Teori

Komunikasi Intrapersonal dan Kesadaran Diri yang Reflektif

Komunikasi intrapersonal merupakan proses komunikasi yang dilakukan dengan diri sendiri (Berry, 2007; Shedletsky, 2017). Dalam gambar model komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal dilakukan dengan megirimkan pesan ke diri sendiri. Komunikasi intrapersonal terstimulasi dari komunikasi interpersonal. Sekalipun demikian, dalam praktiknya, kita tidak perlu menentukan “mana yang lebih duluan”, apakah komunikasi interpersonal maupun intrapersonal. Dalam perkembangan masa hidup, keduanya terjadi secara resiprokal. Tentu saja, tidak bisa dinafikan bahwa komunikasi pribadi dengan diri sendiri seringkali melibatkan imajinasi orang lain untuk bisa melangsungkan proses refleksi. Selain bentuk evaluasi dan refleksi dengan cara membayangkan, pembuatan catatan harian merupakan bentuk dari komunikasi intrapersonal.

Menurut Burton dan Dimbleby (1995), ada empat elemen dalam komunikasi intrapersonal, yakni: (1) Inti diri; (2) kebutuhan dan motivasi; (3) kognisi; dan (4) pengamatan terhadap reaksi orang lain. Inti diri berarti kita bisa melihat bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan menilai orang lain, termasuk di dalamnya adalah memahami citra-diri dan kepribadian kita sendiri. Pembentukan diri bukanlah sesuatu yang lepas dari interaksi dengan orang lain, bahkan diri justru terbentuk dengan kita berinteraksi (belajar sosial). Citra diri kita dirangkai dari ciri fisik (citra-tubuh), ciri intelektual (seberapa pandai atau tidaknya kita), dan ciri sosial atau emosional (seberapa kalem atau emosionalnya diri kita). Atribut-atribut tersebut kemudian menentukan bagaimana kita menilai diri kita atau membentuk harga diri kita. Elemen selanjutnya adalah kebutuhan dan motivasi. Kedua elemen ini mendorong diri untuk melangsungkan komunikasi atau menafsirkan perilaku. Seringkali kita akan memikirkan apakah cara kita memandang orang lain sudah betul-betul tepat atau sebaliknya, apakah kita sudah menarik bagi orang lain. Ketiga adalah elemen kognisi yang menekankan bahwa cara kita melangsungkan dan menafsirkan komunikasi akan sangat bergantung pada pengetahuan, pengalaman, atau nilai-nilai yang kita pegang. Terakhir adalah pengamatan terhadap reaksi orang lain. Pada elemen terakhir ini, kita akan cenderung memeriksa efek macam apa yang kita berikan terhadap orang lain. Setelah melihat bagaimana respon orang lain, maka kita akan menyesuaikan perilaku atau komunikasi macam apa yang sebaiknya kita lakukan bersama orang tersebut.

Shedletsky (2017) mencatat bahwa komunikasi intrapersonal melibatkan entitas dan proses mental seperti: dimensi kepribadian (misal introversi dan ekstroversi), evaluasi (misal kesukaan dan kepuasan), memori, (misal short-termdan long-term memory), rekognisi, pengenalan pola, asosiasi, atensi dan lain sebagainya. Termasuk dalam bahasan komunikasi intrapersonal adalah berpikir, merencanakan, membayangkan, menganalisis, pemecahan masalah, menyusun strategi, menghasilkan pesan, bermimpi, merefleksikan, dan mengamati. Dari pemahaman tersebut, kita dapat mencatat bahwa komunikasi intrapersonal berada dalam ranah kognisi sosial. Sekalipun demikian, pemahaman yang sangat kognitif tersebut bisa kita posisikan sebagai produk komunikasi intrapersonal dan bukan komunikasi intrapersonal itu sendiri.

Dalam proses komunikasi intrapersonal, perkara paling penting adalah bagaimana kita menguraikan atau menciptakan makna (meaning-making). Penciptaan makna ini menekankan pada bagaimana kita mengolah informasi (information) menjadi pesan (message). Berbeda dengan informasi, pesan memiliki inter-relasi dengan jejaring sosial yang ada di sekitar seseorang. Misalnya, kita sering mendengar banyolan mengenai seorang perempuan yang menelpon kekasihnya dan mengatakan bahwa dirinya lapar. Si kekasih bisa menjawab informasi lapar dengan menerjemahkannya sebagai “belum makan” dan kemudian mengatakan “Tau lapar, lha ya makan dong.” Padahal, boleh jadi yang diinginkan si kekasih adalah ajakan atau sekadar perhatian. Secara informatif, si kekasih berhasil menangkap informasi dari si perempuan, tetapi dia tidak berhasil menangkap pesan dari si perempuan. Pengolahan informasi inilah yang kemudian dianggap menjadi perkara penting dalam proses komunikasi intrapersonal seseorang — yang tentunya juga berimplikasi pada komunikasi interpersonalnya.

Dari pemahaman di atas, dapat kita lihat bahwa komunikasi intrapersonal melibatkan konteks, pengetahuan sosial, dan nilai-nilai dalam perilaku berkomunikasi (Shedletsky, 2017). Karena kompleksitas proses komunikasi intrapersonal tersebut — yang tampil dalam tindakan sosial, intensi, analisis, tujuan, rencana, dan pemahaman — maka tidak mengherankan apabila kemudian dalam penelitian komunikasi, perkara komunikasi intrapersonal ini digarap oleh berbagai bidang keilmuan seperti pragmatik, etnografi, dan tradisi sosio-kultural.

Karena bagian paling penting dalam proses komunikasi intrapersonal adalah diri, maka pada bagian selanjutnya kita akan melihat bagaimana psikologi komunikasi membicarakan mengenai topik “diri”.

Diri dan Komunikasi Intrapersonal

Apa itu diri? Sejak masa awal pemikiran filosofis, pertanyaan tentang “diri” menjadi pemantik awal yang tidak bisa dihindarkan. Manusia berkehendak untuk memahami diri dan dunianya. Guna memahami diri apa itu “diri”, pertama-tama kita akan membahas mengenai konsep diri. Konsep diri merupakan kesadaran seseorang mengenai dirinya atau gambaran yang kita miliki terhadap diri kita sendiri (DeVito, 2016). Konsep diri ini berkembang dengan cara (1) gambaran tentang diri kita yang disampaikan oleh orang lain kepada kita, (2) perbandingan yang kita lakukan antara diri kita dengan orang lain (isocial comparison), (3) lingkungan budaya di mana kita hidup, dan (4) cara kita menginterpretasi serta mengevaluasi pikiran dan perilaku kita (DeVito, 2017).

Dalam memahami bagaimana orang lain menggambarkan kita, psikologi menawarkan satu konsep yang disebut looking-glass self. Bayangkan Anda seorang anak SD yang sedang belajar dalam kelas, mungkin Anda memiliki keinginan untuk menjadi seperti siapa yang bisa dianut, entah guru IPS, guru IPA, atau guru Matematika. Cara kedua dilakukan dengan membuat perbandingan antara diri kita dengan orang lain. Perbandingan ini bisa dilakukan dengan membandingkan seseorang yang kita anggap lebih baik atau bahkan lebih buruk dari kita. Dalam praktik keseharian, perbandingan ini seringkali dilakukan dalam kelompok bermain (peer group atau reference group). Namun, dalam perkembangan media sosial, perbandingan ini bisa kita lakukan dengan melihat seseorang yang menurut kita pantas dijadikan sebagai figur yang bisa dijadikan pembanding. Selanjutnya, dengan memahami budaya di mana kita hidup, kita juga berpeluang untuk melihat siapa diri kita di hadapan semesta manusia. Bagaimana orangtua mengajarkan nilai-nilai dalam masyarakat atau bagaimana masyarakat mengajarkan nilai-nilai kepada kita, menjadi salah satu strategi untuk melihat apa, siapa, dan bagaimana diri kita. Dalam cara keempat, yakni cara kita menginterpretasi dan mengevaluasi pikiran dan perilaku kita, kita akan melakukan pertimbangan dan menginternalisasi nilai yang sekiranya pantas untuk kita hidupi.

Kesadaran Diri

Dalam memahami konsep diri kita, kita membutuhkan kesadaran terhadap diri kita sendiri atau self-awareness. Kesadaran diri menunjukkan seberapa jauh kita memahami dan mengetahui diri kita, apa kekuatan dan kelemahan kita, pikiran dan perasaan yang kita alami, serta kecenderungan kepribadian yang kita miliki. Luft (1984) menunjukkan bahwa untuk membantu kita mengetahui diri, kita bisa menggunakan jendela Johari (Johari Window). Dalam jendela Johari, diri dikategorikan ke dalam 4 ruang, yakni diri terbuka (open self), diri buta (blind self), diri tersembunyi (hidden self), dan diri yang tidak diketahui (unknown self).

Gambar 1. Jendela Johari

Diri terbuka menunjukkan informasi mengenai diri kita, entah perilaku, sikap, perasaan, hasrat, motivasi, maupun gagasan; baik yang diketahui oleh diri kita maupun oleh orang lain. Dalam diri terbuka, informasi yang bersifat publik seringkali ditemukan, misalnya nama, asal, warna kulit, model rambut, jenis kelamin, agama dan atribut lain yang relatif tidak problematis ketika diketahui banyak orang. Sekalipun demikian, atribut tersebut juga bisa ditentukan oleh diri kita, mana yang hendak dibiarkan diketahui oleh orang lain dan mana yang hanya diperbolehkan diketahui oleh orang lain. Sebagai contoh, dalam pembuatan alamat email atau akun media sosial, kita boleh memilih untuk tidak menyebarkan apa jenis kelamin kita dan bahkan tidak ada isian mengenai agama. Kondisi demikian juga ditentukan oleh budaya di mana kita hidup.

Diri selanjutnya adalah diri buta yang merujuk pada sesuatu yang diketahui oleh orang lain mengenai diri kita tetapi kita sendiri mengabaikannya. Hal-hal ini misalnya dapat kita temukan dalam komentar teman kita ketika mengamati cara kita berbicara saat diskusi, “Kamu kalau omong lima menit, kata ‘apa namanya’ muncul sampai 10 kali lho.” Diri buta ini dapat diidentifikasi orang lain secara personal, misalnya kesan olfaktori atas diri kita (pembauan), kebiasaan kita ketika cemas, cara kita menghadapi kritik, atau perilaku dan resam yang kita lakukan saat jijik dengan sesuatu.

Selanjutnya ada diri tersembunyi yang senantiasa kita sembunyikan dari orang lain. Diri tersembunyi ini berisi rahasia-rahasia yang kita miliki dan tidak ingin diceritakan kepada orang lain. Sekalipun demikian, pada praktiknya kita akan memiliki diri tersembunyi yang kita singkap lebih banyak terhadap seseorang dibanding orang lainnya. Bahkan, kita seringkali menemukan dalam media sosial ada selebgram atau selebritis yang berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang menurut kita tidak terlalu penting untuk kita ketahui, misalnya saja apa yang dilakukannya hari ini, tempat tinggalnya, atau gaya berpacarannya.

Terakhir adalah diri yang tidak diketahui yang mana tidak bisa dicerna kita sendiri maupun orang lain. Lalu, apakah mungkin diri yang tidak diketahui ini disingkap? Proses terpeutis, hipnosis, atau tes proyektif merupakan cara kita menyingkap diri yang tidak diketahui. Kebiasaan kita menganalisis mimpi, membuat catatan harian, mengamati cara berpikir kita sendiri merupakan sekian cara yang dilakukan seseorang untuk memahami diri yang tidak diketahui.

Apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran diri? Menurut DeVito (2017), pertama-tama kita bisa bertanya pada diri kita sendiri mengenai bagaimana kita menilai diri kita. Kita bisa menggunakan cara seperti memulainya dengan pertanyaan “Siapakah aku?” lalu menjawabnya dengan “Aku adalah….” sebanyak-banyaknya. Anda bisa menuliskan apa yang muncul dalam pikiran Anda secara spontan. Kemudian, Anda bisa membuat kategori mengenai mana yang jadi kekuatan dan kelemahan Anda. Setelah itu, tentukan apa yang hendak Anda tingkatkan dari temuan Anda mengenai diri Anda.

Kedua adalah dengan mendengarkan orang lain. Ketika kita mampu mendengrakan apa yang dikatakan orang lain terkait diri kita, kita bisa belajar banyak mengenai diri kita. Amatan bisa kita arahkan saat orang lain memberi komentar kita secara langsung (face-to-face) maupun tidak langsung (daring). Cara ini dapat kita lakukan secara pasif, dalam arti tidak secara langsung bertanya kepada orang lain maupun secara langsung mennayakan komentar orang lain terhadap diri kita.

Nah, cara pandang orang lain atau komentar orang lain terhadap diri kita ini amat beragam. Kita bisa melihat diri kita yang begitu berbeda ketika si X mengatakan sesuatu dan si Y mengatakan sesuatu yang lain. Karena itu, cara meningkatkan kesadaran diri yang ketiga adalah dengan melihat berbagai macam diri yang kita hidupi. Sekalipun demikian, hal tersebut membutuhkan prasyarat berupa keberanian kita untuk membuka diri (lihat dalam open self).

Harga Diri
Selain kesadaran diri, harga diri menjadi aspek penting dalam memahami diri kita sendiri. Harga diri menekankan pada seberapa diri Anda berharga menurut diri Anda sendiri (DeVito, 2017). Penilaian tingkat keberhargaan diri ini melibatkan komponen kognitif, afektif, maupun perilakuan. Dalam komponen kognitif, kita dapat merujuknya pada kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dan kelemahan ini terkait pada siapa dirimu sekarang dan diri seperti apa yang kamu inginkan (ideal self). Apabila diri yang ideal ini masih jauh dari diri yang sekarang, tidak menutup kemungkinan bahwa harga diri bisa saja rendah. Kemudian, komponen afektif dalam harga diri merujuk pada perasaan kita terkait diri sendiri. Perasaan terhadap diri ini muncul sebagai respon dari kesadaran diri saat melihat kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri. Komponen ini berfokus pada apakah kita merasa senang, kecewa, sedih, atau bingung setelah mengamatai kekuatan dan kelemahan diri. Komponen ketiga atau perilakuan merujuk pada perilaku verbal maupun non-verbal seperti penyingkapan dirimu, asertivitas, strategi konflik, maupun resam tubuhmu dalam berdinamika dalam ruang sosial.

Sekalipun demikian, kita patut untuk jeli dan waspada bahwa cara kita menilai diri kita bisa saja bermasalah. Maka, kita butuh undur mendengar(kan) apa yang dikatakan sekitar kita mengenai diri kita. Sebagai contoh, dalam pengukuran soal harga diri, seringkali orang menginginkan harga dirinya positif. Tuntutan untuk memiliki harga diri yang positif ini menimbalkan efek yang dinamai above-average effect, yakni kecenderungan seseorang untuk menilai dirinya secara positif.

Lalu, apa pentingnya kita membahas mengenai harga diri? Ketika kita merasa bahwa diri kita baik-baik saja, kita cenderung untuk memiliki performa yang lebih baik. Anda akan berperilaku dengan lebih percaya diri. Rasa positif (positive vibes) atau negatif (negative vibes) akan cenderung memengaruhi bagaimana seseorang melakukan sesuatu.

Kemudian, bagaimana cara kita meningkatkan harga diri kita? DeVito (2017) menuliskan bahwa tidak jarang kita berpikir seakan-akan kita mesti menjadi sesuatu. Misalnya, kita harus seperti orang lainnya, kita harus sukses dalam hal apapun, kita harus menang, kita harus bisa mengendalikan hidup, atau kita harus selalu produktif. Cara berpikir yang demikian justru bersifat destruktif (self-destructive beliefs). Kita menempatkan diri kita dalam standar yang seringkali tidak masuk akal. Agar lebih tidak destruktif, kita perlu mengubah cara pandang kita, misalnya “adalah sesuatu yang menyenangkan untuk sukses dalam hal apapun, tetapi ya tidak mungkin kita sukses dalam segala hal.”

Selain mengidentifikasi keyakinan yang bersifat destruktif, kita juga bisa melihat cara kita menjalin relasi. Berbeda dengan noxious people yang seringkali mengkritisi segala sesuatu terkait diri kita, nourishing people seringkali bisa melihat diri kita secara lebih positif dan optimis. Model nourishing people bisa meningkatkan harga diri kita. Hal tersebut juga berdampak pada cara kita mengidentifikasi diri dengan orang lain. Identifikasi diri kita akan berpotensi pada cara kita memahami harga diri kita. Entah Anda mau menjadi noxious atau nourishing people.

Selanjutnya, kita perlu jeli dengan penilaian kita yang seringkali tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Kita sering dikatakan oleh orang lain sebagai orang yang berhasil, tetapi kita menyangkal bahwa kita berhasil. Hal demikian dikenal dnegan nama the impostor phenomenon. Lantas, kita perlu orang lain yang berani untuk secara jujur mengatakan bagaimana posisi kita saat ini. Alih-alih akan menurunkan harga diri, orang yang demikian bisa membantu kita untuk melihat sejauh mana diri kita berkembang.

Keseringan mengalami kegagalan juga membuat harga diri kita terjatuh. Persitiwa atau momen gagal ini juga ditentukan oleh bagaimana kita melihat sebuah proyek atau yang menurut kita terlalu berat atau terlalu mudah. Terkait dengan kegagalan, ingatan kita soal “gagal” juga berpotensi membentuk cara kita menentukan harga diri. Sesekali gagal tidak apa-apa, tetapi kegagalan terus-menerus hanya akan menjatuhkan harga diri kita. Pilihlah atau buatlah target yang menurut Anda berada sedikit di atas kemampuan Anda saat ini tetapi Anda yakin bisa menyelesaikannya dengan baik.

Terakhir, afirmasi atau peneguhan diri juga berpeluang dalam membentuk harga diri kita. Misalnya, dalam www.coping.org afirmasi-diri dibagi ke dalam tiga bentuk pernyataan, yakni “I am”, “I can”, dan “I will”. Pernyataan “I am” berfokus pada gambaran diri kita. Pernyataan “I can” berfokus pada kemampuan kita. Sementara itu, pernyataan “I will” berfokus pada apa yang hendak kita capai. Ketiga pernyataan tersebut membantu kita untuk menyadari bagaimana kita berpikir mengenai diri kita — dan dengan demikian membantu kita melihat harga diri kita.

Kesadaran Reflektif atas Diri

Dalam tiga subbab sebelumnya, yakni konsep diri, kesadaran diri, dan harga diri, kita diajak untuk melihat bagaimana diri kita dalam pusaran relasi kita dengan orang lain. Ketika kita mampu melihat, kita diharapkan menyadari siapa diri kita. Sekalipun demikian, penilaian terhadap diri kita seringkali tidak tepat. Oleh karena itu, penting untuk melihatnya secara reflektif — sebgaimana akan ditunjukkan dalam bagian ini.

Sebagaimana disebut sebelumnya, dalam psikologi komunikasi, perdebatan mengenai bagaimana komunikasi intrapersonal berlangsung bisa dilihat dalam bahasan mengenai self (diri). Dalam pembahasannya, pada awalnya diri dilihat sebagai entitas yang terisolir dari ruang sosial. Namun, perdebatan kontemporer mengenai diri tidak lagi bisa dipisahkan dalam hubungannya dengan dunia sosial atau disebut sebagai “self-in-relationships” atau “relational self”. Sebagai contoh, dalam penelitian Rawn dan Vohs (2006) dikatakan bahwa regulasi diri (self-regulation) menjadi hal penting yang menentukan keberhasilan interpersonal seseorang. Ketidakmampuan seseorang untuk meregulasi dirinya berpotensi menyebabkan seseorang (1) mengalami penurunan motivasi untuk berperilaku yang wajar secara sosial, (2) berperilaku narsistik, (3) berperilaku secara berlebihan atau bahkan sebaliknya dalam penyingkapan dirinya (self-disclosure), (4) memperhatikan baik-baik alternatif menarik untuk pasangan romantis saat ini.

Penempatan bahasan diri dalam ruang sosial membuat perlu seseorang secara jeli dan waspada untuk mengamati dengan reflektif apa yang menjadi pengalamannya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah self-reflective awareness (SRA). Henriques (2016) menunjukkan bahwa ada 8 domain dalam SRA, yakni (1) sejarah perkembangan dan kisah keluarga, (2) pemahaman kebutuhan, motivasi, dan emosi, (3) mengamati cara kita mempertahankan diri, (4) memahami kekuatan dan kelemahan diri, (5) memahami keyakinan, nilai-nilai, dan cara pandang kita terhadap dunia, (6) mengetahui tujuan hidup dan cara kita mencipta makna, (7) mengetahui bagaimana orang melihat diri kita, serta (8) melihat lingkaran kultural di mana kita hidup.

Pertama adalah mengetahui sejarah perkembangan dan kisah keluarga. Domain pertama ini mengasumsikan bahwa untuk mengetahui dirinya sendiri, seseorang mesti tahu sejarah dirinya, termasuk ruang di mana ia tumbuh dan berkembang serta berbagai macam peristiwa hidup atau turningpoint-nya. Domain kedua adalah pemahaman mengenai kebutuhan, motivasi, dan emosi seseorang. Sekalipun seseorang memiliki dorongan untuk membangun intimasi dan kelekatan terhadap orang lain, kekuasaan, atau prestasi, seringkali seseorang justru melupa untuk menghabiskan waktu bersama dirinya sendiri, mengalami dirinya, dan mengamati aspek mentalnya sendiri. Domain ketiga adalah memahami bagaimana kita mempertahankan diri dan bagaimana kita menghadapi kritisisme. Pertahanan diri muncul ketika identitas diri kita terancam. Kesadaran mengenai keterancaman dan mengapa kita bisa terancam menjadi pintu masuk untuk memahami diri. Dalam domain ini kita bisa memanfaatkan gagasan Freud atau Malan Triangle.

Selanjutnya, dalam domain keempat kita perlu untuk memahami kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) dalam diri kita. Lewat menarasikan dan mengartikulasikan pengalaman mengenai kekuatan dan kelemahan diri, kita bisa melihat bagian mana yang sebaiknya kita kembangkan. Domain kelima adalah pemahaman mengenai keyakinan, nilai-nilai, dan cara pandang kita terhadap dunia. Dalam domain ini kita bisa berdialog mengenai keyakinan dan nilai-nilai apa yang kita pegang, dari mana nilai dan keyakinan tersebut berasal, bagaimana nilai dan keyakinan tersebut terbentuk, dan bagaimana ketika keduanya berhadapan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dipegang orang atau masyarakat lain. Domain keenam adalah mengetahui tujuan hidup dan bagaimana kita mencipta makna. Masih terkait dengan domain kelima, dalam domain keenam ini seseorang berupaya untuk memahami raison d’etre (alasan keberadaan); bagaimana ia hendak mengorganisasikan hidupnya dan apa yang hendak ia perjuangkan dalam hidupnya.

Dalam domain ketujuh dan kedelapan, kita akan lebih menyentuh mengenai ekosistem sosial di sekitar kita. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa dalam domain sebelumnya kita tidak bisa melepaskannya dari ruang sosial di mana kita hidup. Domain ketujuh berusaha untuk mengetahui bagaimana orang lain (liyan atau others) melihat diri kita. Domain ini mengajak kita untuk melihat lebih jauh mengenai apa tanggapan orang lain terhadap pemikiran, perilaku, atau sikap kita. Dalam domain terakhir atau kedelapan, kita perlu untuk melihat lingkaran kultural (cultural bubble) di mana kita hidup. Domain ini menuntut kita untuk menyadari dan memahami latar kultural dan berbagai macam perspektif yang berbeda dalam dunia sekitar kita. Kita dapat mengembangkan domain kedelapan ini dengan cara berfokus pada isu-isu sosial nan sensitif yang berada di sekitar kita.

Sebgai catatan khusus, dalam domain ketiga, apa yang dimaksud oleh mekanisme pertahanan diri (defence mechanism, selanjutnya disingkat MPD) merupakan sesuatu yang diatur oleh kecemanan (anxiety) (Hollway, 2014). Gagasan MPD menunjukkan adanya konflik, hal-hal tersebunyi, tidak terdamaikan, dan dinamis dari suatu subyektivitas. Freud (1925) mengatakan bahwa MPD merupakan teknik yang dilakukan ego untuk mengatasi konflik. Mekanisme yang terjadi berlangsung dalam tiga skenario yang berbeda (nosubject.com, t.t.). Pertama, ketika impuls id berkonflik satu sama lain. Kedua, ketika impuls id berkonflik dengan nilai dan keyakinan dalam level superego. Ketiga, ketika ancaman luar mendatangi ego.

Menurut Anna Freud (1937), setidaknya ada 9 MPD yang seringkali digunakan, yakni regresi, represi, reaksi-formasi, isolasi, undoing, proyeksi, introyeksi, turning against self, dan pembalikan (reversal). Selain kesembilan MPD, ada sublimasi, splitting, dan denial yang kemudian juga dikategorikan ke dalam MPD. Pada masa Freud, MPD ini digunakan untuk menggambarkan mental seseorang. Dalam perkembangannya, seiring maraknya ilmu jiwa, mental, dan psikologi, ada kecenderungan penggunaan MPD untuk melakukan pelabelan. Sekalipun demikian, hal penting untuk dicatat adalah bahwa penggunaan MPD ini merangsek dari level individual ke level organisasional. Riset empirisnya pun berkembang dari yang level individual mengandalkan transparansi diri (misal self-report, kuesioner) hingga melalui wawancara dengan menginterpretasi MPD yang berpotensi muncul dalam topik yang memunculkan kecemasan dalam bentuk keragu-raguan, perubahan nada suara, indirect references.

Dinamika kecemasan ini dapat kita identifikasi dengan Malan Triangle, yang terdiri dari Triangle of Conflict danTriangle of Persons. Segitiga Malan ini digunakan David Malan (1979) untuk melihat proses transferensi dalam psikoterapi. Secara singkat, transferensi merupakan proses yang terjadi selama psikoterapi dilangsungkan yang mana perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan lain sebagainya dipindahkan dari tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan seseorang kepada si analis atau terapis. Proses ini dapat diisi dengan rasa benci maupun cinta. Sekalipun demikian, segitiga Malan ini perlu diposisikan sebagai alat bantu untuk memahami dinamika psikologis seseorang saja. Apabila tidak hati-hati, segitiga Malan justru akan menjadi sangat mekanis dan tidak bisa memotret kompleksitas pengalaman seseorang.

Gambar 2. Segitiga Malan

 

Ikigai: Sebuah Contoh Penemuan Diri

Dalam rangka penemuan tujuan hidup, kita dapat belajar dari Victor Frankl. Dalam memulai psikoterapinya, Frankl seringkali memulai dengan pertanyaan: Mengapa Anda tidak bunuh diri? Pertanyaan dalam logoterapi — nama terapi yang diciptakan Frankl — berintensi untuk menjawab mengenai sebetulnya apa tujuan hidup kita, apa makna hidup kita (Frankl, 1969/2014).

Terkait dengan logoterapi, beberapa tahun belakangan informasi dan terbitan karya yang berbicara mengenai ikigaiamat banyak. Ikigai merupakan istilah dari bahasa Jepang untuk menggambarkan kesenangan dan makna kehidupan (Mogi, 2018). Iki berarti “untuk hidup” dan gai berarti “alasan”. Dalam terminologi sehari-hari, ikigai berarti alasan untuk hidup atau raiso d’etre. Penerapan Ikigai sendiri merentang dari kehidupan privat, publik, maupun profesional. Seseorang tidak perlu menjadi profesional yang sukses untuk dikatakan bahwa ikigai-nya tercapai.

Mogi (2018) mengatakan bahwa ikigai berada dalam ranah hal-hal kecil (the realm of small things). Secangkir kopi yang kita seduh lalu kita seruput perlahan, boleh jadi mengandung Ikigai. Namun, hanya mereka yang yang dapat mengenali kekayaan spektrum dari suatu pengalaman, akan mengapresiasi dan menikmatinya.

Sekalipun pada tahun 2000an ikigai disebut sebagai hal yang amat penting dalam cara hidup orang Jepang (Hasegawa, Fujiwara, Hoshi & Shinkai, 2003), tetapi pembicaraan mengenai ikigai mulai disadari ketika pada 2016 Kementerian Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan di Jepang mengadakan sebuah survei yang membandingkan usia hidup orang-orang di dunia. Dalam survei tersebut, disajikan data bahwa laki-laki Jepang memiliki usia hidup terpanjang keempat di dunia setelah Hongkong, Islandia, dan Swiss. Sementara itu, perempuan Jepang memiliki usia hidup terpanjang kedua setelah Hongkong dan diikuti ketiga oleh perempuan Spanyol.

Gambar 3. Ikigai

Garcia dan Miralles (2016) mengisahkan bahwa Okinawa menjadi pulau paling centenarian (orang dengan usia lebih dari 100 tahun) dan masuk dalam Zona Biru (wilayah geografis dengan rentang usia hidup yang paling lama). Sekalipun demikian, orang Okinawa bisa punya kualitas hidup yang baik dan rentang hidup yang begitu panjang bukan melulu karena ikigai, tetapi juga karena diet, olahraga, penemuan tujuan hidup (ikigai), dan adanya ikatan sosial yang kuat. Oleh karena itu, gaya hidup sehat (kemudahan sumber makanan bergizi dan olahraga) dan ikigai orang Okinawa diperkuat dengan adanya hubungan sosial yang baik, semangat saling membantu dan berbagi yang dalam masyarakat Okinawa disebut moai.

Sealin itu, Garcia dan Miralles (2016) menuliskan bahwa semua orang memiliki ikigai. Ada yang sudah menemukan, tetapi ada pula yang masih mencari. Hanya pencarian yang telaten dan sabar akan memungkinkan orang untuk bisa menemukan ikigai-nya. Namun pencarian ikigai pada manusia modern (hari ini) berbeda konteks dengan manusia sebelumnya (atau katakanlah penghuni gua). Manusia modern cenderung bekerja setiap waktu dan selalu dalam kondisi awas (ingat notifikasi HP?). Dalam kondisi awas ini, secara neurobiologis maka kortisol akan diproduksi secara terus-menerus dan mengalir dalam dosis rendah. Implikasinya, kesehatan akan menurun dan orang mudah fatique. Kondisi tersebut berbeda dengan manusia gua yang relatif mengalami stres ketika ancaman nyata seperti hewan buas hendak memangsanya. Kortisol dosis tinggi diproduksi tetapi hanya sekali tempo.

Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3, untuk menemukan ikigai, kita butuh untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti: (a) Apa yang kita sukai?, (b) Apa yang bisa kita lakukan dengan baik, (c) Apakah kemampuan kita mendapatkan bayaran yang layak?, dan (d) Apa yang dibutuhkan dunia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membantu kita untuk mengamati, mengkombinasikan, dan merefleksikan apa yang tengah kita jalani saat ini.

***

Dari penjabaran di atas, tulisan ini berminat untuk menunjukkan bahwa komunikasi intrapersonal membutuhkan ekperimentasi dan eksplorasi dari masing-masing orang. Orang merasa cocok dengan metode satu tetapi tidak dengan metode lainnya. Sekalipun demikian, persoalannya bukanlah sekadar saya lebih cocok pakai yang itu dan tidak di sini. Keinginan untuk memahami diri secara mendalam hendaknya dijadikan niat awal dalam mempraktikkan komunikasi intrapersonal.

 

Daftar Acuan

DeVito, J.A. (2016). The interpersonal communication book (ed.ke-14, gobal ed.). Pearson.

Frankl, V. (1969/2014). The will to meaning: Foundations and applications of logotherapy. Plume.

Freud, A. (1937). The ego and the mechanisms of defence. Hogarth Press.

Freud, S. (1926[1925]). Inhibitions, symptoms and anxiety. Standard edition of the complete psychological works of Sigmund Freud. Volume XX. Hogarth Press.

García, H., & Miralles, F. (2016). Ikigai: The Japanese secret to a long and happy life. Penguin Life.

Hasegawa A, Fujiwara Y, Hoshi T, Shinkai S. (2003) Regional differences in ikigai (reason(s) for living) in elderly people-relationship between ikigai and family structure, physiological situation and functional capacity. Nihon Ronen Igakkai Zasshi, 40(4):390-6. Japanese. doi: 10.3143/geriatrics.40.390.

Henriques, G. (2016). “Self-reflective awareness: A crucial life skill.” Psychology Today. Diakses pada 28 Februari 2021 dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/theory-knowledge/201609/self-reflective-awareness-crucial-life-skill

Hollway, W. (2014). “Defense mechanism”. Dalam T. Teo, Encyclopedia of critical psychology (hlm. 378-380). New York: Springer.

Luft, J. (1984).  Group processes: An introduction to group dynamics,  3rd ed. Mayfield.

Mogi, K. (2018). Awakening your ikigai: How the Japanese wake up to joy and purpose everyday. The Experiment.

Nosubject.com (t.t.). “Defense mechanism”. Nosubject.com. Diakses pada 28 Februari 2021 dari https://nosubject.com/Defense_mechanism

Rawn, C. D., & Vohs, K. D. (2006). “The importance of self-regulation for interpersonal functioning.” Dalam K. D. Vohs & E. J. Finkel (ed.), Self and relationships: Connecting intrapersonal and interpersonal processes (hlm. 15–31). The Guilford Press.

Shedletsky, L. (2017). Intrapersonal communication. Dalam M. Allen (ed.), The SAGE encyclopedia of communication research methods (hlm. 810-813). SAGE Publications.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *