Rerasan

Penyalin Cahaya, Kekerasan Seksual, dan Saya

Kasus Kekerasan Seksual (KS) sedang meneror kehidupan sehari-hari saya. Entah di media massa, media sosial, kantor, keluarga, sampai tongkrongan selalu saja terselip pembicaraan tentang KS. Di sirkel saya, respon atas kasus ini beragam. Tak jarang kami beradu sungut atau puasa ngobrol berhari-hari. Saya kuatir jika ini berlarut-larut, karena sungut kami sama keras, tak ada lagi pertemanan dan tak ada lagi obrolan.

Lewat tulisan ini, saya mencoba mencari posisi, sikap, serta argumentasi — paling tidak untuk saya sendiri — ketika menghadapi kasus serupa. Film Penyalin Cahaya (PC) karya Wregas Bhanuteja akan saya jadikan pintu masuk sekaligus pintu keluar untuk mengurai kerumitan film kasus KS.

Mengapa film PC dan bukan yang lain?

Sederhana. Film ini merepresentasikan silang sengkarut isu KS di luar bahwa ia kemudian diganjar 12 penghargaan Piala Citra. Selanjutnya, di balik penantian banyak penonton film dan sinefil, film ini justru dihujat habis publik. Seperti kita ketahui kemudian, salah satu penulis skenario menjadi pelaku KS.

Sebelum melangkah lebih jauh, mula-mula harus saya utarakan bahwa saya adalah seorang laki-laki yang dibesarkan dalam konstruksi masyarakat patriarki kelas menengah. Konstruksi itu telah menyejarah dan menubuh: menjadi ideologi, memberiku privilese dan menempatkanku dalam relasi kuasa dominan. Besar kemungkinan, sadar atau tidak, pembacaan ini berpotensi bias dalam memandang kasus KS. Saya rasa penting mengutarakan kenyataan ini lebih dulu.

Saya dan Penyalin Cahaya

Boleh dibilang, saya adalah salah satu orang yang cukup menunggu-nunggu rilisan PC. Sebelumnya saya cukup dibuat terkejut menonton film pendek berjudul Prenjak (2016) karya sutradara yang sama. Lantaran film itu membidik sejarah praktik prostitusi kehidupan masyarakat kelas bawah (besar kemungkinan berlatar di Yogyakarta) dengan cukup berbeda: mengintip (voyeurisme) adalah kenikmatan seksual. Meski tatapan orientalis (orientalis gaze) tidak terelakkan dalam Prenjak. Ia mengandung self-orientalism, yang kadang dipakai sebagai strategi ‘pengakuan’ film negara dunia ketiga di mata Eropa.

Dalam produksi film panjang perdananya ini, Wregas juga mengangkat isu seksualitas, dan secara spesifik membidik isu KS dengan lebih kompleks. Film ini menyingkap borok lebih besar, bahwa KS tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga laki-laki.

Saya cukup menikmati plot cerita PC: ketat. Saking ketatnya penonton seakan tidak dibiarkan tersesat dalam alur cerita kecil lainnya. Secara perlahan plot film membingkai dan meruncing pada persoalan KS. Kendati terdapat cerita tak kalah seru dipelototin: sistem akuntabilitas perguruan tinggi, privasi data, atau kerja seni dan seksualitas dsb. Plot film ini perlu diapresiasi lebih, baik sebagai genre dan bidikan isu serupa dalam kurun lima atau sepuluh tahun di jagad perfilman di Indonesia.

Dicermati lebih lanjut, saya merasa keketatan plot PC menyerupai boneka berlapis khas Rusia, yakni boneka matryoshka. Ceritanya berlapis-lapis. Dibuka satu dapat satu, diambil lagi dapat satu lagi. Secara sederhana demikian:

  • Boneka pertama: Suryani, pemeran utama, mencari tahu dalang pengunggah foto-foto party di media sosial yang membuat dirinya tak mendapat beasiswa. Kemudian bagian ini diakhiri dengan tuduhan keliru karena dialah sendiri si pengunggah foto itu.
  • Boneka kedua: Suryani dengan dibantu Amin melacak kembali dalang penaruh obat-obatan di minuman kerasnya dengan cara membajak (hacking) data pribadi mahasiswa lain di rental fotocopy. Dan untuk kedua kalinya Sur membuat tuduhan keliru karena Tariq sesungguhnya juga korban KS.
  • Boneka ketiga: Suryani menggalang massa (Tariq, Farah, Anggun dan mahasiswa lainnya di kampus) menuntut perlakuan manipulatif Rama (simbol pelaku KS) dan bersuara menentang KS di lingkungan perguruan tinggi.

Ketiga lapis plot ini berbeda dengan cerita berbingkai: terdapat anak cerita dan ibu cerita, sebab plot cerita merupakan inti cerita, ibu cerita. Apakah ini eksperimen plot dalam film Indonesia? Bisa jadi. Pengoperasian plot matryoshkanya ini membuat konflik-konflik menjadi lebih kentara. Sesekali menegangkan dan penuh kejutan. Selain itu, tokoh lain secara proporsional lebih hidup. Semula, plot Matryoshka mengingatkan pada plot film detektif — walau untuk dibilang cerita detektif kurang meyakinkan, Sur tidak mumpuni mengemban karakter orang bertalenta tinggi, menguasai teknik penyelidikan, memecahkan teka-teki kasus dengan lebih meyakinkan ala Detective Conan. Kemampuan hacking Sur tidak membuat saya sebagai penonton merasa dibodohi dengan trik-triknya. Ya, masih dapat ditakarlah.

Kesungguhan Wregas memang tidak terletak pada cerita detektif, melainkan berpusat pada pembongkaran jejaring KS di perguruan tinggi, spesifik lagi, lingkungan sehari-hari mahasiswa pegiat seni kampus. Kalau PC disejajarkan dengan film serupa, bingkai KS cukup kontras terasa. Misalnya, Film Demi Nama Baik Kampus (2021) produksi Kemendikbud, alih-alih membongkar KS di perguruan tinggi justru meneguhkan stereotip korban yang terbungkam, terpuruk, dan terepresi. Dalam film itu, korban KS, Shinta, diperlihatkan sedemikian terpuruk, sampai-sampai hendak mengakhiri hidupnya dengan kater setelah mendapat pelecehan seksual oleh Arie, dosen pembimbingnya, ketika bimbingan skripsi. Temanya, Kartini demikianlah pula. Barulah ketika datang dukungan dari Abi (sahabat karibnya) dan tim penanganan KS di perguruan tinggi, Shinta mulai menuntut keadilan dan kehormatannya sebagai perempuan. Tentu dapat dipahami, Shinta berada dalam trauma yang mendalam serta situasi lain yang membuatnya terbungkam.

Nada film kampanye dan sosialisasi terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 21 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi patut diapresiasi. Namun jangan salah, niat baik itu justru melanggengkan stereotip dan citra korban KS: yang selalu diam tak berdaya di bawah struktur kuasa laki-laki (patriarki).

PC adalah film sebagaimana film! Dalam arti, film sebagai medium main-main: sebagai momen katarsis kreator. Sur adalah utopia kreator tentang wajah berdayanya (empowering) korban KS: Sur adalah momen balas dendam kreator kepada kuasa simbolik masyarakat yang bungkam saat KS terjadi di sekitarnya: Sur adalah citra ideal perempuan di tengah narasi penyudutan korban. Selanjutnya apakah utopia Sur sebagai korban bias atau dapat kita terima sepenuhnya dapat diperdebatkan lagi: utopia male gaze. Namun, utopia ini cukup strategis, menawar narasi dominan korban KS.

Sesungguhnya main-main Wregas ini dapat menjelma keliaran lagi. Misalnya dengan menambah boneka keempat atau keenam secara lebih ekstrim; Sur bersama kerumunan massa mengorganisir korban KS mengkritik watak di balik rezim akuntabilitas pendidikan tinggi: Sur membajak seluruh saluran internet di kota itu berisikan konten KS: Sur dan beberapa korban merancang pertunjukan baru sebagai momen katarsisnya lalu membunuh sosok-sosok simbolik patriarki, dan seterusnya. Anda boleh menambahkan daftar ini lebih panjang.

Tapi mengapa Sur bergerak sendiri, dan baru mulai mendekati akhir, banyak pihak bersimpati dan tergerak melawan pelaku KS? Jawabannya tentu variatif. Misalnya, “Begitulah logika dramaturgi non-aristotelian di mana konflik adalah awal cerita baru!”, “Mengungkap kasus KS itu tidak mudah karena terpatrinya ideologi patriarki!”, “Itulah proses perjuangan!” dan sebagainya.

Tapi bagi saya, PC adalah gambar besar penangan KS di sekitar kita, soal keputusan Cancel Culture (CC) sebagai pilihannya.

Sejak kasus mulai mengarah pada perkara KS, kita sama sekali tidak diperlihatkan bagaimana keberadaan dan perilaku hukum formal bekerja menangani kasus. Secara historis keproduksian film memang belum ada alias masih desas desus. Dan bukan berarti ketika hukum formal itu ditegakkan maka segala perkara terselesaikan. Namun, absennya hukum formal inilah yang kemudian diambil alih oleh Sur. Ia mengisi lobang hukum formal dengan hukumnya sendiri (hukum sosial). Sur bergerak berdasarkan kehendak personal, naluri korban menuntut ketidakadilan, menggalang massa, kemudian publik menyepakati, dan itulah hukum sosialnya: memprotes dan memblokir pelaku KS.

Sur adalah simptom penanganan KS di tanah air, yakni CC. Secara umum, CC dimaknai sebagai Canceling is a way to acknowledge that you don’t have to have the power to change structural inequality. Seseorang tidak perlu risau mendapati dirinya tak berdaya (powerless) manakala berhadapan dengan kekuasaan struktural yang mengakar dan tak tersentuh, karena dia dapat memblokir sepenuhnya dari kehidupan yang berkaitan. Sederhananya, blokir semua yang tidak Anda sepakati maka Anda berdaya, sehingga Anda dapat merancang agenda perubahan baru dalam hidup Anda. Dalam konteks tertentu, CC cukup relevan sebagai keputusan politik sehari-hari dan mengambil keputusan harian. Namun, keputusan ini kerap problematis. Kita seringkali mudah memblokir pihak yang berseberangan secara membabi buta.

Hal itu samar-samar tergurat dalam adegan metaforik di akhir film PC, ketika Sur beraliansi dengan Tariq, Farah, Anggun, dan mahasiswa lainnya mem-fotokopi tubuhnya sebagai bentuk pemblokiran terhadap pelaku KS. Tanpa diberikan ‘ruang pengayaan perspektif’, mewadahi sudut pandang korban dan pelaku, plot justru segera mengarahkan pada tindakan pemblokiran. Film-film macam ini mestinya dapat menjadi simulasi atau medium pedagogi bagi penonton untuk dapat menimbang-nimbang, menilai, mengurai, dan memposisikan kerumitan kasusnya KS, bukan untuk ujug-ujug bersepakat melakukan pemblokiran. Karena persoalan KS memang kompleks, sedang terus berkembang, dan memang perlu diarusutamakan. Tapi bukan berarti keputusan CC adalah satu-satunya pilihan untuk mengentaskannya.

Betapapun film PC, kalau tidak boleh disebut kampanye CC, merupakan sebuah ilustrasi bahwa CC adalah solusi dari isu KS. Apakah Wregas adalah seorang pengagum CC?

Saya, Wregas, dan KS

Tidak berlebihan, jika film PC adalah statement Wregas tentang CC atas kasus KS. Keputusan Wregas menghapus Henricus dari kredit film pada tanggal 11 Januari 2020, lima hari sebelum tayang perdana di Netflix adalah simptom cancel culture di Indonesia paling ekstrem.

Pemblokiran nama Henricus bukan hanya pananda putusnya relasi pertemanan, rekan kerja, dan royalti, lebih dari itu adalah perkara pengarang (author). Saya salah satu orang yang menyayangkan dan kecewa dengan keputusan Wregas. Tentu, dapat dibayangkan betapa pelik dan kalut dirinya: jeruk Bali makan jeruk purut! Film KS ditulis oleh pelaku KS. Akan tetapi, andai saya berada dalam posisi itu, keputusan menghapus salah satu tim kerja sudah saya hapus jauh-jauh hari. Alasannya sederhana, sekecil dan seremeh apapun kerja dan ide yang dijerihkan melalui proses bersama adalah sebuah jejak penghargaan — bahwa kita percaya itulah yang substansi dari karya.

Penghapusan tersebut sesungguhnya telah membuat karya dan subjek pengarang tidak terpetakan. Pertama, etika penulisan proses kreatif pengarang (author) merupakan kesepakatan sistem kepengarangan modern. Pengarang memiliki hak untuk dihargai dengan pengarang-pengarang lain dalam kontribusi terhadap masyarakat berupa ide dan temuan-temuan lainnya. Penghapusan nama pengarang ini berimplikasi pada penghapusan sejarah (sejarah milik penguasa!) Bayangkan pula, jika di kemudian hari, kita semua telah tiada, dan karya ini dibicarakan di masyarakat atau diskusi akademis, kemudian diklaim karya ini milik Wregas semata.

Penghapusan ini sangat kekanak-kanakan, egoistik, dan bias (tebang pilih). Inspirasinya tidak jauh-jauh, berkaca dari para pembelajar filsafat, mengiris secara akurat dan menentukan batasan antara pemikiran dan karya. Misalnya begini: Jika Heidegger adalah seorang filsuf masyhur dan pro Nazi mengapa kita tidak memblokir namanya dari draft bacaan kita. Alih-alih memblokir, ia dan karyanya justru menginspirasi dan berefleksi atas sendi-sendi kehidupan para pembacanya — bahkan muncul kajian spesifik bernama Heidegger Studies dari para pengagumnya. Apakah mereka mengabaikan preferensi politik Heidegger yang lebih condong ke kanan? Tidak. Saya rasa, justru karena hal itu ketegangan antara penulis dan karya atau postulat ‘pengarang telah mati’ (bukan pengarang dilenyapkan dari kredit) ia dapat terus dipelajari.

Kembali ke kasus Henricus. Pertanyaannya bukan mana yang lebih berat kejahatan manusia atau kualitasnya — karena keduanya susah diperbandingkan — atau antara pendukung supremasi rasisme dan totalitarianisme atau pelaku kekerasan seksual. Tapi bagaimana sikap kritis menempatkan antara karya dan pengarang. Jawaban singkatnya, keduanya mesti mendapat tempat yang sama sebagai pengarang. Ini jauh dari perkara seberapa mutakhir dan signifikansinya pengarang, melainkan soal etika pengarang, etika sejarah, dan moralitas atau kemanusiaan itu dimuliakan. Bahkan, jika nama Henricus tetap ada di kredit film, bukankah itu justru mengundang kita untuk lebih kritis mengkajinya atau menjadikannya jejak paradoks dalam sejarah seni kita?

Tentu, hal ini berbeda dengan pemblokiran Udji Kayang, penulis dan editor di platform penerbit Anagram atau situs kritik sastra Tengara.id. Diturunkannya tulisan Kayang dari situs bukan berarti menghapus namanya, melainkan keputusan dan komitmen institusi yang bersih dari pelaku KS. Sikap ini cukup masuk akal.

Kedua, KS atau sexual harassment bukanlah sesuatu yang permanen. Perspektif penyematan identitas KS kepada seseorang pelaku kekerasan kerap memperumit persoalan. Pandangan yang menyematkan identitas KS justru membuat banyak orang tergesa menghakiminya. Sehingga kita seakan dengan spontan membenarkan pemblokiran bagi semua pelaku KS dari relasi sosial kita, tanpa perlu tahu bagaimana kronologi, motif tindakan, dan situasi yang melingkupinya. Artinya, kasus KS digerakkan oleh logika identitas. Foto di bawah ini adalah cara kerja pelabelan identitas. Melihat foto tersebut, kita akan mudah mengumpat: “Ya Allah, pantesan!” Tanpa mengetahui dan menyelami persoalan Henricus, emosi kita justru dibangkitkan untuk bodo amat dengan kasusnya. Ditambah kalimat penutup demikian: Itulah biodata Henricus Pria Setiawan penulis skenario film Penyalin Cahaya yang diduga terlibat dalam skandal pelecehan seksual.

Bukankah itu kematian berlapis untuk kita: pertama, bagi pemblokir hanya mengedepankan emosinya tanpa ada itikad belajar dari kasus: kedua, bagi Henricus yang dilabeli identitas pelaku KS akan melekat pada dirinya seumur hidup. Tapi benarkan identitas itu permanen? Dan apakah identitas itu sepenuhnya kata sifat?

Identitas KS adalah kata kerja. Mengikuti konsep identitas, saya pikir kita akan sepakat dengan diktum: identitas adalah sesuatu cair, bergerak, dan selalu dilakukan atau ‘ditampilkan’ (performance/doing). Artinya, identitas bukan sesuatu yang ada (being), melainkan dilakukan (doing), dinamis, dan tidak beku. Dengan demikian, proyek identitas seseorang diandaikan tidak pernah final. Jika dapat disepakati, perspektif ini dapat memberi kelonggaran menilai dan berpikir sehat. Kita dapat melihat detil-detil kasus, dari kronologi, motif tindakan, situasi struktural dan kultural. Maka, identitas pelaku KS tidak final dan permanen. Artinya, identitas KS hanyalah sesuatu yang dilakukan pada kondisi tertentu (tersituasi), yang dalam konteks ini, Henricus adalah pelaku KS. Sebab tidak menutup kemungkinan pelaku KS memperoleh identitas baru.

Ini jauh dari soal saya pro terhadap pelaku kekerasan seksual. Tidak. Sama sekali tidak. Ini adalah cara memilah karya intelektual dan kasus KS. Karena implikasinya cukup mengerikan: akumulasi kerja dan jerih seseorang diabsenkan, dan kita lebih gemar mengumpat pribadinya. Di kasus lain, Sitok Srengenge adalah pelaku KS —tindakannya perlu diadili — namun sebagai sastrawan saya tidak lantas membakar antologi puisinya On Nothing (2005). Bukan alasan ekonomi (untuk membeli buku ini saya nabung), ekologis (buku hutang dari penebangan ribuan pohon), juga bukan karena saya ingin mendekat ke sirkelnya, atau sok-sokan. Sikap ini juga berlaku terhadap kasus Farid Gaban, jurnalis senior dan mantan redaktur Geotimes yang mengabaikan aduan AJI dan LBH, dan berlaku juga untuk kasus Antitank, seorang aktivis seni yang sedang viral, atau siapapun itu, aktivis yang terjerat kasus KS. Tidak semua kerja-kerja mereka selalu dapat diasosiasikan dengan KS.

Hal di atas, bukanlah cara meloloskan para predator seks atau pelaku KS bebas menghirup udara segar sementara korban mengalami trauma mendalam dan mati-matian bertahan hidup. Semua itu semata saya refleksikan sebagai ‘posisi sementara’ — setidaknya saat menulis ini — yakni menghargai kerja kepenulisan, intelektualitas, dan menjaga kesehatan ruang publik kita.

Sikap dan posisi ini barangkali terlampau lugu dan naif. Tapi, begitulah yang saya pelajari dari cara hidup Hannah Arendt kepada Heidegger: kekasih, teman ngobrol, sekaligus musuh dari kemanusiaan itu sendiri. Film PC karya Wregas adalah tontonan yang lebih dari sekadar tontonan karena mungkin akan banyak kritik lagi terhadap film ini. Tapi sikap Wregas adalah bentuk kekhawatiran dan kecemasan seorang sutradara naik daun yang tak mau nama baiknya hancur, mengingat isu KS sedang menjadi perhatian publik luas.

Tentang Penulis

Febrian Adinata Hasibuan adalah seorang peneliti lepas dan manager program Semasa Youth Studies & Forum. Kini ia sedang berfokus pada isu-isu pekerja dan anak muda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *