Teori

Komunikasi Tinjauan Psikologi: Sebuah Pengantar Singkat

Pernahkah kamu dengar banyolan ini? Dikisahkan ada seorang politisi Yugoslavia yang tengah berkunjung ke Jerman. Ketika kereta melewati sebuah kota yang aktivitas masyarakatnya tampak hidup, si politisi bertanya pada pemandunya: “Kota apa ini?” Si pemandu menjawab: “Baden- Baden.” Si politisi tersinggung dan menimpali: “Aku bukan orang bego, kau tidak perlu memberitahuku dua kali!” (Žižek, 2014)

 

Kisah di atas menunjukkan bahwa komunikasi seringkali terjadi tidak sebagaimana kita inginkan. Dengan latar yang berbeda dari setiap orang, maka perkara komunikasi menjadi “ngeri-ngeri sedap”. Bahkan, untuk memulai komunikasi, bisa saja orang merasa canggung. Meskipun demikian, sejak 2,3 juta tahun yang lalu, Homo sapiens menjadi dibedakan oleh makhluk hidup lain karena kemampuannya dalam berbicara dan memanipulasi simbol atau dengan kata lain berkomunikasi (Berry, 2007). Namun, mengapa orang perlu berkomunikasi? Apa sebenarnya komunikasi itu sendiri? Apa saja bentuknya? Bagaimana komunikasi terjadi? Apakah komunikasi senantiasa berjalan mulus? Kalau tidak, apa yang menyebabkannya? Tulisan ini berminat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Northhouse dan Northouse (1998) menyatakan bahwa komunikasi merupakan transfer informasi antara sumber dengan satu atau lebih penerima yang mana di dalamnya berisi proses pertukaran makna dengan menggunakan rangkain aturan tertentu. Sementara itu, dengan mendasarkan diri pada elemen dalam komunikasi, DeVito (2016) mendefinisikan komunikasi sebagai “tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.” Persoalan kontemporer, bukan lagi sekadar memahami apa itu komunikasi, melainkan lebih pada bagaimana menciptakan komunikasi yang efektif. Sekalipun demikian, beberapa perspektif seperti psikoanalisis cenderung pesimis dengan menunjukkan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang melulu gagal atau senantiasa ada hasrat yang tidak tertangkap dalam komunikasi antar-manusia (Verhaeghe, 1998). Namun, untuk kepentingan praktis, tulisan ini akan diarahkan pada bagaimana efektivitas komunikasi dibangun.

Penting untuk diketahui komunikasi melibatkan bahasa dan perilaku yang ditentukan dari pembentukan kognisi. Kognisi tersebut dibentuk lewat bahasa dan konteks (Pitts & Giles, 2010). Kognisi ini memberikan kita referensi untuk menganalisis, menginterpretasi, mengingat, dan menggunakan bahasa atau informasi dalam dunia sosial kita. Artinya, komunikasi ditentukan dari bagaimana kognisi ini dikonstruksi. Ketika Anda mengatakan banci terhadap seseorang yang tidak berpakaian drag queen, mungkin hal tersebut akan ditafsirkan sebagai sebuah penghinaan.

Guna mencapai komunikasi yang efektif, maka setidaknya kita perlu mengetahui bagaimana elemen-elemen komunikasi beroperasi (lihat Gambar 1). Komunikasi diawali dengan sumber atau disebut encoder, sedangkan menyampaikan informasi ke pihak lain yang disebut sebagai penerima atau decoder. Setelah terjadi proses penerimaan informasi, penerima akan memberikan umpan balik dan ia kini berperan sebagai encoder. Isi umpan balik yang adalah informasi itu kemudian diterima oleh pihak pertama yang semula berperan sebagai encoder dan kini sebagai decoder. Dalam proses pertukaran tersebut, terdapat gangguan (noise) yang memungkinkan terjadinya kesalahan penerjemahan pesan atau informasi. Proses pertukaran informasi tersebut melibatkan saluran yang bisa lebih dari satu. Misalnya, ketika kita berbicara dengan seseorang maka salurannya adalah berupa mata (visual), telinga (suara), hidung (olfaktori), atau kulit (taktil).

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal (Berry, 2016)

Mengapa Kita Berkomunikasi?

Matsumoto (2010) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses dasar yang menunjukkan bahwa manusia merupakan “binatang sosial” (social animals). Salah satu alasan yang memungkinkan manusia dapat memproduksi dan hidup dengan sukses dalam jaringan sosial yang begitu kompleks adalah karena kita dapat berkomunikasi. Apa yang kita komunikasikan? Kita mengomunikasikan maksud dan tujuan (intentionality). Tujuan aatau intensionalitas inilah yang tidak dimiliki oleh makhluk non-manusia. Intensionalitas memiliki tiga karakteristik: kompleksitas sosial (social complexity), pembedaan (differentiation), dan institusionalisasi (institutionalization).

Isi dari komunikasi sendiri, atau intensi yang kita sampaikan, berisi informasi. Informasi tersebut ditansmisikan dari orang ke orang, bahkan generasi ke generasi. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa budaya, sebagai sebuah sistem informasi, hanya mungkin berlangsung dengan hadirnya komunikasi. Karena itu, pada hari ini, kita tidak bisa lagi memisahkan antara orang dengan budaya. Keduanya saling berkelindan satu sama lain.

Terkait dengan tujuan orang melakukan komunikasi, Hybels dan Weaver (1995) mengatakan: “Untuk hidup berarti adalah berkomunikasi. Berkomunikasi berarti menikmati hidup sepenuhnya.” Seseorang tidak pernah terlahir untuk sendiri. Ia lahir di tengah rimba raya manusia. Tokoh fiktif seperti Tarzan juga tidak hidup tanpa berkomunikasi. Hanya dengan berkomunikasi, maka seseorang akan berkembang. Seorang anak tidak akan dapat hidup tenang di dunia apabila ia tidak diperkenalkan dengan bahasa. Lewat bahasa, ia menyusun skema dan kognisi sosialnya. Pengetahuan yang ia peroleh dimodifikasi dalam bahasa tertentu yang kemudian diorganisasikan untuk memahami kondisi diri dan lingkungan sosialnya.

Menurut DeVito (2016) ada empat tujuan mengapa kita berkomunikasi. Pertama adalah untuk menemukan diri. Dengan berinteraksi dengan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan, maka seseorang akan memahami posisinya di antara subjek atau objek lain. Dalam hal ini, kita juga akan melakukan perbandingan sosial (social comparison) untuk melakukan evaluasi diri berdasarkan pada interaksi kita dengan orang lain. Tujuan keduaadalah untuk berhubungan. Dengan menjalin hubungan, kita akan merasakan emosi baik yang negatif maupun yang positif. Pengalaman ditolak maupun diterima pada akhirnya akan menentukan bagaimana konsep diri dan narasi identitas yang kita bangun. Selain itu, tujuan ketiga, kita juga berkomunikasi untuk memengaruhi orang lain. Memengaruhi orang lain berarti mengubah dan menentukan bagaimana orang berperilaku atau mengambil keputusan. Pun dengan diri kita sendiri yang mengambil keputusan berdasarkan pendapat orang lain, baik orang dekat maupun berdasarkan iklan- iklan di televisi, internet, atau baliho. Tujuan terakhir atau keempat adalah untuk bermain. Kita melihat dan mendengarkan tontonan, lawakan, atau banyolan merupakan contoh bagaimana komunikasi bertujuan untuk bermain. Dari berbagai tujuan tersebut, sebuah proses komunikasi bisa memuat lebih dari satu tujuan. Sebagai contoh, perhatikan banyolan yang beredar di kalangan masyarakat pada tahun 1990an berikut ini:

Matematika Uang

Di salah satu sekolah dasar di Yogyakarta, seorang guru mengajarkan matematika, dengan menggunakan uang rupiah sebagai sarana penyampaiannya.

Bu Guru bertanya, “Perhatikan anak-anak, pada uang rupiah yang bergambar Pak Harto berapakah nilai rupiahnya?”

Murid-murid menjawab, “Lima puluh ribu, Bu Guru!”

Bu Guru bertanya lagi, “Sekarang perhatikan, pada uang rupiah yang bergambar monyet di hutan berapakah nilai rupiahnya?”

Murid-murid menjawab, “Lima ratus, Bu Guru!”

Untuk mentest kekuatan penalaran murid-muridnya, dengan penuh selidik, Bu Guru bertanya, “Jadi apa kesimpulan yang dapat kita tarik dari gambar dan nilai masing-masing uang rupiah tersebut anak-anak?”

Murid-murid secara serempak menjawab, “Lima puluh ribu dibagi lima ratus adalah seratus, Bu Guru. Jadi menurut mata uang kita, Pak Harto sama nilainya dengan seratus monyet di hutan, Bu Guru!”

Banyolan di atas mengandung unsur hiburan, namun di lain pihak juga mengandung unsur mempersuasi orang bahwa pemerintahan yang otoriter bisa dilawan dengan banyolan. Bahkan apabila kita analisis lebih jauh, maka banyolan tersebut juga menjadi media penghubung antar-aktivis 1998 untuk memelihara hubungan sosial yang kecut tapi bisa dijalani dengan riang. Dengan kata lain, benyolan tersebut merupakan cara seseorang untuk bertahan hidup dalam menghadapi konteks hidupnya kala itu.

Mengapa Penting untuk Memiliki Kecakapan Berkomunikasi?

Karena berkomunikasi hari ini hanya berarti bagaimana melakukan komunikasi yang efektif, maka persoalan kecakapan komunikasi menjadi perkara yang amat penting. Dalam layanan kesehatan, sebagaimana juga di Psikologi, komunikasi yang efektif menjadi pintu masuk untuk penyingkapan diri, baik diri sendiri maupun orang lain. Llyoyd dan Bor (1996) menemukan bahwa penyedia layanan kesehatan akan lebih bisa masuk ke dalam dunia pasien apabila bisa berkomunikasi dengan baik. Keakuratan dan kecakapan dalam membuat diagnosa, mendeteksi kondisi emosional pasien, kepuasan pasien terhadap layanan, dan kesepakatan pasien untuk bertindak sesuai saran dari pemberi layanan akan sangat bergantung pada bagaimana komunikasi terjadi. Sebaliknya, komunikasi yang kurang efetif akan berpengaruh buruk, yakni berpotensi menciptakan penyangkalan diri dari pasien. Oleh karena itu,  penting untuk melihat faktor apa saja yang berkontribusi terhadap komunikasi yang efektif maupun kurang efektif.

Penelitian Hargie dan Dickson (2004) menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kecakapan tinggi dalam berkomunikasi akan lebih siap dalam menghadapi kondisi stres, cepat menyesuaikan diri pada transisi hidup, dan cenderung tidak mengalami depresi, kesepian atau kecemasan. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengelola diri dan kondisi secara lebih matang. Bayangkan Anda adalah seorang dokter spesialis jantung dan tengah menangani pasien yang mengalami serangan jantung. Sial tak dapat ditolak, si pasien kemudian meninggal dunia. Apa yang musti dikatakan si dokter pada keluarga yang menunggu? Bukankah menyampaikan kabar buruk bukan hal yang mudah? Apalagi kabar buruk tersebut juga terkait dengan keberadaan kita dan orang di sekitar kita.

Konteks dan Dimensi Komunikasi

Tentunya, sebuah pertukaran informasi terjadi dalam sebuah konteks tertentu. Dengan demikian, bagaimana cara orang berkomunikasi dan apa isi komunikasi akan beragam tergantung konteks komunikasi. Dalam contoh bagaimana isi dipertukarkan, kita dapat membayangkan dua orang yang tidak kenal sebelumnya dan memulai komunikasi. Mudah ditebak, mereka akan lebih enggan untuk membicarakan hal paling memalukan yang pernah masing-masing lakukan – sekalipun hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sementara itu, terkait cara orang berkomunikasi, kita dapat melihatnya dalam konteks budaya Jawa. Bagi masyarakat yang masih mengenggam erat nilai dan praktik tradisional berbicara Krama Inggil, maka seorang anak yang bicara ngoko terhadap orang yang lebih tua akan didefinisikan sebagai tidak tahu aturan. Konteks dalam istilah psikologi komunikasi juga dipahami sebagai sebuah budaya yang merupakan sistem makna dan informasi yang ditransmisikan antar-generasi.

DeVito (2016) mengatakan bahwa ada tiga dimensi dalam konteks komunikasi. Pertama adalah dimensi fisik. Konteks fisik yang dimaksud adalah tempat di mana kita sedang berdiri. Kita akan cenderung mengecilkan suara, atau bahkan berdiam diri, saat sedang berdoa di rumah ibadah atau berada dalam acara formal. Kalaupun berbicara, kita akan cenderung berbisik dan sebisa mungkin tidak menggunakan suara. Dimensi kedua adalah sosial-psikologis di mana di dalamnya terdapat status dan peran, aturan budaya, atau kelas sosial. Seorang kyai, pendeta, atau pemimpin agama akan cenderung berbicara lebih berhati-hati guna meminimalisir salah tafsir dan menjaga wibawa dalam masyarakat. Aturan budaya tertentu dapat menciptakan stereotip terkait dengan cara orang berkomunikasi, seperti orang Jawa yang berbicara halus – sekalipun ini hanya akan membawa kekeliruan logika. Perbedaan kelas sosial juga akan mempengaruhi cara orang berkomunikasi, seorang dengan kelas sosial menengah ke atas akan cenderung lebih sedikit mengambil keputusan secara interdependen – yang berkebalikan dengan orang kelas bawah (Manstead, 2018). Karena itu, proses komunikasi dan perhatian mereka akan suatu hal pun akan berbeda. Dimensi ketiga adalah dimensi temporal atau waktu. Temporal dalam hal ini bisa dipahami dalam waktu yang se-sebentar mungkin atau dalam waktu yang sifatnya rentang sejarah. Pada abad ke-18, sah-sah saja untuk mengkategorikan karakter psikologis berdasarkan warna kulit. Namun, pada masa kini, mengkategorikan warna kulit kemudian membubuhinya dengan karakter psikologi merupakan bentuk rasisme (Juliawan, 2014).

Ketiga dimensi tersebut terkait erat satu sama lain. Layaknya kain tenun, apabila kita mengalami masalah dalam dimensi tertentu, maka dimensi lain akan ikut tertarik. Misalnya, suatu kali Anda membohongi seorang kawan dekat (dimensi sosial-psikologis), maka sangat mungkin ia akan menarik diri dari Anda (dimensi fisik) dalam waktu yang tidak bisa ditentukan (dimensi temporal). Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kawan tersebut akan memaafkan kebohongan Anda dan kembali lagi menjadi kawan dekat. Oleh karena itu, sampai di sini kita bisa memahami bahwa komunikasi merupakan perkara yang dinamis.

Gangguan Komunikasi

Sesuatu disebut gangguan dalam komunikasi apabila menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif. Komunikasi menjadi tidak efektif berarti informasi atau pesan yang disampaikan tidak bisa sepenuhnya dipahami sama persis antara orang yang berkomunikasi. Dengan asumsi bahwa latar belakang sejarah setiap orang berbeda, maka kemungkinan untuk terkirimnya informasi secara sempurna merupakan sesuatu yang mustahil. Karenanya, penting untuk dipahami bahwa penelitian terkait komunikasi perlu dilakukan dalam konteks yang lebih khusus (misal layanan, kesehatan, atau keluarga) dan hubungan tertentu (misal orang asing, kenalan, pacar, keluarga) (Pitts & Giles, 2010).

Menurut DeVito (2016), gangguan dalam komunikasi bisa berupa fisik, psikologis, maupun semantik. Gangguan bisa terjadi apabila ada masuknya unsur lain di luar pertukaran informasi. Gangguan ini bisa berasal dari alat komunikasi (panca indera) maupun lingkungan (suara bising, lingkungan yang stressful). Kasus mengenai prasangka terhadap lawan komunikasi menjadi contoh yang baik dalam menunjukkan gangguan komunikasi yang bersifat psikologis (mental atau kognitif). Sementara itu, gangguan semantik lebih pada perbedaan tafsir antara penyampai dan penerima informasi.

Sekalipun demikian, untuk menentukan bentuk gangguan ini sangat bergantung pada konteks. Misalnya adalah sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer (2005) pernah diwawancarai oleh tim dari suatu universitas. Pram diberi pertanyaan oleh tim demikian: “Dari mana Anda memperoleh kertas untuk menulis?”Spontan Pram menjawab: “Aku memiliki delapan ekor ayam.” Apabila tidak hati-hati, maka dengan mudah kita akan menebak-nebak bahwa sastrawan tersebut mengalami gangguan pendengaran atau mungkin ada gangguan bising di lingkungannya. Namun, apabila diperhatikan lebih jauh maka jawaban tersebut sangat nyambung dan masuk akal. Dengan modal ayamnya itu, Pram bisa menghasilkan telor dan daging ayam yang bisa dipertukarkan dengan kertas. Apabila diberi konteks demikian, komunikasi tidak lagi dianggap mengalami gangguan. Komunikasi yang tidak efektif bagi sebagian orang, barangkali menjadi sangat efektif bagi orang lainnya.

Apa Saja Bentuk Komunikasi?

DeVito (2016) menyebutkan bahwa ada tujuh bidang komunikasi, yakni: intrapersonal, interpersonal, kelompok kecil, organisasi, publik, antarbudaya, dan massa. Namun, dengan alasan pengkategorian arah komunikasi, saya akan lebih mengikuti gagasan Berry (2007) yang menunjukkan bahwa ada dua bentuk komunikasi, yakni intrapersonal dan interpersonal. Bagi Berry (2007), komunikasi kelompok kecil, organisasi, publik, antarbudaya, atau massa merupakan perluasan dari komunikasi interpersonal dengan jumlah orang yang berbeda. Meskipun demikian, jumlah orang yang berbeda ini akan mempengaruhi bagaimana cara orang berkomunikasi. Setidaknya, dengan memahami cara kerja komunikasi interpersonal ini kita akan lebih cermat dalam mengamati bentuk komunikasi lain yang melibatkan lebih banyak orang.

  1. Komunikasi Intrapersonal

Menurut Berry (2007), komunikasi intrapersonal tak hanya penting bagi proses refleksi diri dan evaluasi. Lebih dari itu, komunikasi intrapersonal menjadi elemen kunci yang mendasari komunikasi interpersonal. Karakteristik fundamental dari komunikasi intrapersonal adalah ruang komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Meskipun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa komunikasi pribadi dengan diri sendiri seringkali melibatkan imajinasi orang lain untuk bisa melangsungkan proses refleksi. Selain bentuk evaluasi dan refleksi dengan cara membayangkan, pembuatan catatan harian merupakan bentuk dari komunikasi intrapersonal.

Menurut Burton dan Dimbleby (1995), ada empat elemen dalam komunikasi intrapersonal, yakni: (1) Inti diri; (2) kebutuhan dan motivasi; (3) kognisi; dan (4) pengamatan terhadap reaksi orang lain. Inti diri berarti kita bisa melihat bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan menilai orang lain, termasuk di dalamnya adalah memahami citra-diri dan kepribadian kita sendiri. Pembentukan diri bukanlah sesuatu yang lepas dari interaksi dengan orang lain, bahkan diri justru terbentuk dengan kita berinteraksi (belajar sosial). Citra diri kita dirangkai dari ciri fisik (citra-tubuh), ciri intelektual (seberapa pandai atau tidaknya kita), dan ciri sosial atau emosional (seberapa kalem atau emosionalnya diri kita). Atribut-atribut tersebut kemudian menentukan bagaimana kita menilai diri kita atau membentuk harga diri kita. Elemen selanjutnya adalah kebutuhan dan motivasi. Kedua elemen ini mendorong diri untuk melangsungkan komunikasi atau menafsirkan perilaku. Seringkali kita akan memikirkan apakah cara kita memandang orang lain sudah betul-betul tepat atau sebaliknya, apakah kita sudah menarik bagi orang lain. Ketiga adalah elemen kognisi yang menekankan bahwa cara kita melangsungkan dan menafsirkan komunikasi akan sangat bergantung pada pengetahuan, pengalaman, atau nilai-nilai yang kita pegang. Terakhir adalah pengamatan terhadap reaksi orang lain. Pada elemen terakhir ini, kita akan cenderung memeriksa efek macam apa yang kita berikan terhadap orang lain. Setelah melihat bagaimana respon orang lain, maka kita akan menyesuaikan perilaku atau komunikasi macam apa yang sebaiknya kita lakukan bersama orang tersebut.

  1. Komunikasi Interpersonal

Matsumoto (2010) menyebutkan bahwa ada dua model komunikasi antarmanusia. Pertama adalah komunikasi interpersonal dan kedua adalah komunikasi interkultural. Komunikasi interpersonal merujuk pada komunikasi antarindividu dengan latar belakang budaya yang sama dengan menggunakan kerangka budaya yang sama pula. Sementara komunikasi interkultural merupakan komunikasi antarindividu dengan budaya yang berbeda dalam dengan membawa kerangka budaya masing-masing. Untuk kepentingan praktis, saya menyebut komunikasi interpersonal untuk merangkum kedua pemahaman termaksud.

Komunikasi interpersonal lazimnya dilakukan secara tatap muka antara dua orang atau lebih. Namun dengan hadirnya terknologi, sifatnya dapat kita perluas tidak sekadar tatap muka belaka. Menurut Brooks dan Heath (1993), komunikasi interpersonal merupakan proses di mana informasi, makna, dan perasaan dibagikan oleh orang-orang lewat pertukaran verbal maupun non-verbal. Elemen macam apa yang mendasari bahasa verbal? Bagaimana dengan elemen non-verbal?

Kita menggunakan bahasa verbal untuk banyak hal; dari menciptakan makna, mengekspresikan gagasan dan perasan, hingga pada berinteraksi dengan orang dan membuat kontrol atasnya. Dalam bahasa verbal, kita bisa menemukan bentuk ucapan dan tulisan. Bentuk ucapan ini mulai dipelajari manusia ketika berada di usia awal. Sementara itu, bentuk tulisan mulai kita pelajari ketika diperkenalkan dalam dunia akademik. Bahasa tulisan baru ditemukan 5000 tahun yang lalu dalam tradisi orang Sumeria (Irak). Persebaran bahasa tulisan mulai menguat sejak ditemukannya kapitalisme cetak dan dijadikan sebagai bahasa kaum intelektual. Sehingga pada awal abad ke-20 tercipta gagasan bahwa mereka yang tidak buta huruf adalah para cerdik cendekia. Meskipun demikian, bahasa verbal terkadang lebih sulit dipahami, sebab perkembangannya lebih bebas (tidak ada pakem tertentu) dan karenanya kosakata akan terus tercipta.

Sementara itu, dalam bahasa non-verbal, kita bisa menemukan kekayaan penggunaannya; dari ekspresi yang senada dengan isi pikiran sampai pada ekspresi yang sengaja diarahkan untuk menipu. Dengan keadaan ini, maka kita musti membedakan antara kecakapan linguistik (kemampuan menggunakan bahasa verbal) dengan kecakapan komunikasi (kemampuan untuk menciptakan bahasa verbal maupun non-verbal sesuai dengan situasi). Apabila kita sudah punya kemampuan verbal, mengapa bahasa non-verbal penting untuk dikembangkan? Berry (2007) mencatat bahwa dalam interaksi sosial, bahasa non-verbal bisa:

    1. Menggantikan komunikasi verbal dalam situasi yang mungkin tidak tepat untuk melakukan;
    2. Mendukung dan memvalidasi pesan;
    3. Mengkomunikasikan perasaan dan emosi;
    4. Mengatur interaksi dan menyediakan umpan balik, misalnya ketika kita menggerakan alis atau;
    5. Menegosiasikan hubungan terkait dengan dominasi;
    6. Menampilkan diri dan memelihara citra diri, misalnya dengan cara berpakaian.

Berry (2007) menyatakan bahwa setidaknya ada enam elemen komunikasi non-verbal. Pertama adalah kinesics yang seringkali disebut sebagai “bahasa-tubuh”, misalnya menggerakan tangan tanda menolak atau bersaluir. Kedua adalah paralinguistik yang merupakan pola suara tanpa isi, misalnya “hmm”, “aha!”, “ooo..”. Ketiga adalah proxemics atau ruang kedekatan secara personal. Apabila kita duduk dengan kekasih, maka akan berbeda dengan ketika kita duduk kawan biasa. Keempat adalah kontak fisik yang amat berbeda dalam tiap konteks. Dalam konteks Indonesia, apabila seorang perempuan berciuman pipi dengan perempuan lain, maka akan dianggap wajar. Sementara itu, bagi laki-laki hal tersebut akan mendapatkan penafsiran yang berbeda. Kelima adalah karakteristik lingkungan, yang mana menentukan ekspresi non- verbal apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Terakhir adalah karakteristik personal dan dandanan. Karakteristik ini bisa berupa bentuk tubuh, warna kulit, model wajah, pakaian, perhiasan, atau gaya rambut. Karakteristik keenam ini tidak jarang mengantarkan orang untuk menjadi resisten melakukan komunikasi.

***

Tentu saja, untuk melakukan praktik komunikasi kita setidaknya tahu bagaimana selama ini teori komunikasi dijalankan. Belum lagi ada unsur bahasa yang memungkinkan terjadinya komunikasi. Dalam bahasa ini, komunikasi bisa saja mengandung unsur yang justru memungkinkan komunikasi sekadar menjadi alat kontrol. Oleh karena itu, pembahasan bahasa ini sendiri memerlukan sebuah kajian tersendiri yang jauh lebih rumit dibandingkan elemen-elemen dalam komunikasi.

 

Daftar Acuan

Berry, D. (2007). Health communication. New York: Open University Press.

Brooks, W. and Heath, R. (1993). Speech communication. Dubuque, IA: W.C. Brown.

Burton, G. and Dimbleby, R. (1995). Between ourselves: An introduction to interpersonal communication. London: Arnold.

DeVito, J.A. (2016). The interpersonal communication book (ed.ke-14, gobal ed.). Essex: Pearson.

Hargie, O. and Dickson, D. (2004). Skilled interpersonal communication: Research, theory and practice. Hove: Brunner Routledge.

Hybels, S. and Weaver, R. (1998). Communicating effectively (ed.ke-5). Boston, MA: McGraw-Hill.

Lloyd, M. and Bor, R. (1996). Communication skills for medicine. Edinburgh: Churchill Livingstone.

Manstead, A.S.R. (2018). The psychology of social class: How socioeconomic status impacts thought, feelings, and behaviour. British Journal of Social Psychology, Vol. 57, 2, 267-291.

Matsumoto, D. (2010). Introduction. Dalam D. Matsumoto (ed.), APA handbook of interpersonal communication. New York: APA.

Northouse, L.L. and Northouse, P.G. (1998). Health communication: Strategies of health professionals. London: Pearson Education.

Pitts, M.J., Giles, H. (2010). Social psychology and personal relationships: Accomodation and relational influence across time and contexts. Dalam D. Matsumoto (ed.), APA handbook of interpersonal communication. New York: APA.

Toer, P.A. (2005). Nyanyi sunyi seorang bisu II. Jakarta: Lentera Dipantara.

Verhaeghe, P. (1998). Does the woman exist? From Freud’s hysteric to Lacan’s feminine. New York: Other Press.

Žižek, S. (2014). Žižek’s jokes. Cambridge: MIT Press.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *