Esai

Psikologi Keluyuran: Mengabadikan yang Terabaikan

Terkait dengan jalan kaki, Althoff, dkk. (2017) melaporkan bahwa masyarakat Indonesia berada pada urutan terbawah dengan 3.513 langkah per hari. Posisi tertinggi ditempati masyarakat Hongkong dengan 6.880 langkah per hari. Sementara itu, rerata jumlah langkah per hari dalam rentang global adalah 4.961 langkah per hari. Melihat data tersebut, rerata jumlah langkah per hari orang Indonesia masih di bawah rerata global data jumlah langkah per hari.

Data tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor pertama adalah soal kelayakan pedestrian dan kontur jalan. Kedua adalah soal jarak bangunan dengan jalan terlalu rapat; yang memungkinkan jaminan keselamatan pejalan kaki tidak dihargai. Selain itu, perkembangan ekonomi juga memungkinkan orang untuk memiliki kendaraan pribadi (Badan Pusat Statistik [BPS], n.d.). Dengan kata lain, prestise seseorang ditandai dengan kendaraan yang ia miliki. Yang terakhir ini merupakan ciri khas kelas menengah di Indonesia yang disokong dengan minimnya pengembangan dalam bidang transportasi publik dan sarana bagi pejalan kaki (Newberry, 2014/2016).

Selain soal prestise, Basundoro (dalam Tirto.id, 2017) juga mengatakan bahwa minimnya pejalan kaki di Indonesia juga disebabkan oleh kondisi iklim. Iklim tropis di Indonesia memungkinkan orang dengan mudah berkeringat. Ketika berkeringat, maka bau badan akan cenderung muncul, karena bau muncul, maka seseorang menjadi merasa tidak percaya diri.

Namun, seberapa penting kultur jalan kaki ini dipraktikkan? Apa asyiknya jalan kaki kalau sebetulnya ada yang lebih praktis seperti motor dan mobil? Bagaimana pula berjalan kaki ini bisa memberikan pengalaman yang biasanya tersingkirkan dalam kehidupan sehari-hari?

Psikologi Jalan Kaki

 Dalam penelitian psikologi, jalan kaki merupakan aktivitas yang dapat meningkatkan kapasitas kognitif, mengasah kreativitas, serta melatih ingatan dan kemampuan belajar. Dengan mengambil rentang 10 hari kerja, Sianoja dkk. (2018) melakukan pencatatan terhadap kelompok orang yang jalan-jalan di taman dan relaksasi saat istirahat siang selama bekerja. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa jalan-jalan maupun relaksasi berhubungan dengan konsentrasi dan mengurangi kelelahan pada sore hari. Dengan kata lain, pada saat jam kerja berakhir, kesejahteraan pekerja dilaporkan menjadi lebih baik.

Hal senada juga ditemukan sebelumnya oleh Johansson dan Hartig (2011) yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa berjalan dapat meningkatkan afek positif dan menurunkan afek negatif. Selama berjalan, seseorang juga bisa menurunkan perasaan tertekan seiring waktu ketika mereka berputar-putar di taman dibandingkan apabila berada di jalanan. Selain itu, berjalan bersama-sama dengan teman meningkatkan afek yang positif dibandingkan berjalan sendiri. Namun, model lingkungan outdoor juga menentukan positivitas afek termaksud, misalnya lingkungan hijau dan ada airnya akan lebih meningkatkan afek yang positif dibandingkan lingkungan yang padat merayap.

Selain dapat menciptakan kesejahteraan atau afek yang positif, berjalan juga mampu membentuk konsep diri seseorang. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan O’Mara (2021) yang menggambarkan bahwa berjalan merupakan adaptasi biologis yang tertanam secara sosial serta dapat membebaskan fisik, pikiran, dan meningkatkan kemampuan pikiran. Hal tersebut ditunjukkan dengan tradisi ziarah (pilgrimasi) yang membentuk proses pribadi, sosial, dan trasendental yang dapat mendukung perkembangan fisik. Tidak sekadar persoalan diri, berjalan juga berdampak baik bagi lingkungan, berkontribusi untuk menyelesaikan masalah sosial, dan meningkatkan ekonomi mikro lokal (Risser & Šucha, 2020).

Terkait dengan berjalan jauh model ziarah, sebuah penelitian fenomenologis melaporkan bahwa para subjek mengalami efek kumulatif dengan perasaan positif yang meningkat selama berjalan. Secara khusus, berjalan jarak jauh menimbulkan emosi positif, mengurangi efek stres hidup, dan meningkatkan rasa sejahtera dan pertumbuhan pribadi (Crust, dkk., 2011). Namun, sebagaimana juga dtemukan Johansson dan Hartig (2011), Olafsdottir (2018) menunjukkan bahwa berjalan di alam lebih memiliki efek restoratif dibandingkan sekadar di dalam ruangan menggunakan treadmill atau mengisi waktu luang dengan menonton pemandangan di televisi. Ketika berjalan di alam, produksi kortisol seseorang menurun dan suasana hati membaik. Kondisi tersebut juga ditunjukkan bahwa secara fisiologis berjalan kaki juga berpotensi memperlancar peredaran darah dan menghindarkan seseorang dari penyakit degeneratif akibat kelamaan kurang gerak (Carter dkk., 2018).

Dalam penelitian lain, kepribadian seseorang bisa dilihat dari caranya berjalan. Stephan dkk. (2018) menemukan bahwa ada kaitan yang kuat antara seorang yang neurotis dengan langkah jalan yang lambat, sementara mereka yang memiliki ekstraversi, kehati-hatian, dan keterbukaan tinggi akan cenderung berjalan lebih lekas. Dengan kata lain, hubungan antara ciri-ciri kepribadian dan kecepatan berjalan di antara orang dewasa paruh baya dan lebih tua menunjukkan bahwa seberapa cepat seseorang berjalan dapat dianggap sebagai ekspresi atau tanda motorik kepribadian. Secara khusus, orang yang ekstrovert, teliti, terbuka, dan stabil secara emosional dicirikan oleh gaya berjalan yang lebih cepat.

Jalan Kaki sebagai Seni Keluyuran

Dalam buku berjudul A Philosophy of Walking, Gros (2014) menuliskan bahwa “Dengan berjalan, Anda melepaskan diri dari gagasan identitas, godaan untuk menjadi seseorang, untuk memiliki nama dan sejarah… Kebebasan dalam berjalan terletak pada tidak menjadi siapa pun; karena tubuh yang berjalan tidak memiliki sejarah, tubuh hanyalah pusaran arus kehidupan purba.” Buku tersebut berangkat dari konsep flâneur yang berkembang pada abad ke-19 di Perancis dan secara khusus kemudian dibahas dalam ruang akademis pada abad ke-20 oleh Walter Benjamin (1892-1940).

Benjamin adalah seorang pemikir eklektik asal Jerman. Bagi Benjamin (1978/2007), bercermin dari kehidupan dan puisi Charles Baudelaire, seorang flâneur yang sempurna sama halnya dengan seorang kosmopolit yang memutuskan bahwa rumahnya di mana saja sekaligus tidak di mana-mana. Flâneur adalah seorang penonton yang antusias. Ia berada di tengah-tengah kerumunan sembari sesekali meresapi atau bahkan menarik diri dan mengambil jarak dari kerumunan tersebut. Dengan cara demikian, seorang flâneur akan dikaruniai kesadaran atau sensitivitas terhadap konteks di mana ia melakukan ritual jalan-jalan. Seorang flâneur “menanggapi setiap gerakan dan mereproduksi keragaman kehidupan dan keanggunan yang berkedip-kedip dari semua elemen kehidupan” (Benjamin, 1987/2007).

Kemampuan seorang flâneur untuk meresapi kehidupan berasal dari konsep hidupnya melalui berjalan kaki dan berpetualang dalam proses jalan kaki yang ia lakukan. Gros (2014) menyatakan bahwa berjalan kaki merupakan cara untuk menjadi lebih lambat yang telah ditemukan dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk bipedal, manusia berjalan kaki dengan istirahat sebagai pilihan. Oleh karena itu, berjalan bukan lah sekadar atau suatu olahraga. Olahraga hanya berarti kompetisi dan mengolah ketangguhan. Olahraga membutuhkan suatau disiplin dan usaha. Berbeda dengan olahraga, berjalan merupakan sesuatu yang tanpa usaha; bahkan kadang tidak ada tujuan tertentu kecuali hanya ingin berjalan itu sendiri (passion of escape). Dengan kata lain, menjadi flâneur adalah menjadi pengeluyur; menjadi orang yang suka keluyuran.

Dalam sebuah pengalamannya menjadi urban flâneur, Walter Benjamin menyatakan bahwa ada tiga elemen yang menaungi pemandangan atau penglihatannya: kota (city), kerumunan (crowd), dan kapitalisme (capitalism). Pada bagian pertama, terkait dengan kota, ketika berjalan-jalan, maka seseorang mau tak mau harus berhadapan dengan bermacam topografi dan lanskap dunia, entah sosial maupun arsitektural. Kedua, terkait kerumunan, suatu kota menjadi laiknya hutan belantara yang menyimpan misteri yang selama ini belum dieksplorasi seseorang. Apabila biasanya terburu-buru, maka penelusuran dengan jalan kaki ini merupakan cara subversif untuk dapat melawan norma kecepatan dan keterburuan tersebut. Kecepatan dan keterburuan ini memberi pengalaman anonimitas bahwa kita bukan siapa-siapa sejak pertama kali melangkahkan kaki kita. Seseorang akan bergerak, dengan demikian ia berada dalam proses yang terus berjalan (on going process). Pengalaman anonimitas ini memberi kita untuk melihat dunia menjadi lebih segar. Selain itu, ketiga atau soal kapitalisme, berjalan juga menjadi siasat dalam menghadapi kesunyian (solitude), kecepatan (speed), keraguan (dubious business politics; kapitalisme dan politik hidup sehari-hari), dan konsumerisme (consumerism). Dalam proses bersiasat ini, tidak jarang ditemukan keajaiban kecil dalam suatu lanskap. Lanskap saat berjalan menyediakan dunia yang begitu pelan dan kisah manusia yang tidak kita kenal dan menyimpan enigma masing-masing. Dengan kata lain, berjalan bukan sekadar mengonsumsi jalanan, melainkan juga melakukan eksplorasi dan memberi kebaruan terhadap cara pandang terhadap diri dan dunia kita.

Cara hidup urban flâneur ini kemudian juga diadaptasi dan diamplifikasi dengan perkembangan kamera. Lewat berjalan-jalan dan memotret, seseorang akan menjadi visual urban flâneur atau visual story teller yang secara soliter bersenjata yang mahir dalam kesenangan menyaksikan, penikmat, empati, dan berpotensi menemukan dunia “baru” nan indah. Sontag (1977/2005) menuliskan bahwa:

“Faktanya, fotografi pertama kali muncul sebagai perpanjangan mata para flâneur kelas menengah, yang kepekaannya dipetakan dengan sangat akurat oleh Baudelaire. Fotografer adalah dari pejalan kaki soliter versi bersenjata yang mengintai, menguntit, menjelajahi neraka perkotaan, pejalan voyeuristik yang menemukan kota sebagai lanskap ekstrem yang menggairahkan. Dengan kemahiran akan kesenangan menonton, penikmat empati, flâneur menemukan dunia yang ‘indah’.” (hlm. 42-43)

Lantas, guna menjadi visual storyteller, sesorang mesti pergi mengeluyur, menikmati kelambatan, menemukan sisi lain, serta mengabadikan realitas menjadi bayangan baru yang disebut dengan foto. Sialnya, bayangan baru ini sering kali dianggap lebih nyata dari realitasnya. Bayangan ini memiliki kekuatan untuk mengabadikan apa yang biasanya diabaikan.

 

Daftar Acuan

Althoff, T., Sosič, R., Hicks, J, King, A.C., Delp, S.L., & Leskovec, J. (2017). Large-scale physical activity data reveal worldwide activity inequality. Nature 547, 336–339. https://doi.org/10.1038/nature23018

Badan Pusat Statistik [BPS]. (n.d.). Perkembangan jumlah kendaraan bermotor menurut jenis (unit), 2018-2020. https://www.bps.go.id/indicator/17/57/1/jumlah-kendaraan-bermotor.html

Benjamin, W. (1978/2007). Paris, capital of the nineteenth century. Dalam W. Benjamin, Reflections: Essays, aphorisms, autobiographical writings. Schocken Books.

Carter, S.E., Draijer, R., Holder, S.M., Brown, L. Thijssen, D.H.J., & Hopkins, N.D. (2018). Regular walking breaks prevent the decline in cerebral blood flow associated with prolonged sitting. Journal of Applied Physiology, 125:3, 790-798.

Crust, L., Keegan, R., Piggott, D. & Swann, C. (2011) Walking the walk: A phenomenological study of long distance walking. Journal of Applied Sport Psychology, 23:3, 243-262, DOI: 10.1080/10413200.2010.548848

Gros, F. (2014). A philosophy of walking. Verso.

Hasan, A.M. (2017). Orang Indonesia paling malas berjalan kaki. Tirto.id. Diunduh dari https://tirto.id/orang-indonesia-paling-malas-berjalan-kaki-csJJ

Newberry, J. (2014/2016). Kelas mobil: Sirkulasi anak-anak dalam membangun Indonesia menengah. Dalam G. van Klinken & W. Berenschot, In search of middle Indonesia: Kelas Menengah di kota-kota menengah (hlm. 85-107). Yayasan Pustaka Obor Indonesia & KITLV.

O’Mara, S. (2021). Biopsychosocial functions of human walking and adherence to behaviourally demanding belief systems: A narrative review. Front. Psychol., https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.654122

Olafsdottir, G., Cloke, P., Schulz, A., van Dyck, Z., Eysteinsson, T., Thorleifsdottir, B., & Vögele, C. (2018). Health benefits of walking in nature: A randomized controlled study under conditions of real-life stress. Environment and Behavior, 001391651880079. doi:10.1177/0013916518800798

Risser, R. & Šucha, M. (2020). Psychological perspectives on walking: Interventions for achieving change. Routledge.

Sianoja, M., Syrek, C. J., de Bloom, J., Korpela, K., & Kinnunen, U. (2018). Enhancing daily well-being at work through lunchtime park walks and relaxation exercises: Recovery experiences as mediators. Journal of Occupational Health Psychology, 23(3), 428–442. https://doi.org/10.1037/ocp0000083

Sontag, S. (1977/2005). On photography. Rosetta Books.

Stephan, Y., Sutin, A. R., Bovier-Lapierre, G., & Terracciano, A. (2018). Personality and walking speed across adulthood: Prospective evidence from five samples. Social Psychological and Personality Science, 9(7), 773–780. https://doi.org/10.1177/1948550617725152

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *