Kekerasan seksual menghantui kita. Komnas Perempuan melaporkan bahwa dalam Dalam Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) Tahun 2019, tercatat ada sebanyak 431.471 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 25.293 laporan kasus dibanding tahun 2018 yang tercatat sebanyak 406.178 laporan kasus. Data yang dihimpun dari PN/Pengadilan Agama, lembaga layanan Komnas Perempuan, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) menunjukkan bahwa, sebagaimana tahun 2019, kasus kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh KDRT/RP (Ranah Personal) yang mencapai 75 persen. Dalam KDRT/RP, sebanyak 43 persen (4.783 kasus) didominasi oleh kasus kekerasan fisik diikuti dengan kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis 2.056 (19%), dan ekonomi 1.459 kasus (13%). Dalam ranah publik dan komunitas, tercatat 3.602 kasus dengan detail pencabulan sebanyak 531 kasus, perkosaan 715 kasus, pelecehan seksual sebanyak 520 kasus, dan sisanya berupa kasus persetubuhan dan percobaan kekerasan. Sementara itu, dalam ranah negara dilaporkan ada sebanyak 12 kasus yang berupa kekerasan dalam penggusuran, intimidasi terhadap jurnalis, pelanggaran hak administrasi kependudukan, pinjaman online, afiliasi dengan organisasi terlarang, pelanggaran hak adminduk, dan kesulitan akses jaminan kesehatan.
Dalam kekerasan ranah personal, dominasi kasus kekerasan terhadap istri (KTI) berada dalam urutan teratas dengan 6.555 kasus (59%). Jumlah tersebut diikuti dengan kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dibanding tahun 2018 menjadi 2.341 kasus (21%) dan kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.815 kasus (16%). Kasus terhadap anak perempuan dalam KDRT menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir senantiasa berada dalam tiga besar, yang artinya rumah tidak lagi bisa disebut sebagai tempat aman bagi sebagian anak perempuan. Sekalipun kasus inses turun sebesar 195 kasus dibanding tahun 2018, tetapi jumlahnya masih mencapai 822 kasus. Penurunan kasus juga terjadi pada perkosaan dalam rumah tangga yang pada tahun 2018 sebanyak 192 kasus dan 2019 sebanyak 100 kasus.
Dalam kasus pelecehan seksual selama beberapa tahun terakhir, 2017 sebanyak 355 kasus (Komnas Perempuan, 2017), 2018 sebanyak 704 kasus (Komnas Perempuan, 2018), 2019 sebanyak 394 kasus (Komnas Perempuan, 2019), 2020 (sampai 6 Maret 2020) sebanyak 520 kasus (Komnas Perempuan, 2020). Selain itu, ada satu kategori yang disebut Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam KBGO, dikenal berbagai aktivitas berupa pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi, pelecehan, ancaman, serta serangan terhadap komunitas (SAFEnet, 2019). Menarik bahwa dalam KBGO ditunjukkan data yang meningkat tajam dari 97 kasus di tahun 2019 menjadi 281 kasus pada 2020 atau sebesar 300%. Dominasi dari KBGO ini adalah berupa ancaman penyebaran foto atau video berkonten pornografi atau yang dalam konteks ini dikategorikan dalam pelecehan. Kondisi demikian kemudian mendorong perdebatan serius mengenai kasus-kasus pelecehan seksual yang kemudian mendorong disahkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 pada Oktober 2021 dan UU TPKS pada April 2022.
Terlepas dari disahkannya kedua peraturan di atas, mengapa ada kecenderungan peningkatan jumlah laporan dan kasus pelecehan seksual dari tahun ke tahun? Bahkan, laporan pelecehan seksual meningkat tajam dalam CATAHU 2018 yang berjumlah 704 kasus. Mengapa pula dalam CATAHU 2020 dilaporkan ada peningkatan KBGO sebesar 300%? Apakah ada kesalahan pelaporan atau bagaimana? Atau, jangan-jangan data tersebut baru kasus yang dilaporkan dan masih tersimpan tumpukan pengalaman yang tidak terlaporkan? Terlepas dari error tidaknya laporan, peningkatan tersebut menunjukkan bahwa muncul kesadaran akan pelecehan seksual dalam masyarakat kita. Namun, mengapa dan bagaimana kesadaran tersebut muncul? Apa implikasi dari munculnya kesadaran tersebut? Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan membahas lebih jauh mengenai pelecehan seksual (sexual harassment).
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual berada di bawah payung kategori kekerasan seksual (sexual violence). Selain pelecehan seksual, kita dengan mudah menemukan istilah lain seperti penyerangan, perkosaan, dan bentuk lebih halus dalam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Namun, guna membatasi penggunaan terminologi, dalam tulisan ini pelecehan seksual berarti, segala tindakan yang memproduksi penderitaan atau ancaman psikologis maupun fisik terhadap orang lain (dengan berbagai keragaman gendernya), berupa paksaan, penghalangan akses berkembang, baik dalam privat, publik, keluarga, maupun komunitas.
Dalam Secretary-General’s bulletin (2008) yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), disebutkan bahwa pelecehan seksual merupakan segala macam kepentingan seksual yang tidak diinginkan (unwelcome sexual advance). Istilah “unwelcome” dalam konteks ini mendapatkan penekanan dalam arti bahwa tidak terjadi konsensus (sexual consent) antar-orang yang terlibat di dalamnya. Bentuk-bentuk dari pelecehan seksual ini dapat kita temukan dalam permintaan untuk berhubungan seksual, perilaku verbal maupun non-verbal yang bersifat seksual, perilaku bersifat seksual yang mungkin dianggap wajar sehingga menyebabkan pelanggaran atau penghinaan terhadap orang lain; serta ketika dalam ranah kerja, perilaku seksual tersebut membuat suasana yang intimidatif dan ofensif. Pelecehan ini bisa terjadi pada orang dengan orientasi dan kelamin seksual apapun.
Johnson dkk. (2018) menunjukkan bahwa pelecehan sering kali melibatkan perempuan sebagai korban. Istilah pelecehan seksual ini dikenal ketika munculnya kasus-kasus para perempuan yang kehilangan pekerjaan akibat ajakan melakukan hubungan seksual oleh para majikannya. Dalam konteks kerja semacam ini, pelecehan dikenal sebagai “quid pro quo sexual harassment.” Selain itu, ada pula bentuk perendahan seksual yang terjadi dalam lingkup pekerjaan yang kemudian disebut sebagai ruang kerja yang intimidatif (hostile work environment). Kedua macam bentuk pelecehan tersebut memiliki perbedaan dalam hal pelakunya. Apabila dalam quid pro quo sexual harassment dilakukan oleh orang yang punya otoritas terhadap bawahannya, maka dalam hostile work environment bisa terjadi terhadap banyak orang dan dilakukan pula oleh banyak orang. Kasus-kasus pelecehan yang mencuat kemudian menimbulkan polemik sehingga terbentuklah protokol kerja yang dibuat Equal Employment Opportunity Commission pada 1980 (USEEOC 1980).
Dalam penelitian psikologi, pelecehan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang saling terkait, yakni sexual coercion (paksaan seksual), unwanted sexual attention (atensi seksual yang tidak diinginkan), dan gender harassment (pelecehan seksual berbasis gender) (Fitzgerald dkk., 1988; Fitzgerald, Gelfand & Drasgow, 1995). Dalam perkembangannya, Woods dan Buchanan (2008) membagi ke dalam tiga jenis, yakni paksaan seksual, atensi seksual yang tidak diinginkan, dan pelecehan seksual yang bersifat contrapower. Paksaan seksual menggambarkan ancaman terkait pekerjaan atau sekolah apabila seseorang menolak diajak berhubungan seksual. Atensi seksual yang tidak diinginkan berupa komentar, gesture, atau upaya kontak fisik yang tidak diinginkan oleh sasaran atau terget. Sementara itu, pelecehan seksual contrapower melibatkan seseorang yang dalam posisi subordinat melecehkan yang lebih superior, misalnya murid yang melecehkan gurunya.
Sebagaimana dicatat dalam jenis contrapower, pelecehan seksual tidak saja mengancam mereka yang berada dalam posisi subordinat, bahkan orang yang dilihat memiliki kuasa pun bisa ditempatkan sebagai subordinat oleh si pelaku. Artinya, pelecehan seksual bisa terjadi secara vertikal maupun horisontal. Dalam kasus pelecehan seksual yang horisontal kita bisa melihat bagaimana kekerasan seksual terjadi dalam hubungan intim saat berpacaran atau dikenal dengan sebutan dating violence (Akazama & Aono, 2018).
Lalu, siapa saja yang berpotensi mengalami pelecehan ini? Levy dan Paludi (2002) menunjukkan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan mengalami pelecehan seksual. Kata “lebih rentan” mengindikasikan bahwa siapapun bisa menjadi target, tetapi kemungkinannya lebih rendah dibanding kelompok rentan. Adapun kelompok rentang tersebut adalah: perempuan kulit berwarna (dalam konteks Barat), mahasiswa, perempuan dalam populasi laki-laki, perempuan yang tidak diuntungkan secara ekonomi, lesbian, mahasiswa atau pegawai yang mengalami disabilitas fisik maupun mental, perempuan yang pernah dilecehkan sebelumnya, atau perempuan dan anak perempuan yang secara sosial terisolasi.
Dalam konteks mahasiswa dan pegawai, tidak sedikit riset yang mendokumentasikan dampak pelecehan seksual dalam kehidupan korban, misalnya secara emosional-psikologis, kesehatan fisik, karir, hubungan interpersonal, dan cara seseorang melihat dirinya. Paludi (2014) mencatat bahwa secara detail, dampaknya adalah: depresi; takut; marah; isolasi; ketakutan akan kejahatan secara umum; ketidakberdayaan; syok; penurunan harga diri; sakit kepala kelelahan; masalah pernapasan; penyalahgunaan zat; gangguan tidur; gangguan makan; kelesuan; gangguan gastrointestinal; perubahan kebiasaan kerja; ketidakhadiran; kehilangan gaji dan tunjangan; perubahan dalam tujuan karir, termasuk meninggalkan perguruan tinggi atau pekerjaan untuk menghindari pelecehan seksual; takut orang baru; kurangnya kepercayaan; perubahan di jejaring sosial; serta penarikan diri dari keluarga dan teman.
Perlu dicatat bahwa pelecehan seksual ini tidak hanya terjadi di jalanan (street harassment), tidak sedikit kasus pelecehan seksual justru terjadi dalam ruang organisasi seperti sekolah atau kampus (Chandrassekar, Lacroix & Siddiqui, 2018), kantor, atau ruang keagamaan. Dampak buruk yang dialami para korban ini mendorong tanggung jawab organisasi yang memungkinkan si korban mengalami pelecehan seksual. Organisasi perlu membuat aturan atau protokol yang mencegah pelecehan seksual ini dialami anggotanya. Protokol tersebut kira-kira menyasar kebijakan anti-pelecehan seksual, memuat prosedur penanganan kasus secara investigatif, dan menawarkan pelatihan terkait pelecehan seksual. Selain itu, dari pihak yang rentan — entah siswa, mahasiswa, karyawan, atau umat — menjadi korban juga perlu pelatihan menghindari pelecehan seksual, membiasakan pembicaraan terkait pelecehan seksual dalam pelajaran di kelas (dalam konteks pendidikan), memfasilitasi pembicaraan mengenai kesadaran akan pelecehan seksual, dan membuka ruang diskusi dengan orang tua terkait pelecehan seksual (secara khusus apabila yang rentan adalah mereka yang disebut sebagai anak).
Kesadaran Baru Pelecehan Seksual
Pada 2006, berbagai macam kasus penyerangan dan pelecehan seksual, yang secara khusus dialami perempuan kulit berwarna dan dalam kelas bawah, mendorong Tarana Burke untuk menginisiasi gerakan yang kini dikenal dengan nama #MeToo (Murphy, 2019). Pada mulanya, Burke mengikuti sebuah youth-camp dan mendengar berbagai cerita dari para orang muda yang penuh dengan kegembiraan, kecemasan, sekaligus luka. Dalam kisahnya, Burke menceritakan bahwa seorang anak yang ia sebut Heaven mendatangi dirinya dan bercerita secara privat mengenai berbagai hal mengerikan yang dilakukan ayah tirinya. Bermula dari kisah tersebut, #MeToo membuka kanal yang berisi kampanye dan ruang untuk mendorong perempuan menyuarakan pengalamannya dilecehkan, menuntut para pelaku, dan komunitas saling-dukung. Gerakan ini kemudian membesarkan hati para penyintas kekerasan seksual menyuarakan dirinya, menemukan solidaritas, dan memungkinkan para penyintas mengurus tindakan legal untuk menuntut tanggung jawab para pelaku.
Pada 2017, gerakan ini kemudian menjadi fenomena media. Para selebritas Hollywood turut serta mempopulerkan gerakan #MeToo. Gerakan yang tadinya berada di akar rumput ini kemudian menjadi gerakan global. Pada 16 Oktober 2017, Alyssa Milano, seorang selebritas, mengajak para perempuan untuk mem-viral-kan tagar #MeToo. Menjelang berakhirnya hari, lebih dari 200.000 perempuan menggunakan tagar tersebut dengan penyebutan sebanyak 500.000 kali. Bahkan, sebanyak 4,5 juta pengguna Facebook menggunakan 12 juta unggahan bertagar #MeToo dalam 24 jam. Hanya dalam waktu 6 bulan, ada sebanyak 3 juta orang yang setidaknya menyuarakan pengalaman sebagai penyintas kekerasan seksual. Tidak hanya perempuan, spektrum penyintas dalam #MeToo juga para queer, trans, difabel, orang kulit hitam dan anak perempuan, dan komunitas kulit berwarna (metoo, t.t.). Peristiwa viralnya #MeToo ini kemudian membuka diskursus baru dalam berbagai ruang kekerasan seksual; institusi pendidikan dan keagamaan. Sekalipun sebelumnya isu-isu mengenai kekrasan seksual sudah menjadi perhatian kalangan tertentu, tetapi Hollywood-isasi #MeToo kemudian menjadikan pelecehan seksual sebagai bahasa populer yang digunakan publik tiap harinya.
Dalam terminologi ilmu sosial, komunitas sebagaimana terbentuk dalam #MeToo ini dikenal dengan sebutan consciousness-raising (penyadaran). Pilcher dan Whelehan (2004) menyebutkan bahwa penyadaran merupakan istilah yang populer semenjak feminisme gelombang kedua sekitar 1960an. Ide awal dari penyadaran ini adalah “membicarakan luka untuk mengingat luka”. Lewat membentuk kelompok atau komunitas penyadaran, para perempuan berbagi pengalaman bagaimana rasanya menjadi perempuan. Menurut komunitas-komunitas penyadaran ini, persoalan yang dialami para perempuan sering kali tidak unik-unik amat dan tidak bisa dikatakan individual, melainkan pengalaman yang umum terjadi serta diproduksi dalam relasi dan institusi sosial. Komunitas penyadaran ini terjadi secara organik dan memanfaatkan novel-novel sebagai sarana untuk membuka ruang kesadaran mengenai ketertindasan perempuan dalam ruang sosial.
Dalam konteks Indonesia, persoalan pelecehan seksual menjadi momen media ketika pada tahun 2018 pembahasan soal pelecehan (perkosaan) seksual dialami oleh seorang mahasiswa UGM bernama Agni saat ia tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Perkosaan yang juga dilakukan oleh teman KKN Agni membuka tabir baru mengenai suramnya praktik pendidikan di Indonesia. Apabila ditelusuri, pada 2013, Sitok Srengenge, seorang sastrawan Indonesia, juga dilaporkan terkait tindak pelecehan seksual yang ia lakukan terhadap mahasiswa. Kemudian, pada 2015, seorang dosen UGM, Eric Hiariej, juga diduga kuat melakukan pelecehan terhadap mahasiswa. Namun, kedua kasus tersebut belum menciptakan momen atau perubahan wacana terkait pelecehan seksual sebagaimana dalam kasus Agni. Kasus Agni ini kemudian diangkat oleh media-media besar seperti Tirto.id, VICE, dan The Jakarta Post dengan tagar #namabaikkampus. Liputan media-media tersebut kemudian juga merambah tak hanya dalam kasus Agni. Setelah Agni, mulai bermunculan kasus-kasus lain yang terhimpun dari sejumlah laporan penyintas kekerasan seksual dalam institusi pendidikan. Pada 2019, persoalan pelecehan seksual ini kemudian juga menyasar dalam institusi keagamaan. Singkat kata, pelecehan seksual menjadi bahasa baru dalam masyarakat Indonesia.
Apa yang perlu dilakukan institusi-institusi seperti kampus, agama, atau perkantoran — selain membuat prevensi — adalah perlu pula digagas mengenai mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas. Mekanisme ini pada akhirnya akan mendorong pembentukan tim pencari fakta dan pendampingan untuk para penyintas. Tim tersebut bisa beranggotakan karyawan yang terdaftar dalam institusi maupun pengguna jasa institusi (misalnya mahasiswa). Dalam level mahasiswa, pembentukan dan pelatihan untuk pendamping para korban bisa dilakukan. Intinya, tim ini berisikan anggota-anggota yang layak dipercaya. Namun, kondisi pembentukan ekosistem yang aman dari kekerasan seksual ini terhambat dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Secara khusus fraksi dari Partai Keadilan Sosial (PKS) adalah yang secara tegas menolak RUU PKS sebab dinilai liberal dan permisif. Sebagai contoh, dalam Pasal 12 RUU PKS disebutkan bahwa “Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.” Menurut PKS, pasal-pasal demikian membuka ruang untuk LGBT dan bisa terarah pada kriminalisasi orang-orang yang anti-LGBT dan orang-orang yang mengkritik gaya berpakaian terbuka.
Dalam kasus kekerasan seksual yang (diduga) dilakukan Ibrahim Malik alumni Universitas Islam Indonesia (UII), kasus kekerasan mungkin mencuat dalam publik karena ada seorang penyintas yang berkenan menceritakan pengalamannya. Sekalipun demikian, ditunjukkan bahwa tidak semua penyintas dengan mudah bercerita. Artinya, testimoni para penyintas yang telah kita dengar hari ini barulah sejumlah kecil dari mereka yang mau membicarakannya. Survei yang diadakan Sintas Indonesia, Magdalene.co, serta difasilitasi Change.org pada 2016 menunjukkan bahwa hanya 1 persen penyintas yang memilih jalur hukum mendapat jalan keluar dari kasusnya (Asmarani, 2016). Bahkan, 93 persen kasus tidak di/terlaporkan. Alasan tidak melaporkan ini amat beragam, tetapi sebesar 63 persen menyebutkan “malu” sebagai alasan. Alasan lainnya adalah: takut disalahkan, tidak memiliki cukup bukti, tiadanya dukungan, intimidasi pelaku, ketakutan membayar proses hukum, ketakutan diminta menikahi pelaku, usia masih sangat muda, takut kehilangan pekerjaan, tidak menyadari bahwa apa yang terjadi padanya adalah kekerasan, pelaku adalah pasangan sendiri, pelaku adalah guru atau dosennya sendiri, menghindari keributan, melindungi keluarga dari rasa malu, ingin melupakan kejadian, merasa bahwa kejadian tersebut akibat keteledorannya sendiri, kasus diselesaikan secara kekluargaan, merasa malu karena diperkosa oleh sesama jenis, dan takut dituduh memfitnah pelaku. Dari berbagai macam alasan tersebut, penekanannya adalah, dengan upaya memulai bercerita (biografi keluhan), hal tersebut akan mendorong orang lain yang menjadi korban untuk turut serta bercerita. Inilah pentingnya membangung komunitas penyadaran (consciousness-raising group).
Ada perubahan tren perdebatan dari yang tadinya dilakukan oleh pegawai kampus menjadi hubungan antar-mahasiswa atau juga dalam dating relationship (dating violence). Hal tersebut amat tergantung dari kasus apa yang tengah mencuat, siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban. Namun, perubahan tren perdebatan ini menunjukkan bahwa dalam suatu hubungan yang disertai intimitas juga mungkin terjadi kekerasan seksual, artinya perdebatan mengenai kekerasan seksual juga mesti beranjak pada persoalan kesepakatan seksual — sebagaimana disebut bahwa salah satu aspek dari kekerasan seksual adalah absennya kesepakatan.
Lalu, bagaimana suatu kekerasan dan pelecehan seksual bisa disebut sebagai kekerasan atau pelecehan? Apa batasannya? Mengapa sering kali kita dengar bahwa suatu kejadian dianggap bukan pelecehan seksual karena didasarkan pada “mau sama mau, suka sama suka” sementara kemudian oleh si korban dianggap sebagai pelecehan seksual? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita akan mendiskusikan mengenai sexual consent atau kesepakatan seksual.
Kompleksitas Kesepakatan Seksual
Dalam perdebatan terkait kekerasan seksual, kesepakatan seksual memegang peranan penting dalam diskusi dan perdebatan. Absennya kesepakatan seksual sering kali mendefinisikan apakah hubungan seksual termasuk kekerasan atau tidak. Hubungan seksual dikatakan sebagai kekerasan seksual ketika berlangsung tanpa kesepakatan. Namun, konsep “kesepakatan” ini masih diperdebatkan, “kesepakatan” yang macam apa?
Beres (2007) mencatat bahwa ada empat macam kesepakatan yang selama ini dibicarakan. Pertama adalah kesepakatan spontan (spontaneous consent). Dalam sebagian besar literatur kekerasan seksual yang membahas kesepakatan, kegagalan terjadi pada proses pendefinisian “kesepakatan”, mendefinisikannya secara eksplisit, dan menggambarkan bagaimana diskursus sosial tertentu tersebar untuk memproduksi pemahaman dominan soal “kesepakatan”. Sebagai contoh, ada pendefinisian “kesepakatan” yang menunjukkan bahwa seks tanpa kesepakatan tidak menyenangkan. Namun, definisi ini sangat lemah, sebab tidak sedikit pula orang yang berpartisipasi dalam seks dan merasa bahwa hubungan seksual yang ia lakukan tidak menyenangkan. Atau dalam kategori moral, seks dengan kesepakatan (consensual sex) ditampilkan sebagai seks yang baik (good sex) dan yang tanpa kesepakatan dianggap buruk (bad sex). Namun, sekali lagi, apa arti “baik” dan “buruk” dalam konteks ini tidak bisa terjelaskan.
Di sisi lain, kita juga menemukan bahwa sering kali muncul pertanyaan dalam kasus perkosaan atau pelecehan seksual: “Lha tahu digituin kok diem aja? Kok malah ndak melawan?” Logika pertanyaan tersebut menegaskan pandangan bahwa ketika korban tidak bersepakat atas perlakuan keji terhadap dirinya, maka korban dibayangkan bersetuju atas perlakuan tersebut. Atau misalnya muncul gagasan bahwa “laki-laki memiliki nasfu seksual yang tidak terkendali, maka adalah sia-sia untuk coba menghentikannya” (wacana dorongan seksual laki-laki). Kecenderungan untuk melihat versi hubungan yang koersif, entah langsung atau tidak langsung, direduksi ke dalam sekadar “melakukan hubungan seksual atau tidak”.
Masalah selanjutnya, istilah “kesepakatan” sering kali bias gender. Bias gender ini terjadi dalam logika “perempuan bersepakat dengan laki-laki.” Penelitian mengenai “laki-laki yang memberi kesepakatan kapada perempuan”, “perempuan memberi kesepakatan kepada perempuan”, atau “laki-laki memberti kesepakatan kepada laki-laki” sering kali luput dibahas dalam perdebatan terkait kesepakatan. Bias gender ini berasal dari data-data yang menunjukkan bahwa perempuan sering kali lebih rentan dalam mengalami kekerasan seksual. Dengan demikian, logika heteroseksual mendominasi penelitian mengenai kesepakatan seksual dan relasi kuasa dalam gender.
Kedua, Beres (2007) mengatakan bahwa consent berarti persetujuan (agreement) atau consent sering kali merujuk pada bentuk persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Namun, tidak sedikit peneliti yang menunjukkan bahwa kesepakatan adalah segala bentuk ucapan “ya” yang dianggap sebagai lampu hijau untuk melakukan aktivitas seksual. Bayangkan situasi ini: Ada seorang mahasiswa yang tengah mengambil skripsi dan dikejar waktu untuk segera lulus. Kemudian, dosen pembimbing memintanya untuk memperbanyak intensitas bimbingan. Bimbingan bisa dilakukan di mana saja, tidak hanya di kampus. Dosen kemudian meminta si mahasiswa untuk datang ke rumahnya — yang notabene ditinggali dosen sendiri. Mahasiswa tersebut datang sendiri dan berhadapan langsung dengan otoritas, yakni si dosen, yang menentukan masa depannya. Tipikal kisah demikian sering kali mewarnai persoalan pelecehan seksual yang terjadi dalam ranah pendidikan. Singkat kata, terjadi pelecehan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa. Kasus kemudian diusut. Si mahasiswa dianggap bersepakat karena ia diam saja saat dicium atau di-grepe-grepe oleh si dosen. Kisah tersebut menunjukkan bahwa “tak masalah koersi yang terjadi seperti apa, toh ada kesepakatan terjadi”. Atau, logika “toh dia mau” mewarnai kasus tersebut.
Meskipun demikian, tipikal kesepakatan yang asal mengatakan “ya” dianggap sebagai sebuah kesepakatan yang melupakan aspek kerelaan. Oleh karena itu, muncul pula gagasan bahwa yang dinamakan kesepakatan mensyaratkan aspek kesukarelaan (voluntary). Artinya, kesepakatan berarti komunikasi verbal maupun non-verbal yang didasari oleh kehendak bebas untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Lantas, kesepakatan berarti memprasyaratkan bebas dari koersi atau tekanan dari pasangan seksual. Pertanyaannya, kondisi macam apa yang dikatakan bebas dari tekanan? Menanggapi pertanyaan tersebut, para peneliti kemudian membuat analisis terhadap situasi spesifik terhadap suatu kekuasaan yang membentuk dan memengaruhi cara pembuatan kesepakatan. Misalnya, sistem patriarki menghalangi akses kebebasan dan hak perempuan, oleh karena itu perempuan tidak secara penuh bebas untuk menentukan dirinya. Namun, bentuk-bentuk koersi ini bisa sosial ataupun interpersonal. Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana batasan suatu koersi disebut sosial atau interpersonal?
Ketiga, muncul kecenderungan untuk berfokus pada apakah pengalaman kesepakatan seksual ini bersifat psikologi atau fisik (Beres, 2007). Apabila bersifat fisik atau keperilakuan, maka dibutuhkan indikator-indikator mengenai bentuk perilaku macam apa yang dikatakan sebagai kesepakatan. Namun, ada kasus khusus di mana indikator perilaku ini gagal untuk memahami kesepakatan terjadi, misalnya yang dikisahkan McGregor (1996) bahwa ada seroang perempuan yang disatroni rumahnya oleh seornag laki-laki yang mengacungkan pisau ke arah si perempuan. Si perempuan diancam akan dibunuh apabila menolak ajakan berhubungan seksual oleh si pengancam. Si perempuan kemudian meminta si pengancam untuk mengenakan kondom sebelum penetrasi terjadi. Apakah kasus tersebut kemudian menunjukkan bahwa si perempuan bersepakatan terhadap aktivitas seksual tersebut? Keterbatasan penentuan kesepakatan seksual dengan indikator perilaku juga dapat kita amati dalam kasus sadomasokisme. Salah satu orang yang terlibat dalam aktivitas seksual sadomasokis, sering kali meneriakkan ungkapan verbal “no” atau “tidak” yang tidak secara mudah diinterprestasi sebagai “tidak sepakat”. Dalam hubungan sadomasokis, ungkapan tersebut justru dibaca sebagai bentuk “kesepakatan” dalam aktivitas seksual — dan tentu tidak lazim terjadi dalam kebanyakan tipe aktivitas seksual.
Karena banyaknya keterbatasan dalam pembuatan indikator perilaku, kesepakatan seksual kemudian dipahami dalam ranah psikologis, mental, atau sikap. Fokus diarahkan pada intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu aktivitas seksual dengan orang lain yang mengajaknya dalam suatu kondisi spesifik. Dalam pengusutan hukum kekerasan seksual, si pelaku biasanya dijadikan sebagai sumber informasi. Ketika kesepakatan seksual mengandaikan kesadaran si korban, maka korban didatangkan dan menjadi sumber informasi kasus. Persoalannya, tidak semua korban siap untuk ditelisik lebih jauh mengenai intensinya tersebut. Artinya dibutuhkan keberanian, kemampuan mengelola diri, atau resiliensi sebelum si korban bisa bercerita.
Keempat, yang penting bukanlah mendefinisikan kesepakatan seksual itu apa, tetapi dalam kondisi macam apa kesepakatan seksual ini bersifat transformatif secara moral (Beres, 2007). Bayangkan begini, ada pasangan seksual yang tengah melakukan hubungan seksual. Di tengah melakukan aktivitas seksualnya, seorang pasangan mengeluh bahwa pasangan lainnya terlalu kasar. Si pasangan yang mengeluh kemudian mengatakan bahwa “sudah, cukup.” Lantas, si pasangan lain mesti menghentikan diri dari aktivitas seksual karena ada kewajiban moral. Dalam hal ini, semua aktivitas seksual dilihat sebagai sesuatu yang secara moral berpotensi problematik.
Dari keempat permasalahan kesepakatan di atas, muncul alternatif dalam memahami kesepakatan seksual, yakni seksualitas komunikatif (communicative sexuality). Seksualitas komunikatif mengasumsikan bahwa seseorang mengkomunikasikan kehendaknya untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas seksual. Karena ada komunikasi, pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual mesti saling membuat kesepakatan. Namun, muncul pula gagasan bahwa dengan melihat seks lewat prisma relasi kuasa dan segala sesuatu yang perlu dikomunikasikan, justru mengurangi romantisme dan spontanitas. Oleh karena itu, untuk membangun model seksualitas komunikatif membutuhkan waktu yang panjang. Dalam waktu yang panjang ini, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran kesepakatan seksual.
Berbagai problem dan perdebatan terkait kesepakatan seksual menunjukkan bahwa penelitian mengenai pemahaman kesepakatan tersebut perlu untuk dikontekstualisasikan dalam lingkungan tertentu (Beres, 2007). Penelitian-penelitian berbasis survei menunjukkan bahwa data pelecehan akibat absennya kesepakatan terus berlangsung. Oleh karena itu, kisah-kisah anekdotal — dengan demikian secara kualitatif — dibutuhkan untuk memahami bagaimana aktivitas seksual dan kesepakatan berlangsung. Dengan melihat kasus ini secara spesifik dalam suatu konteks, diharapkan kompleksitas dalam kesepakatan seksual ini bisa tergambarkan.
Penelitian yang melakukan kajian dalam kisah-kisah anekdotal tersebut bisa disertai dengan membangun kelompok penyadaran. Dalam protes atau keluhan yang dilayangkan para korban pelecehan melalui lembaga hukum atau institusi di mana pelecehan seksual terjadi, beban moral atas kondisi korban justru makin berat. Pembentukan kelompok penyadaran ini merupakan cara mengeluh dan protes yang sering kali saat dilakukan sendiri justru akan menghancurkan reputasi, hubungan, prospek karir, dan kehidupan (Ahmed, 2018). Artinya, keluhan justru dilihat sebagai sumber kerusakan, secara individual maupun organisasional. Melihat kondisi tersebut, Ahmed (2018) mengusulkan metode mengeluh yang disebut complaint biography (biografi keluhan). Alih-alih sekadar mengisi sebuah formulir, biografi keluhan berisi bagaimana keluhan bisa muncul, arahnya seperti apa, apa saja yang terjadi, dan bagaimana akhirnya. Gagasan biografi keluhan menjadi bentuk pengakuan bagaimana sebuah keluhan disimpan dalam suatu tempat, dimulai dari tempat lainnya, oleh seseorang yang datang dari suatu tempat dan sedang berkompromi dengan tempatnya tersebut.
Meskipun demikian, untuk memulai keluhan bukanlah hal yang mudah. Melakukan komplain, berarti melakukan sesuatu yang melawan norma dan kebudayaan dalam suatu institusi. Oleh karena itu, keluhan sering kali ditempatkan oleh institusi dalam kerangka penyerangan seseorang atau kelompok terhadap institusi tersebut. Apa kita harus kecewa?
Daftar Acuan
Ahmed, S. (2018). Complaint as feminist pedagogy. Annual Review of Critical Psychology, Vol. 15, hlm. 15-26.
Asmarani, D. (2016, 22 Juli). 93 persen penyintas tak laporkan pemerkosaan yang dialami: Survei. Magdalene.co. Diunduh pada 5 Desember 2020 dari https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei
Beres, M.A. (2007). ‘Spontaneous’ sexual consent: An analysis of sexual consent literature. Feminism & Psychology, 17(1): 93-108.
Akazama, J. & Aono, A. (2018). Harassments and dating violence among university students in Japan. Annual Review of Critical Psychology, Vol. 15, hlm. 50-65.
Chandrashekar, K., Lacroix, K. & Siddiqui, S. (2018). Sex and power in the university. Annual Review of Critical Psychology, Vol. 15, hlm. 3-14.
Fitzgerald, L. F., Shullman, S. L., Bailey, N., Richards, M., Swecker, J., Gold, Y., Ormerod, A. J., & Weitzman, L. (1988). The dimensions and extent of sexual harassment in higher education and the workplace. Journal of Vocutional Behavior, 32, hlm. 152-175.
Fitzgerald, L. F., Gelfand, M. J., & Drasgow, F. (1995). Measuring Sexual Harassment: Theoretical and Psychometric Advances. Basic and Applied Social Psychology, 17(4), 425–445.doi:10.1207/s15324834basp1704_2
Ki-moon, B. (2008). Prohibition of discrimination, harassment, including sexual harassment, and abuse of authority. Secretary-General’s bulletin. ST/SGB/2008/5
Johnson, P.A., Widnall, S.E., Benya, F.F., National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine; Policy and Global Affairs; Committee on Women in Science, Engineering, and Medicine; Committee on the Impacts of Sexual Harassment in Academia (ed.). (2018). Sexual harassment of women: Climate, culture, and consequences in academic sciences, engineering, and medicine. Sexual Harassment Research, 2. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519455/
Levy, A., & Paludi, M.(2002). Workplace sexual harassment. Prentice Hall.
McGregor, J. (1996). Why when she says no she doesn’t mean maybe and doesn’t mean yes: A critical reconstruction of consent, sex, and the law. Legal Theory 2: 175–208.
Murphy, M. (2019). Introduction to “#MeToo Movement”. Journal of Feminist Family Therapy, 31:2-3, 63-65, DOI: 10.1080/08952833.2019.1637088
Paludi, M. A. (2014). Sexual harassment: Law, incidence, and organizational responses. Dalam T. Teo (ed.), Encyclopedia of critical psychology (hlm. 1735-1737). Springer-Verlag.
SAFEnet. (2019). Memahami dan menyikapi kekerasan berbasis gender online: Sebuah panduan. SAFEnet.
USEEOC. Facts About Sexual Harassment. n.d.a. https://www.eeoc.gov/eeoc/publications/fs-sex.cfm.
Pilcher, J. & Whelehan, I. (2004). Fifty key concepts in gender studies. SAGE Publications Ltd.
Woods, K., & Buchanan, N. (2008). Sexual harassment in the workplace. Dalam M. Paludi (Ed.), The psychology of women at work (Career liberation, history and the new millennium, Vol. 1, pp. 119–132). Praeger.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.