“Tapi, musuh kita selalu menyerang dengan kekuatan titan yang tak pernah terpikirkan. Jika kita masih berpikir secara umum, kita takkan bisa mengungguli musuh!”
–Armin Arlert dalam Attack on Titan
Kiranya sejauh ini, setidaknya yang saya temui, upaya untuk menggerakkan kelas pekerja atau masyarakat yang tertindas dalam mempersoalkan “menumpas” kapitalisme adalah dengan mengharamkan kapitalisme secara absolut, bahkan hingga memoralisasi praktiknya. Tentu, secara pribadi, saya juga tidak menyetujui dengan penggerusan kemanusiaan yang berlangsung dalam kapitalisme – dan segalanya yang berbau neoliberalistik. Namun, apakah kemudian kita harus menghindari dan mengharamkan keseluruhan yang ada pada kapitalisme?
Dalam proses penyelidikan saya akhir-akhir ini, saya menemui bahwa kapitalisme sudah begitu progresif, bahkan lebih progresif daripada gerakan progresif (kiri) – mungkin saya terlalu berlebihan dalam hal ini, tidak sedikit juga ide-ide kiri yang lebih canggih dan revolusioner, tetapi bukan itu yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini saya akan berupaya untuk menunjukkan temuan dan refleksi sederhana saya, yang kiranya mengubah pandangan naif saya dalam memandang kapitalisme.
Diri: Abstraksi yang Tak Penting Lagi!
Dalam kajian psikologi, pembicaran tentang diri (self) sangatlah beragam. Tidak sedikit aliran yang menawarkan definisi diri, seperti behavioristik yang identik dengan pengkondisian, psikologi humanistik yang identik dengan keberdayaan, psikologi eksistensial yang identik dengan pencarian makna dan refleksi, psikoanalisis yang identik dengan proses pembentukan subjek dan ketidaksadaran (unconsciousness), dan lain sebagainya. Meskipun begitu, berkembangnya penyelidikan tentang psikoanalisis, kuasa (power), wacana (discourse), dan relasi (rangkum menjadi: kajian Psikologi Kritis) mengubah cara pandang tentang diri. Singkatnya, berkat penyelidikan tersebut, diri dipandang sebagai sesuatu dinamis dan kontekstual. Bahkan, secara lebih radikal, psikoanalisis Lacanian memahami bahwa diri (ego) adalah bagian dari respons subjek terhadap trauma dan upaya adaptasi dengan realitas dalam proses perkembangannya. Pada bagian yang lebih mendasar lagi, diri itu tidak ada.
Pendefinisian tentang ketiadaan diri ini mengajak kita untuk merefleksikan bahwa diri kita itu tidak penting lagi, hingga kita dapat adaptif terhadap dinamika internal (psikis) dan eksternal. Diri yang tidak ada ini banyak dibahas dalam kajian Psikologi Kritis sebagai upaya menyadarkan subjek agar dapat mengorganisir hasrat dan traumanya. Artinya, dalam posisi keberpihakan, ia berpihak pada masyarakat yang tertindas. Sayangnya, ide ini malah dikooptasi oleh pemilik modal untuk mengakumulasi kapitalnya.
Saya mengamati bahwa para pemilik modal menunjukkan respons-respons bodo amat bagaimana orang lain merepresentasikan dirinya. Misalnya artis-artis Indonesia yang sering mengatakan, “Ambil positifnya, buang negatifnya.” Bagi saya, itu adalah upaya para artis untuk meniadakan diri dengan cara menjadi otonom terhadap dirinya sendiri, dalam artian yang radikal. Ataupun, musisi-musisi yang nampak tanpa rasa malu untuk “jualan”tubuh dan menunjukkan pakaian dalamnya di hadapan publik – itu yang marketable! Hal ini dimungkinkan bila diri sudah tidak ada, dan karena diri itu tidak ada, maka diri dapat diotak-atik seenak jidat. Artinya, diri tidak hanya terbatas pada rasa malu. Maka, diri sebagai penanda kosong (sesuatu yang tidak ada) dapat diisi oleh apapun dengan sesuka hati. Dalam konteks masyarakat kapitalis, diri dapat diisi dengan akumulasi kapital. Apapun kata orang, yang penting adalah: saya punya uang banyak.
Manajemen Manusia dan Serikat Pekerja
Persinggungan dengan teori dan imajinasi HR (Human Resources) menyentak pikiran saya. Pada satu bagian kursus di Coursera yang saya ikuti, ada satu bagian yang membahas tentang serikat pekerja. Singkatnya, imajinasi HR, setidaknya dalam pikiran John W. Budd, berupaya untuk menghindari serikat pekerja. Baginya, serikat pekerja adalah suatu organisasi yang tidak dianggap sebagai fitur penting dalam menentukan strategi.
Tak berhenti sampai di situ. Daniel Goleman, seorang yang berperan dalam perkembangan HR, menawarkan gagasan tentang gaya kepemimpinan. Goleman (2011) menjelaskan bahwa, dalam praktik kepemimpinan, bagaimana cara memanajemen manusia dalam suatu organisasi/korporasi itu selalu kontekstual. Setidaknya, ada enam gaya kepemimpinan, antara lain coercive, authoritative, affiliative, democratic, pacesetting, dan coaching. Alasan mendasar dari kontekstualisasi gaya ini diukur dari seberapa mampu ia adaptif dalam menghadapi permasalahan dan menjaga stabilitas atau meningkatkan profit.
Oleh sebab itu, bila gaya kepemimpinan itu tidak mendukung kebertahanan korporasi dan stabilitas profit, maka hal itu perlu diganti seiring waktu (fleksibel), termasuk gaya democratic. Dalam HR, gaya democratic, yang inklusif dan berorientasi pada partisipasi, tidak dipandang sebagai sesuatu yang absolut benar. Korporasi sudah dan akan selalu adaptif terhadap iklim.
Rumus Fungsi Produksi: Semua Telah Dikalkulasi!
Berikut rumus pemodelan Fungsi Produksi Cobb-Douglas:
Q=A.Lα.Kβ.
Keterangan:
- Q: Output (produksi total)
- A: Total Faktor Produktivitas (TFP) atau efisiensi teknologi
- L: Input tenaga kerja (labor)
- K: Input modal (capital)
- α/alpha: Elastisitas output terhadap tenaga kerja (persentase perubahan output akibat perubahan tenaga kerja sebesar 1%)
- β/beta: Elastisitas output terhadap modal (persentase perubahan output akibat perubahan modal sebesar 1%)
- α+β: Menunjukkan skala hasil (returns to scale):
- α+β=1: Skala hasil tetap (constant returns to scale).
- α+β>1: Skala hasil meningkat (increasing returns to scale).
- α+β<1: Skala hasil menurun (decreasing returns to scale).
Pusing? Tenang saja, Anda tidak sendirian. Apa yang hendak saya sampaikan di sini adalah bahwa dalam logika kapitalisme, proses produksi, semua telah terkalkulasi. Ini masih salah satu dari berbagai macam model fungsi produksi. Pada rumus pemodelan Fungsi Produksi Cobb-Douglas, intinya, rumus tersebut berupaya untuk menggambarkan hubungan antara input produksi (misalnya, tenaga kerja dan modal) dan output yang dihasilkan dalam sebuah proses produksi, yang bermanfaat untuk menganalisis produktivitas dan skala ekonomi.
Melalui rumus pemodelan semacam ini, hal yang bisa kita petik adalah bahwa pekerja sudah selalu berada dalam suatu rumus matematis. Pekerja telah di/terkalkulasikan secara canggih dan kompleks. Selain itu, saking canggihnya, rumusan yang ribet dan kompleks ini membuat kita, orang-orang yang berpikir soal kapitalisme neoliberal, sudah mual duluan dan menyingkirkan kenyataan ini.
Capitalism Movement: Kapitalis Juga Punya Gerakan
Agaknya, secara umum, yang kita ketahui selama ini bahwa ide-ide gerakan itu hanya ada pada lingkungan marxis dan kiri-kirian. Namun pada kenyataannya, kapitalisme sendiri juga memiliki sebuah gerakan, yang jelas adalah gerakan terhadap respons terganggunya stabilitas menyoal profit. Beberapa gerakan yang muncul dalam sejarah perkembangan kapitalisme adalah shareholder-value movement dan stakeholder capitalism. Shareholder-value movement merupakan gerakan tahun 70-80an yang merespons peningkatan tekanan pasar, deregulasi, dan globalisasi ekonomi. Milton Friedman (1970), tokoh yang berperan penting dalam gerakan ini, menekankan peningkatan laba terhadap para pemilik perusahaan. Konsekuensinya, gerakan berfokus pada para pemegang saham dan peningkatan efisiensi proses produksi.
Gerakan selanjutnya adalah stakeholder capitalism. Gerakan ini, yang hadir melalui ide Edward Freeman, pada 1984, merespons praktik shareholder-value yang terlalu memaksimalkan nilai pemegang saham dan kurang memerhatikan aspek lain, seperti para pekerja, lingkungan, dan ekonomi jangka panjang. Meskipun begitu, Freeman dkk. (2022) menyatakan bahwa ia tidak berusaha menihilkan pentingnya shareholder-value, tetapi lebih memperluas area apa yang harus dianggap penting.
Refleksi Sejenak
Melalui temuan tersebut, yang itu masih belum semuanya, kiranya saya merefleksikan bahwa ternyata tidak ada dalam sejarah kapitalisme dan korporasi yang benar-benar atau secara tulus berpihak pada kelas pekerja. Kalimat klise ini tidaklah main-main: everything is about profit. Mungkin ini terdengar bodoh, tetapi saya serius, bahwa sejauh ini – setidaknya yang saya temui – pendidikan atau lingkar studi kritis selalu berjarak dengan kajian para pemikir kapitalis dan neoliberal secara langsung. Sejauh ini, saya hanya selalu dicekoki pengetahuan kapitalisme dan neoliberalisme dari secondary person, tokoh-tokoh marxis atau kajian kritis, yang jelas itu sudah tereduksi oleh secondary person dalam bias dan seleksi (pemilahan) kognitif penerjemahnya, dan tereduksi lagi oleh si pembaca secondary person.
Mari kita kembali sejenak terhadap paparan saya di atas dan merefleksikan kembali tentang apa yang telah dipraktikkan kapitalisme. Pertama, imajinasi tentang diri sebagai penanda kosong telah dikooptasi kapitalisme. Kedua, kapitalisme selalu adaptif dalam memanajemen dirinya, ia fleksibel, ia tidak menuhankan suatu strategi, termasuk strategi yang demokratis dan afiliatif. Ketiga, semuanya telah terkalkulasi, semuanya telah terukur, jika daya prediktif dalam ukurannya gagal, maka ia akan berinovasi (seorang yang pembelajar hingga mati). Keempat, gerakan atau movement sebagai bentuk adaptasi kapitalisme. Kelima, serikat pekerja yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting atau kontraproduktif terhadap kepentingan profit. Keenam, bagian ini merupakan tambahan, yaitu finansialisasi, ketika proyek kapitalisme telah lebih mementingkan pasar finansial ketimbang produksi dan pelayanan, salah satu dimensi finansialisasi adalah share price maximization, yaitu pemangkasan biaya untuk meningkatkan keuntungan finansial daripada daya saing yang produktif (Budd, 2021).
Ringkasan tersebut kiranya membawa refleksi mendalam dan membawa pertanyaan: Mengapa kapitalisme selalu dapat bertahan? Dengan segala permasalahannya, dengan segala kecamannya, bahkan hingga seorang Barack Obama mengkritik praktik private equity sebagai “vampire capitalists” (Gospel & Pendleton, 2014), yaitu tindakan para kapitalis untuk menguras habis segalanya demi keuntungan dengan mengesampingkan dampak terhadap para pekerja dan komunitas. Namun, kapitalisme tetap selalu bertahan. Dan jawaban saya sejauh ini adalah: kapitalisme memiliki ukuran. Segalanya telah terukur, dan yang menjadi patokan ukuran itu jelas, yaitu profit atau akumulasi kapital. Orientasi kapitalisme jelas dan mewujud.
Kelas Pekerja: Lalu Apa?
Kembali pada pertanyaan awal dari tulisan ini, apakah kemudian kita harus mengharamkan dan menghindari keseluruhan yang berada dalam kapitalisme? Bagi saya, tidak. Bagaimana mungkin kita dapat melawan musuh yang bahkan kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana cara musuh bekerja? Dengan kemampuan kalkulasinya, kapitalisme selalu dapat adaptif dengan realitas. Kapitalisme selalu berkembang dan gerakan revolusioner selalu di situ-situ saja. Meskipun begitu, yang harus kita sadari, kapitalisme selalu cemas. Ia selalu dihantui oleh kecemasan akan kehancuran. Dan, respons dari kecemasan ini adalah dengan menciptakan ukuran.
Bagaimana dengan kelas pekerja? Mungkin memang benar, kelas pekerja selalu mengalami kecemasan dan ketertindasan. Namun, pertanyaan saya sederhana: Setelah itu apa? Hendak mengatakan bahwa yang kelas pekerja inginkan adalah keadilan sosial? Apa ukurannya? Itulah pertanyaan besar saya: Apa ukuran keberhasilan dari keadilan sosial? Hal ini mungkin akan terdengar menjijikkan oleh para pengkaji kajian kritis, tentang ukuran dan kuantifikasi, tetapi yang harus kita sadari bahwa inilah yang telah dilakukan oleh kapitalisme. Inilah kenyataannya. Kenyataan bahwa tubuh kita telah terkuantifikasi, perilaku kita telah terkuantifikasi, hasrat kita telah terkuantifikasi, bahkan jiwa kita telah terkuantifikasi.
Oleh sebab itu, melihat kenyataan ini, sudah waktunya untuk kita tidak jijik dengan kapitalisme. Seperti yang kita tahu, kejijikan membuat kita jadi menjauh atau memberi jarak pada objek tersebut. Kejijikan berpotensi kontraproduktif terhadap penyelidikan kita terhadap kapitalisme dan strategi revolusi.
Epilog
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa satu-satunya jalan menuju keadilan sosial bahwa dengan menciptakan ukuran keberhasilannya. Toh, keadilan sosial juga telah dibayangkan oleh kapitalisme dalam neoliberalisme, yaitu ketika setiap individu dapat berkompetisi dalam kontestasi pasar. Namun, tepat di sinilah refleksi menjadi penting: Apakah konsep keadilan sosial yang dibayangkan Marx dan para pemikir setelahnya memang demikian? Atau jangan-jangan, model Marx dan model neoliberal berbeda?
Kiranya, Slavoj Žižek — seorang psikoanalis Hegelian — menyatakan tawaran yang tepat melihat kondisi saat ini tentang apa yang perlu kita lakukan sekarang: don’t act, just think!
Daftar Acuan
Budd, J. W. (2021). Labor relations: Striking a balance (6th ed.). McGraw-Hill.
Goleman, D. (2011). Leadership that gets results. Dalam HBR’s, 10 must reads: On managing people. Harvard Business Review Press.
Gospel, H., & Pendleton, A. (2014). Financialization, new investment funds, and labour. Dalam H. Gospel, A. Pendleton, & S. Vitols (Eds.), Financialization, new investment funds, and labour: An international comparison. Oxford University Press.
Freeman, R. E., Harrison, J. S., & Zyglidopoulos, S. (2022). Stakeholder theory: Concepts and strategies. Cambridge University Press.
Friedman, M. (1970, 13 September). A Friedman doctrine: The social responsibility of business is to increase its profits. The New York Times. https://www.nytimes.com/1970/09/13/archives/a-friedman-doctrine-the-social-responsibility-of-business-is-to.html

Ngurah Arya adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Program Sarjana di Universitas Sanata Dharma. Ia berminat pada Psikologi Kritis.