Teori

Bagaimana Psikologi Komunikasi Membicarakan Pesan Verbal?

Pada suatu kali, Anda berkelakar bersama teman-teman Anda. Anda mengeluarkan suara “ha-ha-ha” yang amat keras. Tiba-tiba seorang kawan Anda menjadi serius. Ia bertanya, “Kalau orang tertawa, apakah itu disebut pesan verbal?”

Pesan merupakan sinyal yang dikirim dari seseorang ke orang lainnya. Dalam sistem sinyal, ada dua hal utama yang seringkali kita gunakan, yakni verbal dan non-verbal. Apa yang membedakan kedua bentuk sistem sinyal tersebut? Istilah “verbal” diserap dari bahasa Latin verbālis yang berarti “word” atau “kata”. Nah, apakah suara “ha-ha-ha” yang muncul dari tawa Anda sebuah kata? “Ha-ha-ha” memang bersifat lisan atau oral tetapi ia bukanlah bentuk kata (DeVito, 2016). Dengan demikian, untuk membedakan pesan verbal dengan non-verbal, kita cukup melihat apakah pesan tersebut berbentuk kata yang tertulis (secondary orality) maupun lisan. Di luar kata, maka kita dapat menyebutnya sebagai pesan non-verbal. Lalu, apa saja prinsip pesan verbal?

Prinsip-Prinsip Pesan Verbal

Prinsip pertama dari pesan verbal adalah bahwa pesan tersebut terkemas bersamaan dengan pesan non-verbal (DeVito, 2016). Bayangkan Anda sebagai seorang yang percaya pada hantu. Pada suatu malam, bersama seorang teman, Anda melewati sebuah jalan yang amat sepi. Teman Anda bertanya, “Apakah kamu takut?” Anda kemudian menjawab “Ya, saya merasa sedikit takut.” Teman Anda kemudian menimpali, “Saya pun demikian, saya takut kalau tiba-tiba ada perampok menghampiri kita.” Anda setengah kaget kemudian menyahut, “Lhoh, saya malah takut kalau-kalau ada hantu.” Dalam suasana tersebut, ketika Anda berdua mengatakan rasa takut, barangkali Anda tidak menyadari bagaimana mimik muka, resam tubuh, atau bulu kuduk yang berdiri. Namun, kasus demikian menunjukkan bahwa pesan verbal dan non-verbal seringkali berlangsung bersamaan.

Kombinasi verbal dan non-verbal dalam pesan ini kemudian kita temukan pula dalam berbagai media di sekitar kita. Ketika Anda menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, maupun TikTok; Anda akan menangkap bahwa di sana ada foto atau video yang seringkali diikuti dengan kata-kata. Artinya, ada kombinasi antara yang verbal dengan yang non-verbal. Apa fungsi kombinasi tersebut? Dalam sebuah komunikasi, pesan non-verbal dapat menekankan pesan verbal, melengkapi, menyangkal pesan verbal, mengatur jalannya komunikasi, mengulangi pesan, dan bahkan menggantikan pesan verbal.

Prinsip kedua adalah bahwa makna pesan berada dalam diri seseorang (DeVito, 2016). Dalam kisah lewat jalan sepi di atas? Apa yang menyebabkan perbedaan rasa takut antara Anda dengan teman Anda? Tentu saja kita dapat mengamati bahwa ada sumber rasa takut yang terstimulasi oleh jalanan sepi, yakni perampok dan hantu. Apabila Anda mencari arti dari rasa takut dalam KBBI, Anda akan menemukan bahwa rasa takut berarti: (1) merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, (2) takwa, segan, dan hormat, (3) tidak berani, (4) gelisah, khawatir. Persoalannya, ketika Anda mengatakan dalam percakapan di atas bahwa Anda takut, maka yang Anda maksud adalah karena hantu yang akan menyebabkan bencana. Sekalipun sama-sama ada rasa takut, tetapi Anda dan teman Anda mengkonstruksi rasa takut secara berbeda, yang kemudian ditentukan oleh perspektif sosio-kultural masing-masing (keyakinan dan nilai, misalnya). Implikasinya, ketika Anda hendak mengetahui atau mengurai makna suatu pesan verbal, Anda perlu melihat pada orang tersebut dan bukan sekadar kata yang ia ungkapkan.

Terkait dengan prinsip ketiga, DeVito (2016) menyatakan bahwa prinsip keempat memahami makna bersifat denotatif sekaligus konotatif. Apa maksudnya? Denotasi berarti sebuah kata mengandung definisi yang obyektif, sedangkan konotatif berarti sebuah kata mengandung makna subyektif atau emosional. Misalnya, seorang anak diberitahu dokternya bahwa otak dan jantung ayahnya telah berhenti bekerja. Si dokter menyatakan bahwa sang ayah tak bisa diselamatkan dan dinyatakan meninggal. Kata “meninggal” di sini, dalam konsepsi dokter, secara denotatif berarti “mati”. Namun, bagi si anak dan keluarga mungkin punya kata tersebut bersifat emosional, subyektif, dan amat personal — atau dengan kata lain bersifat konotatif. Berkebalikan dengan denotasi yang secara umum dianggap universal dan menjadi kesepakatan bersama, konotasi bersifat personal.

Prinsip selanjutnya, atau prinsip kelima, adalah bahwa pesan bervariasi dalam bentuk abstraksi (DeVito, 2016). Ketika Anda menyebutkan bahwa sedang mengisi waktu luang, mungkin orang bisa berpikir bahwa Anda sedang leha-leha, tamasya, atau melakukan hobi. Ketika Anda mengatakan sedang bertamasya, orang mungkin masih bisa berpikir bahwa Anda sedang pergi ke pantai, ke gunung, atau ke sebuah gua. Ketika Anda bilang bahwa Anda sedang bertamasya ke pantai, mungkin orang bisa berpikir Anda sedang ke pantai di Wonogiri, Gunung Kidul, Bantul, atau di Kulon Progo. Namun, ketika Anda mengatakan bahwa Anda sedang ke Pantai Parangtritis, mungkin lawan bicara Anda akan lebih memahami bahwa Anda sedang tamasya ke sebuah pantai di Bantul, Yogyakarta. Semakin konkrit pesan yang Anda sampaikan, maka pesan yang diterima oleh si pendengar akan semakin efektif.

Dalam prinsip keenam, DeVito (2016) menyatakan bahwa pesan bervariasi dalam persoalan kesopanan. Kesopanan amat bervariasi dalam berbagai budaya. Dalam suatu kultur, mungkin makan sembari mengeluarkan suara dan kemudian diakhiri dengan bersendawa, dikatakan sama sekali tidak sopan. Namun, dalam kondisi dan konteks tertentu, suara dan sendawa tersebut justru menunjukkan kepuasan Anda terhadap makanan yang sedang Anda santap. Atau contoh lain dapat Anda temui dalam suatu organisasi. Seorang atasan yang memarahi bawahan di depan rapat, mungkin menjadi kultur yang dianggap “biasa saja” dalam suatu organisasi. Namun, ada jenis organisasi lain yang tidak sepakat dengan cara tersebut sebab cara si atasan dianggap tidak sopan.

Terkait dengan kesopanan, kita dengan mudah dapat menemukan persoalan terkait cara seseorang bicara langsung atau diimbuhi dengan nada dan kata yang dianggap sopan. Misalnya ketika seorang mahasiswa bertanya pada dosennya, ada yang secara langsung mengatakan perihal apa yang hendak ditanyakan. Namun ada pula yang mengimbuhinya dengan kata “Maaf, apakah saya mengganggu waktunya? Kalau tidak, bolehkah saya bertanya sesuatu.” Persoalan langsung atau tidak langsung ini seringkali menjadi soal dikaitkan dengan sopan atau tidaknya suatu perilaku. Sekalipun demikian, kasus tersebut tidak perlu dilabeli yang satu lebih tidak sopan dibanding lainnya. Adalah lebih penting untuk melihat bagaimana kedua orang yang terlibat pembicaraan melihat model atau cara berkomunikasi tersebut (DeVito, 2016).

Humor juga bisa menjadi contoh dalam kasus berikut — di mana kata-kata langsung tidak mungkin diucapkan. Freud (1905/1960) menyampaikan banyolan yang mengisahkan dua orang pengusaha yang saling pamer kekayaan. Ada dua orang pengusaha yang mau saling pamer kekayaan. Kedua pengusaha tersebut terkenal licik dalam menjalankan bisnisnya. Pada suatu kali, kedua pengusaha tersebut memesan lukisan dirinya kepada dua pelukis yang masing-masing sangat terkenal di negaranya. Setelah lukisan jadi, seorang pengamat seni terkenal didatangkan dan dimintai komentar terkait mana yang lebih baik. Kedua lukisan diletakkan pada dinding galeri terkenal di suatu kota. Ada cukup ruang kosong yang memisahkan kedua lukisan tersebut. Di hadapan publik yang datang, termasuk di hadapan kedua pengusaha tersebut, si pengamat seni kemudian hanya berkomentar demikian: “Di manakah sang Penyelamat?”

Kita dapat membaca humor tersebut sebagai sebuah satire. Bayangkan apabila si pengamat seni mengatakan demikian, “Kalian berdua itu orang-orang brengsek, tahunya cuma pamer kekayaan saja.” Apa yang dia katakan saat berkomentar mengenai kedua lukisan dianggap lebih sopan dalam arti dia memanfaatkan imajinasi mengenai penyaliban Yesus atau Nabi Isa yang mana ada dua orang di samping sang Nabi adalah para bromocorah pada masanya.

Prinsip ketujuh adalah bahwa pesan dapat jelas pengirimnya (onymous) maupun anonymous (DeVito, 2016). Ekosistem internet memungkinkan anonimitas jauh lebih mudah dilakukan. Orang dengan mudah membuat akun-akun dalam media sosial yang sama sekali tidak menampilkan apa identitasnya. Kemudahan untuk menggunakan media sosial tanpa perlu identitas yang pasti tersebut memungkinkan orang untuk menyuarakan hal-hal yang tidak populer dan mendorong pendapat yang jauh lebih jujur dibandingkan ketika disampaikan secara langsung atau tatap-muka. Sekalipun demikian, anonimitas ini juga bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melancarkan kepentingannya atau bahkan seorang yang sama sekali tidak ahli dalam bidang apapun bisa jadi merasa-diri menjadi seornag ahli ketika berdasa dalam lautan anonim. Hari ini ancaman yang datang dari media sosial dan bersifat anonim dengan mudah dikirimkan kepada seseorang. Bahkan, ada “profesi” tertentu yang justru dikerjakan secara anonim, misalnya buzzer, hacker, atau whistleblower..

Selanjutnya, makna pesan dapat menipu (DeVito, 2016). Prinsip kedelapan ini menekankan bahwa sebuah pesan bisa saja memang benar demikian, tetapi bisa pula tidak benar. Komunikasi interpersonal tidak bisa sekadar dibayangkan berisi keterusterangan antar-pelakunya. Dalam kebohongan, kita dapat menemukan empat tipe, yakni kebohongan prososial (prosocial deception), kebohongan yang dapat meningkatkan impresi diri (self-enhancement deception), kebohongan yang egois (selfish deception), dan kebohongan anti-sosial (anti-social deception). Dalam kebohongan prososial, kita tidak mengatakan yang sebenarnya dalam rangka mencapai sesuatu yang baik. Bahasa populer mengenalnya sebagai white lies. Katakanlah Anda sedang menghadapi seorang teman yang merasa diri inferior, dalam kondisi demikian kita seringkali berupaya untuk meningkatkan kepercayaan dirinya dengan mengatakan hal yang mungkin tidak sebenarnya demikian. Dalam kebohongan yang mampu meningkatkan impresi diri, kita sering menemukan ketika kita diwawancarai. Dalam wawancara yang mengharuskan Anda mengisahkan kehidupan Anda, terkadang kesuksesan dan kelebihan ditekankan — alih-alih hal-hal yang menurut Anda buruk. Lalu, dalam kebohongan yang egois, seseorang berupaya menyelamatkan diri sementara melukai orang lainnya. Misalnya dalam membuat sebuah tulisan bersama teman Anda, Anda mengatakan bahwa tulisan tersebut Anda kerjakan sendiri sementara teman Anda cuma leha-leha. Padahal, pada praktiknya, teman Anda juga ikut mengerjakan. Terakhir, pada kebohongan anti-sosial, seseorang memang sedari awal berniat untuk melukai seseorang, misalnya dengan menuduh seseorang melakukan suatu hal buruk padahal kita sendiri tahu bahwa ia tidak melakukan apa-apa.

Dalam prinsip kesembilan, DeVito 92016) menunjukkan bahwa pesan bervariasi dalam asertivitasnya. Asertivitas adalah perkara yang menunjukkan sebereapa Anda dapat menyampaikan apa yang menjadi gagasan Anda. Dalam asertivitas, pihak-puhak yang berkomuniaksi berupaya untuk saling terbuka satu sama lain tanpa perlu menyakiti atau menyerang satu sama lain. Untuk mempraktikkan asertivitas, kita perlu mengamati perilaku asertif yang dilakukan oleh orang lain di sekitar Anda. Setelah melakukan pengamatan secara jeli, Anda perlu untuk melatih asertivitas. Anda bisa membayangkan segala kemungkinan yang mungkin ada terstimulasi dari apa yang Anda sampaikan, pertimbangkan dan pilihlah yang dianggap paling asertif si antara kemungkinan-kemungkinan tersebut. Selama ini, komunikasi yang asertif dapat dilakukan dengan: (1) Mendeskripsikan masalah, (2) Katakan bagaimana masalah tersebut memengaruhi kita, (3) Menyampaikan solusi yang mungkin dilakuikan, dan (4) Melakukan konfirmasi pemahaman atas apa yang tengah dibicarakan.

Prinsip kesepuluh adalah bahwa pesan bersifat konfirmatif tetapi juga bisa tidak konfirmatif (DeVito, 2016). Sifat konfirmatif berarti Anda menempatkan seseorang sebagai manusia yang bisa diajak berkomunikasi. Sementara itu, diskonfirmatif menunjukkan bahwa pola komunikasi yang terjadi mengabaikan orang lain yang hadir dalam komunikasi. Ketika melakukan diskonfirmasi, boleh jadi kita melakukan penolakan terhadap eksistensi orang lain. Dalam diskonfirmasi, kita dapat mengidentifikasi beberapa pernyataan yang mengandung unsur rasisme, heteroseksisme, ageisme, atau seksisme. Ketika persoalan rasisme, heteroseksisme, ageisme, atau seksisme tersebut mengambil-alih cara seseorang menyampaikan pesan verbal, maka yang terjadi adalah komunikasi yang terjadi secara tidak setara atau bersifat dehumanizing.

Tabel 1. Perbedaan antara Konfirmasi dengan Diskonfirmasi

 

Diskonfirmasi

Konfirmasi

Mengabaikan kehadiran atau kontribusi orang lain; mengungkapkan ketidakpedulian terhadap apa yang dikatakan orang lain. Mengakui kehadiran dan kontribusi orang lain dengan mendukung atau mempermasalahkan apa yang dia katakan.
Tidak membuat kontak nonverbal; menghindari kontak mata langsung; menghindari sentuhan dan kedekatan nonverbal. Melakukan kontak nonverbal dengan mempertahankan kontak mata langsung serta jika sesuai konteks dan intimasi bisa dengan menunjukkan pengakuan terhadap orang lain, misalnya dengan sentuhan.
Monolog; terlibat dalam komunikasi di mana satu orang berbicara dan orang lainnya mendengarkan; tidak ada interaksi nyata; tidak ada perhatian atau rasa hormat yang nyata satu sama lain. Dialog; komunikasi di mana kedua orang menjadi pembicara dan pendengar; keduanya terlibat;  keduanya peduli dan menghormati satu sama lain.
Melompat ke interpretasi atau evaluasi daripada berusaha memahami apa yang dimaksud orang lain. Menunjukkan pemahaman tentang apa yang orang lain katakan dan maksudkan; mencerminkan pemahaman tentang apa yang dikatakan orang lain; jika ragu, ajukan pertanyaan.
Mencegah, menyela, atau menyulitkan orang lain untuk mengekspresikan dirinya. Mendorong orang lain untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan menunjukkan minat dan mengajukan pertanyaan.
Hindari menanggapi secara menyinggung atau mengakui komentar orang lain tetapi mengalihkan fokus pesan ke arah lain. Menanggapi secara langsung dan terarah terkait apa yang dikatakan orang lain.

 

Prinsip terakhir adalah bahwa pesan bervariasi dalam soal sensitivitas kulturalnya. Prinsip kesebelas ini mengharapkan kita jeli dan waspada terhadap identifikasi kultural terhadap orang yang tengah kita ajak berkomunikasi (DeVito, 2016). Identifikasi kultural ini bisa berupa ras dan nasionalitas, orientasi afektif (LGBTQ), usia,dan seks atau gender. Selain identifikasi tersebut, apabila kita memahami kata “kultural” secara lebih cair, maka identifikasi ini juga bisa merujuk pada hal-hal lain seperti institusi kebudayaan — agama, pemerintahan, perkawinan dan lain sebagainya. Coba Anda cermati humor yang kembali viral pada tahun 2020:

Di hadapan Gus Dur, AS Hikam berucap: “Kasus yang melibatkan Polri ini apakah sudah kacaunya lembaga itu atau gimana ya Gus. Kan dulu panjenengan yang mula-mula menjadikan Polri independen dan ditempatkan langsung di bawah Presiden? ”

“Gini loh, Kang,” Gus Dur mengawali perkataannya. “Polri kan sebelumnya di bawah TNI dan itu tidak bener.  Aparat keamanan dalam negeri dan sipil diatur oleh dan dengan cara tentara.  Tapi kan begitu begitu maunya Pak Harto dan TNI yang mengolah rakyat bisa menggunakan Polri untuk menyampaikan pesan.  Setelah reformasi ya harus diubah, maka Polri dibuat independen dan untuk sementara proses pemberdayaan terjadi dengan cepat di bawah Presiden langsung.  Nantinya ya di bawah salah satu kementerian saja, apakah Kehakiman seperti di AS atau Kementerian Dalam Negeri seperti di Rusia, dan lain-lain.  Nah, Polri memang sudah lama menjadi praktik kurang bener itu, sampai guyonan-nya kan hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng (Kapolri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur … hehehe …, ”urai Gus  Dur panjang lebar. (Ahmad, 2020)

Humor Gus Dur di atas diunggah oleh seseorang yang kemudian menyebabkan orang tersebut dijemput polisi pada tahun 2020. Apa yang hendak disampaikan Gus Dur di atas hendak mempersoalkan mengenai posisi Polri ketika humor tersebut disampaikan. Namun, dalam konteks penangkapan oleh polisi terhadap orang yang mengunggah humor tersebut pada 2020, tampaknya humor tersebut dibaca sebagai penghinaan nama baik institusi sehingga si pengunggah humor ditangkap. Dalam kasus demikian, ditunjukkan bahwa konsepsi kultural antara kepolisian dengan si pengunggah agaknya berbeda sehingga komunikasi yang terjadi tidak berlangsung dengan efektif.

Tabel 2. Ringkasan Prinsip Pesan Verbal

Prinsip Pesan Verbal

Strategi Pesan Verbal

Makna terkemas dalam pesan verbal dan non-verbal Carilah pesan verbal dan nonverbal yang bekerja bersamaan atau bertentangan satu sama lain.
Makna berada dalam diri seseorang Perhatikan tidak hanya kata-kata yang digunakan tetapi juga pada orang yang menggunakan kata-kata tersebut.
Pesan bersifat denotatif dan konotatif Perhatikan baik makna obyektif maupun subyektif yang diungkapkan.
Pesan bervariasi dalam abstraksinya Gunakan istilah umum dan khusus.
Pesan bervariasi dalam tingkat kesopanannya Gunakan pesan yang mencerminkan orang lain secara positif dan biarkan mereka punyaotonomi dalam berkomunikasi.
Pesan bisa menunjukkan identitas yang jelas ataupun anonim Gunakan kepemilikan pesan (authorship)sebagai salah satu faktor dalam mengevaluasi pesan.
Makna pesan dapat menipu Dalam beberapa situasi, pesan mungkin tidak tepat dan sengaja dirancang untuk menyesatkan Anda.
Makna dapat bervariasi dalam asertivitasnya Bertindak asertif seringkali merupakan mode komunikasi yang disukai, tetapi sikap asertivitas juga dipengaruhi oleh konteks budaya.
Pesan dapat bersifat konfirmatif maupun diskonfirmatif Pesan yang konfirmatif akan ditanggapi secara positif dan pesan yang tidak konfirmatif akan mendapat tanggapan yangnegatif.
Pesan bervariasi dalam sensitivitas kulturalnya Terbiasa melakukan identifikasi budaya;  jika tidak, Anda pasti akan menyinggung perasaan seseorang.

 

Menggunakan Pesan Verbal secara Efektif

DeVito (2016) menawarkan panduan untuk menggunakan pesan verbal secara efektif, yakni (1) Perluas pandangan; (2) Melihat si individu, menghindari ”sok tahu” segala hal, (3) Membedakan antara fakta dan simpulan;(4) Menghindari diskriminasi, (5) Menghindari polarisasi, dan (6) Memperbarui informasi atau pengetahuan kita.

Dalam memperluas pandangan, orientasi intensional merujuk pada tendensi untuk melihat seseorang, obyek, dan peristiwa dalam label-label atau yang dibicarakan mengenai orang tersebut. Seringkali kita tidak bercakap-cakap dengan “orang”-nya, tetapi malah bercakap-cakap dengan fantasi atau imajinasi mengenai seseorang yang kita temui. Fantasi atau imajinasi ini berasal dari cerita-cerita sebelumnya yang diceritkan orang lain kepada kita maupun impresi kita ketika melihat orang tersebut dalam media.

Terkait dengan memperluas pandangan, kita juga bisa mengamati si individu dan menghindari untuk menjadi “sok tahu” akan segala hal. Katakanlah Anda bertemu dengan seseorang untuk pertama kalinya. Anda mengamatinya selama berjam-jam dalam sebuah pembicaraan. Setelah pertemuan berakhir, Anda merasa sudah mengetahui orang tersebut. Padahal, pada kenyataannya banyak kisah dari orang tersebut yang sama sekali tidak Anda ketahui. Persoalan “sok tahu” ini membuat kita menjadi cenderung menghakimi seseorang dan membentuk konsepsi kita yang kaku terhadap orang tersebut.

Selanjutnya, kita perlu membedakan antara fakta dan kesimpulan. Sesuatu bisa disebut fakta apabila dibuat berdasarkan pengamatan (sekalipun pengamatan belum tentu bisa menggambarkan intensi seseorang), terbatas pada pengamatan tersebut, dibuat hanya oleh si pengamat, mengenai sesuatu yang terjadi kemarin atau hari ini, mendekati kepastian, dan dapat diverifikasi. Sementara itu, sesuatu dikatakan kesimpulan apabila dibuat serampangan, melampaui apa yang teramati, dibuat seseorang yang tidak jelas siapa; bisa tentang masa lalu, masa kini, maupun masa depan, melibatkan sebanyak mungkin tafsiran, dan tidak bisa diverifikasi. Ketika kita mengatakan bahwa “Orang tersebut berbaju hitam”, maka kita tengah bicara soal fakta. Namun, ketika kita bicara “Seseorang yang baju hitam itu kepribadiannya misterius”, maka kita tengah bicara soal simpulan. Apa soalnya dengan simpulan dalam pesan verbal? Apabila Anda kemudian menganggap simpulan sebagai sebuah fakta, maka Anda akan menutup kemungkinan lain.

Persoalan menutup kemungkinan ini juga terjadi apabila kita berpikir secara diskriminatif. Diskriminasi ini dapat tampil dalam menempatkan seseorang ke dalam kategori tertentu kemudian kita menempelkan atribut yang tidak sesuai atau “jumping” terhadap karakteristik seseorang. Misalnya, “Presiden Indonesia memang lebih pas kalau orang Jawa”, kalimat tersebut perlu penjelasan lebih jauh yang menunjukkan kenapa selama ini “kebetulan” yang menjadi presiden adalah orang Jawa. Bukan lalu semua orang Jawa pandai memimpin, melainkan karena komposisi dan privilese orang Jawa dalam politik nasional memiliki rasio yang lebih besar dibanding etnis lain. Selain itu, dengan membuat stereotip seringkali kita menjadi gagal untuk memahami seseorang sebagaimana dirinya.

Dalam strategi selanjutnya, Anda sebisa mungkin menghindari polarisasi. Polarisasi merupakan tendensi kita untuk melihat dunia secara hitam putih. “Orang itu tidak setuju dengan gagasanku, maka dia setuju dengan gagasan orang lain.” atau “Orang tersebut membicarakan soal ketidakadailan di Papua, maka orang tersebut tidak pro-Indonesia.” Persoalan apa yang muncul dari kalimat tersebut? Kita seringkali tidak menyadari bahwa kita berpikir secara hitam putih. Cara berpikir tersebut membuat kita concern pada satu dan melupakan alternatif yang lain. Ketidaksetujuan sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak sejalan sehingga seringkali perlu disingkirkan dari percakapan, padahal cara tersebut justru mempersempit dan menyederhanakan pesan verbal yang tengah disampaikan. Kita perlu menarik-diri dan mengamati pesan dengan penuh pertimbangan. Perhatikan contoh berikut:

Dokter: Saudara, saya hendak menyampaikan satu hal sangat penting terkait kesehatan Anda. Mana yang ingin Anda dengar, kabar buruknya dulu atau kabar baiknya dulu?

Pasien: Hmm, silakan kabar buruk duluan dokter.

Dokter: Dengan terpaksa saya mengatakan bahwa Anda menderita alzheimer (penurunan daya ingat dan kerusakan memori) parah.

Pasien: Lalu, apa kabar baik dari kondisi demikian?

Dokter: Kabar baiknya Anda bakal lupa dengan kabar buruknya setelah nanti sampai di rumah.

Humor di atas menampilkan bahwa persoalan kabar kesehatan pasien tidak bisa diletakkan sebagai sebuah kabar buruk semata. Humor tersebut menunjukkan bahwa pemikiran yang hitam-putih cenderung untuk menjebak kita pada kekakuan pada kebekuan pemahaman.

Terakhir, kita perlu untuk selalu update dengan istilah-istilah baru. Istilah baru yang kemudian menjadi kesepakatan simbolik dalam sebuah percakapan, sangat penting untuk memahami konteks pembicaraan dan penyampaian pesan verbal. Kapasitas dan pengetahuan kita dalam kosakatan menunjukkan bahwa kita juga memiliki kapasitas dalam menyampaikan ataupun menangkap pesan verbal.

***

Tulisan ini menggambarkan bagaimana pesan verbal dimanfaatkan dalam proses komunikasi interpersonal. Persoalan bahasa dan kemampuan berbicara dilihat dalam sudut pandang yang behavioristik atau hanya sebagai fungsi perilakuan. Padahal, bahasa dan pesan verbal juga membentuk kesadaran manusia. Bahasa sebagai sebagai sebuah fungsi perilakuan dikenal dengan istilah parole. Sementara itu, bahasa sebagai obyek kajian disebut sebagai langue. Pembagian keduanya didasarkan dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang kemudian direproduksi dan dipraktikkan secara terpisah. Pemisahan antara keduanya menjauhkan kita pada pandnagan bahwa bahasa dan percakapan mestinya diintegrasikan secara historis dan kultural dan pada sebuah hubungan yang spesifik (Werrani & Messing, 2014). Bahkan, bahasa juga membentuk bagaimana seseorang mengkonstruksi identitasnya (Locher, 2002).

Gambar 1. Lukisan Guernica oleh Pablo Picasso

Sebuah anekdot Jerman mengisahkan ada seorang pegawai pemerintahan Jerman yang mengunjungi Picasso di Paris saat Perang Dunia Kedua berlangsung (Žižek, 2008). Di studio tersebut, ada lukisan Picasso yang amat terkenal, yakni Guernica (1937). Melihat betapa kacaunya figur dalam lukisan tersebut, si pegawai kemudian bertanya pada Picasso: “Apakah Anda yang membuatnya?” Dengan tenang, Picasso menjawab: “Tidak, kamu yang membuatnya!” Tanpa melihat konteks sosio-politiko-historis yang terjadi dalam anekdot tersebut, barangkali kita akan kesusahan menangkan pesan verbal tersebut. Oleh karena itu, bahasa tak bisa dilihat hanya sebagai fungsi behavioris untuk memperlancar komunikasi, tetapi di dalamnya juga mengandung bagaimana kita memainkan dan membentuk kesadaran atas dunia di sekitar kita.

 

Referensi

Ahmad, F. (2020, 19 Juni). 19 Juni). Kumpulan humor Gus Dur tentang polisi dan tentara. Nu.or.id. Diunduh pada 8 Maret 2021 dari https://www.nu.or.id/post/read/120941/kumpulan-humor-gus-dur-tentang-polisi-dan-tentara

DeVito, J.A. (2016). The interpersonal communication book (14th ed. global ed.). Essex: Pearson.

Freud, S. (1905/1960). Jokes and their relation to the unconscious. New York: W.W. Norton.

Locher, M.A. (2002). Relational work, politeness, and identity construction. Dalam D. Matsumoto, APA handbook of interpersonal communication. Washinton: American Psychological Association.

Werrani, A., & Messing, J. (2014). Language and speech. Dalam T. Teo (ed.), Encyclopedia of critical psychology. New York: Springer-Verlag.

Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *