti ritual. Bila ketiga track awal tadi masih menyajikan unsur eksterm metal yang kuat, ketiga track ini justru berfokus pada sisi kontemplatif dalam sebuah ritual. Feedback noise gitar mengawali “Laknat Bumi” untuk kemudian disambung dengan ketukan ritmis drum dan juga bunyi gong. Komposisi ini juga dipadu dengan adanya elemen droning dari gitar Mike Delandes hingga nuansa mistis dan ritualistik terpancar dari “Laknat Bumi”. Sementara, Karina sebagai vokalis menggunakan gaya vokal “bersih”. Suara Karina terdengar menghantui dengan adanya suara vibrasi dari Gong yeng tersebar dari awal hingga akhir “Laknat Bumi”. Ia mengesampingkan gaya growl yang ia pakai. Eksplorasi ini menjadi sangat pas untuk komposisi “Laknat Bumi”.
Serupa dengan “Laknat Bumi”, track “Suro” juga diawali dengan suara feedback/droning dari gitar. Kalau “Laknat Bumi” diibaratkan sebagai lagu pembuka ritual, “Suro” menjadi inti dari ritual itu. Suara Droning gitar dan tabuhan elemen gamelan membuat bulu kuduk berdiri. “Suro” bersifat tremendum et fascinans, ia terasa menakutkan tapi sekaligus mengagumkan di saat bersamaan. Suara vokal Karina tetap terdengar menghantui seperti seorang pemimpin ritual yang membacakan mantra-mantra sakralnya dan secara kontemplatif memanggil sebuah energi tertentu guna menguatkan jiwa dan raga. Kemudian, “Niskala” adalah komposisi tanpa vokal dan mengandalkan hanya suara gamelan yang dipadu dengan suara ambience di akhir. Komposisi ini terdengar dan terasa layaknya musik meditatif usai merapal mantra ritual. Magis!
Track terakhir dalam Dua Naga berjudul “Nagaloka”. Masih dengan basis gamelan, terutama bunyi suling bambu, dan juga suara ambience, “Nagaloka” terdengar seperti musik latar pembacaan puisi. Sebab, berbeda dengan track-track sebelumnya, Karina membacakan secara dramatis lirik yang ditulisnya. Meski begitu, di bagian tengah nuansa itu berpindah menjadi brutal dengan suara growl dan musik yang menderu-deru. Sebagai track penutup, “Nagaloka” menyajikan kompleksitas eksperimentasi Rinuwat pada gamelan dan alat musik kontemporer. Bila ini adalah sebuah ritual, “Nagaloka” adalah komposisi penutup yang megah, kuat, dan menyiratkan sebuah ritual yang sukses menghimpun kekuatan untuk jiwa dan raga.
Sebagai penikmat musik metal ekstrem dan juga pernah memiliki pengalaman memainkan gamelan, mendengarkan Dua Naga dari Rinuwat bagi saya adalah pengalaman magis nan estetis. Secara suara, Rinuwat berhasil mengawinkan dan melebur jarak-jarak antara seni tradisi karawitan dengan seni musik kontemporer berupa metal ekstrem. Dua hal yang terlihat sangat jauh berbeda ini terdengar estetis dan magis di tangan Rinuwat. Eksplorasi gamelan Bali dan alat musik modern gitar dan juga drum para Dua Naga terdengar sangat organik dan beranjak dari sebuah hasrat untuk kembali pada pengalaman primordial pada seni tradisi. Cipratan pengaruh musik metal ekstrem nyatanya tetap membawa mereka untuk kembali pada pengalaman itu dan membawa sesuatu yang segar berupa musik kontemporer berbasis musik tradisi. Keith Kahn Harris (2007), seorang peneliti musik dan kultur ekstrem mengatakan bahwa transgresi, ibarat ke-ekstrem-an, mengimplikasikan hasrat untuk mencoba melampaui sekat dan batas. Rasanya ini sangat tepat untuk menggambarkan Rinuwat sebagai sebuah proyek musik konseptual. Basis seni musik tradisi berupa karawitan mereka kawinkan dengan musik metal ekstrem koridor transgresi metal ekstrem itu tetap terasa dengan eksplorasi mereka pada album Dua Naga. Album ini juga membuktikan bahwa musik tradisi bisa menjadi pintu gerbang musisi-musisi zaman ini untuk mengeksplorasi musikalitas mereka. St. Sunardi dalam buku Vodka dan Birahi Seorang Nabi (2012) mengatakan bahwa “tanpa mengabaikan tingkat kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh seni tradisi dan para pendukungnya, zaman ini pun semestinya punya alasan sendiri untuk menghadirkan dan berbicara tentang seni tradisi”. Rinuwat berhasil berbicara mengenai seni tradisi di zaman ini dengan menjadikannya sebagai basis untuk mencipta musik yang bersifat populer.
Informasi lebih lanjut:
https://www.instagram.com/rinuwat/?hl=en
https://rinuwat.bandcamp.com/album/dua-naga-2
https://open.spotify.com/album/2nILNLUQ7vpdeSqW6bUv29?si=4CObzrDoTzyKBaDQJ9ngqg
Daftar Acuan
Harris, K. K. (2007). Extreme metal: Music and culture on the edge. Berg.
Sunardi, St. (2012). Vodka dan birahi seorang nabi. Jalasutra.

Editor Nalarasa pada rubrik Ulasan. Suka bergosip soal musik dan mendengarkan nyanyian angin gunung.