Di suatu siang yang cukup dingin, karena Yogyakarta akhir-akhir ini terus menerus diguyur hujan lebat, saya duduk di kantin kampus. Di hadapan saya ada semangkuk bakso ‘Dab Supri’ – di Kantin Realino Universitas Sanata Dharma – yang aromanya menggoda. Memang beberapa hari ini saya ‘ngidam’ bakso tersebut. Kuahnya berkaldu dan cukup berlemak. Memang bakso ini menggunakan kaldu dari tulang dan thethelan daging sapi yang berlemak. Tentu saja saya dan banyak orang lainnya tahu bahwa makanan ini jauh dari kata sehat. Namun, toh, saya dan banyak orang lainnya masih memakannya. Di momen semacam inilah membuat saya berpikir, apakah bakso ini enak atau tidak enak? Dan mengapa kalau kita ngomong soal makanan, kita selalu masuk ke dikotomi itu? Mungkin, proses mengartikulasikan rasa seperti itu adalah ‘peristiwa rasa’ yang membentuk kita menjadi gustatory subjects (subjek rasa) yang peka terhadap apa yang kita makan. Nah, tulisan ini merupakan refleksi hasil pembacaan saya atas buku Taste as an Experience: The Philosophy and the Aesthetics of Food karya Nicola Perullo (2016) yang disandingkan dengan beberapa gagasan lainnya. Tidak sempurna, memang. Namun, ini merupakan proses belajar saya yang harapannya juga dapat mengajak pembaca sekalin turut bertanya-tanya.
Dari pembacaan atas Perullo (2016; hal. 22-24) gustatory subjects bukan hanya tindakan mengungkapkan rasa enak atau tidak enak, tetapi pengalaman kepekaan apa yang dimakan dengan apa yang dirasakan tubuh dan pikiran. Artinya, ia merupakan subjek yang aktif. Maka, peristiwa rasa bukan hanya pengalaman ‘sensasi’ inderawi ala Kant, yang menuju ke pengalaman ‘indah’ yang universal, tetapi ke perkara ketubuhan. Peristiwa rasa itu adalah peristiwa relasi antara lidah, ludah, sambungan saraf, memori, dan hamparan komponen makanannya. Misalnya, tatkala kita memakan sambal, ada sensasi pedas membuat kita berkeringat, air mata menetes, dan memerahkan wajah, serta menyakiti lidah. Perkara relasi dengan memori berarti ada unsur relasional dan kontekstual yang selalu dikaitkan dengan kebiasaan si pencecap. Mengonsumsi sambal terasi mungkin melempar kita ke memori aktivitas perdapuran ibu kita di rumah dan ini menjadi suatu referensi induk tatkala kita mencecap sambal terasi buatan orang lain. Memori ‘selera asal’ ini dapat membentuk gustatory subjects di tiap peristiwa rasa.
Saat kita mencecap makanan, menurut Perullo (2016), kita selalu berada dalam proses transformasi. Kita, sebagai gustatory subjects, tidak akan pernah selesai dan tidak akan mampu mencapai ‘keaslian rasa’ karena yang ‘asli’ itu sudah tidak ada. Tiap cecapan lidah, kita selalu bertransformasi, menyesuaikan diri dengan pergeseran intensitas peristiwa rasa yang kita alami. Dari sini, masuklah ke dimensi etis dan estetik ketika peristiwa rasa berpotensi membuka kesadaran atas sejarah diri dan suatu komunitas melalui suatu masakan. Muncullah wacana ekologis, kedaulatan petani, praktik-praktik produksi yang manusiawi, dan memerhitungkan kesejahteraan petani, serta pertenak dan hewan-hewan ternaknya. Peristiwa rasa diunggah menjadi peristiwa empati antara subjek rasa dan komunitas, dan antara selera dan keadilan pangan. Maka dari itu, ‘peristiwa rasa’ merupakan momen saat gustatory subjects hadir, berproses, serta menegaskan kembali kediriannya dan relasinya dengan budaya dan etika. Peristiwa rasa, maka dari itu, adalah peristiwa relasi yang estetis.
Peristiwa rasa yang estetis dan etis ini berpotensi membuka ruang untuk memberontak. Memberontak dalam mengartikulasikan ‘peristiwa rasa apa’ yang sebenarnya kita alami. Celakanya, kita selalu kesulitan melakukan hal ini. Terlebih, hegemoni rasa kolektif yang kuat terus menerus menindas otonomi rasa kita. Misalnya, melalui hamparan konten food reviewer yang mementingkan clickbait dan jargon-jargon kosong, atau pandangan kolektif soal status masakan tertentu yang memaksa kita untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi masakan yang ‘dianjurkan’. Contohnya, bangsa ‘Barat’ tidak mau makan ceker karena berkonotasi kotor dan bagian ‘sampah’ dari ayam. Atau, yang ekstrem lagi, ada sterotip di Amerika Serikat bahwa masakan Tionghoa itu tidak sehat karena mengandung MSG yang berefeksamping buruk bagi kesehatan. Walau kasus MSG itu sudah terbukti sesat pikir karena dilandasi dengan riset yang kurang tepat, hegemoni itu masih ada sampai sekarang dan merambat hingga isu ras. Belum lagi perkara larangan-larangan yang berakar pada dogma agama tertentu yang juga menjadi latar belakang diskriminasi dan wacana negatif terhadap suatu komunitas tertentu.
Walau akar pemikirannya berbeda, tetapi hal ini menarik apabila dikaitkan dengan pemikiran Lacan soal ‘subjek bahasa’ di mana manusia terperangkap dalam tatanan bahasa (simbolik) dan kesulitan merangkak keluar untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia mau karena tekanan kolektif tertentu. Lalu, saat kita makan dan ingin berkomentar, ada disrupsi di dalam tubuh dan pikiran, dan selalu ada keinginan untuk kembali ke referensi cita rasa primordial (oral pleasure) – masakan ibu, secara spesifik kenikmatan ‘disusui’ oleh ibu, misalnya.
Di sinilah letak kerumitan pekerjaan seorang juru masak. Ia harus memasak supaya si pencecap dapat merasakan kenikmatan primordialnya. Namun, mereka tidak akan pernah sanggup, dan kita pun tidak akan pernah mampu kembali ke sana dan menggapainya dengan sempurna, lalu terjadilah pertarungan antara hamparan referensi cita rasa yang kita miliki dan kemudian saling meruntuhkan satu sama lain, hasilnya adalah serpihan-serpihan referensi yang sulit untuk digabungkan. Hasilnya, kita jadi terbata-bata, dan cukup mengatakan ‘enak’, ‘tidak enak’, atau bahkan diam saja. Ini menjadi suatu refleksi saya bahwa kita, sebagai subjek rasa, merupakan subjek yang terus menerus berproses, tidak kaku, terus menerus dibongkar dalam ketidakpastian bahasa (simbolik).
Maka, ‘rasa tidak pernah bohong’ bukan sekadar slogan, ia adalah seruan agar kita mendengarkan apa yang ingin tubuh sampaikan setiap kali kita mencicipi suatu hidangan yang mungkin bisa universal, bisa juga tidak. Proses ini adalah proses kita merasakan tubuh, mendengar getar lidah, aroma yang mengundang kenangan, tekstur yang memaksa kita berhenti sejenak, bahkan menangis, dan saat itu terjadi, kita bukan lagi subjek pasif, kita adalah gustatory subjects yang membongkar hegemoni selera dan cita rasa, melebur dalam sensasi, dan menjadi bagian dari peristiwa rasa yang terus menerus membongkar dan membangun kembali referensi cita rasa dan selera kita. Artinya, peristiwa rasa itu adalah pengalaman yang melampaui pengalaman mencecap. Ini adalah pemahaman hamparan narasi gastrokuliner yang tidak linear, tidak hirarkis, dan tidak beraturan. Mulai dari objek hidangan utuh yang ditelaah hingga ke serpihan molekularnya, sampai ke hamparan peralatan, teknik (skill) memasak dan referensi rasa si juru masak itu – selingkung komunitas tempat ia tinggal dan mengelola rumah makan.
Demikianlah refleksi atas ‘peristiwa rasa’ yang saya coba pelajari dari Perullo, di mana kita harus belajar untuk berpendirian bahwa rasa yang dirasakan adalah pengetahuanmu dan kebenaranmu karena pada akhirnya, tubuhlah yang bertutur, bahasa hanyalah upaya untuk menebak-nebak. Mungkin masih sangat membingungkan dan penuh dengan ketidakberaturan. Namun, sekali lagi, ini merupakan bagian dari proses belajar saya, dan harapannya, para pembaca, penikmat gastrokuliner sekalian, mampu membacanya dan turut bertanya-tanya soal cita rasa kita masing-masing. Pergilah, dan makanlah. Lakukanlah ini demi mengalami peristiwa rasa reflektif bagi kita semua!
Daftar Acuan
Deleuze, G. & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (ter. B. Massumi). University of Minnesota Press
Fink, B. (1995). The Lacanian subject: Between language and jouissance. Princeton University Press
Kuehn, G. (2005). How can food be art? Dalam A. Light & J. M. Smith (Eds.), The aesthetics of everyday life (hal. 194-210). Columbia University Press.
Mol, A. (2024). Eating is an English word. Duke University Press.
Perullo, N. (2016). Taste as an experience: The philosophy and the aesthetics of food. Columbia University Press.
Smith, D.W. (2012). Essays on Deleuze. Edinburgh University Press
Van Daele, W. (2024). Entangled assemblages: The mutual becoming of food and more-than-human being. Foundations of Science, 29:741–758. https://doi.org/10.1007/s10699-022-09858-w

Tertarik pada kajian makanan (food studies), sesekali menghabiskan waktu dengan nyanyi dan puisi.
