Rerasan

Membagi Rata Masa Depan

“Kapan nikah?” buatmu adalah pertanyaan yang penuh muslihat. Buatmu, sebagai orang yang berlimpah pikiran, melengos pergi atau meluangkan waktu untuk menjawabnya sama-sama menghabiskan tenaga. Tak menjawabnya membuatmu merasa bersalah menekan perasaan yang tak nyaman. Sebaliknya, menjawab pertanyaan itu menghadirkan perasaan jemu menghalau segala hal yang terdengar normatif. Sebenarnya, buatmu yang punya peruntungan baik untuk urusan asmara, pertanyaan itu tak seberapa mengganggu. Buktinya, pertanyaan yang sama tak pernah sekali pun membuatmu terpikir untuk mencengkeram kambing guling dari meja prasmanan lantas menjejalkan ke mulut orang yang bertanya. Buatmu, apa yang mengganggu ialah alasan mengapa pertanyaan itu menyebar layaknya wabah lantas mengincar siapa saja jelang kepala tiga.

Buatmu, yang cukup beruntung soal urusan asmara, boleh jadi kesendirian adalah sebuah pilihan alih-alih keterpaksaan. Tak jauh beda dengan beberapa temanmu, bukanlah ketiadaan orang yang mendekatimu atau berpotensi kamu dekati yang membuatmu memilih tetap sendiri melainkan pertimbangan masak-masak soal bagaimana menjalin hubungan yang lebih ‘berharga’. Lewat berbagai obrolan, kamu merasa terbantu dari jauh-jauh hari telah terhindar dari pikiran yang beranggapan terdesak untuk menikah adalah sebuah kepastian. Dari kawanmu, yang sempat menyusuri sejarah asal-usul keluarga untuk penulisan tesisnya, kamu tahu keluarga monogami modern itu hanyalah satu dari sekian opsi. Kamu segera teringat celetukan temanmu soal Suku Mosuo dengan panduan nikah sambil jalannya (walking marriage), yang tak membebani perceraian dengan stigma, serta  menggugurkan isi kepalamu bahwa monogami ialah satu-satunya jalan.

Kenalanmu yang lain menulis daftar orang-orang yang memilih untuk swanikah demi hidup dalam sologami dan di saat yang sama melawan desakan lingkungan. Alhasil, kegalauan mencari pasangan tak pernah sebegitu berarti buatmu. Dari keduanya, kamu mendapati kemungkinan-kemungkinan lain yang berlawanan dengan anggapan orang kebanyakan. Sebagaimana hal-hal yang mereka paparkan, kedua temanmu yang masih membujang hingga kepala tiga itu toh tak kurang apa jua. Paling mentok, seperti yang kau amati dalam keseharian mereka, keduanya jarang menata rambut dan kadang kamu jumpai seharian penuh tidak mandi.

Tentu saja, buatmu yang punya nasib yang lebih mujur soal percintaan, bukan itu masalahnya. Kamu tidak sedang menghimpun berbagai dalih untuk menghalau pertanyaan “kapan nikah?” Buatmu, yang lebih penting adalah upaya berbagi imajinasi soal berbagai kehidupan yang berbeda. Kamu tahu, beberapa kawanmu yang lain, dalam diam, begitu nelangsa merenungkan pertanyaan yang sama karena tidak pernah terpapar informasi tentang sekian banyaknya opsi. Buatmu, yang lebih penting adalah upaya mengurai struktur yang membuat pertanyaan perihal masa depan ini begitu menekan untuk berbagai kalangan. Karena toh buatmu setiap hal yang menghadirkan tekanan mental tak tertahankan tak boleh dinormalisasi sebagai hal yang wajar. Dengan kata lain, segala yang memungkinkan itu terjadi, dengan satu dan lain cara, perlu diubah.

“Kapan nikah?” buatmu adalah pertanyaan yang sedari awal bermasalah. Pertanyaan ini mengandaikan orang yang ditanyai sudah pasti akan menikah. Buatmu, pertanyaan ini menyelimuti gagasan heteronormatif yang menghadirkan tekanan bagi beberapa orang kawan yang kamu kenal tak bisa menikah, secara legal, setidaknya di negara ini. Kamu, yang punya kawan yang meneliti peliknya pengalaman individu lesbian dalam perkawinan dengan orientasi seksual campuran (mixed orientation marriage), mafhum pertanyaan itu adalah pemicu kenangan buruk. Pertanyaan bermasalah itu pulalah yang mengingatkanmu pada satu konsep pengisahan yang dapat digunakan untuk membongkarnya: prolepsis. Selintas, itu membuatmu teringat akan kalimat pembuka Seratus Tahun Kesunyian.

“Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendía  mencoba mengenang suatu senja yang jauh ketika ayahnya mengajaknya untuk melihat es,” begitu Gabriel García Márquez memulai Seratus Tahun Kesunyian. Kalimat itu, buatmu, membantu melukiskan dengan mulus apa itu prolepsis. Macam apa yang dibilang Gérard Genette dalam Narrative Discourse: An Essay in Method, ialah upaya menghadirkan suatu kejadian di masa depan ke masa kini. Sebagaimana kita tahu nasib Kolonel Aureliano Buendía  sedari awal kisah, hal yang sama juga bergulir dalam struktur yang menopang pertanyaan “kapan nikah?” Keduanya sama-sama mengandaikan adanya suatu keterarahan perspektif pada masa depan yang telah dibayangkan bentuk pastinya.

Jika dalam Seratus Tahun Kesunyian kita mafhum bahwa Gabriel García Márquez yang menyusun kepastian akan masa depan dalam kehidupan fiksi rekaannya, maka di kehidupan nyata kita juga bisa mencari tahu biang keroknya. Buatmu, tanpa perlu menunjuk hidung orang-orang yang lebih tua dari kita sebagai biang keladi, kita bisa mengurai semua ini dengan menyingkap selubung sejarah pengasuhan. Sebagaimana yang disinggung Michael Cole, umumnya “orang tua mengerangkai pengalaman anak-anak agar konsisten dengan apa yang mereka bayangkan sebagai masa depan anak,” ujarnya dalam Cultural Psychology: A Once and Future Discipline. Dengan begitu, masa depan yang dibayangkan ini, adalah sesuatu yang secara kultural dimediasi oleh pengalaman ‘masa lalu’ orang tua berikut cara mereka sendiri dibesarkan. Buatmu, inilah biang kerok dari segala tekanan yang mengikuti pertanyaan “kapan nikah?”

Masalah utamanya, buatmu, adalah upaya menyeret ideal-ideal kultural di masa lalu sebagai kriteria evaluasi masa depan. Preservasi kriteria evaluasi inilah yang perlu dipertanyakan setiap kali generasi berganti. Mengingat setiap kali konteks berubah individu harus menghadapi situasi baru sehingga perlu terbuka akan masa depan yang mungkin, alih-alih masa depan yang dipercaya pasti terjadi. Tepat di sini kita menyentuh gagasan perihal memori kolektif dan pertanyaan soal rencana menikah ini bisa diganti dengan hal-hal lain dari pertanyaan soal nasionalisme hingga utopia. Buatmu, kepercayaan, alih-alih pengandaian, akan sesuatu sebagai hal yang pasti sampai derajat tertentu punya potensi menghadirkan kekerasan, baik fisik maupun mental. Tentu, buatmu, upaya penyelesaian yang cocok bukanlah sekadar melempar olok-olok “OK boomer”, yang mengembangbiakkan diskriminasi usia atau balik bertanya “kapan mati?” pada orang yang bertanya. Karena, kamu tahu, tak peduli tua ataupun muda jika cara berpikir yang sama kita reproduksi semua akan “boomer” pada waktunya.

Buatmu, yang sedari kecil menelan sarapan yang sebagian darinya ialah hasil kerja buruh yang sanak keluargamu pekerjakan, belum menikah boleh jadi tidak akan pernah menjadi masalah. Di beberapa kesempatan, kamu menyadari bahwa pertanyaan “kapan nikah?” adalah pertanyaan soal kelas. Buatmu, warisan tanah-sawah model ante-mortem dari keluargamu, setidaknya, cukup bisa diandalkan bahkan jika kamu tidak menikah. Tentu saja, sebuah privilese yang sama tak kemudian diperoleh oleh semua lajang di dunia. Kamu tahu persis sebagian orang tua mendesak anaknya untuk segera menikah karena khawatir soal jaminan hari tua mereka. Dari para petani yang pernah kamu wawancarai, hadirnya menantu terkadang bukan persoalan simpati pada putra-putri mereka yang tak laku-laku melainkan urusan mobilitas sosial-ekonomi. Bahwa, punya menantu ada kaitannya dengan bayangan anaknya menjadi mandiri atau, syukur-syukur, mendorong perbaikan ekonomi.

Dari sini kamu sadar, urusan “kapan nikah?” sampai derajat tertentu adalah soal logika preservasi kepemilikan privat. Hal yang membuat ungkapan ‘kaya tujuh turunan’ menjadi masuk akal. Karena pernikahan adalah salah satu bentuk perpanjangan pewarisan kepemilikan. Tak ayal ini mengingatkanmu pada kata-kata William Gibson “masa depan telah hadir di depan kita—hanya belum terdistribusi secara merata.” Buatmu, yang punya peruntungan yang baik soal asmara, menjadi jomlo, sampai derajat tertentu, adalah pengingat soal kesenjangan yang hadir karena kepemilikan privat.

Usai membaca ulasan Karel Karsten Himawan soal kaum yang terpaksa melajang (involuntary singles) kamu juga mafhum bahwa orang yang punya keinginan besar untuk menikah juga tidak semudah itu mewujudkannya. Menjadi jomlo, dengan kata lain, adalah pengingat bahwa masa depan telah hadir dilengkapi kesempatan yang tidak terdistribusi merata dan perlu ada upaya untuk mengubahnya. Di sisi lain, menjadi jomlo yang gembira ialah pengingat bahwa menikah adalah salah satu pilihan dari sekian kemungkinan. Selalu ada cara baru untuk bersama. Kamu seketika teringat kata-kata temanmu, Aris Setyawan, “merangkul mereka yang kesepian adalah tindakan revolusioner.”

Tentang Penulis

Rifki Akbar Pratama menaruh perhatian lebih pada persilangan antara sejarah dan psikologi, meliputi politik afek, pilihan antarwaktu, hingga sejarah perasaan golongan kiri. Belakangan ia menjadi bagian kecil dari Lingkar Studi Matari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *