Teori

Opresi dan Problematisasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Mengapa ilmu sosial, secara khusus psikologi, butuh untuk mengambil posisi dalam penelitian? Lebih spesifik lagi, mengapa berfokus pada opresi? Bagaimana mengidentifikasi kondisi opresi tersebut?

Berbasis pada gagasan Marxisme, komitmen keilmuan untuk terlibat dalam kritik sosial untuk mengidentifikasi ideologi yang memperbudak atau menindas manusia mulai menguat pada 1970an. Kondisi opresi berimpak pada kesejahteraan sosial/individual menjadi terhambat. Oleh karena itu, untuk mencapai pembebasan dari ketertindasan, maka perlu dilakukan analisis terhadap lingkungan macam apa yang menciptakan opresi. Lingkungan tersebut butuh diidentifikasi dan dieliminasi (Gruba-McCallister, 2014). Apa tujuan dari identifikasi dan eliminasi opresi termaksud?

Dalam tradisi Psikologi Pembebasan (Liberation Psychology) atau Psikologi Kritis (Critical Psychology), jenis psikologi yang concern dengan perkara opresi, tujuan dari identifikasi dan eliminasi opresi adalah membangun kultur penyadaran (conscientization). Penyadaran merupakan proses di mana subjek menjadi mampu memahami secara kritis, kesatuan dialektis antara dirinya dengan objek tertentu (Montero, 2014). Kesatuan dialektis berarti “apa yang terjadi pada diri saya, bukan semata disebabkan oleh diri saya sendiri”. Sebagai contoh, ketika kita hendak memahami sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung mereproduksi tenaga kerja dan tidak membangun sistem akademik, kita bisa merunut dalam sejarah perjalanan Indonesia. Diskoneksi ruang pendidikan dengan masyarakat dapat dilihat dalam kacamata neoliberalisme (menjamurnya developmentalisme) yang dipraktikkan sejak Orde Baru.

Montero (2014) mencatat bahwa dalam proses penyadaran dibutuhkan praktik ketiga hal berikut: de-habituasi, de-naturalisasi, dan problematisasi. Proses-proses tersebut meruapakan cara untuk menarik diri dari pengalaman yang berpotensi menjadi mekanis. Ketika kita menjalani hidup secara mekanis, kemampuan refleksi kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari mekanisasi keseharian ini, kita secara tak sadar mebbangun habituasi yang terjadi tanpa sama sekali perlu berpikir lebih jauh. Misalnya, ketika kita makan, kita tak pernah peduli dari mana asal makanan yang masuk ke mulut kita. Gumpalan lezatnya daging sapi yang masuk ke dalam mulut ini diperoleh dari mana? Siapa yang membesarkan sapi tersebut? Bagaimana bisa sampai di rumah atau warung tempat kita makan? Habituasi inilah yang kemudian membuat kita memandang bahwa segala sesuatu di sekitar kita terjadi alami; “bahwa orang tidak naik kelas karena dia bodoh dan malas”; “bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis sebab air mata menunjukkan rapuhnya diri”. Artinya, ketika kita seorang laki-laki lalu menangis di depan publik, hal tersebut sangatlah aneh. Bahkan, menangis di kamarnya sendiri pun terkadang terasa aneh. Kondisi ini yang kemudian disebut familiarisasi, bahwa ada sesuatu atau pengalaman yang dianggap lebih diterima dibanding yang lainnya.

Proses penyadaran terjadi ketika kita mempertanyakan-ulang mengenai sesuatu yang lazim terjadi di sekitar kita. Misalnya, kenapa kita mandi menggunakan jumlahan air tertentu atau mengapa kita perlu menggunakan sedotan untuk minum es. Apabila kita menyadari bahwa pemborosan air dan penggunaan sedotan menjadi perkara serius bagi lingkungan, kita akan menakar-ulang apa yang kita lakukan. Sebagai contoh, kita menggunakan parfum semprot yang mengkonsumsi gas CFC yang kemudian membuat lubang ozon makin melebar. Pelebaran lubang ozon ini berpotensi meningkatkan pemanasan global di mana serapan air di bumi akan meningkat atau jumlah es mencair dan menyebabkan volume air laut meningkat. Proses ini berpotensi menyebabkan banjir yang terjadi di Peru atau Chili. Dengan demikian, hal sangat kecil yang kita lakukan di Indonesia ini, bisa jadi sangat berkontribusi terhadap bencana di belahan bumi lain. Bencana bukan lagi diakibatkan oleh alam, melainkan oleh kontribusi kita sebagai manusia.

Gagasan mengenai penyadaran ini digarap secara serius oleh Paulo Freire dan Fals Borda sekitar tahun 1980an. Apabila Freire berfokus pada bagaimana pengetahuan diwariskan dalam kelas-kelas sebagai sebuah banking system, Borda menekankan pada konsep partisipasi di mana kita sebagai warga (citizen) dituntut untuk melakukan tindakan nyata bagi kehidupan. Gagasan Freire dan Borda turut berkontribusi melahirkan Psikologi Pembebasan yang dicetuskan oleh seorang Jesuit yang mati dibunuh pada 1989 di El Salvador, Ignacio Martín-Baró. Martín-Baró mengungkapkan bahwa tugas utama Psikologi Pembebasan adalah untuk memperkembangkan cara mencari kebenaran (memahami lingkungan kehidupan sosial) dalam populasi massa dan menciptakan praktik psikologis baru yang bertujuan untuk melakukan transformasi manusia dan masyarakat, mengakui bahwa ada kapasitas tertentu yang tidak muncul akibat adanya opresi. “Untuk mempraktikkan Psikologi Pembebasan,” kata Martín-Baró (1994), “yang pertama mesti dilakukan adalah membebaskan psikologi.”

Apa yang dilakukan Martín-Baró sebetulnya adalah gugatan terhadap psikologi mainstream yang cenderung melayani kepentingan kelas tertentu dan menafikan problem ketidakadilan. Martin-Baro melihat bahwa ilmu mestinya berpihak pada mereka yang disingkirkan. Keberpihakan inilah yang kemudian diharapkan mampu memunculkan penyadaran. Penyadaran sendiri dilakukan dengan cara memperluas kesadaran lewat dialog, bukan sekadar perdebatan yang sengit. Karena dilakukan lewat dialog, maka penyadaran hanya bisa dilakukan bersama dengan orang lain (episteme of relatedness).

Lalu, penyadaran macam apa yang dirasa penting dalam kajian Psikologi Pembebasan? Psikologi Pembebasan fokus pada persoalan ketidakadilan. Bagi Psikologi Pembebasan, ideologi menjadi aspek yang penting untuk digugat. Ideologi dianggap sebagai bentuk opresi terhadap kehidupan sehari-hari. Oeh karena itu, bagian selanjutnya akan membahas terkait opresi.

Psikologi Opresi

Dalam keseharian, istilah “opresi” tidak lazim digunakan dalam percakapan. Minimnya penggunaan kata ini bersumber dari pelabelan bahwa mereka yang menggunakan istilah “opresi” bisa dianggap orang yang tidak tahu diri dan subversif (melawan status quo). Namun, semenjak tahun 1960an, istilah opresi mulai digunakan dalam gerakan sosial dalam rangka memperjuangkan keadilan.

Dalam pemahaman tradisional, opresi (penindasan) berarti praktik tirani oleh kelompok penguasa. Namun, penindasan juga menciptakan ketidakadilan dalam situasi yang tidak disertai seorang tiran. Orang tidak selalu ditindas oleh tiran kejam dengan niatnya yang buruk. Dalam banyak kasus, masyarakat liberal (yang menghargai hak-hak individualistik) yang berniat baik dapat menempatkan kendala di seluruh sistem pada kelompok dan membatasi kebebasan kelompok termaksud. Penindasan bisa menjadi hasil dari beberapa pilihan orang atau kebijakan yang menyebabkan tertanamnya norma, kebiasaan, dan simbol yang tidak dipertanyakan. Aturan-aturan sosial ini dapat menjadi struktur kekuatan dan penghalang yang membatasi, melumpuhkan bahkan mengurangi (secara literal maupun metaforis) beberapa kelompok orang.

Penindasan terjadi ketika ada orang atau kelompok yang menghambat atau mereduksi potensi orang lain untuk menjadi manusia sepenuhnya. Dengan kata lain, penindasan terjadi ketika orang atau kelompok tertentu membuat atau mengkondisikan orang atau kelompok lain menjadi kurang manusiawi – atau memperlakukan mereka dengan tidak manusiawi (dehumanisasi). Membuat orang tidak berkembang sepenuhnya, berarti menghambat bahasa, pendidikan, dan peluang lain yang memungkinkan mereka untuk berkembang.

Apa yang menjadi tujuan Psikologi Pembebasan adalah orang harus bebas mengejar rencana hidup dengan caranya sendiri. Kita bisa mengenalnya lewat istilah “memanusiakan manusia”. Kekuatan-kekuatan yang menindas berusaha meredamkan rencana hidup dan humanisasi tersebut – dan dengan demikian secara tidak sadar kita bisa saja melakukannya.

Prilleltensky dan Gonick (1996) membedakan opresi sebagai kondisi dan sebagai sebuah proses. Ketika kita berbicara opresi sebagai sebuah proses, maka yang dimaksud adalah hasil dari opresi yang berupa deprivasi, ekslusi, diskriminasi, atau eksploitasi. Sementara itu, sebagai sebuah proses, opresi dipahami sebagai implikasi dari perilaku individu maupun kelompok untuk mendominasi atau mengontrol individu atau kelompok lain dalam rangka mengamankan sumber daya dan memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Artinya, ada relasi kekuasaan yang beroperasi dalam kondisi opresi.

Lebih lanjut Prillentensky dan Gonick (1996) membedakan antara opresi politik dengan opresi psikologis. Keduanya dibedakan berdasarkan dinamika opresi yang terjadi. Opresi politik terjadi ketika ada praktik (practice/exercise) kekuasaan yang dilakukan dengan mendominasi individu atau kelompok lain dengan menciptakan hambatan politik, sosial, atau ekonomi. Dominasi tersebut dilakukan dengan kekuatan dan penciptaan rasa takut yang memberi keuntungan bagi yang mempraktikkan opresi. Sebagai catatan, opresi politik dan opresi psikologis tidak bisa dipisahkan secara ketat, justru keduanya berhubungan erat satu sama lain. Dalam opresi psikologis, seseorang menginternalisasi kondisi opresinya. Orang tersebut mengintroyeksi penilaian negatif si penindas sehingga menciptakan perasaan inferior (inferiority), tidak berdaya (learned helplessness), dan perasaan ketidakmampuan yang berlebihan (surplus powerlessness).

Apa yang disebut sebagai penindas ini bisa disebut sebagai individu, kelompok, bahkan juga sistem. Harvey (2000, 2010) mengatakan bahwa opresi berakar pada hubungan yang terdistorsi dan secara moral tidak lazim, yang kemudian mewujud, berkontribusi, dan mencelakakan secara nyata (misalnya kemiskinan dan pengangguran). Karena berbentuk sistem, yang isinya adalah pula manusia, maka apabila asumsi-asumsi atau common sense sehari-hari yang bersifat menindas tidak teridentifikasi; yang terjadi adalah asumsi tersebut dianggap sebagai senyatanya fakta (irrefutable fact). Anggapan bahwa suatu hal “senyatanya fakta” inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni menjelaskan mengapa opresi dapat terjadi sementara subjek yang di/teropresi tidak merasa bahwa dirinya mengalami opresi.

Cudd (2006) menjelaskan bahwa ada 4 kondisi esensial yang bisa dimanfaatkan untuk menganalisis opresi. Pertama adalah kondisi yang mencelakai atau melukai (harm condition). Dalam kondisi tersebut, opresi berasal dari praktik institusional yang sistematis dan tak adil. Kedua adalah kondisi kelompok sosial (social group condition) yang mengatakan bahwa opresi diarahkan pada keanggotaan individu dalam suatu kelompok sosial. Ketiga adalah kondisi privilese (privilege condition), yakni keuntungan yang diperoleh oleh kelompok sosial yang diuntungkan dari praktik institusional atau sebuah sistem. Keempat adalah kondisi paksaan (coercive condition), yakni kondisi pengunaan kekuatan untuk melukai pihak lain. Berbasis keempat kondisi tersebut, Cudd (2006) menyatakan bahwa opresi merupakan proses yang terstrukturkan atau ter-institusionalisasikan dan bersifat menyengsarakan. Opresi dilakukan oleh sebuah kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya dengan memanfaatkan kekuatan material (kekerasan fisik, eksploitasi ekonomi) maupun psikologis (pembentukan keyakinan dan citra diri) yang terjadi secara langsung maupun tak langsung.

Sebagai contoh, kita dapat menilik tulisan Li (2020). Dalam penelitian etnografi di Sulawesi, Li (2020) mengisahkan bagaimana kelas pedagang di pesisir pantai ditentukan hidupnya oleh orang-orang dari perbukitan Lauje. Lewat pangan, tenaga kerja, dan tanaman dagang hasil bumi Lauje, para pedagang mengumpulkan nafkah untuk menghidupi dirinya. Para pedagang ini menjadi perantara orang Lauje untuk memperoleh barang lain yang tidak bisa mereka hasilkan dari olahan tanahnya. Sistem jual-beli tersebut kemudian terus berlangsung hingga pada akhirnya mulai muncul sistem kredit dan hutang yang dipraktikkan oleh orang Lauje. Di sisi lain, orang Lauje dianggap sebagai orang yang terbelakang sebab dalam kacamata orang pesisir, orang Lauje bisa menghasilkan pangan tetapi tidak mampu memperjualbelikannya. Ungkapan bahwa orang Lauje terbelakang ini kemudian diinternalisasi masyarakat Lauje. Pengalaman inferiorisasi ini berpadu dengan angan-angan orang Lauje soal kehidupan modern yang digambarkan dengan dibangunnya jalan raya dan sekolah. Pada akhirnya, masyarakat rural di Lauje memutuskan untuk menanam kakao, dengan harapan bisa mengumpulkan uang. Yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar dari penduduk Lauje malah kehilangan tanah akibat sistem kredit dan hutang yang menggantikan kehidupan komunal sebelumnya. Singkat kata, studi etnografis tersebut menunjukkan bahwa sebuah sistem bisa memungkinkan hadirnya opresi.

Wajah-Wajah Opresi

Menurut Iris Marion Young (2004), ada lima “wajah” atau jenis penindasan, yakni eksploitasi (exploitation), marginalisasi (marginalization), ketidakberdayaan (powerlessness), imperialisme budaya (cultural imperialism), dan kekerasan (violence). Dalam eksploitasi, bentuk pertama opresi, ditunjukkan adanya tindakan menggunakan tenaga manusia untuk menghasilkan keuntungan tanpa memberi kompensasi yang adil kepada mereka. Orang yang bekerja di pabrik (sweatshop) dieksploitasi. Meskipun mereka dibayar untuk usaha dan kerja keras mereka, mereka tidak dibayar dengan upah yang adil; mengingat berapa banyak uang yang mereka hasilkan untuk perusahaan atau pabrik. Penambang di Afrika juga dieksploitasi ketika mereka harus menyewa alat penambangan mereka setiap hari. Jika para penambang ini tidak menemukan sesuatu yang bernilai, maka mereka berutang untuk sewa persediaan dan tidak dibayar atas upaya mereka.

Eksploitasi menggunakan sistem kapitalisme (sistem ekonomi yang menekankan kepemilikan modal untuk memeroleh laba lebih) untuk menindas. Teori ekonomi kapitalisme menyatakan bahwa orang bebas untuk bertukar barang. Kenyataannya, kapitalisme menciptakan kelas orang yang berbeda: kaya dan miskin. Karl Marx mengatakan bahwa kapitalisme menciptakan kelas yang “memiliki” atau mereka yang memiliki kekayaan dan “si miskin” atau mereka yang tidak memiliki kekayaan. Galib terjadi bahwa dalam masyarakat kapitalistik, “si kaya” akhirnya mengeksploitasi “si miskin” untuk bekerja keras dan keuntungan mengalir ke dompet si “kaya”. Oleh karena itu, eksploitasi menciptakan sistem yang melanggengkan perbedaan kelas, membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin.

Marginalisasi, macam kedua penindasan, adalah tindakan mengasingkan atau membatasi sekelompok orang ke status sosial yang lebih rendah atau meminggirkan mereka dari masyarakat. Dalam keseharian, kita menyebutnya “penyingkiran”. Bentuk marjinalisasi ini tampil dalam rupa prasangka, stereotip, maupun diskriminasi. Dalam beberapa kasus, marjinalisasi lebih buruk daripada eksploitasi karena masyarakat telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat atau tidak akan memanfaatkan orang-orang tersingkir ini untuk tenaga kerja. Kebanyakan kasus ketersingkiran adalah berlatarbelakang etnis atau ras. Salah satu contoh yang menonjol adalah komunitas Aborigin Australia yang dikucilkan dari masyarakat dan semakin menjauh dari tanah kelahiran mereka ketika kota-kota tumbuh. Marginalisasi orang Aborigin terjadi ketika masyarakat memenuhi kebutuhan orang kulit putih dan bukan kebutuhan orang yang terpinggirkan dari “pemberadaban”. Dengan demikian, marjinalisasi terkait erat dengan gagasan “white supremacy”. Di Indonesia, kasus ini dapat kita lihat dalam konteks Yogyakarta, yakni terkait orang Melanesia. Selain ras, kita dapat menemukan bentuk marginalisasi yang didasarkan pada usia (ageism), “kesempurnaan” (ableism), seksualitas (sexism, misogynist, dan heteronormativity). Marginalisasi meminggirkan orang atau kelompok berdasarkan kebergunaannya dalam kehidupan sosial. Akibatnya, kelompok-kelompok ini mengalami perampasan materi yang parah (mereka tidak memiliki akses ke sumber daya dasar) dan bahkan pemusnahan (seperti genosida).

Selanjutnya, bentuk opresi ketiga adalah ketidakberdayaan. Bentuk tersebut terkait dengan teori sosialisme Marx: beberapa orang “memiliki” kekuasaan, sementara yang lain “tidak memiliki”. Kelompok penguasa mendominasi yang tidak berdaya dan menempatkan mereka untuk sekadar menerima perintah. Beberapa ketidakadilan mendasar yang terkait dengan ketidakberdayaan adalah hambatan untuk mengembangkan kapasitas seseorang, kurangnya kekuatan pengambilan keputusan, dan perlakuan tidak sopan karena status yang lebih rendah. Mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, kalaupun bersuara maka suara mereka dianggap tidak signifikan.

Bentuk keempat adalah imperialisme budaya yang melibatkan praktik budaya kelas dominan dan menetapkannya sebagai norma (dalam istilah Gramsci disebut sebagai “hegemoni”). Kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan dalam masyarakat mengendalikan bagaimana orang-orang di masyarakat itu menafsirkan dan berkomunikasi. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat itu adalah yang paling luas disebarluaskan dan mengekspresikan pengalaman, nilai-nilai, tujuan, dan pencapaian kelompok-kelompok ini. Karena sejarah Indonesia menunjukkan Jawa-sentris, maka nilai-nilai budaya Jawa seperti menghindari konflik menjadi nilai yang dianggap pantas diperjuangkan, sekalipun di dalamnya menyimpan problem bahwa konflik adalah hal yang mutlak terjadi dalam komunikasi. Contoh lain adalah terkait standar kecantikan yang selama ini didominasi kulit putih. Standar tersebut memunculkan afek-afek seperti rasa malu bagi mereka yang merasa bahwa kulitnya berada di bawah standar kecantikan. Sekalipun demikian, tidak hanya rasa malu yang muncul, ada subjek-subjek yang justru melakukan resistensi terhadap standar tersebut (Saraswati, 2017).

Di seluruh dunia, seksualitas adalah contoh umum imperialisme budaya. Kelompok dominan dalam masyarakat adalah heteroseksual, sehingga semua jenis seksualitas lainnya dikelompokkan sebagai Yang Lain atau Liyan (sesama manusia yang disingkirkan) dan dipandang sebagai inferior atau abnormal. Beberapa model sistem budaya dan pendidikan memperkuat anggapan bahwa heteroseksualitas adalah normal dan lebih baik (heteronormativity). Eksesnya, setiap orang yang dianggap “abnormal” dipaksa, baik halus maupun terang-terangan, menjadi heteroseksual.

Kekerasan, atau bentuk kelima penindasan, mungkin merupakan bentuk penindasan yang paling jelas dan terlihat. Anggota dari beberapa kelompok hidup dengan pengetahuan bahwa mereka harus takut akan serangan tanpa alasan terhadap orang atau properti mereka. Serangan-serangan tersebut tidak selalu membutuhkan motif tetapi dimaksudkan untuk merusak, mempermalukan, atau menghancurkan orang tersebut. Semua bentuk kekerasan seksual dan kekejian rasial adalah contoh umum penindasan dengan kekerasan. Kebanyakan, jika tidak semua, penindasan dengan kekerasan adalah akibat langsung dari xenophobia (ketakutan yang intens dan tidak rasional terhadap orang, ide, atau kebiasaan yang tampak aneh atau asing).

Setelah melihat bagaimana Psikologi dan ilmu sosial lain membicarakan opresi dan apa saja bentuk opresi yang bisa kita identifikasi, kita akan beranjak pada apa pentingnya penyadaran dilakukan dan bagaimana kemudian penyadaran tersebut mungkin dilakukan. Untuk lebih detailnya, kita akan lanjutkan dalam bagian berikut.

Paulo Freire dan Penyadaran

Paulo Freire (1970) meyakini bahwa ketidakberdayaan adalah bentuk penindasan yang terkuat karena memungkinkan orang untuk menindas diri sendiri dan orang lain. Dalam kondisi ketidakberdayaan ini, orang menjadi fatalistik dan menganggap struktur timpang dalam sebuah hubungan sosial merupakan hak yang memang seharusnya demikian. Orang fatalistik percaya bahwa “miskin dan kaya adalah soal nasib, bukan perkara ketidakadilan”.

Menurut Freire, orang yang tertindas menjadi sangat tidak berdaya sehingga jarang berbicara tentang penindasan mereka. Jika mereka mencapai tahap penindasan ini, maka orang atau kelompok akan menciptakan budaya di mana ada larangan untuk menyebutkan ketidakadilan yang sedang terjadi. Yang tertindas dibungkam. Mereka tidak memiliki suara dan kehendak apapun, kecuali hidup dalam kondisi tersebut.

Tingkat ketidakberdayaan ini memuncak ketika ada indoktrinasi. Pada tahap ini, yang tertindas percaya bahwa mereka “secara alami lebih rendah” dari kelas penguasa atau si penindas. Mereka diajari oleh penindas bahwa inferioritas mereka normal dan merupakan fakta kehidupan (fatalistik). Mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki suara (voice) dan pilihan (choice). Pendidikan dan literasi dirahasiakan untuk mencegah mereka mendapatkan pengetahuan tentang diri mereka sendiri dan membatasi mereka dalam menemukan cara mengkomunikasikan pikiran dan perasaan mereka (nah, makanya muncul beberapa kasus penyitaan dan pembakaran buku).

Menurut Freire, salah satu cara utama untuk mengindoktrinasi orang yang tertindas adalah memberi mereka citra negatif tentang diri mereka sendiri (melalui proses inrefiorisasi dan hegemoni). Orang-orang yang tertindas tidak manusiawi dan diajar untuk meyakini persepsi negatif sebagai fakta. Bagian paling berbahaya dari proses indoktrinasi ini adalah ketika citraan negatif ini diinternalisasi dan menjadi bagian dari keyakinan orang yang tertindas itu sendiri. Pada titik ini, yang tertindas tidak berdiam diri karena dipaksa; mereka diam karena mereka “merasa” bahwa pilihan tersebut adalah yang paling tepat. Satu-satunya cara, menurut Freire, adalah dengan conscientizacao (penyadaran). Orang-orang yang tertindas memperoleh pemahaman dan kesadaran yang lebih besar tentang diri mereka sendiri dan orang lain melalui pendidikan, melek huruf, dan refleksi diri. Dari sinilah kesadaran kritis (critical consciousness) muncul.

Julio Barreiro (1986), seorang murid Freire, menyajikan 4 tahapan dalam penyadaran. Tahap pertama adalah penyadaran sebagai penemuan dimensi manusia dan komitmen dengan konsekuensinya, mengarahkan pada humanisasi manusia dan dunia. Kedua, penyadaran sebagai bentuk kemenangan dari kesadaran kritis dari temuan dalam problem sosial. Dalam tahap ini, muncul kesadaran bahwa telah terjadi opresi dan memiliki kemampuan untuk memproduksi transformasi, sepanjang hal tersebut terbuka untuk proses dialog. Ketiga, penyadaran sebagai jalan dari kesadaran orang yang teropresi menjadi kesadaran akan adanya opresi. Dalam tahap ini, seseorang akan menekankan pada ketidakadilan dan polarisasi kondisi opresi. Pada tahap keempat, kesadaran muncul dari eksistensi yang teropresi menuju kesadaran akan terjadinya opresi, yang kemudian mengantarkan pada pembebasan.

Dalam proses-proses di atas, satu yang penting adalah adanya problematisasi. Problematisasi merupakan proses analisis kritis terhadap kondisi hidup dan peran yang dimainkan seseorang dalam mempertanyakan pemahaman terhadap seuatu yang biasanya berlangsung dan menetap. Problematisasi, menurut Freire, terjadi lewat dialog yang kondusif untuk memunculkan kesiapan dalam mengkonstruksi pengetahuan baru, menunjukkan adanya kontradiksi dan kepentingan tersembunyi dari persoalan sekitar. Freire mengatakannya sebagai “kesadaran atas kesadaran” (proses meta-kognitif).

Praktik Psikologi Pembebasan

Selama ini praktik Psikologi Pembebasan dilakukan lewat dua metode yang basisnya adalah problematisasi (Montero, 2009). Metode pertama adalah Participatory Action Research (PAR). Dalam metode ini, peneliti menjadi kawan dari orang-orang yang menderita karena kondisi sosial, tersingkir dari kehidupan sosial. Transformasi sosial hanya bisa ditempuh dengan partisipasi aktif dari orang-orang yang langsung menghadapi penderitaan. Metode kedua disebut sebagai Metode Biografis. Dalam metode ini, peneliti bersama orang-orang bekerja-sama dan berkolaborasi. Dalam prosesnya, refleksi kritis dilakukan dengan cara mengingat-ulang peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang untuk kemudian menemukan makna baru dari peristiwa yang terjadi dalam diri seseorang.

Bagaimana praktik problematisasi dilakukan? Montero (2009) menunjukkan bahwa yang pertama kali perlu dilakukan adalah dengan (1) mendengarkan. Untuk melakukan problematisasi, orang mesti pandai-pandai mendengarkan. Dengan mendengar, orang bisa untuk mempelajari bagaimana berbicara dengan orang lainnya. Kita juga bisa mendeteksi aspek yang dinaturalkan oleh seseorang dan dengan demikian bisa menentukan pertanyaan apa yang mesti diberikan. Kedua adalah dengan (2) dialog. Dialog dilakukan dengan membuka percakapan yang sifatnya setara; tidak menempatkan salah satu pewicara lebih tinggi dari lainnya. Para pewicara sama-sama sebagai produsen pengetahuan. Artinya, tidak cukup mendengarkan, orang juga perlu untuk melakukan “proses” dialog.

Karena dialog menjadi proses yang amat vital, maka kita perlu (3) peduli bagaimana caranya dialog. Apabila kita menerapkan wacana universitas atau kesarjanaan dalam dialog, hampir dipastikan kita akan mudah terpeleset pada pemahaman terhadap orang lain; kita akan cenderung memberi label berdasarkan istilah akademis yang kita serap. Di sisi lain, kita perlu memahami bahwa seseorang bukan berarti tidak bisa memahami atau belajar terkait apa yang kita katakan. Guna menjelaskan konsep, sebisa mungkin peneliti menjabarkan ilustrasi contoh dan kemudian dianalisis dan didiskusikan dengan kawan bicara. Pemahaman bukan milik akademisi seorang. Dalam prose sdialog perlu dipahami bahwa (4) dialog hanya berarti komunikasi. Dialog adalah proses pertukaran pengetahuan, karenanya ada kemungkinan perselisihan pandangan, diskusi, tanggapan, dan pertanyaan.

Sebagaimana disebut di atas, dialog merupakan kondisi yang berbasis kesetaraan, maka diperlukan (5) kerendahan hati dan penghargaan. Tak seorangpun lebih superior dibanding lainnya, kita punya hak yang berbeda satu sama lain. Sekalipun demikian, dalam dialog bukan berarti kita hanya saling mendengarkan lalu berkomentar. Orang membayangkan bahwa komentar berlawanan dengan kritik. Padahal kritik ini justru yang berpotensi memunculkan kesadaran baru. Montero (2009) mengatakan bahwa praktik problematisasi membutuhkan adanya (6) kritik. Kritik bukan berarti komentar yang destruktif, namun sebagai bentuk analisis yang membedah apa yang tengah menjadi objek pembicaraan. Kritik berfungsi dalam de-naturalisasi dan de-ideologisasi.

Perlu dicatat bahwa (7) problematisasi hanya berarti dialog yang mampu menyadarkan satu sama lain. Oleh karena itu, untuk melakukan problematisasi perlu berangkat dari sebuah kondisi atau keprihatinan yang dalam tradisi Freirean disebut sebagai hadap-masalah. Artinya, (8) problematisasi harus selalu merujuk pada situasi konkrit tertentu. Harapannya, (9) problematisasi lewat dialog dapat memantik pertanyaan lebih jauh terkait persoalan konkrit yang dipercakapkan. Artinya, problematisasi memiliki karakter refleksif yang bertujuan untuk menghasilkan pemeriksaan kritis terhadap situasi atau tindakan yang dipermasalahkan. Dengan pemerikasaan kritis tersebut, (10) kemungkinan akan kesadaran terbuka lebih lebar. Kemungkinan akan kesadaran berimplikasi bahwa transformasi terhadap situasi konkrit yang dihadapi. Freire menyatakan bahwa tranformasi membutuhkan identifikasi keterbatasan, apa yang bisa diterima dan apa yang tidak mungkin dilakukan.

Sebagai penutup, minimnya penelitian dalam Psikologi yang mengangkat isu ketertindasan ini menunjukkan bahwa sebuah disiplin ilmu juga berpotensi melanggengkan kondisi opresi. Dari situlah kemudian muncul betapa pentingya mengambil posisi penelitian kita bukan sekadar untuk “pengen” tahu sesuatu, namun kita bisa melanjutkannya dengan pertanyaan: “Kalau sudah tahu, lalu mau apa? Apa artinya pengetahuanmu itu bagi dunia kita? Apa relevansinya?”

 

Daftar Acuan

Cudd, A. E. (2006). Analyzing oppression. New York, NY: Oxford University Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the opressed. New York: Herder & Herder.

Gruba-McCallister, F. (2014). Opression. Dalam T. Teo (Ed.), Encyclopedia of critical psychology (hal. 1289-1294). New York: Springer.

Harvey, J. (2000). Social privilege and moral subordination. Journal of Social Philosophy, 31, 177–188.

Heldke, L., & O’Connor, P. (2004). Five faces of oppression. Dalam L. Heldke dan P. O’Connor (Eds.), Oppression, privilege, & resistance. Boston: McGraw Hill.

Magdoff, F., & Foster, J.B. (2018). Lingkungan hidup dan kapitalisme: Sebuah pengantar. Serpong: Marjin Kiri.

Martín-Baró, I. (1994). Writings for a liberation psychology. Harvard: Harvaerd University Press.

Montero, M. (2009). Methods for liberation: Critical consciousness in action. Dalam M. Montero & C. Sonn (Eds.), Psychology of liberation (hal. 73-92). New York: Springer.

Montero, M. (2014). Conscientization. Dalam T. Teo (Ed.), Encyclopedia of critical psychology (hal. 296-299). New York: Springer.

Prilleltensky, I., & Gonick, L. (1996). Politics change, oppression remains: On the psychology and politics of oppression. Political Psychology, 17, 127–147.

Li, T.M. (2014/2020). Kisah dari kebun terakhir: Hubungan kapitalis di wilayah adat. Serpong: Marjin Kiri.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *