Esai

Necis di Atas Piring: Estetika Visual Makanan

“Sekarang, yang namanya makan itu juga pakai mata!”, ungkap Yonathan Wisnhu, atau akrab dipanggil chef Jojo. Saya mengenalnya sejak SMA hingga kini ia berprofesi sebagai chef profesional di Bali. Kami berbincang banyak mengenai kesibukan seorang chef profesional dan perihal estetika (seni) makanan di atas piring – atau biasa disebut plating (penyajian).

Menurut Chef Jojo, plating adalah cara menyajikan (presentasi) hidangan di atas piring dengan tujuan meningkatkan keindahan (estetika) visual makanan. Menurut pendapat para chef, plating juga membantu meningkatkan cita rasa makanan tersebut. Chef Jojo bercerita bahwa di mata seorang chef yang memiliki jam terbang tinggi, plating malah menjadi identitas seorang juru masak. Bagi mata yang terlatih, seseorang dapat mengenali siapa yang memasak hidangan tersebut hanya dari plating-nya saja. 

Tata cara plating juga tidak semudah yang dibayangkan. Penataan yang nyentrik atau nyeleneh tidak serta-merta sama dengan plating yang dilakukan chef profesional. Apa yang terjadi di balik dapur cukup kompleks karena ada banyak bagian (station) yang ditangani personil tertentu, misalnya bagian garnish (untuk keperluan hiasan akhir hidangan) dan bagian main dish (untuk penataan makanan utama). Lalu, sebelum dihidangkan ke pelanggan, hidangan tersebut diperiksa dan diberi sentuhan akhir oleh chef kepala (head chef). Kalau penataan dirasa kurang tepat, hidangan harus diulang dari awal dan reputasi restoran beserta personilnya jadi taruhan. 

Menurut chef Jojo, standar penataan bisa dari komposisi warna, bentuk makanan, serta bentuk dan ukuran piring. Penataan di atas piring pun perlu perhitungan yang matematis sesuai dengan bentuk dan ukuran piring.Tetapi, ada juga penyajian yang tidak menggunakan piring, tetapi menggunakan batu, talenan kayu, bahkan daun. Faktor-faktor penataan tersebut, menurut chef Jojo, perlu disesuaikan dengan keinginan pemilik restoran, target pasar, dan letak geografis restorannya.

Dari informasi di atas, sudah terlihat indikasi adanya kebutuhan peningkatan estetika visual makanan demi menggaet target pasar. Barthes (2013) dalam esainya mengungkapkan bahwa diskusi kuliner dalam wilayah akademis tidak hanya mencakup kesehatan saja, tetapi juga dapat dilihat sebagai sistem komunikasi, tatanan rangkaian visual, kebutuhan pemanfaatan situasi dan perilaku. Selain Barthes, Montanari (2006) juga mengungkapkan bahwa di balik kuliner ada rangkaian informasi yang ingin disampaikan. Nah, barangkali yang namanya plating adalah cara chef dalam mengkomunikasikan kreativitasnya di balik dapur. 

Chef Jojo seolah-olah hendak mengatakan bahwa orang makan juga “pakai mata”. Memang ungkapan ini sudah sangat umum diucapkan, bahkan sejak abad pertama sebelum masehi tercatat seorang ahli kuliner Romawi, Apicius (1936), mengatakan bahwa orang makan pakai mata terlebih dulu. Mungkin juga masifnya unggahan visual makanan di Instagram menjadi semacam referensi tempat jajan sesuai dengan trennya.

Kalau kita perhatikan dari contoh yang telah diungkapkan Chef Jojo, yang namanya plating hidangan sepertinya lebih ditargetkan untuk masyarakat kelas menengah ke atas dan nuansanya lebih mewah dan elit – atau istilah kulinernya gourmet alias adi boga (seni masakan tinggi). Namun, apabila kita mencermati Instagram – yang notabene media sosial yang lebih fokus ke visual – estetika visual sebuah makanan semakin diperlukan, bahkan jadi tren gaya hidup. Misalnya, kita memasak suatu hidangan, setelah matang lalu dihidangkan rapi di atas piring, sebelum makan difoto terlebih dulu menggunakan ponsel pintar, kemudian diunggah ke Instagram. 

Sebagai contoh lain, kita dapat membayangkan skenario berikut; kita jajan es dawet di pinggir jalan, kita rekam aktivitas penjual es dawet tersebut, lalu diunggah ke Instagram sebagai instastory atau live Instagram. Apakah sebegitunya orang ingin tahu apa yang tengah kita lakukan? Atau seberapa gaul dan estetisnya kita? Kalau anda mencari di Instagram denga kata kunci “#kuliner”, Anda akan menemukan sekitar 13 juta unggahan. Dengan menggunakan “#culinary“, Anda akan temukan lebih dari 5 juta unggahan. Mengapa orang begitu suka menggunggah foto atau gambar makanan? Mengapa makanan tersebut dirasa perlu disajikan ke audiens? Yang lebih membuat saya penasaran adalah: apa batasan estetika visual makanan dalam konteks plating (penyajian makanan)? Bagaimana sebuah hidangan itu dapat dianggap estetis atau tidak estetis? Apabila ada yang namanya adi boga, jangan-jangan ada boga yang tidak adi?

Mungkin diskusi mengenai mana yang enak atau tidak enak dilihat bisa kita amati dari latar belakang sejarah suatu makanan. Laska, Friest, dan Krause (2007) mengungkapkan bahwa ketertarikan visual pada makanan berawal dari sejarah hunter and gathering manusia. Awalnya, manusia menggunakan mata sebagai modal pencarian bahan makanan yang aman dikonsumsi. Mereka mengingat-ingat warna dan bentuknya, apabila bukan bahan makanan yang familiar, tentu tidak mereka konsumsi. Kemampuan ini semakin berevolusi sampai sekarang dan sepertinya lambat laun yang diperhatikan bukan melulu yang aman atau tidak, tetapi juga yang necis (netjes atau estetis) dan yang tidak (estetis). 

Ngomong-ngomong soal tren makan, Mennel (1991) menuliskan hal menarik soal tren sajian pesta bangsawan di Paris untuk Catherine De Medici pada tahun 1549. Mennel menyebutkan bahwa dalam pesta itu disajikan 24 jenis hewan, yang mayoritas unggas dan hewan buruan lainnya, karena daging yang disediakan tukang daging dianggap tidak layak untuk dikonsumsi pada hari besar tersebut. Selain daging-dagingan, terdapat pula banyak jenis kue-kue dan hanya beberapa jenis sayur-mayur. 

Melalui tulisan Mennel kita dapat menemukan contoh bahwa penyajian hidangan yang rumit dan eksotis menjadi salah satu cara untuk menunjukkan kekuasaan kelas bangsawan. Mengapa makanan kini disajikan lebih simpel dan mengarah ke kualitas bahannya bukan kuantitasnya? Pertanyaan tersebut juga jadi catatan saya pribadi untuk menelusurinya lebih dalam. Tulisan Mennel juga menarik apabila disandingkan dengan gagasan Bourdieu (1984) soal hubungan antara kelas dan selera.

Bourdieu mengungkapkan bahwa selera makanan itu dipengaruhi status sosial seseorang – bagaimana dia menyadari pengalaman kebertubuhannya, seperti kesadaran kebutuhan makanan yang dikonsumsi dan pengaruhnya terhadap tubuh serta kesehatannya. Menurut Trubek (2008), Bourdieu sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa selera dan cita rasa dapat dilihat sebagai pembeda “makan sebagai kebutuhan” dan “makan sebagai tren gaya hidup”.

Apakah estetika visual suatu makanan bermuara pada kebutuhan pasar yang terus-menerus mengikuti tren? Dengan demikian, manusia senantiasa ditempatkan sebagai makhluk yang takut ketinggalan makanan atau kuliner terbaru. Ambil contoh roti krim keju bawang yang sedang tren di Instagram. Tidak sedikit toko roti yang berlomba-lomba menjual produk tersebut karena memang banyak konsumen yang tak mau ketinggalan untuk mencicipi. Akun Instagram saya juga sempat dipenuhi dengan iklan roti tersebut, khususnya penekanan visual krim keju yang kental, ditambah dengan embel-embel bawang yang langsung membuat lidah merasai dan mencecap gurihnya bawang. Belum lagi, permukaan roti yang diolesi mentega tampak berkilauan dan terlihat kenyal. 

Mungkin kalau kita menengok ke belakang, kuliner semacam roti krim keju bawang Korea (Selatan) tersebut tidak akan bertahan lama, seperti tren es kepal Milo dan donat Indomie goreng. Kuliner klasik seperti bakpia dan gudeg, dengan bentuknya yang sangat akrab, justru mampu bertahan dan berinovasi. Apakah kedua kuliner tersebut justru bertahan karena bentuk “apa adanya” yang masih dipertahankan? Perlu disadari bahwa ada inovasi bakpia kukus yang juga sempat ngetren. Namun, tidak sedikit penikmatnya yang justru berucap:  “apakah ini benar-benar bakpia?” Pada akhirnya saya menduga-duga bahwa seberapa adaptifnya seseorang terhadap rasa yang baru, dia akan terus mencari selera “asal”-nya. Maka, tak heran apabila ada orang yang mengkonsumsi roti krim keju bawang pun tetap mau memakan kuliner klasik, seperti bakpia, dan memaklumi bentuk yang “apa adanya” tersebut. Namun, mencari-cari yang “asal” itu sama dengan mencari-cari yang “asli” atau yang “otentik”, hasilnya bikin kagol (kecewa).

Pada akhirnya, esai yang saya tulis ini bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk penggugah pertanyaan, entah untuk saya pribadi atau para pembaca budiman. Tentunya, yang patut disadari adalah bahwa yang namanya estetika itu menjadi hal yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat; khususnya dalam praktik konsumsi sehari-hari. Melalui tulisan ini, saya menyajikan (plating gagasan) bahwa estetika (seni) visual dalam makanan merupakan hal yang penting untuk menceritakan pengalaman dan memberikan informasi terkait budaya tertentu. Tetapi, media sosial, dalam hal ini Instagram, seringkali membuat kita terjerembab dan mengkerdilkan informasi (budaya). Mengapa demikian? Sebab, kita terlalu asyik ber-histeria dalam nama tren, likes, dan views.

Daftar Acuan

Apicius. (1936). Cooking and dining in Imperial Rome (Terj. D. Vehling). Chicago, IL: Springer

Barthes, R. (2013). Toward a Psychosociology of Food Consumption.  Dalam C. Counihan & P. Van Esterik, Food and culture: A reader, (third edition)( hlm. 28-35). New York & London: Routledge.

Bourdieu, P. (1984). A social critique of the judgement of taste (Terj. R. Nice). Massachusetts: Harvard University Press.

Laska, M., Freist, P., & Krause, S. (2007). Which senses play a role in nonhuman primate food selection? A comparison between squirrel monkeys and spider monkeys. American Journal of Primatology, 69, 282–294.

Light, A. &  Smith, J.M. (ed). (2005). The aesthetics of everyday life. New York: Columbia University Press.

Mennel, S. (1991). On the Civilizing Appetite. Dalam M. Featherstone, M. Hepworth & B.S. Turner (ed.), The body, social process, and cultural theory (hlm. 126-152). London: Sage Publications.

Montanari, M. (2004/2006). Food is culture (Terj. Albert Sonnenfeld). New York: Columbia University Press

Trubek, A.B.. (2008). The taste of place: A cultural journey into terroir. Los Angeles & London: University of California Press Berkeley.

Tentang Penulis

Tertarik pada kajian makanan (food studies), sesekali menghabiskan waktu dengan nyanyi dan puisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *