Psikologi Sosial hanya bisa dipahami secara jamak. Alih-alih menyebutnya Social Psychology, dengan keragaman teori, metode, dan praktik; lebih tepat untuk menyebutnya Social Psychologies.
Pertama-tama, setidaknya kita bisa bersepakat bahwa Psikologi Sosial merupakan bagian dari disiplin ilmu. Syarat suatu gagasan bisa disebut sebagai disiplin ilmu adalah memiliki perspektif, teori, maupun metode. Sejurus dengan Psikologi, baik sebagai sebuah ilmu teoretis maupun terapan, Psikologi Sosial berusaha untuk mendeskripsikan, meramalkan atau memperkirakan, dan mengintervensi perilaku sehingga perilaku yang tidak dikehendaki dapat dihindari (Sarwono & Meinarno, 2009; Hanurawan, 2018). Namun, mengapa deskripsi, ramalan atau perkiraan, dan intervensi perlu dilakukan? Bagaimana suatu intervensi bisa dianggap efektif? Efektif untuk siapa dan dalam kondisi macam apa?
Hanurawan (2018) menyatakan bahwa dengan meminimalisir persoalan, manusia akan menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Meskipun demikian, bukan berarti dengan Psikologi Sosial kemudian menyelesaikan persoalan, tidak sedikit justru dengan pendekatan Psikologi Sosial yang tidak tepat malah akan memberi permasalahan baru. Karena itu, pendekatan dalam Psikologi Sosial mau tidak mau mesti terbuka terhadap kritik-diri (Jovanović, 2011; Teo, 2011). Singkat kata, kita juga dihadapkan pada pertanyaan: Apakah sebuah keilmuan mesti menyelesaikan persoalan praktis?
Sebagai contoh, sebelum tahun 2007, dalam kehidupan pelajar dan remaja di Yogyakarta marak terjadi kasus tawuran antar-geng SMA. Perlahan intensitas dan frekuensi tawuran berkurang drastis hingga saat ini, persoalan agresivitas pelajar dan remaja ini kemudian dipercakapkan dalam fenomena klithih yang sampai hari ini senantiasa menjadi bahasan masyarakat, dari level pemerintahan atau orang yang biasa-biasa saja. Bagaimana fenomena klithih dipahami dalam Psikologi Sosial? Apa yang dapat Psikologi Sosial sumbangkan dalam memahami fenomena klithih? Salah satu yang seringkali dikatakan sangat “Psikologi” adalah dengan memberikan “edukasi” dan kemudian intervensi, treatment, atau perlakuan. Edukasi sering dimengerti dalam rangka memberi pemahaman kepada para remaja bahwa tawuran atau klithih berdampak buruk pada kondisi individu maupun sosial. Tapi, apakah cukup? Bukankah tidak sedikit seminar yang mengatakan dengan memberi pelatihan soal pengelolaan kekerasan antarpelajar maka segala problem dapat diselesaikan? Setidaknya, yang diharapkan dengan memberi perhatian lewat pelatihan dan pengelolaan kekerasan tersebut adalah bahwa Psikologi Sosial berperan dalam perkara rekayasa sosial (social engineering) dan membentuk subyek remaja yang tidak lagi melakukan kekerasan. Pertanyaannya lagi-lagi adalah: Bagaimana rekayasa sosial ini dilakukan dan apakah rekayasa tersebut mampu mengatasi persoalan terkait pelajar? Toh, pada kenyataannya fenomena tersebut senantiasa berlangsung hingga saat ini. Lalu, bagaimana kita bisa memahami fenomena termaksud?
Lontaran pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita bahas bersama melalui sudut pandang Psikologi Sosial. Namun, sebelum kita membahasnya lebih jauh, tulisan ini akan memperjelas bagaimana perbedaan Psikologi Sosial dengan cara berpikir sehari-hari yang bisa dan biasa disebut sebagai common-sense atau akal sehat.
Perbedaan antara Akal Sehat dengan Psikologi Sosial
Akal sehat (common-sense) dalam hal ini merujuk pada bagaimana sebuah persoalan ditanggapi dengan sebuah penilaian yang praktis. Dalam kasus keseharian, kita dapat menemukan kasus-kasus yang dijawab secara common-sense, misalnya: (1) Bagaimana pengaruh agama terhadap hubungan romantis?; (2) Bagaimana pengaruh TV terhadap kekerasan?; (3) Mengapa orang tidak berhenti merokok meskipun tahu bahayanya?; (4) Mengapa orang takut dengan pohon besar?; (5) Mengapa interogator tidak takut untuk melakukan penyiksaan terhadap tahanan? Kesimpulan dari berbagai macam kasus akal sehat ini bisa berujung pada kekeliruan logika (logical-fallacy). Dikatakan keliru sebab berpotensi untuk menyederhanakan persoalan.
Kalau dari pemahamannya saja sudah keliru, maka cara untuk mengatasi masalah bisa jadi tidak tepat. Bagaimana kalau seseorang yang flu diberi obat supaya segera sembuh sementara penyebabnya adalah debu di kamarnya? Dan begitu terulang seterusnya. Atau, contoh kasus lain, ada seorang ibu yang baru melahirkan. Siang-malam, si ibu tersebut mesti senantiasa siaga, waspada, dan awas dengan kondisi anaknya. Karenanya dia kurang tidur, kelelahan, dan mengalami vertigo. Ketika datang ke dokter, ibu tersebut diberikan obat sakit kepala untuk mengatasi sakit kepalanya. Apa yang terjadi? Setelah minum obat sakit kepala yang diresepkan dokter, sakit kepala si ibu menjadi semakin ringan. Apakah obat tersebut menyembuhkan sakit kepalanya — yang sumber sakitnya adalah kurang tidur dan kelelahan? Singkat kata, pendekatan yang salah berpotensi menghasilkan cara mengatasi yang tidak tepat.
Masalah apa yang muncul dengan pendekatan yang berdasarkan akal sehat? Menurut Sarwono & Meinarno (2009), pertama adalah confirmation bias (membenarkan pendapatnya sendiri). Sebagai contoh, kita dapat mengamati fenomena sosial pengobatan batu giok yang pernah diperkenalkan oleh bocah-dukun cilik Ponari pada tahun 2009. Kita hanya mendengar cerita keberhasilan mengenai pengobatan ini, tapi tidak pernah mendengar mengenai kegagalan dari terapi batu giok. Dalam fenomena tersebut, kita dapat melihat bahwa terjadi atensi selektif (selective attention) untuk memperkuat anggapan bahwa pengobatan batu giok tersebut memang berkhasiat. Kedua adalah berpikir secara heuristik, yakni mengikuti apa yang pertama kali muncul dalam benak. Misalnya saja pandangan mengenai orang bertato adalah preman. Pendekatan persoalan yang terburu-buru ini bisa muncul karena adanya sejarah pembantaian orang-orang bertato (Siegel, 1998). Atau misalnya saja mengenai diskriminasi terhadap etnis atau ras tertentu — bayangkan soal Melanesia — di Yogyakarta, yang terkadang hanya didorong oleh narasi-narasi yang mendiskreditkan kelompok etnis tertentu. Selain itu, yang ketiga, ada pula yang dinamakan dengan mood effect. Seseorang dengan kondisi senang atau sedih dapat memengaruhi bagaimana ia berperilaku. Meminta sesuatu terhadap orangtua yang tengah pusing atau tidak enak hati, cenderung akan mendapatkan penolakan. Karenanya, common-sense ini hanya akan berujung pada kesesatan berpikir dan kesimpulan yang tidak konsisten. Ketika Anda pernah punya pengalaman buruk dengan seorang berambut gondrong, barangkali sikap Anda bisa berbeda ketika menilai seorang dengan rambut gondrong yang Anda temui di jalanan.
Guna mengatasi hal tersebut, Psikologi Sosial sebagai disiplin ilmu berusaha untuk melihat masalah secara lebih luas dengan memperhatikan data empiris, alasan seseorang berperilaku, proses kognitif, faktor lingkungan fisik, dan faktor budaya. Bagaimana caranya? Ketika kita bertanya “bagaimana caranya”, maka kita akan dihadapkan pada persoalan metodologis. Nah, sebelum kita membahas lebih jauh mengenai metode — yang tentunya akan dibahas dalam tulisan lain — yang bisa dimanfaatkan dalam Psikologi Sosial, kita mesti mengenal lebih jauh mengenai Psikologi Sosial.
Beberapa Definisi Psikologi Sosial
Tidak ada definisi tunggal mengenai apa itu Psikologi Sosial. Kalaupun ada, bisa dipastikan bahwa definisi tersebut tidak berhasil memotret keragaman dalam Psikologi Sosial. Setiap ahli berpikir dengan pemahaman ontologis dan epistemologis yang berbeda. Persoalan ontologis dan epistemologis ini bisa kita bicarakan lebih jauh dalam tulisan lain. Guna lebih mempersingkat maksud sub-bab ini, berikut adalah beberapa tokoh yang membuat definisi mengenai Psikologi Sosial:
- Sherif dan Muzafer (1956) mendefinisikan Psikologi sebagai ilmu tentang pengalaman dan perilaku individu terkait situasi hidup atau stimulus sosialnya. Stimulus sosial bisa diartikan sebagai sesuatu yang memiliki makna sosial-simbolik dalam keseharian manusia.
- Allport (1968) mendefinisikan Psikologi Sosial sebagai upaya untuk memahami dan menjelaskan perasaan, pikiran, dan perilaku manusia yang terpengaruh oleh kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain bisa bersifat secara fisik maupun dalam pengandaian saja (imajiner). Definisi yang diberikan Allport berbeda dengan Sherif dan Muzafer terkait dengan obyek yang bisa memberikan stimulus, yang mana ia membatasi hanya pada sesama manusia saja.
- Shaw dan Constanzo (1970) mendefiniskan Psikologi Sosial sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku individu sebagai sebuah stimulus sosial. Dalam pandangan Shaw dan Constanzo, perilaku individu menciptakan stimulus sosial yang kemudian memengaruhi kembali perilaku, oleh karena itu hubungan perilaku dengan stimulus sifatnya resiprokal.
- Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan Psikologi Sosial sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal mula dan penyebab terjadinya pikiran dan perilaku individu dalam konteks sosialnya. Dalam definisi yang diberikan, istilah “konteks sosial” muncul sebagai determinan (penentu) perilaku.
- Taylor, Peplau, dan Sears (2009) memahami Psikologi Sosial sebagi studi ilmiah mengenai bagaimana orang berpikir, memengaruhi, dan berhubungan dengan orang lain.
- Byron dan Branscombe (2012, 2017) menyatakan bahwa Psikologi Sosial merupakan bidang keilmuan yang berusaha memahami asal-usul dan penyebab perilaku, pikiran, dan perasaan individu dalam situasi sosial. Situasi sosial ini bisa berupa lingkungan maupun orang lain di sekitar kita atau yang disebut oleh Baron dan Byrne (2005) sebagai konteks sosial.
Dari sekian definisi yang disajikan, setidaknya kita dapat mencatat beberapa istilah penting yang senantiasa diulang dalam pendefinisian: ilmu, perilaku individu, dan konteks (sesama yang lain maupun lingkungan). Oleh karena itu, Psikologi Sosial bisa dipahami sebagai sebuah bidang ilmu yang memusatkan pada bagaimana perilaku individu terjadi dalam sebuah konteks sosial tertentu. Gough (2017) menunjukkan bahwa untuk melakukan kajian Psikologi Sosial kontemporer, maka pertama-tama perlu dipahami mengenai kelekatan perilaku dengan konteks (context-bound), ada proses negosiasi (negotiated), dan mengalir (fluid). Melekat pada konteks hanya berarti bahwa cara orang berperilaku amat ditentukan oleh konteks di mana ia berpijak, bisa jadi konteks fisik maupun konteks budaya. Atau dengan kata lain ada sebuah sistem atau struktur yang menentukan seseorang berperilaku, contoh mudahnya adalah nilai dan norma. Kemudian, maksud dari adanya proses negosiasi berarti seseorang memiliki agensi atau kedirian untuk membuat pertimbangan berdasarkan konteks di mana ia berperilaku. Misalnya, seorang perempuan memakai sneakers ke suatu pesta pernikahan. Sebagian besar orang mungkin melihatnya sebagai tak tahu malu, tetapi bagi perempuan tersebut mungkin memakai sneakers merupakan bentuk resistensi atas norma yang mengekangnya untuk “pakai high-heels saat pesta pernikahan”. Kemudian aspek fluiditas atau bersifat mengalir dipahami dalam kerangka bahwa perilaku orang bisa saja berubah. Tiga puluh tahun lalu, mungkin konsep maskulinitas laki-laki ditunjukkan dengan tubuh yang kekar, tampil laiknya petualang, dan merokok. Pada masa kini, soal maskulinitas ini mungkin juga tetap ditandai dengan tubuh yang kekar, tampak seperti petualang, dan (sesekali) merokok; tetapi ciri lain seperti punya jiwa kepemimpinan dan berani ambil resiko juga mewarnai konsep maskulinitas. Persoalannya bukan mana yang lebih benar dari yang siapa, tetapi lebih bagaimana sesuatu bisa berubah.
Gagasan yang disampaikan oleh Gough sejalan dengan apa yang disampaikan Parker (2017) bahwa Psikologi Sosial pada awal mulanya, yakni abad ke-19, berniat untuk menggambarkan bagaimana Psikologi memahami agensi dan pengalaman manusia dalam kondisi kapitalisme – ekosistem kompetitif tetapi alienatif. Meskipun pada akhir abad ke-19 Psikologi “melicinkan” jalannya kapitalisme, tetapi Parker menegaskan bahwa Psikologi Sosial kontemporer harus kembali mendefinisikan apa maksud “sosial” kala kita dihadapkan pada kondisi-kondisi yang memungkinkan alienasi dan opresi. Karenanya, Psikologi Sosial kontemporer idealnya menjadi keilmuan yang tidak bebas nilai, bahkan harus punya nilai, moralitas, dan (bahkan!) politis (Prilleltensky, 1994).
Batasan dan Ruang Lingkup
Melihat kondisi masa kini yang begitu kompleks, pemberian batasan dan ruang lingkup Psikologi Sosial bukanlah hal yang mudah. Semangat inter-disipliner dalam ilmu sosial humaniora semakin memperumit kaitan antarbidang keilmuan. Berbicara mengenai Psikologi Sosial, maka mau tidak mau harus berbicara mengenai ilmu-ilmu lain seperti Linguistik, Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Sastra, Neurosains, Kajian Budaya, atau Kajian Media. Namun, dalam hal ini kita akan memberikan batasan yang umum diberikan dalam melakukan kajian Psikologi Sosial:
- Psikologi sosial mempelajari manusia, bukan hewan. Berbeda dengan makhluk lain, manusia memiliki bahasa yang memungkinkannya berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan makhluk lain.
- Perilaku merupakan sesuatu yang kasat mata dan terukur, meskipun demikian untuk sampai pada penyebab perilaku, maka kita harus melihat apa yang tidak tampak. Dalam komunitas Psikologi, definisi Psikologi semakin inklusif, di mana perilaku manusia diakui tampak maupun tak tampak (Hanurawan, 2018).
- Dalam kajian Psikologi Sosial, kecenderungan untuk mengakui bahwa keilmuan hanya dimungkinkan dengan keterukuran dan keteramatan perilaku masih amat kuat. Beberapa kajian yang lebih mendalam, seperti Critical Social Psychology, belum populer namun terus berkembang dalam komunitas keilmuan tertentu.
Keterkaitan antarbidang keilmuan, sebagaimana disebut di atas, memunculkan masalah baru terkait keunikan bidang studi. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa keunikan Psikologi Sosial adalah soal pendekatannya yang berfokus pada individu. Pemusatan pada pemahaman individu ini akan berbeda dengan gaya Sosiologi yang lebih menitikberatkan pada kajian terhadap masyarakat, pola-pola hubungan sosial, interaksi sosial, dan kebudayaan hidup sehari-hari (Calhoun, 2002). Sosiologi berniat untuk meciptakan pengetahuan yang komprehensif mengenai aktivitas manusia, yang memiliki kemiripan dengan Psikologi Sosial.
Sekalipun demikian, definisi yang diberikan terhadap Psikologi Sosial maupun Sosiologi tidak sepenuhnya tepat. Dalam pengertian Sosiologi, Elias (1978) mengatakan bahwa yang namanya masyarakat dibentuk dari kebersamaan hidup antara seseorang dengan orang-orang lain. Oleh karena itu, dalam kedua bidang ilmu menuai kritik yang sifatnya ontologis (pemahaman terhadap hakikat manusia), yakni soal egosentrisme. Model egosentrisme ini menempatkan manusia sebagai pusat inti dari sebuah masyarakat. Namun, benarkah seseorang bebas sebebas-bebasnya untuk menentukan hidupnya? Bukankah ia dilingkupi dengan sistem-sistem lain seperti: keluarga, sekolah, industri, dan negara. Elias kemudian menawarkan model interdependent individuals sebagaimana kemudian juga digagas dalam Critical Social Psychology.
Fokus terhadap individu atau egosentrisme semata mengandung logika yang problematis seakan-akan segala sesuatu dapat dikendalikan individu. Hal ini terkait dengan bagaimana sebuah “masyarakat” (society) didefinisikan. Apabila masyarakat dianggap sebagai sekumpulan orang dengan nilai, ideologi atau kebudayaan yang menetap, maka perubahan sosial tidak terjadi. Namun, apabila dipahami dalam perspektif Elias, maka masyarakat merupakan hasil dinamika dan tegangan yang dialami individu. Artinya, individu pun tidak menutup kemungkinan akan diubah oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Psikologi Sosial kontemporer atau Sosiologi ala Max Weber yang mencoba memahami proses perubahan sosial. Perubahan sosial ini terjadi karena adanya aneka rupa disiplinaritas yang tidak kunjung berhasil dalam “menertibkan” anggota masyarakatnya atau dengan kata lain, gerak-hidup suatu masyarakt dimungkinkan dengan adanya konflik satu sama lain. Dalam ilmu sosial, kondisi tersebut disebut sebagai dialektika. Proses dialektika inilah yang kemudian mendasari terjadinya proses negosiasi antara sistem dengan subyek.
Apakah perilaku voting semata-mata dipengaruhi oleh keputusan individual? Ataukah proses kognisi sosial individu yang menentukan siapa akan memilih yang mana? Atau justru dari keduanya, maka preferensi orang untuk memilih akan terbentuk? Apabila kita melihat lebih luas, dalam level sosial, maka bagaimana orang memilih sesuatu akan sangat dipengaruhi dengan ketersediaan pengetahuan yang kemudian membentuk kognisi individu. Karena itu, apa yang disampaikan Taylor, Peplau, dan Sears (2009) belum mencukupi untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang. Tegangan antar-para ahli terkait pendekatan yang digunakan dalam Psikologi Sosial ini terus berlangsung, sebagai seorang yang belajar mengenai Psikologi Sosial, di sinikah kesempatan kita untuk mengambil posisi yang bagaimana?!
Daftar Acuan
Allport, G.W. (1968). The person in psychology. Beacon Press.
Baron, R.A., & Branscombe, N.R. (2012). Social psychology (ed.ke-13). Pearson.
Baron, R.A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Jilid II (ed.ke-10). Erlangga.
Branscombe, N.R. & Baron, R.A. (2017). Social psychology (ed.ke-14, global ed.). Pearson.
Calhoun, C. (Ed.). (2002). Dictionary of the social sciences. Oxford University Press.
Gough, B. (2017). “Critical social psychology: Mapping the terrain.”Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave Macmillan.
Hanurawan, F. (2018). Psikologi sosial terapan untuk pemecahan masalah perilaku sosial. Rajawali Pers.
Parker, I. (2017). “Foreword”. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave Macmillan.
Prilleltensky, I. (1994). The morals and politics of psychology: Psychological discourse and the status quo. State University of New York Press
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (Peny.). (2009). Psikologi sosial. Penerbit Salemba Humanika.
Shaw, M.E., & Costanzo, P. R. (1970). Theories of social psychology. McGraw Hill
Sherif, M., & Sherif, C.W. (1956). An outline of social psychology. Harper.
Siegel, J.T. (1998). A new criminal type in Jakarta: Counter-revolution today. Duke University Press.
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2009). Psikologi sosial (ed.ke-12). Prenadamedia Group.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.