Teori

Photovoice

Caroline Wang dan Mary Ann Burris mengembangkan metodologi photovoice pada 1990-an. Photovoice biasa digunakan sebagai sarana dan pemantik penelitian partisipatif dalam rangka memberdayakan kelompok terpinggirkan. Melalui photovoice, partisipan mengidentifikasi, mendokumentasikan, serta menampilkan kekuatan dan kekhawatiran komunitas dari perspektif anggota komunitas sendiri melalui penggunaan teknologi fotografi (Wang 1999).

Photovoice menggunakan metode penelitian partisipatif dan mendorong peserta untuk mengarahkan proses penelitian. Secara visual, produk foto diharapkan mewakili dan menceritakan pengalaman sehari-hari mereka (Foster-Fishman dkk., 2005). Komponen utama dari photovoice adalah berbagi foto untuk memulai dialog kritis. Bahkan, Wang dan Burris (1997) menyatakan bahwa photovoice adalah dialog kritis yang muncul dari pertemuan   kelompok yang merupakan katalisator perubahan sosial.

Photovoice memprioritaskan interpretasi foto, bukan sekadar yang nampak (Wang & Burris 1997). Penekanan dalam photovoice adalah pada isi foto dan makna yang diilustrasikan oleh fotografer, bukan kualitas foto (Wang 1999). Photovoice menjabarkan makna berdasarkan konteks dari perspektif orang dalam (insider’s perspectives) sebagai sarana untuk menghasilkan wawasan atau membuka wacana tertentu dalam realitas sosio-kultural. Terdapat irisan antara dunia pribadi dan publik dalam upaya untuk publikasi dan politisir perjuangan pribadi melalui fotografi, narasi, dialog kritis, dan aksi sosial. Dengan demikian, photovoice memperluas sifat fotografi dari bentuk seni menjadi praxis keterlibatan sosial-politik.

Dalam photovoice, anggota komunitas merupakan orang yang “diandaikan” terpinggirkan (marginalized) (Carlson, Engebretson & Chamberlain, 2006), secara sosial tidak terlihat (socially invisible) (Wang, Burris & Ping, 1996), rentan (vulnerable) (Wang & Burris, 1997), di/tersingkirkan dari proses pengambilan kebijakan (Foster-Fishman dkk., 2005), dan di/terbungkam (silenced) (Lykes, Blanche, dan Hamber 2003).

Photovoice lahir dari tiga kerangka teoritis yang berbeda: pendidikan pemberdayaan untuk kesadaran kritis, teori feminis, dan fotografi dokumenter. Tujuan keseluruhan dari masing-masing kerangka kerja ini mendukung metode yang berorientasi pada tindakan, yang diarahkan oleh partisipan. Tujuan utama photovoice adalah: (1) Bagi peserta untuk mengidentifikasi, mencatat, dan merefleksikan kebutuhan masyarakat/komunitas; (2) Untuk mempromosikan dialog kritis; (3) Untuk diteruskan pada pembuat kebijakan dengan harapan agar memberlakukan perubahan sosial terhadap peningkatan kebaikan masyarakat (Wang & Burris 1997).

Wang dan Burris menguraikan langkah-langkah berikut untuk melakukan photovoice: (1) Pilih dan rekrut khalayak sasaran pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat; (2) Rekrut sekelompok peserta photovoice; (3) Memperkenalkan metodologi photovoice kepada peserta dan memfasilitasi diskusi kelompok; (4) Memperoleh informed consent; (5) Menempatkan tema awal dalam pengambilan gambar; (6) Bagikan kamera kepada peserta dan tinjau cara menggunakannya; (7) Berikan waktu bagi peserta untuk mengambil gambar; (8) Bertemu untuk membahas foto-foto; (9) Rencanakan dengan peserta format untuk berbagi foto dan cerita dengan pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat. (Wang, 1999)

Wang dan Burris menggunakan teknik khusus bagi para peserta untuk mendiskusikan setiap gambar. Mereka menyebut teknik ini “SHOWeD” yang merupakan akronim dari pertanyaan: (a) Apa yang Anda Lihat (See) di sini? (b) Apa yang sebenarnya terjadi (Happening) di sini? (c) Bagaimana hal ini berhubungan dengan kehidupan kita (Our Life)? (d) Mengapa situasi, kekhawatiran, atau kekuatan ini ada (We)? (e) Apa yang bisa kita lakukan (Do) tentang hal itu? (Wang 1999). Fokus dari photovoice bukan untuk menciptakan konsensus kelompok, melainkan untuk mempresentasikan dan mengeksplorasi berbagai pengalaman dan kenyataan bahwa peserta harus memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang masyarakat (Foster-Fishman dkk. 2005).

Photovoice digambarkan sebagai memberdayakan dan emansipatoris bagi para peserta. Meskipun tidak kemudian usaha ini berhasil, tetapi kemungkinannya ada (kok!). Tidak diragukan lagi bahwa model ini lebih partisipatif, kolaboratif, dan demokratis daripada model-model penelitian top-down. Melalui photovoice, dalam banyak hal, partisipan lah yang secara aktif melakukan penelitian.

Pertanyaannya kemudian adalah: Bagaimana menyusun pertanyaan penelitian? Sebagai panduan singkat, kita bisa mencermati pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Isu apa yang akan Anda kerjakan? Pertanyaan macam apa yang muncul dalam isu tersebut?
  2. Apa makna penting dari penelitian ini bagi kehidupan sosial?
  3. Bagaimana asal-usul topik atau tema dari penelitian ini?
  4. Mengapa penelitian dengan topik ini akan diterima oleh masyarakat dll.?
  5. Bagaimana keadaan hal dan masalah dari penelitian-penelitian lain yang mirip seperti yang akan Anda teliti pada masa sekarang ini?
  6. Bagaimana penelitian Anda berkaitan dengan penelitian-penelitian tersebut?
  7. Apa kekhususan penelitian Anda dibandingkan dengan penelitian sejenis tersebut?

Shelley: Sebuah Contoh Photovoice

Studi Kasus

Studi kasus ini menampilkan pengalaman Shelley, seorang yang selamat dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menjadi peserta dalam proyek photovoice, yang didukung oleh layanan dukungan penyintas KDRT (Jarldorn, 2019).

Latar Belakang Masalah

Meskipun gelombang kedua feminisme (1960-an hingga 1980-an) memberi perhatian pada pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan di lingkup keluarga, kekerasan dalam pasangan intim terus menjadi masalah sosial yang terus menjalar. Karena itu, organisasi yang beroperasi dalam perspektif feminis sangat penting untuk memastikan bahwa kebutuhan mendesak perempuan dan anak-anak dapat terpenuhi ketika mereka berada dalam proses meninggalkan hubungan kekerasan. Meskipun demikian, langkah pertama tersebut, juga terkait akomodasi, merupakan proses yang cukup panjang dan sukar. Proses ini sama panjangnya dengan waktu yang dibutuhkan perempuan untuk menyadari bahwa kekerasan dalam pasangan merupakan bentuk kekuasaan dan kontrol — bukan kekuatan cinta — yang telah mereka jumpai. Penyembuhan pasca-lepasnya hubungan dapat berlangsung bertahun-tahun.

Ada banyak kesulitan pasca-hubungan yang dapat memiliki konsekuensi negatif bagi kesejahteraan fisik, sosial dan emosional perempuan. Sekalipun perempuan coba meninggalkan kekerasan, kekerasan fisik lebih mungkin meningkat. Ketika pelaku mengalami kehilangan kontrol, mereka sering berreaksi terhadap hal ini dengan lebih banyak kekerasan — umumnya para pelaku akan menguntit dan mengancam — dan ada risiko besar perempuan bisa terluka bahkan dibunuh oleh pelaku setelah mereka membuat keputusan untuk pergi (Dobash & Dobash, 2011). Ketidakmampuan atau ketidakmauan dalam memenuhi konstruksi “perempuan yang baik” (Fraser & Jarldorn, 2015) berpotensi menimbulkan penilaian buruk, terutama dari orang-orang yang tidak memahami dinamika kekerasan dalam pasangan intim. Meskipun kekerasan pasangan intim sekarang dibicarakan di ranah publik, menjadi korban pelecehan masih menciptakan perasaan bersalah dan malu (Flood & Pease, 2009). Tidak jarang perempuan mengalami kesehatan mental yang buruk yang termanifestasikan dalam gejala gangguan stres pasca-trauma setelah hubungan tersebut berakhir (Herman, 2001). Kondisi tersebut cenderung menghasilkan diri yang mengisolasi diri dari dunia.

Sementara beberapa perempuan memiliki pekerjaan, teman, dan koneksi keluarga serta dapat membangun kembali kehidupan mereka tanpa mengakses layanan sosial, sejumlah besar perempuan justru terancam kehilangan semua dukungan yang mereka miliki dan tidak memiliki rasa berada dalam ‘komunitas’. Singkatnya, inisiatif untuk mengatasi ketersingkiran perempuan dengan tujuan untuk melakukan rekoneksi dengan masyarakat adalah perkara yang penting (Evans, 2005).

Bersamaan dengan dukungan dalam masa krisis tersebut, tugas inti dari layanan kekerasan domestik adalah memberi informasi, mengadvokasi hak-hak perempuan secara kolektif dan terus membuat masyarakat sadar akan dinamika penindasan gender. Inilah sebabnya mengapa kegiatan advokasi dan pengembangan masyarakat sama pentingnya pengembangan individu yang menjadi penyintas kekerasan.

Kisah Shelley

Dalam pertemuan dengan seorang bernama Shelley (penyintas kekerasan domestik), Jarldorn menceritakan bahwa Shelley bercerita demikian:

Saya telah berada dalam hubungan yang kasar (abusive relationship) sejak remaja. Bentuk-bentuk pelecehan menyasar padaku. Pada awalnya, ada celah waktu yang panjang ketika ia melakukan tindakan kekerasan. Dia (pasangan) menyesal setelah menyakiti saya, lalu smeua akan kembali normal. Inilah yang disebut dengan ‘periode bulan madu’. Ketika hubungan kami semakin lama, dan terutama setelah kelahiran putra kami, kekerasan emosional dan fisik meningkat — celah antarwaktu dalam terjadinya kekerasan makin pendek. Kami mulai sering pindah rumah, jauh dari keluarga dan teman-teman, sampai akhirnya kami tinggal ratusan kilometer jauhnya dari relasi saya. Di pinggiran kota kecil. Saya terisolasi dan tidak punya teman untuk curhat. Kini, putra kami telah pindah dari rumah. Meskipun saya telah mencoba pergi sebelumnya, pasangan saya selalu berhasil memaksa saya untuk kembali. Setelah insiden yang sangat keji, akhirnya saya tahu bahwa akan lebih aman untuk pergi daripada tinggal dan hidup bersama pasangan. Saya membuat rencana, mulai menyisihkan sebagian uang dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting. Suatu hari ketika dia pergi cukup lama, saya segera mengemasi barang-barang dan membawa serta anjing kesayangan dan langsung pergi ke tempat yang jauh.

Saya beruntung. Bibi saya memperkenankan saya untuk tinggal sementara di rumahnya. Saya aman dari bahaya. Suatu hari, saya melihat dan menemui seorang yang secara khusus bekerja dalam layanan kasus kekerasan domestik. Saya gabung ke dalamnya dan mereka amat mendukung serta bekerja keras untuk membantu saya menyadari bahwa kekerasan bukanlah salah saya. Kemudian saya bisa menyewa apartemen sendiri, sesekali menoleh ke belakang, dan saya dapat melihat bahwa memperoleh kemandirian merupakan pencapaian besar. Namun, meskipun secara fisik saya aman, saya masih kesepian dan terisolasi. Saya kehilangan kepercayaan diri dan jarang meninggalkan hunian.

Kemudian suatu hari pekerja dari layanan kekerasan domestik menelepon dan bertanya apakah saya ingin berpartisipasi dalam proyek Photovoice mereka. Awalnya saya enggan, meskipun kemudian saya ikutan gabung. Ada sekitar delapan perempuan dalam kelompok, beberapa yang pernah saya temui sebelumnya, yang lain saya baru ketemu untuk pertama kalinya. Seperti saya, beberapa sudah meninggalkan kekerasan domestik, tetapi beberapa lainnya masih ‘terikat’ dalam hubungan kekerasan. Dihubungkan oleh pengalaman bersama, kami menghabiskan pertemuan pertama untuk mengenal satu sama lain dan mendengar tentang proyek Photovoice. Pada pertemuan berikutnya, seorang fotografer profesional datang dan mengajari kami dasar-dasar fotografi. Hal tersebut menyenangkan dan memberdayakan untuk belajar bagaimana menggunakan kamera yang layak. Kami belajar istilah teknis untuk bagian kamera dan aturan komposisi foto. Ketika kelompok berkembang kami harus saling mengenal lebih baik. Beberapa dari kami telah menjadi teman baik karena keterlibatan dalam proyek ini.

Fase fotografi itu menyenangkan. Saya pergi berjalan-jalan di sekitar daerah pinggiran kota saya, mencari inspirasi. Meskipun saya mengambil beberapa foto, favorit saya adalah pohon tua. Saya menjudulinya “Bent and Broken, Torn and Twisted, but I Still Grow”. Saya pikir gambar dan judulnya membantu untuk mewakili pengalaman dan perjalanan saya.

Pada pertemuan berikutnya, kami berbicara tentang foto-foto yang kami ambil dan memilih gambar favorit kami. Foto dicetak perbesar, dipasang dan dibingkai secara profesional. Sungguh menakjubkan melihat betapa bagusnya foto saya tampil dalam bingkai dan tertempel pada dinding, saya merasa bangga dengan apa yang telah saya lakukan. Restoran lokal menyelenggarakan pameran karya kami. Suasananya indah, hadir pula pembicara, musisi, dan makanan yang enak. Uang yang terkumpul dari acara tersebut, termasuk penjualan salinan foto-foto, digunakan untuk melanjutkan pendanaan proyek. Saya sangat senang mendengar jepretan saya, terjual lebih banyak dibandingkan foto lainnya. Sejak saat itu, layanan KDRT menjalankan proyek Photovoice setiap tahun. Semakin banyak bisnis lokal yang mendukung proyek tersebut sehingga dapat terus berlanjut tanpa perlu bergantung pada pendanaan eksternal.

Gambar 3.1. Bent and Broken, Torn and Twisted, but I Still Grow (Shelley)

Sekitar setahun yang lalu, pohon di foto saya hancur dalam badai. Pada awalnya, saya merasa sedih, tetapi setidaknya saya masih memiliki fotonya. Dan melihat foto tersebut, mengingatkan betapa sudah jauh perjalanan hidup saya. Saya senang berpartisipasi dalam proyek ini.

Proyek ini membantu saya untuk mendapatkan kepercayaan diri yang saya pikir tidak akan kunjung kembali. Sekarang saya membagikannya kepada perempuan lain yang selamat dari kekerasan dalam rumah tangga. Saya bekerja sukarela dengan kelompok komunitas lokal yang menyediakan makanan rumahan buat para perempuan dan anak-anak yang tengah dalam fase awal meninggalkan KDRT. Saya menceritakan kisah saya kepada para kadet polisi sebagai bagian dari pelatihan mereka. Saya berbicara kepada mahasiswa jurusan “Social Work” di sebuah universitas terdekat tentang pengalaman KDRT, pelarian menuju keselamatan, dan kehidupan baru saya. Apa yang saya dapati dalam partisipasi proyek Photovoice adalah memberi kemampuan untuk bersuara — dan, saya menggunakannya kapanpun dan di manapun saya bisa.

Kisah Shelley menunjukkan kepada kita betapa transformatifnya bagi orang-orang tertentu ketika mereka dapat mengekspresikan diri dengan cara mereka sendiri, dan ketika cerita mereka didengar. Seperti yang dia jelaskan, proses photovoice sama pentingnya dengan hasil akhirnya — sekelompok orang asing berkumpul bersama, berbagi pengalaman dan membuat pameran seni sehingga kisah mereka dapat didengar oleh orang lain di dalam maupun luar komunitas. Tidak terpisahkan dari kesuksesan proyek ini adalah cara karya mereka dihargai; gambar yang mereka buat secara profesional dibingkai dan ditampilkan melalui peluncuran di restoran/galeri yang bagus dengan makanan, musik dan perusahaan yang baik. Pendekatan ini mengesahkan pengalaman dan menghasilkan rasa komunitas.

Keberhasilan proyek ini tidak berakhir selama proses photovoice. Shelley menjelaskan bahwa dia berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan perempuan lain diuntungkan lewat berbagi pengalaman hidupnya.

 

Daftar Acuan

Dobash, R., & Dobash, R. P. (2011). What were they thinking? Men who murder an intimate partner. Violence Against Women, 17(1), 111–134.

Flood, M., & Pease, B. (2009). Factors infuencing attitudes to violence against women. Trauma, Violence and Abuse, 10(2), 125–142.

Harimurti, A. (2022). “Apa yang bisa diceritakan oleh sebuah foto?”. Dalam A. Harimurti, Mengabadikan yang Terabaikan. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Herman, J. (2001). Trauma and recovery: From domestic abuser to political terror. Pandora.

Jarldorn, M. (2019). Photovoice handbook for social workers. Springer.

Ronzi, S., Pope, D., Orton, L., & Bruce, N. (2016). Using photovoice methods to explore older people’s perceptions of respect and social inclusion in cities: Opportunities, challenges and solutions. SSM – Population Health, 2, 732–745. doi:10.1016/j.ssmph.2016.09.004

Sutton-Brown, C.A. (2014). Photovoice: A methodological guide. Photography and Culture, 7:2, 169-185, DOI: 10.2752/175145214X13999922103165

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *