[Disclaimer: Embrio tulisan ini sudah ada sejak tahun 2023 lalu, tetapi selama dua tahun ini tidak terselesaikan dan tertimbun. Saya teringat pada tulisan yang belum selesai ini ketika KILAT mengumumkan akan Kembali menggelar tur di Asia Tenggara di bulan Mei ini. Oleh karena itu, untuk menyambut mereka Kembali, saya kemudian menggali tulisan sekaligus ingatan saya ketika KILAT berkunjung ke Magelang tahun 2023 lalu. Beginilah catatan saya tentang bagaimana mengalami KILAT kala itu.]
“Kalian ada rencana untuk tur ke sini?” tanya saya pada Karina Utomo dan Rama Parwata.
“Tahun depan kayaknya seru ya tur ke sini dengan KILAT,” Karina menimpali. Rama mengangguk setuju. Anggukannya berlanjut mengikuti irama “Roots Bloody Roots” dari Sepultura yang mengalun kencang lewat sound system mobil. Percakapan itu terjadi di tahun 2022 lalu di tengah perjalanan kami menembus kabut tebal di daerah Ketep menuju lereng Gunung Andong, Magelang untuk menghadiri festival Lima Gunung.
Ingatan akan percakapan itu langsung menyeruak dalam otak ketika KILAT mengumumkan akan mengadakan tur Jawa-Bali di bulan Agustus tahun 2023 lalu. Hati saya bersorak riuh. Yang mereka katakan tahun 2022 lalu, setahun kemudian menjadi nyata. Sepuluh kota mereka singgahi, termasuk ke kota yang paling dekat dengan tempat tinggal saya: Magelang. Berikut ini adalah catatan personal saya tentang KILAT dan pengalaman menyaksikan KILAT.
KILAT BESI HITAM
KILAT BESI HITAM adalah band black metal dari Wurundjeri Country, Australia yang beranggotakan Karina Utomo/KU (vokal), Benjamin Andrews Wayne/BA (Gitar), dan Rama Parwata/RP (Drum). Dalam halaman bandcamp mereka, KILAT menulis bahwa referensi sonik mereka adalah sound dari kugiran black metal mentah yang kemudian mereka eksplorasi dengan pengaruh dari tradisi Nusantara dan Jawa termasuk naskah-naskah kunonya.
Mencermati profil mereka di bandcamp membuka pintu wawasan sekaligus pemikiran baru bagi saya. KILAT menunjukkan cara berbeda dalam menerjemahkan dan mengartikulasi sub genre black metal. Pada umumnya, Black Metal mengangkat lirik yang bertemakan anti-christ, satanisme, dan misantropi (Kahn-Harris, 2007). Tak heran jika subgenre ini menjadi salah satu subgenre yang penuh kontroversi. Namun, band black metal terkadang juga mengangkat mitos-mitos tradisional sesuai konteks budaya mereka. KILAT menjadi salah satu contohnya. Karina, BA, dan Rama mengangkat budaya tradisional Jawa Kuno untuk dimasukkan dalam tataran lirik. Saya rasa, ketertarikan Karina Utomo dengan budaya tradisional Jawa Kuno sangatlah berpengaruh dalam tema-tema lagu KILAT. Saya tidak kaget sebab Karina menunjukkannya pula dalam proyek musikal lain bernama Rinuwat. (Tulisan tentang Rinuwat bisa dibaca di sini). Dalam konteks KILAT, saya pikir ini menjadi sebuah cara yang segar dalam menerjemahkan black metal sebagai sebuah genre terutama dari segi wacana (discourse) yang ingin diekspresikan dalam lirik. Black Metal tidak melulu tentang anti-christ, tetapi ia bisa mewacanakan hal lain yang dalam konteks KILAT adalah budaya tradisional Jawa Kuno.
Patterson dalam bukunya yang berjudul Black Metal: Evolution of The Cult menyebutkan bahwa black metal menjadi salah satu bentuk musik modern paling penting karena kombinasi dari kualitas primal, filosofis, spiritual, kultural, dan artistik dari black metal sanggup melampaui kontroversi-kontroversi yang dihasilkan oleh genre ini (2013). Itulah yang saya tangkap dari KILAT. Selain itu, KILAT serasa menjadi sebuah ekspresi hasrat mistik (Masciandaro & Connole, 2015) atau yang didefinisikan dengan tajam oleh George Bataille sebagai hasrat untuk menjadi apapun (tout) (Bataille, 1988). Formula umum black metal diterjemahkan oleh KILAT menjadi sebuah karya yang menarasikan budaya tradisional Jawa Kuno. Artinya, black metal menjadi sebuah penanda mengapung yang dipinjam oleh KILAT untuk menarasikan sebuah budaya yang seolah tidak terhubung dengan black metal. Ia bisa menjadi apapun, terbang melayang naik dan hadir dalam rangkaian misteri pada daya sonik dan imajinatifnya (Masciandaro & Connole, 2015).
A Blaze in the Magelang Sky: Intensitas Afektif
Pada Agustus 2023, tiada hujan di Magelang, tetapi KILAT BESI HITAM menyambar dengan bengis layaknya lirik lagu dari DOWN berjudul Witchtripper yang berbunyi, “lighting struck down twice…” (DOWN, 2012). Trio black metal mentah dari Wurundjeri Country (atau Melbourne, AUS) yang terdiri dari Karina Utomo (pesuara), Benjamin Andrews (gitar), dan Rama Parwata (drum) membawa eksplorasi dan eksperimen bermusik mereka ke dalam tur Jawa dan Bali yang dihelat di delapan kota, termasuk salah satunya Magelang. Saya sebenarnya cukup kaget dengan adanya Magelang dalam daftar kota yang akan dikunjungi oleh KILAT. Biasanya band luar negeri ketika mengadakan tur di Indonesia hanya akan menyambangi kota-kota besar, tetapi kali ini KILAT memberi perbedaan dengan mengunjungi Magelang. KILAT tak sendirian malam itu. Mereka ditemani oleh band-band metal ekstrem lain yaitu Drain Death, Deathgang, Blatant, dan Bazooka. Selain itu, unit shoegaze Sunlotus juga ikut memberi warna dalam gigs bertajuk Banasparty yang digelar oleh Kolektif Kuda.
Foto 1. Jathilan “LARAS BENING” tampil di acara BANASPARTY(Foto: Tegar P. Setiabudi)
KILAT tentu saja tampil sebagai band terakhir setelah penampilan. Uniknya, di antara band-band yang tampil, terdapat satu kelompok bernama Jathilan bernama Laras Bening. Sebagai orang yang tinggal di wilayah Kabupaten Magelang, ini membuat saya bernostalgia kala waktu kecil sering menonton pertunjukan Jathilan (bahkan pernah bercita-cita menjadi pemain Jathilan!). Laras Bening tampil tepat sebelum KILAT. Sesajen juga ikut mewarnai penampilan mereka. Sebuah seni tradisional bermain dalam gigs metal! Saya sempat berbincang singkat dengan salah satu panitia tentang hal ini. “Biar kita tidak lupa dengan akar seni dan budaya tradisional kita”, begitu katanya. Saya setuju dengan pernyataan itu. Toh, KILAT juga mewacanakan hal yang serumpun. Para penonton rasanya juga setuju dengan hal itu. Semua ikut mengapresiasi Laras Bening bahkan ikut menari bersama mereka. Para personel KILAT juga tampak menikmati hal itu. Penampilan Laras Bening itu seolah menjadi gerbang alam mistis menuju penampilan KILAT. Sebuah pengantar yang cocok. Sensitivitas kesenian yang estetik hadir dalam wujud yang sebelumnya tak pernah saya duga.
KILAT lantas tampil dengan bengisnya. Intensitas penampilan mereka terasa dalam moshpit yang menggila. Tak adanya barikade membuat performance mereka terasa lebih intim hingga membuat intensitas itu bersifat afektif bagi saya sebagai penonton. Afek sebagai sebuah perwujudan intensitas pada dasarnya adalah sebuah konsep yang sukar untuk ditemukan dalam sebuah bentuk representasi (Deleuze & Guattari, 1987) yang dalam hal ini adalah pertunjukan dari KILAT. Meski begitu, bila mencermati bagaimana konsep afek ini digunakan oleh Deleuze dan Guattari, tidak mungkin menghilangkan konsep afek yang digunakan oleh Spinoza. Afek (affectus), bagi dia, menjelaskan dinamika antara perwujudan passion dan kognisinya dalam pemikiran. Spinoza membagi afek dalam tiga kategori yaitu hasrat (cupiditas), kegembiraan (laetitia), dan kesedihan (tristitia) (Spinoza, 1996). Singkatnya, Spinoza menjelaskan affectus sebagai sebuah bentuk komprehensi passion dari tubuh. Dengan kata lain, afek bukanlah sekadar emosi atau perasaan semata, tetapi Afek juga berkaitan dengan kebertubuhan termasuk di dalamnya adalah sensasi yang muncul. Lorimer mengartikulasikan konsep afek sebagai properti, kompetensi, modalitas, energi, attunements, susunan, dan intensitas dari tekstur, temporalitas, kecepatan, dan spasial berbeda yang berkerja pada, diproduksi melalui, dan ditransmisikan oleh tubuh (Lorimer, 2008). Inilah yang kemudian yang saya artikulasikan ketika menyaksikan performance dari KILAT. Kombinasi raungan gitar BA, dentuman drum Rama, dan growling/screaming dari Karina terasa mendalam (visceral) bagi saya pribadi sebagai penonton. Ruang performance itu menjadi medan afek pada diri saya sendiri dengan mengalami intensitas yang menjalar dalam tubuh. Saya tidak perlu berdoa untuk mengalami sensasi spiritual, saya tidak perlu melihat film horor untuk mengalami sensasi kengerian, saya tidak perlu memenangkan lotere senilai satu milyar untuk mengalami kegembiraan, dan saya tidak perlu patah hati untuk mengalami kesedihan. Semua sensasi itu saya dapatkan hanya dengan menonton KILAT di ruang kecil pada suatu malam yang dingin. KILAT menunjukkan pada saya ketiga kategori afek yang diusung oleh Spinoza: cupiditas, laettitia, dan tristitia. Mungkin ini yang disebut oleh Gilles Deleuze sebagai kekuatan pada sensasi musik yang melintasi tubuh secara mendalam dan menaruh indra pendengaran kita ke dalam perut, paru-paru, dan sebagainya (Deleuze dalam Bogue, 2004). Inilah yang dimaksud dengan daya visceral yang disajikan oleh KILAT lewat musik black metal. Ia membawa saya pada pengalaman bahagia, sedih, sekaligus ngeri dalam sebuah ektremitas yang disajikan KILAT. Sebuah pengalaman visceral (Scott, 2023). Sebagai sebuah seni, saya rasa afek yang dihadirkan penampilan KILAT malam itu berhasil mendisrupsi hubungan antara kata-kata dan pengalaman hidup sehari-hari yang kita buat dalam sebuah opini (Colebrook, 2002). Ia lebih merupakan sebuah daya insting (Overell, 2014) yang memiliki kekuatan untuk memicu pengalaman lebih dari merasa (affective) (Colebrook, 2002). KILAT memproduksi semua itu sebagai sebuah daya seni yang dahsyat, setidaknya bagi saya sebagai penonton yang tidak sekadar menonton saja, tetapi juga mengalami mereka. Begitu afektif, intensif, instinctive, dan visceral.
Foto 2. KILAT beraksi di gelaran BANASPARTY (Foto: Michael Pandu Patria)
Black Metal Jathilan: Ruang Kemungkinan dalam Performance
Menyaksikan serta mengalami penampilan KILAT di Magelang menjadi pengalaman unik nan personal. Unik sebab penyelenggara, Kolektif Kuda, memasukkan unit Jathilan bernama Laras Bening ke dalam susunan penampil. Ini menjadi sebuah langkah berani yang patut diapresiasi. Saya belum pernah sebelumnya menyaksikan sebuah gigs ekstrem metal di mana ada kelompok kesenian tradisional yang bermain di dalamnya. Saya sempat berbincang dengan salah satu panitia dari Kolektif Kuda. Ia berkata bahwa langkah itu dilakukan untuk menjadi pengingat tentang akar kebudayaan di Magelang. Bagi saya, ini adalah sebuah pengalaman baru dalam memahami sebuah penampilan (performance). Nigel Thrift mengatakan bahwa sebuah pemahaman tentang performance sebagai sebuah teks akan menjadi terbatas bila hanya termediasi oleh ideologi (2008). Menurutnya, sebuah performance harusnya dikembalikan ke dalam sebuah konsep berupa pertunjukan dramatis sehingga performance itu sendiri tidak terjebak pada kategori tertentu. Yang ditawarkan Kolektif Kuda dengan menampilkan jathilan justru menjadi sebuah contoh bahwa, menurut Thrift (2008), performance bukanlah sesuatu yang stabil, tetapi, seperti labirin, performance merujuk pada terbukanya ruang-ruang kemungkinan yang tak terbayangkan sebelumnya. Keseluruhan penampilan musik itu membentuk sebuah kultur unik yang melibatkan jaringan yang berkelindan antar individu dengan ketertarikan, motif, dan hasratnya dalam sebuah konteks tempat dan waktu tertentu (Bogue, 2004). Adanya entitas metal ekstrem bernama KILAT yang disandingkan dengan entitas Jathilan Laras Bening menjadi tanda bahwa secara keseluruhan, gigs BANASPARTY di Magelang menjadi ruang kemungkinan yang menunjukkan dua kultur berbeda berbaur dan bertumbuh tanpa melaknat satu sama lain.
Keunikan dalam Banasparty juga terletak dalam konsep ekstrem. Musik metal dikenal karena ektremitasnya. Scott berargumen bahwa sebuah keekstreman dalam musik ditentukan oleh tiga aspek berupa transgresi, shock, dan noise (Scott, 2023). Dalam BANASPARTY, ketiga elemen itu bersatu dalam sebuah kolektif. Siapa sangka ada kelompok jathilan dalam sebuah gigs ekstrem metal? BANASPARTY menabrak pola umum gigs ekstrem metal dengan menampilkan kelompok kesenian tradisional. Ada transgresi, shock, dan noise dalam acara itu. Musik, dalam konteks BANASPARTY, memiliki daya deteritorialisasi yang lebih kuat, lebih intens, dan lebih kolektif (Bogue, 2004). Ini terlihat dari interaksi antara penampil dan audiens yang hadir, terutama ketika LARAS BENING kemudian disusul KILAT tampil. Audiens ikut menari bersama LARAS BENING dan mereka ber-moshing ria bersama KILAT. Ada pertemuan (encounter) antara penampil dan audiens. Scott (2023) menyebut ini sebagai sebuah estetika ekstrem yang dikomunikasikan melalui sebuah komunikasi artistik. Ektremitas yang diusung BANASPARTY di satu sisi berfungsi sebagai sebuah ekspresi artistik dan di sisi lain befungsi sebagai posisi interpretasi yang diambil oleh audiens terhadap ekspresi artistic tersebut (Scott, 2023). Praktik menari bersama dan moshing yang disebut oleh Kahn-Harris (2007) sebagai bodily transgression terjadi di dalam ekstremitas BANASPARTY, tidak hanya dalam performance nya, tetapi juga terjadi di dalam prosesnya menabrak jarak antara penampil dan audiens (Scott, 2023).
Foto 3. Pesuara KILAT, Karina Utomo (KU), menampilkan pose Black Metal di tengah penampilannya bersama KILAT di BANASPARTY. Tak ada sekat antara KILAT dan audiens (Foto: Tegar P. Setiabudi)
Pada akhirnya, afek keseluruhan performance malam itu menandakan bahwa identitas black metal sangatlah cair. Tarik ulur dalam cara menerjemahkan identitas itu telah membuka kemungkinan bagi black metal untuk tumbuh sesuai konteks tempat, waktu, dan budaya tertentu. Dalam Banasparty ini, keseluruhan proses baik itu dari performance para penampil yang beragam hingga dinamikanya dengan para penonton menunjukan bahwa sebuah seni bukanlah tentang representasi, konsep, ataupun penilaian, tetapi keseluruhan proses itu menjadi sebuah seni yang memiliki kekuatan untuk berpikir tentang afek-afek yang muncul dari pengalaman keterlibatan (Colebrook, 2002) di dalamnya. Praktik kesenian adalah praktik memproduksi pengetahuan. Oleh karena itu, sekali lagi, saya merasa bahwa penampilan KILAT dalam Banasparty di Magelang kali ini membuka ruang kemungkinan bagi genre black metal untuk berkelindan dengan bentuk seni dari tradisi dan budaya lain. Yang terjadi dalam Banasparty menjadi penanda bahwa seni memberi sebuah nafas sekaligus mendorong usaha-usaha untuk memulai dan mengartikulasikan kembali seni itu sendiri dengan cara-cara yang baru (Badiou, 2013). Jika metal ekstrem adalah kemungkinan untuk memunculkan artikulasi baru, KILAT dan Banasparty adalah wujud dari kemungkinan itu.
Daftar Acuan
Badiou, A. (2013). Cinema (S. Spitzer, Trans.). Polity.
Bataille, G. (with Hollier, D.). (1988). Guilty (B. Boone, Trans.). Lapis Press.
Bogue, R. (2004). Violence in three shades of metal: Death, doom and black. Dalam I. Buchanan & M. Swiboda (Eds.), Deleuze and music (pp. 95–117). Edinburgh university press.
Colebrook, C. (2002). Gilles Deleuze. Routledge.
Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Down. (2012). Witchtripper [Audio recording]. Down Records.
Kahn-Harris, K. (2007). Extreme metal: Music and culture on the edge. Berg.
Lorimer, H. (2008). Cultural geography: Non-representational conditions and concerns. Progress in Human Geography, 32(4), 551–559. https://doi.org/10.1177/0309132507086882
Masciandaro, N., & Connole, E. (2015). FLOATING TOMB black metal theory. Mimesis International.
Overell, R. (2014). Affective intensities in extreme music scenes: Cases from Australia and Japan. Palgrave Macmillan.
Patterson, D. (2013). Black metal: Evolution of the cult. Feral House.
Scott, N. (2023). The aesthetics of extreme sounds. In N. Varas Díaz, N. Scott, & B. A. Bardine (Eds.), On extremity from music to images, words, and experiences (pp. 17–34). Lexington Books.
Spinoza, B. de. (1996). Ethics (E. M. Curley, Trans.; New edition). Penguin Books.
Thrift, N. J. (2008). Non-representational theory: Space, politics, affect. Routledge.

Editor Nalarasa pada rubrik Ulasan. Suka bergosip soal musik dan mendengarkan nyanyian angin gunung.