Teori

Pembentukan Subyek Lacanian

Dalam kongres di Roma pada 1953, Lacan menyampaikan sebuah teks berjudul The Function and Field of Speech and Language in Psychoanalysis (1977[1956]). Tulisan yang kemudian dikenal dengan sebutan Rome Discourse tersebut berfokus pada perbedaan antara ucapan (speech) dan bahasa (language), pemahaman antara subyek yang berbeda dengan I, serta elaborasi konsep sentral berupa penanda (signifier) dan tatanan Simbolik (symbolic order) (Homer, 2005). Tahun 1953 juga menandai pembentukan Société Française de Psychanalyse (SFP). Rome Discourse menjadi gagasan fundamental dalam pembentukan SFP.

Gagasan yang dipicu oleh Rome Discourse ini akan menjadi relevan dengan tradisi pemikiran mengenai subyek yang selama ini berlangsung. Selama ratusan tahun, bahkan hingga saat ini, tradisi pemikiran kita hari ini amat dipengaruhi oleh pemikiran René Descartes (1596-1650). Salah satu pemikiran Descartes yang paling penting adalah konsepsi mengenai subyek. Descartes terkenal dengan kutipan yang mengatakan bahwa “I think, therefore I am” (“Cogito, ergo sum” atau “Saya berpikir, maka saya ada”). Apa perbedaan antara “saya” dalam “I think” dengan “saya” dalam “I am”? Mengapa perlu ada dua model “saya” dalam prinsip yang digagas Descartes?

Dalam kutipan di atas, “saya” pertama memiliki kesimpulan logis dalam “saya” yang kedua (Neill, 2011). Apabila mengacu pada struktur tata bahasa, penggunaan kata “saya” dalam kalimat tersebut menjadi berlebihan. Mengomentari kutipan tersebut, Lacan mensituasikan subyek (dan “cogito”) sebagai ketidaksadaran. “Saya” dalam “I think” menunjukkan bahwa hadir subyek ketidaksadaran. Lacan mengatakan bahwa subyek selalu dikonstitusikan dalam hubungannya dengan Liyan (Other) dan secara khusus dalam hubungannya dengan hasrat dari/untuk Liyan (desire of/for the Other).

Dengan mengatakan mengenai subyek ketidaksadaran, Lacan menolak gagasan subyek sebagai individu sadar (conscious individual) atau atomic individual. Dalam gagasan tradisional mengenai kesadaran, individual atomis secara umum menyasar pada gagasan agensi yang mengarahkan diri (self-governing agency). Bagi Lacan, subyek yang dikonsepsikan Descartes merupakan subyek yang tengah mencari kepastian. Descartes berupaya mendefinisikan perbedaan antara yang benar dengan yang salah sehingga hidup bisa berjalan lebih menentu.

Lantas, apa yang membedakan pembentukan subyek ketidaksadaran dengan konsep subyek sebagaimana digagas Descartes yang kemudian menjadi dasar dalam Psikologi Ego? Bagaimana gagasan dasarnya? Mengapa penting untuk membicarakan subyek ketidaksadaran dalam kondisi kontemporer di mana kesadaran menjadi norma penting dalam hidup kita? Tulisan ini berminat untuk menjelaskan mengenai bagaimana pembentukan ego dalam psikoanalisis Lacanian kemudian mengelaborasi gagasan subyektivitas dalam rangka menempatkan ketidaksadaran sebagai aspek penting dalam pembentukan subyek.

Subyek Modern ala Descartes

Setiap perdebatan mengenai subyek dalam ilmu pengetahuan hari ini senantiasa akan merujuk pada gagasan Descartes. Gagasan Descartes, yang kemudian dikenal sebagai Cartesian, berbeda dengan gagasan para sarjana yang pada masa 1600-an meyakini bahwa jiwa (soul/mind) dan tubuh (body) merupakan satu bagian. Descartes justru mengatakan bahwa jiwa dan tubuh merupakan dua substansi yang berdiri sendiri-sendiri (Thiel, 2011). Bagi Descartes, jiwa mengkonstitusikan kedirian. Properti prinsipil dari diri adalah pikiran, yang kemudian mengantarkan Descartes pada kesimpulan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang berpikir. Mind atau disebut juga res cogitans merupakan ruang untuk pikiran murni (pure thought). Sementara itu, ruang sensualitas, reaktivitas, dan tidak terbedakan disebut sebagai body atau res extensa (William, 2005). Karena esensi dari jiwa adalah berpikir, maka sekali ia berhenti berpikir, maka ia akan sirna. Dengan demikian, pikiran adalah pula kesadaran.

Dengan adanya pembagian tersebut, terjadi fragmentasi diri yang kemudian menjadi dasar untuk pengetahuan dan mengonstruksi subyek berpikir yang mampu melakukan verifikasi lewat metode saintifik. Subyek yang berpikir memiliki karakter kuat dalam meragukan suatu gagasan atau interpretasi terhadap realitas sehingga mencari kepastian akan suatu kebenaran. Dari keraguan ini, terrepresentasikan adanya ketidakamanan epistemologis (epistemological insecurity) (William, 2005). Dengan demikian, dualisme perbedaan antara tubuh dengan pikiran merambah lebih jauh menjadi perbedaan antara diri dengan makhluk berpikir lainnya (Thiel, 2011).

Gagasan subyek ala Descartes ini kemudian diakomodasi oleh berbagai bidang keilmuan untuk membuka kemungkinan bahwa manusia bisa membedakan ide yang keliru atau tidak bisa dipercaya dengan ide yang benar. Kemampuan kognitif manusia menjadi dasar dalam pembedaan ini. Subyek adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap struktur pengetahuan dan kebenaran. Gagasan ini berselisih dengan gagasan Tuhan sebagai subyek yang menentukan nasib dan hidup manusia. Ia mulai meragukan gagasan Tuhan dengan menuliskan bahwa:

“Sudah lama saya memiliki keyakinan dalam pikiran saya bahwa ada Tuhan yang mahakuasa dan oleh-Nya saya diciptakan dan dijadikan sebagaimana saya. Dan siapa yang dapat memberi saya jaminan bahwa Tuhan ini tidak mengatur bahwa seharusnya tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada tubuh yang diperluas, tidak ada sosok, tidak ada besaran, atau tempat, dan bahwa bagaimana pun saya harus memiliki persepsi tentang semua hal ini, dan persuasi bahwa mereka tidak ada selain seperti yang saya lihat?” (Descartes, 1641/1987, hlm. 98)

Subyek Descartes disebut pula sebagai homunculus atau “little man”. Sebagai homunculus yang berpikir, cogito menjadi subyek solipsistik yang bersifat fiksi, tanpa tubuh, tanpa rasa, serta bisa diperoleh lewat refleksi mendalam. Konsep ini berbeda dengan subyek dialektik atau historis sebagaimana digagas Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Descartes lebih menekankan bahwa subyek cogito diberi kapasitas kognitif yang tidak membutuhkan relasi spasial-temporal terhadap dunia dan liyan, tetapi bisa diperoleh dengan renungan intelektual dengan melihat ke dalam diri masing-masing.

Di sisi lain, Lacan nantinya akan berargumen secara berbeda. Subyek yang meragukan segala sesuatu mengindikasikan bahwa stabilitas subyek tidak akan tercapai, artinya tidak akan ada epistemological security, sebab subyek akan senantiasa terfragmentasi. Fragmentasi ini tampil dalam subyek linguistik dalam “I think, therefore I am” yang menjadi dasar Lacan dalam menunjukkan pembentukan subyek yang mengalami keterbelahan identitas. Namun, sebelum beranjak lebih jauh megenai subyek lingusitik Lacanian, latar belakang mengenai subyek linguistik ini bisa kita eksplorasi terlebih dahulu melalui teori strukturalisme.

Strukturalisme

Gagasan yang mendasari pembentukan subyek menurut Lacan diambil dari pengembangan pemikiran antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss (1908-2009), ahli linguistik Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913), dan ahli linguistik Rusia Roman Jakobson (1896-1982). Ketiga tokoh tersebut mewakili tradisi pemikiran yang disebut sebagai strukturalisme. Berbeda dengan surealisme yang menjadi gerakan kebudayaan, strukturalisme berkembang di bawah label mode berpikir dan analisis yang merambah disiplin matematika hingga kritik sastra. Secara khusus, strukturalisme mendominasi kehidupan intelektual Perancis pada 1950-an hingga 1960-an.

Nama-nama yang sering dikaitkan dengan strukturalisme adalah psikolog Jean Piaget (1896-1980); Roman Jakobson; ahli sastra Roland Barthes (1915-1980), Tzvetan Todorov (1939-2017), dan Gérard Genette (1930-2018); pemikir sosial Michel Foucault (1926-1984; serta filsuf Marxist Louis Althusser (1918-1990) (Homer, 2005). Premis dasar strukturalisme adalah bahwa semua aktivitas sosial mengkonstitusikan bahasa sejauh melibatkan sistem tanda dengan aturan intrinsik dan tata bahasa. Sekalipun strukturalisme begitu beragam, tetapi Claude Lévi-Strauss menjadi nama yang paling tenar. Pemikiran Lévi-Strauss sendiri merupakan pengembangan dari gagasan Saussure mengenai tiga aspek bahasa, yakni bahasa sebagai fenomena komunikasi universal, langue, dan parole. Langue dapat dipahami sebagai suatu sistem terberi seperti bahasa atau sistem bahasa (misalnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia). Sementara itu, parole merupakan ekspresi individual atau manifestasi dari sistem tersebut, misalnya pengucapan.

Gagasan Lévi-Strauss mengenai fungsi simbolik menjadi basis Lacan dalam mengembangkan aspek ketidaksadaran (Homer, 2005). Dalam sebuah tulisannya, Lévi-Strauss menganalisis pernikahan dan sistem kekerabatan (kinship system) masyarakat primitif. Menurut Lévi-Strauss, hubungan perkawinan dalam masyarakat tersebut didasari oleh stuktur masyarakatnya. Pertukaran orang secara fisik, secara khusus perempuan, bukan lah menjadi yang utama. Perempuan diposisikan sebagai tanda dan dioperasikan dalam pertukaran simbolik. Terlepas dari akurasi maupun persoalan gender apabila hal tersebut dilihat pada masa kini, Lévi-Strauss menyumbangkan gagasan bahwa regulasi dan aturan mengenai perkawinan tersebut hadir sebagai ketidaksadaran kolektif yang tidak muncul dari para individu (Evans, 2006). Lantas, Lévi-Strauss menyimpulkan bahwa hadir struktur ketidaksadaran yang menentukan posisi sosial dan mengatur hubungan mereka, tanpa mereka sendiri sadari. Bahkan, simbol boleh jadi lebih nyata dibandingkan dengan apa yang disimbolkan.

Bertolak dari gagasan fungsi simbolik termaksud, Lacan kemudian menelusuri lebih jauh mengenai linguistik yang dikembangkan oleh Saussure (Homer, 2005). Gagasan Saussure layaknya revolusi Copernican dalam tradisi pemikiran ilmu sosial-kemanusiaan. Alih-alih kata-kata yang diucapkan manusia ditaruh pada pinggiran, pemahaman manusia pada realitas justru dilihat sebagai pusaran mengenai penggunaan tanda-tanda verbal. Dengan melihat praktik berbahasa, maka kajian linguistik tidak bisa sekadar memahami bahasa secara diakronik dengan melihat etimologi kata atau filologinya, melainkan perlu sampai melihat secara sinkronik mengenai bagaimana melihat bahasa sebagai sistem yang komplit dan dipraktikkan pada masa kini. Kita menggunakan bahasa sebagai kesatuan kosakata (vocabulary), sintaksis (syntax), tata bahasa (grammar), dan konvensi (convention) yang tidak disadari serta menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dikatakan. Dengan kata lain, bahasa dipahami dalam sebuah sistem total yang mengatur apa yang bisa dikatakan seseorang sementara orang tersebut tidak menyadari aturan-aturannya.

Bagi Saussure, bahasa merupakan sistem tanda. Dalam pemahaman-pemahaman sebelumnya, bahasa dipahami dalam kerangang teori korespondensi yang kira-kira mengatakan bahwa bahasa merupakan tanda yang secara langsung merujuk pada obyek di dunia. Dalam diagram berikut ini disajikan mengenai bagaimana kata-kata terhunung dengan realitas:

Saussure berpendapat bahwa suatu kata tidak selalu memiliki rujukan yang spesifik (Homer, 2005). Sebagai contoh, ketika kita mengatakan “topi”, maka “topi” bisa merujuk pada topi fedora, trilby, panama, browler, snapback, sombrero, dan seterusnya. Kata “topi” tidak merujuk pertama-tama sebagai suatu benda, melainkan suatu konsep. Oleh karena itu, Saussure mengusulkan diagram sebagai berikut:

Dengan merujuk pada diagram baru yang ditawarkan Saussure, maka tanda linguistik dibagi menjadi dua elemen, yakni kata yang kemudian disebut sebagai signifier (penanda) dan konsep yang disebut sebagai signified (petanda). Kaitan antara penanda dengan petanda dapat ditampilkan sebagai berikut:

Kaitan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer. Artinya, makna tidak melekat pada tanda itu sendiri, melainkan hubungan antar-tanda dalam sistem bahasa.

Dari gagasan Saussure, setidaknya ada tiga hal penting mengenai teori bahasa yang bisa dicatat (Homer, 2005). Pertama, bahasa mendahului kesadaran. Sebagai subyek yang berbicara, kita dilahirkan ke dalam bahasa. Kedua, bahasa tidak merefleksikan kenyataan tetapi justru memproduksi pengalaman seseorang dalam sistem bahasa. Kemudian, ketiga adalah bahwa bahsa bukanlah sistem yang absolut (absolute) dan menetap (fixed), melainkan merangkai relasi yang berbeda-beda.

Signifier

Berbeda dengan Saussure yang menyatakan bahwa tanda tidak terbagi (indivisibility) dan pentingnya petanda dibanding penanda, Lacan justru menunjukkan bahwa Penanda (dengan huruf kapital) mendahului petanda dan bar antara dua elemen yang disimbolkan. Dalam The Agency of the Letter in the Unconsciousness or Reason since Freud (2001 [1957]), Lacan menggunakan contoh pintu di stasiun. Seorang anak laki-laki dan anak perempuan dikisahkan baru saja sampai di stasiun. Mereka melihat jendela saat kereta hendak berhenti. Si anak laki-laki kemudian berkata: “Lihatlah, kita berada di depan toilet Perempuan!” “Dasar bodoh!” Jawab si perempuan. “Tidak kah kau lihat kita di depan toilet Laki-laki.” Pertama-tama, perlu hadir Penanda sebelum kita masuk ke petanda. Meskipun pintu toiletnya sama, tetapi penanda di atas pintu tersebut berbeda. Lacan kemudian memformulasikan hubungan antara penanda dengan petanda sebagai berikut:

Fungsi lambang bar di atas adalah untuk menghalangi makna. Oleh karenanya, yang terjadi bukan lah penanda merujuk pada petanda, melainkan ke penanda lain. Kondisi tersebut mengasumsikan bahwa ada rantai penandaan yang tidak pernah berakhir. Konsep tersebut tampil dengan adanya kamus yang menjadi penjelas dari penanda yang digunakan untuk menandai suatu obyek.

Namun, apabila hubungan penanda dengan petanda terlalu arbitrer, maka proses komunikasi sehari-hari tidak akan memiliki makna. Karena perlunya makna dalam suatu rantai penandaan, Lacan menunjukkan perlunya titik jangakar (anchoring points) yang disebut sebagai point de capiton. Poin de capiton memungkinkan pergerakan atau pergeseran penanda menjadi terbatasi dan tidak secara radikal berubah secara semena-mena.

Sebagaimana gagasan Saussure yang menyatakan bahwa ada struktur yang mengatur apa yang bisa kita katakan, Lacan menyebut struktur tersebut sebagai ketidaksadaran. Ketidaksadaran inilah yang diproduksi lewat bahasa dan aturan berbahasa. Secara khusus, gagasan Saussure mengenai poros bahasa (axis of language) yang bersifat paradigmatik dan sintakmatik bersinggungan dengan gagasan Jakobson mengenai metafora dan metonimi. Dalam terminologi Jakobson, metafora merupakan penggunaan kata atau ekspresi untuk menggambarkan sesuatu tanpa menyatakan komparasi secara langsung. Sementara itu, metonimi merupakan penggunaan istilah untuk sesuatu yang bisa diaplikasikan pada asosiasi lain. Dalam poros paradigmatik, terdapat metafora yang menjadi substitusi satu istilah untuk istilah yang lain. Metonimi sendiri berada dalam poros sintakmatik yang menyatakan hubungan (contiguity) yang saling berasosiasi. Dalam cara kerja mimpi, metafora bersanding dengan kondensasi (condensation) dan metonimi bersanding dengan pemindahan (displacement). Dengan menggunakan gagasan Jakobson, Lacan berupaya menjelaskan bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa (the unconscious is structured like a language). Artinya, ketidaksadaran beroperasi dengan aturan metafora dan metonimi.

Tatanan Simbolik

Freud mengatakan bahwa ketidaksadaran adalah bagian dari eksistensi manusia yang menghindari diri kita, tidak terkontrol, tetapi juga mengatur cara kita berpikir dan berharap. Berbeda dengan Freud, Lacan mengatakan bahwa ketidaksadaran termuat dalam material penandaan. Ketidaksadaran dipahami sebagai bahasa yang berbicara lewat diri kita, bukan bahasa yang kita katakan. Karena bahasa berbicara lewat diri kita, maka bahasa diperoleh dari dunia eksternal, yakni Liyan (Big Other) yang mengisi tatanan simbolik.

Berbeda dengan ego yang secara imajiner berfungsi dan terbentuk lewat hubungan subyek dengan tubuhnya, subyek dikonstitusikan dalam tatanan Simbolik. Dengan pengkonstitusian ini, maka ada perbedaan antara subyek yang mengucapkan (subject of enunciation) dan subyek dalam ucapan (enunciated subject). Perbedaan antara kedua subyek ini menunjukkan adanya keterbelahan subyek atau dalam istilah Freud disebut Ich-Spaltung (Chiesa, 2007).

Secara ringkas, dalam tatanan simbolik terjadi pergeseran dari liyan kecil (other) menjadi Liyan besar (Big Other) (Chiesa, 2007). Liyan besar setara dengan (a) bahasa sebagai suatu struktur, (b) tatanan Simbolik sebagai susunan kebudayaan manusia, dan (c) ketidaksadaran Freudian yang diformulasikan oleh Lacan. Dengan demikian, dalam Liyan besar ini subyek perlu dipahami dalam kerangkan subyek bahasa, subyek Simbolik, dan subyek ketidaksadaran. Apabila dalam fase cermin “ego merupakan liyan”, maka dalam tatanan Simbolik “I adalah Liyan”. Dalam tatanan Simbolik, subyek mengalami alienasi untuk kedua kalinya setelah berlangsung fragmentasi dalam fase cermin. Meskipun mengalami alienasi, tetapi dengan berhasil masuk dalam dunia Simbolik maka subyek bisa mengatasi alienasi imajiner dan tendensi narsistik yang berlangsung selama fase cermin.

Bagi Lacan, tatanan Simbolik merupakan konsep menyeluruh yang membatasi dunia manusia (Evans, 2006). Isi tatanan Simbolik, yakni bahasa, menjadi media hasrat liyan diartikulasikan dan juga media kita mengartikulasikan hasrat diri. Dengan hadirnya tatanan Simbolik, maka subyek Lacanian berada dalam pusaran wacana (circuit of discourse). Pusaran wacana ini hadir sebelum dan selama kita hidup. Oleh karenanya, untuk menjadi subyek, seseorang perlu ditundukkan oleh tatanan bahasa yang tidak mungkin kita hindari sebagai suatu speaking being. Chiesa (2007) menggambarkan bahwa subyek dihadapkan pada tembok bahasa (wall of language) yang mencegahnya bicara secara penuh dengan Liyan. Setiap bahasa yang ditujukan subyek dalam tatanan Simbolik tidak berhasil untuk menyampaikan hasrat sepenuhnya.

Bentuk dasar dari pertukaran adalah komunikasi yang mempertukarkan kata-kata (Evans, 2006). Pertukaran kata-kata ini terjadi dalam dimensi linguistik yang artinya segala macam pengalaman psikoanalisis dan praktik psikoanalis akan beroperasi dalam fungsi Simbolik. Sekalipun demikian, bukan berarti tatanan Simbolik bukan berarti bahasa semata. Tatanan Simbolik juga melibatkan dimensi imaginary dan real (akan dibahas dalam tulisan selanjutnya).

Lacan mengatakan bahwa psikoanalisis kebanyakan bekerja pada tatanan Imaginary (Evans, 2006). Padahal, temuan utama Freud adalah dunia Simbolik yang menampilkan efeknya secara imajiner lewat ego. Oleh karena itu, psikoanalisis perlu menembus imajiner dan bekerja dalam dunia Simbolik. Apabila bekerja dalam Simbolik, maka psikoanalisis punya kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap posisi subyektif dari analysand.

 

Referensi

Chiesa, L. (2007). Subjectivity and otherness: A philosophical reading of Lacan. The MIT Press.

Descartes, R. (1641/1987). Discourse on method and the meditations (Penerj. F.E. Sutcliffe). Penguin.

Evans, D. (2006). An introductory dictionary of Lacanian psychoanalysis. Routledge.

Homer, S. (2005). Jacques Lacan. Routledge.

Lacan, J. (2001). The function and field of speech and language in psychoanalysis. Dalam J. Lacan, Ecrits: A selection (Penerj. A. Sheridan) (hlm. 24-86). Routledge.

Lacan, J. (2001). The agency of the letter in the unconsciousness or reason since Freud. Dalam J. Lacan, Ecrits: A selection (Penerj. A. Sheridan) (hlm. 112-136). Routledge.

Lacan, J. (2001). The subversion of the subject and the dialectic of desire in the Freudian unconscious. Dalam J. Lacan, Ecrits: A selection (Penerj. A. Sheridan) (hlm. 223-249). Routledge.

Neill, C. (2011). Lacanian ethics and the assumption of subjectivity. Palgrave Masmillan.

Saussure, F.d. (1916/2011). Course in general linguistics (Penerj. W. Baskin). Columbia University Press.

Thiel, U. (2011). The early modern subject: Self-consciousness and personal identity from Descartes to Hume. Oxford University Press.

Williams, C. (2001). Contemporary French philosophy: Modernity and the rersistence of the subject. The Athlone Press.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *