Pada awal Januari 2018, survei WeAreSocial.net dan Hootsuite menunjukkan bahwa Instagram menjadi platform media dengan pengguna terbanyak ke-7 di dunia. Survei tersebut menunjukkan bahwa ada sebanyak 800 juta pengguna sampai bulan Januari. Dalam konteks internasional, Amerika Serikat memegang posisi nomor satu dalam jumlah pengguna Instagram dengan jumlah 110 juta pengguna aktif, kemudian Brazil dengan jumlah 57 juta pengguna, dan di peringkat ketiga ada Indonesia dengan jumlah 55 juta pengguna (katadata.co.id, 9 Februari 2018). Pada bulan Juli 2017, Sri Widowati – Country Director Facebook Indonesia – melaporkan ada sebanyak 45 juta pengguna aktif Instagram di Indonesia (Adi & Hidayat, 26 Juli 2017). Hanya selang enam bulan, data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah pengguna sebesar 10 juta. Popularitas Instagram bahkan naik hingga posisi pertama pada Januari 2022 dalam kategori jumlah pengguna di seluruh dunia (Statista, 2022).
Selain aplikasi yang memafaatkan media visual, piranti yang memfasilitasi penciptaan produk visual juga mengalami kenaikan, misal: smartphone dan kamera mirrorless. Tercatat pengguna smartphone di Indonesia pada 29 Juli 2017 sebanyak 371,4 juta pengguna. Jumlah ini setara dengan 142% dari jumlah total penduduk Indonesia yang hanya 262 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, dapat dicatat adanya kenaikan 14% dari Januari 2016. Sementara itu, The NPD Group, sebuah lembaga riset pasar di Amerika, merilis data kenaikan konsumsi mirrorless secara global pada tahun 2015. Data mengatakan bahwa pembelian mirrorless meningkat sebesar 16,5% dan kamera digital single lens reflex (DSLR) justru mengalami penurunan sebesar 15%. Meskipun jumlah pembeliaan meningkat hingga 2019, pada 2020 terjadi penurunan karena daya beli masyarakat melemah selama opandemi. Di sisi lain, konsumsi kamera saku semakin menurun dengan teknologi kamera yang telah bisa digantikan oleh smartphone.
Dari data aplikasi maupun piranti yang mendukung produksi visual, orang dapat menilai bahwa ada kemungkinan besar tersebarnya media visual di antara masyarakat. Perubahan dan kemajuan teknologi memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Pencatatan dengan pasti tidak bisa dilakukan terhadap jumlah produksi visual berupa foto. Namun, muncul kecenderungan orang untuk menggunakan piranti handy-nya sebagai alat ambil gambar, untuk kemudian dihapus. Apabila tidak dibuang, sampah data ini pada akhirnya hanya akan menyulitkan orang untuk menyimpan timbunan data. Orang akan menyeleksi mana yang butuh disimpan dan mana yang bisa dibuang.
Melihat kondisi tersebut, menjadi suatu kelalaian bagi kita – baik peneliti, pekerja sosial, atau apalah itu namanya – apabila mengabaikan betapa dunia semakin diwarnai dengan kultur visual, terkhusus adalah soal foto. Moscovici (1994) menyarankan bahwa “bentuk linguistik tidak mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pesan diterima dan dipahami.” Dalam hal ini, foto bisa melengkapi cara orang berkomunikasi. Meskipun demikian, tidak jarang keberadaan foto ini justru menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana cara membaca foto tersebut. Atau, sebagai orang yang belajar ilmu sosial (terkhusus Psikologi), bagaimana suatu foto dapat menggambarkan fenomena psikologis?
Dalam perkembangannya, bentuk terapi seni dalam Psikologi memanfaatkan lukisan atau gambar yang membantu seseorang ketika kesulitan bercerita mengenai pengalamannya lewat kata-kata. Orang tersebut bisa menyampaikannya lewat gambar. Maka dari itu, tuntutan untuk membaca media visual ini menjadi penting di masa kini. Pertama-tama, perlu dipahami bahwa urusan psikologi dengan foto atau media visual lain bukan semata-mata untuk terapi. Namun, setidaknya setiap foto bisa menceritakan pada kita terkait nilai-nilai, keyakinan, atau ideologi seseorang; atau singkat kata soal bagaimana seseorang menciptakan makna (meaning-making). Lantas, tulisan ini berminat untuk memahami bagaimana proses pemahaman makna dalam foto ini bisa terjadi.
Psikologi dan Foto
Fotografi dan psikologi merupakan anak dari abad yang sama. Pada tahun 1837, Louis J.D. Daguerre untuk pertama kalinya merekam gambar. Setelah tahun 1824 Nicephore Niepce bereksperimen menggunakan lempeng perak dan ditaburi aspal untuk merekam gambar, Daguerre kemudian mengembangkan metode ini dengan menambahi uapan yodium untuk menambah kepekaan terhadap cahaya. Setelah kurang lebih 7-12 menit terpapar cahaya, gambar yang ditangkap lempeng tembaga berlapis perak tersebut kemudian diasapi dengan merkuri untuk membuat gambar menetap. Pengembangan daguerrotype ini kemudian diikuti dengan pengembangan teknik-teknik dalam fotografi hingga akhirnya tercipta negatif film dan kemudian yang kita kenal sekarang dalam teknologi digital (photo-museum.org, “The History of Photography”).
Selang 42 tahun setelah Daguerre berhasil merekam gambar, pada tahun 1879 Wilhelm Wundt membuat laboratorium psikologi untuk pertama kalinya di Universitas Leipzig Jerman. Wundt memulai apa yang disebut sebagai psikologi eksperimen dan menciptakan Psikologi layaknya ilmu Fisika atau Kimia yang bisa di-laboratorium-kan. Meskipun demikian, model Wundt ini kemudian mendapat kritik dalam Psikologi kontemporer di mana untuk memahami manusia bukan sekadar dengan penelitian eksklusif dengan kondisi laboratorium. Manusia mesti dipahami berdasarkan pada konteks hidupnya.
Sekalipun hanya terpaut 42 tahun, tetapi kedua ciptaan peradaban ini, yakni Psikologi dan fotografi, tidak banyak bertemu satu sama lain. Perkara bagaimana foto seseorang menggambarkan mengenai subjektivitas dan kedirian seseorang, tidak mendapatkan perhatian sebelum pertengahan abad ke-20. Tampaknya, keduanya sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.
Pada 1935, Walter Benjamin menuliskan sebuah risalah panjang mengenai seni di jaman reproduksi mekanis (Benjamin, 2007). Pada masa itu, kerja-kerja kesenian direplikasi dan diperbanyak. Karya-karya yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh kalangan dengan kelas tertentu menjadi bisa dinikmati oleh publik. Perdebatan soal otentisitas dan aura dari sebuah karya seni kemudian semakin gencar. Pada level ini, lukisan memiliki aura dan otentisitas yang berbeda dengan foto. Fotografi dianggap sebagai gambar dari gambar, yang artinya “kurang” orisinal. Meskipun demikian, kehadiran foto ini justru membuka ruang-ruang khalayak untuk menikmati suatu karya – setiap orang jauh lebih mudah memperoleh foto daripada sebuah karya. Dengan demikian, hilangnya aura dan otentisitas dalam foto justru menggugat adanya otoritas tunggal dalam berkesenian. Pengetahuan menjadi hak publik.
Semenjak masa ini, perdebatan soal fotografi kemudian menyentuh ranah yang lebih subjektif, yakni mengenai bagaimana fotografi menciptakan subjek tertentu dalam masyarakat. Ketika seorang fotografer memotret suatu objek, maka objek lain akan ditiadakan. Karena itu, proses pengambilan momen menjadi satu perkara penting yang bisa dijadikan bahan untuk membaca ideologi, ketertarikan maupun cara pandang orang terhadap dunia. Misalnya adalah foto dari Julian Sihombing yang dimuat di Kompas terkait demonstrasi Mei 1998.
Gambar 2.1. Foto karya Julian Sihombing yang terbit di Kompas
Pada foto Julian Sihombing, seorang demonstran perempuan terkapar tak berdaya sementara banyak polisi di sekitarnya tengah berjalan dengan memakai alat pelindung lengkap dan membawa tongkat pentungan. Dari foto ini orang akan dikesankan betapa polisi adalah sekelompok manusia yang kejam dan menggunakan kekerasan demi ketenteraman. Sementara itu, dalam foto Beawiharta yang dimuat di Gatra, momen diambil hanya selang beberapa menit – bahkan mungkin detik! − dengan komposisi objek yang sama di mana perempuan yang terkapar sudah tampak sadar dan berusaha untuk bangun. Foto selanjutnya dari Beawiharta adalah para polisi membantu si demonstran untuk berdiri. Tentu saja, kesan berbeda akan kita peroleh ketika melihat foto Sihombing dengan Beawiharta.
Pemerolehan kesan yang berbeda inilah yang dalam istilah Paul Messaris disebut keberaksaraan visual (Messaris, 1994). Dengan melihat, orang menjadi semakin jeli dan waspada terhadap foto-foto yang diciptakan dan disebarkan secara massal. Meskipun demikian, kesan pereka-rekaan dalam foto bisa membuat orang percaya apa yang ia lihat sekalipun tanpa pemeriksaan terhadap fakta. Sekalipun makna diperoleh lewat interpretasi, adanya kemungkinan hoaks visual membuat foto menjadi sesuatu yang juga mengandung pesan (Ajidarma, 2003).
Fotografi dalam Psikologi
Hugh W. Diamond menuliskan sebuah artikel berjudul “On the Application of Photography to the Physiognomic and Mental Phenomena of Insanity” (1856). Ia menggunakan fotografi untuk menggambarkan wajah-wajah pasiennya yang gila. Fotografi ala psikiatris ini setidaknya memiliki tiga tujuan. Pertama adalah untuk memperlihatkan fisiognomi pasien; kedua adalah mengidentifikasi wajah pasien; dan ketiga adalah membantu pasien untuk mengenali diri dengan harapan akan membantu pasien (Rhodes, 2013). Sayangnya, setelah risalah tersebut disampaikan, Diamond kemudian tidak menuliskan persoalan terkait psikiatri dan fotografi. Namun, pengaruh Diamond ini cukup besar di kalangan psikiatris terkait artefak foto yang digunakan, salah satunya adalah terhadap Jean-Martin Charcot – yang nantinya akan memantik Studies on Hysteria (1895) yang dilakukan oleh Josef Breuer bersama Sigmund Freud.
Pembahasan soal fotografi dalam ilmu jiwa ini kemudian kembali santer setelah Robert Akeret menerbitkan “Photoanalysis: How to Interpret the Hidden Psychological Meaning of Personal Photos” pada 1973. Fotoanalisis merupakan “sistem untuk mempelajari foto keluarga untuk mempelajari lebih lanjut tentang dinamika interpersonal yang membentuk jiwa seseorang selama tahun-tahun pertumbuhan mereka” (Akeret dalam Morgovsky, 2007). Apa yang diharapkan Akeret dari proses fotoanalisis ini adalah mengenai kesadaran subjek, memahami relasi interpersonal subjek, serta mengumpulkan puing-puing peristiwa secara episodik. Dengan kata lain, untuk mengumpulkan data selama proses terapi berlangsung.
Gagasan penggunaan foto keluarga sebagai media untuk terapi ini juga dikembangkan oleh seorang terapis seni asal Kanada, Judy Weiser (1993). Weiser memanfaatkan foto sebagai katalis untuk melangsungkan percakapan terapeutik. Pendekatan Weiser, yang disebut dengan PhotoTherapy, didasarkan pada gagasan bahwa orang-orang mengambil foto sehari-hari untuk “mengakses, mengeksplorasi, dan mengkomunikasikan perasaan dan ingatan.” Dalam konteks ini, foto mampu menggambarkan perkara yang tidak bisa diungkapkan dengan kata semata dan foto merupakan konstruksi kenyataan yang amat terkait erat dengan pemaknaan personal, sosial, dan kultural.
Kemudian, mengikuti jejak Tes Rorschach, Joel Walker mengembangkan foto ambigu untuk memantik cerita dari orang-orang yang mengikuti terapi. Sejumlah foto disajikan di depan orang-orang yang akan diterapi. Narasi kehidupan orang tersebut yang kemudian dijadikan perhatian untuk menggambarkan sejarah hidup, harapan, kebutuhan, keyakinan, perasaan atau pikiran-pikiran dari mereka yang diterapi.
Dari ketiga penggunaan foto dalam psikologi tersebut di atas, ada kesamaan soal tujuan untuk memperoleh data. Ratner (2006) menyatakan bahwa dalam meneliti fenomena psikologis, ada baiknya tiga faktor budaya makro kita perhatikan: institusi sosial, artefak, dan konsep budaya. Lantas, sebagai seseorang yang belajar psikologi, foto merupakan salah satu artefak penting dalam menggambarkan fenomena psikologis. Morgovsky (2007) menunjukkan bahwa ide John Szarkowski (1978) – yakni soal hadirnya fotografer dalam foto – dan Stanley Milgram (1977) – yakni soal alasan orang untuk memotret suatu objek – menunjukkan bahwa dalam sebuah foto terkandung lebih dari sekadar objek. Morgovsky (2007) melanjutkan bahwa,
“Baik Szarkowski maupun Milgram mengakui, sebagaimana saya, bahwa foto-foto merupakan pengalaman personal, subjektif dari fotografer, serta informasi tentang realitas objektif eksternal. Proses psikologis seperti memilih perhatian, motivasi tidak sadar, proyeksi dan kognisi tentang diri dan dunia menyatu pada saat pengambilan gambar. Apabila dipahami dengan cara ini, foto adalah objek yang akan dianalisis dan diterjemahkan untuk mengekstrak pesan obyektif dan subyektif.”
Syahdan, bagaimana seseorang dapat melakukan pembacaan terhadap foto? Kalau memang orang beraksara visual sebagaimana digagas Messaris, lalu aksara macam apa yang bisa kita terjemahkan? Penangkapan pesan yang digagas oleh Messaris ini menjadi perkara penting ketika kita dihadapkan oleh dunia yang tidak bisa lagi menghindar dari foto.
Tabel 2.1. Peristiwa penting pertemuan psikologi dengan fotografi
Tahun | Peristiwa | Keterangan |
1837 | L.J.D. Daguerre memperbaiki gambar kamera di pelat logam | Fotografi modern dimulai |
1856 | Hugh W. Diamond menyajikan makalah sebelum Royal Society tentang penggunaan fotografi dalam praktik psikiatri | Titik kontak pertama antara fotografi dan psikiatri. |
1879 | Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertama untuk studi ilmiah tentang kesadaran. | Psikologi modern dimulai. |
1973 | Robert U. Akeret menerbitkan Photoanalysis | Menetapkan penggunaan foto keluarga dalam psikoterapi |
1977 | Stanley Milgram menulis serangkaian artikel tentang dimensi psikologis fotografi. | Pernyataan awal dari dalam psikologi bahwa foto-foto membawa informasi pembuatnya. |
1978 | John Szarkowski menerbitkan “Mirrors and Windows” | Katalog untuk pameran fotografi penting yang membedakan antara sifat obyektif dan subyektif dari foto. |
1983 | Joel Morgovsky menyajikan ” Nose on our faces” di Universitas Yale | Presentasi formal pertama tentang apa yang akan menjadi “membaca gambar.” |
1986 | Joel Walker menerbitkan “The Walker Visual” | Penggunaan pertama foto sebagai ambigu, rangsangan proyektif untuk penggunaan klinis. |
1999 | Judy Weiser menerbitkan “Photo Therapy” | Mungkin yang pertama dari beberapa teknik yang secara longgar bernama fototerapi. |
2003 | Franklin, Formanek, Blum dan Morgovsky menghadirkan “Lens and Psyche” pada konvensi APA ke-111. | Simposium pertama yang mengidentifikasi beberapa titik kontak antara fotografi dan psikologi |
2006 | “Psychologists in Focus: Seeing Global Diversity” | Pameran foto pertama secara eksklusif oleh psikolog. Disajikan di St. Francis College, Brooklyn, NY |
Membaca Foto
Dalam Ways of Seeing (1972), John Berger membuka kalimat pertama demikian: “Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it can speak.” Cara seseorang melihat sesuatu, tergantung oleh apa yang jadi keyakinan atau pengetahuan yang dimiliki. Apabila mata menjadi pintu masuk 80% stimuli yang diterima oleh diri kita, maka kultur occulocentric ini menjadi perkara penting untuk diperhatikan. Dalam bahasa Inggris sendiri kata “see” bisa diterjemahkan ke dalam dua pemahaman, yakni “melihat” atau “mengetahui”. Sementara itu, dalam bahasa Jawa, asal mula kata ilmu pengetahuan (“kawruh”) adalah “weruh”, yang dalam bahasa Indonesia bererti “melihat”. Dalam kedua budaya, melihat memiliki kedekatan dengan mengetahui. Tapi apakah suatu pengetahuan selalu tepat? Dalam fotografi, pengetahuan yang diperoleh dari melihat ini belum tentu tepat ketika dibaca dalam kurun waktu tertentu. Apa yang dimaksud dalam kurun waktu? Sebelum mendapati jawaban, kita mesti memahami bagaimana fotografi dibaca selama ini.
Seorang filsuf, kritikus sastra, dan semiolog Prancis, Roland Barthes (1981), menuliskan bahwa dalam fotografi kita dapat menemukan tiga aspek, yakni: (1) Operator, yang adalah si fotografer; (2) Spektator; dan (3) Spektrum atau objek yang dipotret. Sebagai seorang spektator, ada dua hal yang bisa dilihat dalam foto, yakni studium dan punctum. Studium merupakan kesan terhadap foto secara keseluruhan, kesan ini dirasakan sebagai affect dari rerata orang kebanyakan, tidak terdapat ketajaman tertentu dalam cara pandang terhadap foto. Elemen kedua bersifat menginterupsi, membuat spektator akan berhenti sejenak serta mudah mengingat suatu foto tertentu yang kemudian oleh Barthes disebut sebagai elemen punctum. Dalam istilah psikoanalisis, elemen inilah yang disebut sebagai lack atau sesuatu yang menyebabkan orang berhasrat. Ada sesuatu yang pedih/menyengat, noda atau lubang kecil, atau potongan yang mampu membuat spektator untuk memikirkan lebih jauh perihal foto.
Gambar 2.2. Alexander Gardner: Portrait of Lewis Payne. 1865
Dalam sebuah foto tahun 1865, Alexander Gardner memotret Lewis Payne – orang yang melakukan percobaan pembunuhan terhadap Sekretaris Negara W.H. Seward. Gardner memotret Payne ketika sedang menunggu waktu untuk menuju tiang gantungan. Wajah Payne tampak sangat rupawan layaknya Joel Madden, vokalis Good Charlotte. Itulah kesan umum yang muncul, atau dalam bahasa Barthes: studium. Ketika lebih jauh dilihat, kesan dingin dalam tatapan matanya akan terasa. Ketika foto ini dilihat 150 tahun kemudian, warna hitam putih foto menambah rasa dingin yang perlahan akan menambah horor foto. Apabila kita mengetahui sedikit saja informasi bahwa ia akan segera meninggal dalam waktu tidak lama lagi, maka keakraban akan kematian akan menjadi pengetahuan baru yang menjelaskan betapa dingin tatapannya. Ia seperti tidak memandang apapun, ia tidak seperti seseorang yang sedang memandang lensa Gardner yang tengah membidiknya. Barthes berpendapat bahwa punctum dalam foto tersebut demikian: “Ia akan segera mati”. Pada saat bersamaan, matanya seakan mengatakan bahwa “ia telah mati.”
Apabila Barthes menunjukkan dua elemen dalam memahami foto. Maka dalam penelitian kualitatif, Temple dan McVittie (2005) menggarisbawahi ada tiga macam data yang digunakan; (1) materi visual yang telah ada (pre-existing visual materials), (2) data visual yang terbatas waktu (time-limited visual data), dan (3) produk visual yang terus dipakai (enduring visual products). Data visual yang telah ada atau tersedia dapat kita temukan dalam surat kabar, media sosial, maupun foto yang telah dipublikasikan. Namun, pada bagian ini kita mesti hati-hati sebab banyak foto yang telah mengalami rekayasa pengeditan (misalnya lihat dalam karya seniman Agan Harahap). Dalam data visual yang terbatas-waktu, kita hanya menggunakan foto (atau video) semata-mata untuk kepentingan pengumpulan data. Segera setelah memasuki interpretasi, materi visual akan disimpan. Sementara itu, pada data visual yang terus dipakai, kita akan menyusun tesis atau gagasan lewat foto (atau video). Contoh paling baik dalam konteks Indonesia adalah model video, yakni film Jagal (2012) dan Senyap (2014) garapan Joshua Oppenheimer. Pada model dua dan tiga, data visual kita kumpulkan selama proses pengambilan data.
Terkait dengan model data tersebut, dalam ilmu Psikologi dikenal metode yang dinamai photovoice atau picturevoice. Dalam praktik penelitian, metode tersebut digunakan dengan pendekatan Participatory/Emancipatory Action Research. Metode ini membantu peneliti dan partisipan untuk bersama-sama membuat sebuah gerakan sosial yang memperjuangkan kemaslahatan komunitas; misalnya pada komunitas yang disingkirkan atas nama bahasa, gender, ras, kelas, atau disabilitas. Dalam model photovoice ini, para partisipan diajak untuk mengambil foto yang mampu menggambarkan apa yang mereka alami, entah dengan objek benda ataupun manusia. Produk fotografi tersebut kemudian didiskusikan dan diinterpretasi bersama. Reavey dan Johnson (2008) mengatakan bahwa kita dapat memperbicangkan dengan beberapa pancingan pertanyaan: (a) Apa yang ditunjukkan dalam foto?; (b) Fokusnya di mana?; (c) Apa pendapat mereka soal isi foto?; (d) Bagian mana paling menarik? (e) Kira- kira kalau mau ambil foto lagi, apa yang mau diperbaiki dari foto tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dilakukan dalam kelompok untuk kemudian dilanjutkan dengan secara personal. Hasil dari diskusi dan obrolan personal inilah yang disampaikan untuk menyuntikkan wacana ke publik terkait permasalahan komunitas. Model photovoice ini mengambil logika data visual yang terbatas waktu dan produk visual yang terus dipakai, meskipun demikian metode ini bisa dikembangkan dengan ketersediaan data foto sebelum memulai penelitian.
Sementara photovoice secara sengaja mengajak partisipan untuk mengambil data berupa foto (generating data), maka model kedua mengandalkan artefak foto yang telah tersedia (found data atau data ditemukan). Mengambil dari metode kajian budaya, analisis dapat dilakukan dengan materi dan sejarah sosial dari kumpulan gambar yang tersedia. Cara ini banyak dilakukan dalam bidang antropologi dan sejarah. Fokus dalam penelitian tersebut adalah mengenali makna institusional dan kontekstual yang melekat pada gambar, aturan/nilai/hukum tertentu yang memungkinkan gambar tersebut diproduksi, serta peranan manusia sebagai spektator dan penafsir foto (Pink, 2008). Hasil akhir dari penelitian tetap mengkombinasikan gambar dan kata-kata sebagaimana pula dalam photovoice, atau bahkan juga bisa dimodifikasi menggunakan audio. Dari model inilah ilmu Psikologi perlu banyak belajar bahwa sejarah dan kekuasaan merupakan hal penting yang menciptakan fenomena psikologis.
Makna institusional dan kontekstual ini bisa kita bahas melalui penelitian dari Karen Strassler. Strassler (2008) meneliti bagaimana peranan Tionghoa dalam mendatangkan kultur visual kamera ke Indonesia. Sebelumnya, pada tahun 1860 telah ada studio foto yang didirikan oleh seorang Belanda, Isidore van Kinsbergen. Pemerintah kolonial memerintahkan vans Kinsbergen untuk memotret monumen-monumen (candi) yang ada di Hindia Belanda untuk kemudian dibawa ke Belanda. Pada masa itu, vans Kinsbergen kemudian mengajari Kassian Cephas yang kemudian menjadi seorang fotografer pertama dari Jawa (Siegel, 2005). Sementara itu, penelitian Strassler memberi perhatian pada foto-foto studio pada masa bangkitnya kesadaran nasional 1920-an hingga tahun 1990-an. Foto studio ini dibuat berdasarkan pesanan , memuaskan selera pemesan, dan memberi citra terhadap si pemesan.
Alih-alih meneliti objek yang menjadi fokus, yakni si pemesan, Strassler justru menitikberatkan perhatian pada latar yang dipakai dalam studio foto. Pembagian kelas dalam studio pun juga terekam; studio orang Eropa akan didatangi oleh orang Eropa, Indo, atau elite pribumi; studio milik Tionghoa akan didatangi oleh kelas menengah ke bawah Indonesia; dan studio orang Jawa didatangi pula oleh orang-orang Jawa. Studio orang Eropa menggunakan latar belakang negeri-negeri Eropa, yang kemudian akan dicontoh oleh studio orang Jawa. Sementara itu, studio Tionghoa menggunakan latar sesuai pesanan orang yang difoto. Pemilihan latar pada studio Tionghoa pada awalnya adalah gambar dengan warna yang cenderung tunggal dan menegaskan potret si pemesan. Tren ini berubah setelah kemerdekaan menjadi gambar-gambar yang Indonesia banget. Bahkan pada tahun 1950 hingga 1960-an mulai muncul gambar mooi Indie di mana pemandangan seperti sawah, gunung, atau rumah adat di Indonesia.
Ada tiga hal yang dicatat Strassler; (1) gambar berusaha menggapai citra modern yang terus berubah, (2) gambar seperti merindukan rumah impian yang tenang, (3) gambar menimbulkan kesan turistik di mana seorang Jawa bisa berpotret dengan latar rumah Minang. Citra modern yang terus berubah ditunjukkan dengan masuknya gambar Hotel Indonesia, Monumen Nasional, atau bahkan TV dan Vespa. Dalam catatan Strassler, budaya Tionghoa yang kemudian juga menyebar ke ruang-ruang keluarga adalah dipajangnya foto di tembok rumah atau pas foto besar di depan peti mati seseorang.
Melalui bagian ini, dapat diketahui bahwa ada dua macam tren penelitian dalam foto. Pertama adalah partisipatif dengan harapan akan menciptakan gerekan sosial kerakyatan. Kedua adalah model dekonstruktif dengan menyodorkan tafsir baru terhadap sejarah. Model kedua ini berusaha untuk menguak psikologi massa dalam sebuah masa.
Penutup
“Sebuah piranti tersedia untuk merekam apa yang (di)hilangkan”, demikian kata Susan Sontag dalam On Photograph (1973). Dari kedua model di atas, model photovoice memotret apa yang tidak bisa terkatakan oleh partisipan. Dengan kata lain, menunjukkan kekuatan visual untuk menerjemahkan suara yang tercekam. Pada model photovoice kita membahasakan kesadaran partisipan. Orang yang memotret adalah pula yang menjadi spektator, makanya antara operator dan spektator menjadi satu bagian. Pada model penelitian Strassler, kita bisa menjadi seorang pembaca foto yang anarkis. Maksudnya, kita tidak perlu melihat bagian yang memang menjadi fokus dari jepretan lensa. Kita melihat sesuatu yang justru ditutupi objek utama, yakni latar. Pada bagian tersebut, justru bagian yang aneh kita temukan. Keganjilan tampak bukan pada objek utama. Lewat cara ini, psikologi massa dalam sebuah masa bisa dijelaskan. Dalam hal ini, kita bisa membayangkan betapa dalam sebuah fenomena psikologis dan peristiwa sejarah terdapat kekuasaan yang tidak jarang menjadikan benang semakin kusut. Membaca sebuah foto, bukankah kita berarti mencari dan membahasakan apa yang tampak hilang?
Daftar Acuan
Adi, A. & Hidayat, A. (26 Juli 2017). 45 juta pengguna instagram, Indonesia pasar terbesar di Asia. Diakses pada 15 September 2018 dari https://bisnis.tempo.co/read/894605/45-juta-pengguna- instagram-indonesia-pasar-terbesar-di-asia
Ajidarma, S.G. (2003). Kisah mata: Fotografi antara dua subjek perbincangan tentang ada. Galang Press.
Barthes, R. (1981). Camera lucida: Reflections on photography. Hill & Wang.
Benjamin, W. (2007). Illuminations: Essays and reflections. Schocken Books.
Berger. J. (1972). Ways of seeing. Penguin.
Diamond, H.W. (1856). On the application of photography to the physiognomic and mental phenomena of insanity. Proc. R. Soc. Lond. 1857 8, 117.
Katadata.co.id. (29 Agustus 2017). Pengguna ponsel Indonesia mencapai 142% dari populasi. Diakses pada 15 September 2018 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/08/29/ pengguna- ponsel-indonesia- mencapai-142-dari-populasi
Katadata.co.id. (9 Februari 2018). Berapa pengguna instagram di Indonesia. Diakses pada 15 September 2018 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/09/berapa-pengguna-instagram- dari-indonesia
Messaris, P. (1994). Visual literacy: Image, mind, and reality. Westview Press.
Morgovsky, J. (2007). Photography on the couch: the psychological uses of photography. The General Psychologist, 42(1), 27-30. Diakses pada 15 September 2018 dari http://www.apa.org/divisions/div1/news/Winter-Spring2007/Winter- Spring%202007%20TGP_web.pdf
Photo-museum.org. (tidak ada tanggal). The history of photography. Diakses pada 15 September 2018 dari http://www.photo-museum.org/photography-history/
Pink, S. (2008). Analysing visual experience. Dalam M. Pickering (ed.). Research methods for cultural studies. Edinburgh University Press.
Ratner, C. (2006). Cultural psychology: A perspective on psychological functioning and social reform. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Reavey, P. & Johnson, K. (2008). Visual approaches: Using and interpreting images. Dalam C. Willig & W. Stainton-Rogers (ed.). Qualitative research in psychology. Sage.
Rhodes, K. (2003). Diamond, Hugh Welch (1809-1886): British photographer. Dalam J. Hannavy (ed.). Encyclopedia of nineteenth-century photography. Routledge.
Siegel, J.T. (2005). The curse of the photograph: Atjeh, 1901. Indonesia, 80, 21-37.
Sontag, S. (1973). On photography. Picador.
Statista. (2022, 23 Mei). Instagram: number of global users 2020-2025. Statista.com. https://www.statista.com/statistics/ 183585/instagram-number-of-global-users/#:~:text=In%202021%2C%20there%20were%201.21,of%20the%20world’s%20internet%20users.
Strassler, K. (2008). Cosmopolitan visions: Ethnic chinese and the photographic imagining of Indonesia in the late colonial and early psotcolonial periods. The Journal of Asian Studies, Vol. 67, No.2, 395- 432.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.