Selama ini, penderitaan secara umum dimaknai sebagai sebuah keburukan yang mendatangkan kerugian bagi manusia. Biasanya, penderitaan bersifat personal dan melekat pada subjek yang mengalami penderitaan itu sendiri. Akan tetapi, pandemi Covid-19 yang dimulai pada penghujung 2019 dan belum berakhir hingga saat ini mengubah total wajah derita. Covid-19 membongkar batas-batas personal dalam penderitaan dan menariknya ke kutub objektif. Penderitaan akibat Covid-19 melulu bersifat objektif dialami oleh semua orang.
Tak seorangpun yang tak menderita di hadapan Covid-19. Mulai dari orang paling miskin hingga paling kaya, semua terdampak oleh kehadiran virus (yang diduga) asal Wuhan itu. Sekiranya saya tak perlu menceritakan dengan detail masifnya penderitaan akibat virus corona. Penjelasan ‘mengerikan’ itu bisa ditemukan dengan mudah di portal-portal berita. Namun, di balik perubahan wajah penderitaan itu, ada satu yang tak berubah: reaksi manusia di hadapan penderitaan.
Dalam berbagai bentuk penderitaan, ada satu reaksi yang selalu ditunjukkan oleh banyak manusia termasuk saya. Orang-orang seperti kami – yang punya agama dan memercayai ketuhanan – selalu mempertanyakan di manakah Tuhan saat berhadapan dengan penderitaan. “Tuhan, mengapa aku menderita? Mengapa kau izinkan aku menderita? Ke manakah Engkau saat aku menderita?” Setidaknya tiga pertanyaan itulah yang jamak muncul dalam persoalan derita. Tentu saja, tulisan ini dimaksudkan untuk menyoroti jenis manusia termaksud.
Tuhan Pencipta Derita
Saya punya jawaban favorit tentang permasalahan penderitaan saat dihadapkan pada eksistensi Tuhan. Menyatut filsuf asal Inggris era 60-an, John Hick, Tuhan sendiri adalah sosok di balik adanya penderitaan manusia. Secara sengaja, Tuhan menciptakan penderitaan dengan tujuan mendewasakan manusia (Hick, 1966; Siswanto, 2012).
Teori John Hick tentang penderitaan dan ketuhanan disebut sebagai Vale of Soul-making Theodicy (Teodise Lembah Pembangunan Jiwa). Kira-kira konsepnya begini: Tuhan menciptakan manusia tidak sempurna untuk memberi ruang bagi pengembangan dan pertumbuhan moral manusia. Tujuannya supaya manusia itu bisa mencapai kesempurnaan dalam penyelenggaraan Tuhan. Ibaratnya, manusia adalah bahan mentah bagi karya kreatif Tuhan yang lebih jauh dan rumit. Di ruang karya kreatif Tuhan itulah penderitaan hadir. Penderitaan menjadi alat bagi manusia untuk meningkatkan moral dan menjadi lebih dewasa (Hick, 1966).
Hick (1966) menganalogikan Tuhan sebagai orang tua yang sangat mengasihi dan menyayangi anaknya sendiri. Tuhan sebagai orang tua dengan sadar ingin mendidik dan memberikan segala yang baik untuk manusia yang jadi anaknya. Namun, satu hal yang perlu diingat adalah pendidikan yang baik tidak melulu menjadikan kesenangan sebagai nilai utama. Nilai penderitaan dan kejahatan diperlukan supaya manusia bisa membedakan hal-hal yang baik dengan hal-hal yang jahat. Dari pengenalan itu, harapannya manusia bisa menundukkan godaan dan cobaan sehingga manusia menjadi semakin dewasa dan sempurna.
Persoalan Perilaku Manusia Indonesia di Tengah Covid-19
Penulis buku The Intelligence Trap (2019), David Robson, punya contoh yang bisa menjelaskan pendewasaan moral manusia dalam teori penderitaan John Hick. Lewat artikelnya The Fear of Coronavirus is Changing Our Psychology yang tayang di bbc.com (2020), Robson mengutip teori Sistem Kekebalan Tubuh (behaviour immune system) yang dikemukakan oleh ilmuwan psikologi asal Amerika Serikat, Mark Schaller.
Schaller menjelaskan bahwa saat menghadapi pandemi, manusia cenderung mengalami perubahan perilaku dengan menjadi lebih waspada dan menghargai nilai-nilai moral. Di tengah pandemi, seseorang cenderung untuk mematuhi norma sosial ketimbang melanggar dan melakukan hal-hal jahat. Sebab, sepanjang sejarah manusia dan pandemi, kepatuhan terhadap norma sosial kerap menjadi penyelamat manusia dari kehancuran. Di sisi lain, orang-orang yang senang melanggar norma menjadi pihak yang paling cepat terinfeksi penyakit dan kemudian malah membahayakan orang lain di sekitarnya.
Hal itu tentu bisa kita lihat pada penegakkan aturan cuci tangan dan menggunakan masker di tempat umum. Kebanyakan dari kita yang tertular Covid-19 adalah orang-orang yang kurang peduli pada protokol kesehatan. Akibatnya, mereka menjadi pihak yang paling dirugikan dan berpotensi menulari orang-orang terdekatnya.
Sayangnya, teori penderitaan ala John Hick dan sistem kekebalan tubuh milik Schaller seakan tak punya makna ketika ditabrakkan dengan perilaku manusia Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Alih-alih kekebalan tubuh, manusia Indonesia lebih suka menunjukkan kebebalan tubuh dalam menanggapi keberadaan pandemi.
Ambil saja contoh kasus yang baru-baru ini viral: Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Wasmad Edi Susilo, nekat menggelar konser dangdut dan dihadiri ratusan orang yang kebanyakan tidak menggunakan masker. Sebagai bagian dari wajah pemerintahan, Wasmad Edi Susilo seharusnya mampu menunjukkan contoh kebaikan kecil yang bisa dilakukan di tengah pandemi: menaati norma. Namun, perilakunya malah menjadi contoh bahwa kolaborasi manusia Indonesia dan Covid-19 sanggup mematahkan teori John Hick dan Schaller secara bersamaan.
Hick sendiri memang menegaskan bahwa perubahan manusia yang semakin dewasa dan sempurna saat mengalami penderitaan terjadi dalam ranah yang paling personal. Dalam setiap tarikan penderitaan objektif macam pandemi dan bencana, pendewasaan manusia sifatnya tetap personal. Artinya, kita tidak bisa serta merta menggeneralisasi bahwa manusia Indonesia tidak bertambah dewasa akibat Covid-19. Namun, jika dihadapkan pada kenyataan yang terjadi, Tuhan ala John Hick cuma jadi satu entitas yang tak bermakna. Keberadaan Tuhan yang menciptakan penderitaan untuk mendewasakan manusia tak punya arti karena gagal memahami situasi objektif dari penderitaan itu sendiri.
Begitu pula perubahan perilaku manusia yang diajukan oleh Schaller malah tidak menggambarkan realita mayoritas yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari penanganan yang penuh sengkarut, penambahan rasio pasien positif Covid-19 setiap harinya menjadi bukti tersendiri bahwa tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mengalami perubahan perilaku di tengah situasi pandemi. Dalam kondisi seperti ini, perilaku masyarakat Indonesia bisa dikatakan sebagai anomali bagi pandangan Hick dan Schaller.
Lantas Harus Apa?
Secara filosofis, narasi ketuhanan dan penderitaan ala John Hick sudah tidak berlaku lagi bagi perilaku manusia Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Jika masih ingin memasukkan unsur ketuhanan, mau tidak mau kita harus terjun ke aspek teologis dari konsep ketuhanan dan penderitaan yang diajukan oleh Hick.
Salah satu unsur teologis dari teori John Hick adalah aspek eskatologis. Eskatologi secara sederhana dijelaskan sebagai harapan akan kondisi yang lebih baik di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan setelah kematian (Bria, 2008). Hick menekankan bahwa penderitaan yang dialami oleh manusia saat ini memiliki makna yang tidak semata-mata dapat ditemukan, disadari, atau dirasakan saat ini juga. Makna tersebut ada sepanjang proses manusia menjalani penderitaan hingga akhir masa hidupnya. Proses pembentukan jiwa manusia tidak terjadi dalam satu waktu yang singkat.
Dengan pendapat itu, dan konsepsi bahwa Covid-19 mendatangkan penderitaan, boleh jadi pandemi memang tidak berusaha mendewasakan manusia Indonesia secara instan. Bisa saja perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang lebih dewasa dan sempurna terjadi dalam periode waktu yang sangat lama. Kekurangannya, atau sisi obyektifnya, situasi pandemi menuntut penanganan yang cepat dan sigap. Tanpa kesadaran itu, manusia Indonesia rentan terjeberembab ke dalam jurang harapan yang tak berujung.
Secara psikologis, yang tentunya bukan satu-satunya jawaban, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menanti munculnya perubahan perilaku manusia Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Schaller. Guardians memprediksi bahwa social distancing akan menjadi satu-satunya cara menekan penyebaran virus corona selama vaksin virus tersebut belum ditemukan. Bahkan, perilaku social distancing diperkirakan masih harus terus dibiasakan hingga 2022. Oleh sebab itu, yang bisa kita lakukan saat ini adalah kembali pada ujaran klise yang berbunyi “kembali pada kesadaran diri masing-masing” — yang mengandaikan bahwa seseorang dengan mudah sepakat atas konsensus dan norma baru selama pandemi.
Satu hal yang perlu dicatat, seperti halnya diungkapkan oleh Schaller, sistem kekebalan tubuh sangat rentan pada perubahan perilaku. Bombardir informasi mengenai penderitaan memungkinkan kecemasan naik ke dalam permukaan pengalaman dan menciptakan keterancaman. Posisi terancam juga dengan mudah menciptakan gagasan bahwa orang lain di sekitar kita dilihat sebagai sumber penyakit atau derita. Seseorang yang mendapati dirinya terancam sebagaimana terjadi dalam pandemi, cenderung meyakini bahwa konformitas dan kepatuhan menjadi syarat mutlak menghadapi pandemi. Namun, Schaller juga mengingatkan bahwa norma atau konsensus ini tidak dengan mudah diterima oleh semua orang. Apa kita harus kecewa?
Daftar Acuan
Bria, E.E. (2008). Jika ada Tuhan, mengapa ada kejahatan? Yogyakarta: Kanisius.
Robson, D. (2020). The fear of coronavirus is changing our psychology. Diunduh pada 28 September 2020 dari https://www.bbc.com/future/article/20200401-covid-19-how-fear-of-coronavirus-is-changing-our-psychology
Hick, J. (1966). Evil and the god of love. Toronto: Macmillan.
Siswanto, J. (2012). Filsafat kejahatan. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.
Penulis adalah alumni Filsafat UGM yang kini bergantung dari pendapatansebagai wartawan sepak bola.