Rerasan

Kekuasaan dan Normalisasi Keabaian

Masih segar di ingatan bagaimana di akhir 2023 tiap tongkrongan yang saya jajaki pembahasannya sudah seperti ingin menentukan arah dunia – politik terus! Tapi ya, seru juga. Banyak pandangan yang hadir, mulai dari yang komprehensif, sampai dengan pandangan sederhana, atau bahkan pandangan yang tidak ada isinya.

Waktu itu, kita sibuk membahas siapa yang lebih baik, Anis, Ganjar, atau Prabowo. Ada kawan yang mengukur kinerjanya, ada pula kawan yang mengukur keimutannya. Beragam sekali.  Beberapa opini membuat geram, tapi itulah demokrasi, siapapun berhak bicara.  Pada saat itu, semua topik politik masih seperti lawakan yang menuai tawa, sampai pada akhirnya semua makin menjadi ketika pemilihan Wakil Presiden.

Melihat opsi yang ditawarkan, ada yang tertawa, ada pula yang kagum. Tapi, kebanyakan tertawa. Tak perlu dijelaskan apa alasannya, cluenya Fufu Fafa.  Seorang legenda hidup yang gagah berani – berani melawan arus! Memang keren beliau.

Sampai akhirnya, agenda lima tahunan itu semakin dekat dan terasa nyata. Diskusi yang dulu penuh gelak tawa perlahan berubah menjadi kekhawatiran. Ingatan tentang sejarah kelam pun kembali menghantui. Sebenarnya, dari awal kita sudah khawatir sih… tapi ya, sebagai orang psikologi, kita jago menyamarkan kecemasan dengan komedi. (Ceritanya ini suara hati).

Perhelatan itu mengantarkan saya pada ingatan mengenai bagaimana kemanusiaan disingkirkan. Seorang yang selama ini didaku sebagai penjahat kemanusiaan muncul sebagai salah satu kandidat calon presiden. Rasanya, seperti tirani dalam wajah baru – wajah yang berhasil menipu banyak orang. Bagaimana moralitas dilanggar dan rakyat seperti dikelabui. Hal itulah yang membuat ingatan-ingatan tentang tulisan Machiavelli muncul lagi.

Dalam Il Principe (1532/2019), Niccolò Machiavelli menjelaskan jika politik dan moralitas adalah dua hal terpisah. Dalam berbagai kasus, politik nir moralitas adalah suatu keniscayaan. Seorang penguasa tidak harus selalu jujur, bahkan sah untuk menipu atau bertindak kejam, jika itu bertujuan mempertahankan stabilitas negara.

Machiavelli dengan jeli menujukkan bagaimana penguasa mempertahankan kekuasaannya. Ia tidak berbicara hal-hal ideal seperti bagaimana politik bisa menjadi jalan dalam menyejahterakan rakyat. Setidaknya jika Anda calon politikus, Anda diberikan tutorial yang memadai oleh Machiavelli. Apabila Anda seorang yang anti-rezim, dari buku ini Anda bisa memahami bagaimana politik beroperasi.

Nahasnya, yang mungkin kabar baik bagi Machiavelli, tidak sedikit di antara politikus yang mengikuti tutorialnya. Dewasa ini, kita bisa melihat di berbagai belahan dunia mengenai bagaimana para penguasa meludahi etika dan bagaimana manusia bisa dibeli untuk menyusun algoritma media dalam rangka penggiringan opini. Yes, segala cara dilakukan, mereka bertingkah bak rubah. Tidak salah lagi, bukan untuk negara dan rakyat, tapi untuk diri mereka sendiri.

Moralitas adalah pemberi batas dari semua tindakan. Dibalik kekuasaan, manusia tak berdaya. Tak banyak yang bisa bertahan dengan visi dan semua nilai kemanusiaannya. Semuanya hilang direnggut materi dan superioritas. Di bagian inilah seorang penguasa akan menghalalkan segala cara, bukan untuk mempertahankan stabilitas negara, tapi untuk mempertahankan stabilitas pribadinya, kroninya, atau mungkin keluarganya.

Pembodohan Sistematis

Kekuasaan yang tiada batas, menyebabkan segala hal mungkin untuk dilakukan oleh penguasa, salah satunya adalah membodohi masyarakatnya sendiri. Masyarakat dibuat bodoh dengan mudah lupa. Orang Indonesia bisa ingat mengenai Tragedi 1965, yang mana terjadi pembantaian terhadap ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia. Sebagai orang Bali, saya kadang bertanya-tanya, jangan-jangan cottage atau bungalow yang saya lihat berdiri di atas tulang-belulang rakyat Indonesia. Kemudian, kita bisa pula ingat soal Pembantaian Kraras di Timor Timur pada 1980an yang menyebabkan satu kampung menjadi janda karena para laki-lakinya dibantai. Kekejian yang terus berulang tersebut nyatanya mudah dilupakan sehingga isu kemanusiaan yang berdarah-darah tidak lagi menarik perhatian publik. Lupa sekarang, kebodohan pun datang.

Mengapa sebuah negara membodohi rakyatnya? Bukankah rakyat yang pintar justru berdampak positif terhadap rakyatnya? Jawabannya tidak. Tan Malaka (2022) pernah menjelaskan jika pemerintah yang mencerdaskan rakyatnya justru menciptakan musuhnya sendiri, karena pendidikan akan menciptakan manusia-manusia terpelajar dan sulit untuk dibodohi.

Membodohi rakyat sangatlah menguntungkan. Menguntungkan bagi mereka para penguasa yang tak jarang adalah pula pengusaha. Ketika penguasa dan pengusaha menjadi satu subjek yang tidak terpisah, maka sumber daya – entah politik, sosial, maupun ekonomi – akan mereka kuasai. Mereka berpotensi menjadi pencuri di siang bolong. Yang bisa kita lakukan adalah: bangun dan melihatnya jeli-jeli!

Namun, pada titik mana masyarakat dapat dikatakan bodoh secara sistematis? Ketika mereka menjadi pendukung buta, mereka abai soal gagasan, mereka tidak peduli tentang manajemen risiko dari kondisi sebuah negara. Yang ada di kepala hanya gimmick dan program-program yang “menguntungkan” secara cepat. Kemudian, bagaimana cara pemerintah menciptakan dan melanggengkan situasi ini?

Propaganda yang menciptakan lupa. Pemerintah memiliki kuasa, baik untuk menjadi ideal maupun manipulatif (Machiavelli, 2019), oleh karena itu, tidaklah sulit untuk mengatur semuanya. Apa yang diatur? Berangus media independen, berkooperasi dengan para elit dan influencer oportunis, dan gunakan aparatur negara yang represif (Guriev & Treisman, 2015). Ingin agar masyarakat lebih bodoh? Atau bahkan kebodohan menjadi sebuah budaya? Jangan bangun sekolah. Pindahkan anggarannya pada rumah-rumah dan barang mewah pejabat. Tutup perpustakaan lebih cepat. Hilangkan akses terhadap buku dengan pajak yang tidak rasional. Biarkan logika mistik memenuhi kepala warga masyarakat. Sampai pada akhirnya menjadi bodoh akan tampak wajar dan rasional. Kebodohan dinormalisasi.

Mungkinkah Menjadi Bodoh dan Antipendidikan Bisa Menjadi Wajar?

Tentu saja bisa. Hal demikian lazim terjadi dalam beberapa masyarakat dan ini bisa kita pahami sebagai kekerasan struktural yang berpotensi menjadi cultural violence. Galtung (1990) mendefinisikan cultural violence sebagai penggunaan budaya, agama, atau ideologi sebagai bahan legitimasi atau pembenaran terhadap kekerasan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Awalnya karena kekerasan yang sudah sangat mengakar sampai menjadi sebuah pembiasaan. Kaum perempuan yang ditindas, dihalangi pendidikannya, kemudian dibiarkan begitu saja, lambat laun di daerah tersebut akan menjadi normal jika perempuan memang seharusnya tidak berpendidikan. Ketika perempuan menagih pendidikannya, maka akan disampaikan jika “Kodrat perempuan adalah mengurus rumah, bukan belajar”. Itulah yang dijelaskan sebagai cultural violence.

Masalahnya, saat ini pembodohan sistematis semakin meluas. Rakyat memang didesain bodoh dengan biaya kuliah yang tinggi. Beasiswa semakin langka. Fasilitas operasional pendidikan dipotong. Lewat kurikulum, alih-alih menjadi subjek akademik, minat para peserta didik disetir menjadi subjek kerja. Tidak sedikit mahasiswa yang secara prematur memutuskan untuk memprioritaskan bekerja daripada belajar. Tidak mengherankan, jika suatu saat berkuliah akan menjadi aneh, membaca buku akan tampak haram, mempertanyakan adalah anomali, dan kedangkalan menjadi kewajaran.

Bangsa yang Pelupa dan Pemaaf

Sayangnya, kita harus tetap berpendidikan. Berpendidikan tidak selalu berarti gelar, tapi bagaimana kita tidak berhenti untuk melatih rasio yang kita miliki – sembari tetap memegang moralitas sebagai manusia. Tujuannya, agar kita tidak menjadi bangsa yang pelupa dan pemaaf. Saat ini, kita dibuat gila dengan segala aturan yang ada, tetapi mungkin ketika pemilihan Presiden nanti, kita semua sudah lupa dengan hal biadab yang pernah terjadi, hanya karena bansos dan navigasi opini dari para pendengung.

Masyarakat yang kritis dan memiliki kesadaran tidak akan bisa dibodohi dengan hal-hal receh seperti itu. Saya juga yakin, negara yang membodohi rakyatnya, pasti akan bubar.  Prabowo Subianto dalam pidatonya enam tahun lalu yang meyakinkan saya akan hal tersebut. Oleh karena itu, terima kasih, Pak Prabowo!

Tentang Penulis

Okta adalah seorang mahasiswa S2 Psikologi UGM asal Bali. Ia berminat pada perubahan konstruksi "ke-Bali-an" dari masa kolonial hingga masa kontemporer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *