Apakah ada yang dinamakan psikolog media? Kalau ada, seperti apa mereka? Bagaimana jalur karirnya? Sampai hari ini, setidaknya terdapat beberapa kesalahan konsepsi mengenai menjadi seorang psikolog media. Rutledge (2010) menyatakan bahwa Psikologi Media berbeda jenis psikologi lainnya, misalnya Psikologi Klinis; bukan pula Kajian Media; bukan berarti tampil di televisi, radio atau film; bukan berada di bagian audio-visual kampus; bukan sekadar menonton televisi; atau bukan pula menjadi psikolog selebritas atau nyeleb. Barangkali, seorang psikolog media juga melakukan hal-hal tersebut, tetapi seseorang tidak serta merta menjadi psikolog media saat melakukan hal tersebut.
Untuk menjadi seorang psikolog media, maka Anda perlu belajar psikologi dan teknologi. Anda perlu memelajari bagaimana suatu teknologi bekerja; bagaimana teknologi tersebut dikembangkan, diproduksi, dan dikonsumsi. Karena Anda diharuskan pula belajar psikologi, maka Anda juga perlu melihat bagaimana media digunakan, efektivitasnya, dan impaknya. Oleh karenanya, secara singkat Psikologi Media dapat dipahami sebagai studi aplikatif mengenai apa yang terjadi saat seseorang berinteraksi dengan media sebagai produser, distributor, dan konsumen lewat lensa psikologi Perlu dicatat bahwa definisi singkat tersebut justru membuat batasan yang tidak kentara mengenai apa yang mesti dikerjakan Psikologi Media. Derap perkembangan media begitu memukau sampai-sampai kita kehabisan akal untuk membayangkan perubahan dunia yang dipicu oleh teknologi. Implikasinya, kita menjadi susah untuk membayangkan Psikologi Media.
Melihat kompleksitas kaitan antara psikologi dengan media, tulisan ini berminat untuk memberikan semacam overview terkait Psikologi Media serta menunjukkan bagaimana arah studi dalam Psikologi Media saat ini, secara khusus Psikologi Media Massa.
Apa Itu Psikologi Media?
Dalam disiplin Ilmu Psikologi, media menjadi ruang yang ambigu. Tidak sedikit yang berbicara mengenai bagaimana media berpengaruh terhadap psikologi seseorang. Namun, perdebatan bagaimana psikologi dan media saling memengaruhi satu sama lain tampaknya belum menjadi perkara yang serius. Kalaupun ada, kesimpulannya berkutat pada label biner berupa dampak positif atau negatif.
Kalau memang media begitu signifikan dalam psikologi masyarakat atau psikologi seseorang, mengapa tidak banyak orang yang menyandang sebutan Psikolog Media atau Media Psychologist? Menurut Giles (2003), selama ini bidang Psikologi ditentukan oleh area praktisnya atau aplikasi dalam lingkungan non-akademis, misalnya ada Psikolog Klinis, Psikolog Industri dan Organisasi, atau Psikolog Pendidikan. Apabila meniluk dalam dunia akademis, Psikologi dibagi berdasarkan pendekatan umum yang digunakan, misalnya Psikologi Kognitif, Psikologi Sosial, dan Psikologi Perkembangan. Ada pula Psikologi yang dibagi berdasarkan teori dan metodologinya atau yang kerap disebut sebagai “school of thought”, misalnya Behaviorisme, Psikologi Koneksionis, dan Psikologi Kritis. Kemudian, Psikologi juga sering kali dibagi berdasarkan topiknya yang spesifik, misalnya ada Psikologi Musik, Psikologi Lintas Budaya, atau Psikologi Media.
Sekalipun demikian, penyebutan Psikologi Media ini juga tidak bisa dipastikan. Apabila dicermati, apa yang dimaksud sebagai “media” bisa diterjemahkan dalam budaya populer. Budaya populer ini mengindikasikan bahwa ia bisa dibahas dalam Psikologi Budaya. Namun, di dalam budaya populer juga terdapat musik yang merupakan bentuk spesifik dan menjadi topik.
Giles (2003) mencatat bahwa media jauh lebih berkembang di luar disiplin Psikologi. Hal tersebut ditandai dengan absennya Psikologi Media dalam kurikulum Psikologi di Amerika Utara, secara khusus Amerika Serikat. Kebanyakan universitas memiliki Departemen Media dan Komunikasi. Dalam departemen tersebut, aspek-aspek psikologis dalam media diperbincangkan dengan begitu subur. Kebanyakan dari para pengajarnya memanfaatkan pendekatan kuantitatif dan dilatih menjadi seorang psikolog. Karya-karya mereka tampil dalam titel penelitian media atau ilmu komunikasi.
Sementara itu, dalam tradisi Eropa, pusat perkembangannya terkonsentrasi di Jerman dengan sebutan Medienpsychologie. Hubungan antara Psikologi dengan Kajian Media justru mengalami tren yang berbeda. Dalam Departemen Kajian Media, kita akan kesulitan menemui/kan seorang psikolog. Bahkan, dalam Kajian Media, tidak jarang “Psikologi” dianggap kata yang berkonotasi negatif. Konotasi tersebut muncul dari bagaimana posisi disiplin Psikologi yang cenderung dimanfaatkan pihak-pihak yang diuntungkan atau berkuasa untuk membangun kedisiplinan pada level warga. Sekalipun demikian, Kajian Media juga dianggap terlalu berfokus pada format media tradisional seperti televisi dan media cetak sehingga melupakan internet yang kini merambah 59.5% populasi global (Kemp, 2021).
Dalam perkembangan kontemporer, Gauntlett (2000) menyatakan bahwa para peneliti media, selain berfokus pada teks media, sebaiknya juga berfokus pada audiens. Kajian ini yang kemudian dikenal sebagai teori resepsi (reception theory). Secara lebih spesifik, eksplorasi perlu diarahkan pada ruang siber yang akan menawarkan eksplorasi kultural dan kebaruan. Tujuannya bukan sekadar untuk memelajari isi media, melainkan juga mencermati bagaimana praktik penggunaan media dalam level sosial.
Dari berbagai macam tren perkembangan tersebut, lalu bagaimana arah Psikologi Media? Selama ini, fenomena politik seperti propaganda, popularitas politisi atau perilaku voting menjadi jembatan yang menghubungkan media dengan psikologi. Namun, politik bisa dipahami sebagai sebuah fenomena yang ada sebelum media (premedia phenomenon). Di sisi lain, media juga membentuk fenomena politik tersebut. Perang dalam media sosial menandai bagaimana citra pemimpin hari ini bisa dibentuk dan diamini dalam level masyarakat. Situasi ini mirip seperti seks atau agresi yang dalam penelitian senantiasa menekankan bahwa kedua kondisi tersebut disebabkan oleh adanya media. Namun, untuk memahami bahwa media menjadi biang keladi persoalan seks atau agresi adalah pemahaman yang reduktif. Isu mengenai media ini bisa diarahkan dengan mempertanyakan bagaimana media memengaruhi perilaku dan proses berbagai macam fenomena termaksud.
Psikologi Media dan Perkembangannya
Pada 1986, secara resmi berdiri Division 46: Media Psychology dalam American Psychological Association (APA) (apadivisions.org, t.t.). Pada mulanya anggotanya adalah para psikolog klinis yang berfokus pada penggunaan media untuk mendistribusikan informasi psikologi, seperti opini dari para ahli psikologi dan membangun representasi gangguan mental beserta penanganannya lewat media. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam konsentrasi Division 46, yakni psikologi media dan teknologi (1993); media, telehealth, dan teknologi baru (1996); teknologi dan e-therapy (2001); impak media sosial terhadap diri (2011); impak positif video games (2012); serta penggunaan dan literasi media baru (2013). Pada 2012, nama divisi tersebut berubah menjadi Division 46: Society for Media Psychology and Technology.
Dalam laman web-nya ditampilkan bahwa Division 46 berupaya memajukan psikologi dalam praktik dan ilmu media komunikasi dan teknologi (apadivisions.org, t.t.). Anggotanya adalah komunitas peneliti, psikolog dan penyedia kesehatan mental lainnya seperti konsultan, pendidik dan profesional komunikasi yang terlibat secara aktif dengan semua bentuk media tradisional yang berkembang serta teknologi baru. Divisi ini mendukung kajian dan penyebaran (diseminasi) informasi terkait dampak media terhadap perilaku manusia, serta pengembangan literasi media yang penting bagi publik dan profesi.
Psikologi media mencakup penelitian dan aplikasi yang berhubungan dengan semua bentuk teknologi media: media tradisional dan massa, seperti radio, televisi, film, video, kertas koran, majalah, musik, dan seni serta teknologi dan aplikasi baru dan yang sedang berkembang, seperti media sosial, media seluler, desain antarmuka (interface design), teknologi pendidikan, teknologi media interaktif, dan lingkungan augmented, virtual dan blended.
Psikolog media dapat menjadi komunikator, peneliti, penyedia layanan dan informasi kesehatan mental, konsultan, pendidik atau media developer. Psikologi media berlaku untuk berbagai industri dan pekerjaan yang melibatkan penggunaan atau pengembangan teknologi komunikasi dan informasi yang dimediasi.
Dill (2013) mendefinisikan Psikologi Media sebagai studi ilmiah mengenai perilaku, pikiran, dan perasaan manusia yang dialami dalam konteks pengunaan dan penciptaan media. Sementara itu, Bernard J. Luskin (2012), mantan presiden Divisi 46, menyatakan bahwa Psikologi Media memiliki peluang dalam melakukan studi terkait media sosial, telemedicine dan teletherapy, pendidikan online, ruang kelas virtual, konsultasi dan hiburan, terapi virtual reality dan augmented, pengembangan merek, pemasaran, periklanan, penempatan produk, dan teori permainan. Psikologi media juga mengembangkan analisis film, pemulihan yang dibantu media, telekomunikasi, kesehatan masyarakat yang efektif, layanan publik, dan kebijakan publik, termasuk kampanye politik. Psikologi media diterapkan pada pendidikan dan praktik kedokteran dalam bentuk penerbitan media. Deskripsi tersebut bisa semakin diperluas berdasarkan pengembangan teknologi dan manusianya.
Penelitian dalam Psikologi Media menunjukkan dominasi mengenai bagaimana media hiburan memengaruhi dan berefek pada psikologi manusia, terlebih pada anak-anak (children-centric) (Fischoff, 2005). Tidak hanya disiplin Psikologi, Ilmu Komunikasi dan Sosiologi juga melihat bagaimana efek negatif media massa seperti televisi dan lirik musik yang berpotensi mempromosikan seks dan agresi. Sementara itu, isu mengenai seksisme, rasisme, atau ageisme juga menjadi perhatian psikologi media, meskipun tidak se-tenar seks dan agresi.
Oleh karenanya, bukanlah hal yang mudah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud psikologi media (Fischoff, 2005; Rutledge, 2010). Ketidakmudahan ini disebabkan oleh tiadanya definisi yang disepakati bersama dan absennya jalur karir yang pasti. Setidaknya, suatu disiplin banyak ditentukan oleh apa yang tidak menjadi bagiannya, bukan malah apa yang menjadi bagiannya. Dalam Psikologi Media, apa yang tidak menjadi bagiannya adalah hal seperti bagaimana percakapan dipraktikkan sebagai bentuk komunikasi. Psikologi Media juga tidak berfokus pada patologi wicara yang terjadi. Namun, Psikologi Media akan ambil bagian saat ada kasus yang mana seseorang mengalami kesukaran dalam berkomunikasi kemudian memanfaatkan pesan pendek (sandek) atau ruang internet untuk berkomunikasi karena ketidakmungkinan seseorang dalam menyampaikannya lewat komunikasi tatap muka. Artinya, media mampu membuat seseorang untuk mengubah persepsi dan presentasi diri. Kasus-kasus demikian dapat dicermati dalam fenomena cancel-culture.
Mengapa Kita Membutuhkan Psikologi Media?
Kita membutuhkan psikologi media karena teknologi media berkembang begitu mengagumkan setiap harinya. Dalam dunia pasar, kita ditawari oleh gawai baru dalam waktu yang begitu tidak terduga. Hari ini, Anda memiliki gawai keluaran terbaru dan merasa menjadi manusia modern, besok pagi barangkali Anda telah menjadi manusia kuno dengan gawai yang tidak lagi bisa dianggap baru. Pada kenyataannya, pembaharuan gawai ini juga menyetir bagaimana hasrat seseorang. Artinya, dunia hari ini, dominasi hasrat kebaruan (desire for the new) dimediasi lewat penciptaan teknologi (Badiou & Truong, 2012).
Teknologi-teknologi tersebut mendefinisikan cara kita bekerja, bermain, dan berkomunikasi. Psikologi Media menjembatani celah-celah yang diciptakan teknologi dengan membantu kita memahami implikasi dari perubahan teknologi. Para peneliti menyusun hipotesis, mengoperasionalkan, dan melakukan kuantifikasi impak media. Namun, peneliti Psikologi Media akan kesulitan untuk mengukur hal-hal yang amat terintegrasi dalam struktur hidup sehari-hari. Adalah ketidakmungkinan untuk memisahkan confounding variables dalam dunia yang kompleks. Meskipun sebagian besar penelitian Psikologi Media saat ini berupa eksperimen dan kuantitatif, pada kenyataannya aspek grounded atau kualitatif menjadi pintu yang membuka penelitian kuantitatif atau eksperimen.
Secara khusus, Psikologi Media yang dibutuhkan adalah Psikologi Media Massa. Media massa merupakan mesin perubahan, membawa informasi, gambar, dan budaya kepada segmen masyarakat yang lebih luas. Ketidakterpisahan media dan massa juga ditentukan oleh latar historisnya, secara khusus dalam konteks kapitalisme cetak atau media cetak. Menurut Williams (1976/1983), media yang berasal dari kata medium, media digunakan secara luas dalam konteks broadcasting pada abad ke-20. Kala itu pers menjadi bagian penting dari komunikasi sehingga digunakan istilah umum seperti media massa, orang media, agensi media, dan kajian media.
Di antara berbagai macam media massa yang selama ini berkembang, setidaknya terdapat tujuh macam media yang berpengaruh besar dalam kehidupan manusia. Pertama dimulai pada akhir abad ke-15 yang ditandai dengan berkembangnya media cetak. Kedua adalah rekaman yang berkembang sejak akhir abad ke-19. Dalam rekaman ini, kita bisa menemukan piringan hitam hingga Digital Video Disc (DVD). Kemudian, ketiga adalah film yang berkembang sejak 1900an dan hingga kini menjadi media yang senantiasa memperoleh perhatian masyarakat. Keempat adalah radio yang berkembang sejak 1910. Sekalipun radio kini lebih jarang dikonsumsi, tetapi pada kala itu radio membawa perubahan sosial-politik yang cukup signifikan. Kelima adalah yang palings erring dibahas dalam penelitian media, yakni televisi. Televisi berkembang sejak 1950an hingga kini menjadi televisi kabel yang dioperasikan dnegan internet. Keenam tentu saja adalah internet yang sejak 1990an menjadi penyebab perubahan besar-besaran dalam segala lini kehidupan di abad ini. Kemudian ketujuh atau terakhir adalah telepon seluler yang kini berubah wujud menjadi smartphone. Sekalipun telepon seluler berkembang sejak 1970an, tetapi penetrasi penggunaan dalam masyarakat baru meningkat dengan tajam pada tahun 2000an.
Ketujuh media massa tersebut membentuk dan mengarahkan bagaimana kerumunan selama ini dipahami. Karakteristik massa yang bersifat kumpulan hingga massa yang seolah-olah memiliki otonomi (cellular dan mobile) ditampilkan dalam produk-produk kultural tersebut. Lantas, persoalan massa menjadi perkara penting yang perlu kita bahas dalam bagian selanjutnya.
Mengapa Kita Perlu Memberi Penekanan pada Istilah “Massa”?
Bon (1896/2002) menulis bahwa “massa” pada akhir abad ke-20 bisa dikatakan seperti debu ditiup angin. Ketika individu berada dalam kerumunan atau massa, maka ia akan kehilamgan agensi dan cenderung menjadi lebih spontan, inferior, irasional, dan mengalami degenerasi sebagai manusia yang mampu membuat pertimbangan. Mereka akan menunjukkan perilaku kerumunan yang liar, brutal, dan tidak terkendali. Kondisi demikian dengan mudah akan dimanfaatkan oleh otoritas yang berkepentingan untuk melakukan mobilisasi hingga kekejian.
Cara bagaimana orang-orang awam menjadi suatu kerumunan dapat ditunjukkan pada peristiwa yang terjadi setelah kematian Lady Diana, Putri Wales, pada 31 Agustus 1997. Saat itu, orang-orang menunjukkan ekspresi rasa duka yang begitu intensif dengan mengirimkan karangan bunga ke Kensington Palace, kediaman keluarga Kerajaan Britania Raya. Bagi media, peristiwa tersebut menunjukkan emosi yang irasional, histeria, dan perilaku kerumunan (Blackman & Walkerdine, 2001). Seseorang yang merasai duka, barangkali sama sekali tidak memiliki intimasi dengan Diana Spencer, tetapi mereka berperilaku seolah-olah memiliki kedekatan yang luar biasa. Kasus tersebut mirip dengan yang terjadi empat tahun kemudian dalam peristiwa September 11 atau Peristiwa Selasa Kelabu. Dalam September 11, sebanyak 19 orang pembajak yang mengaku dari Al-Qaeda menyerang gedung World Trade Center dan Pentagon di Amerika Serikat dan menewaskan sebanyak 3000 jiwa. Peristiwa tersebut kemudian memicu dukacita kolektif dengan ekspresi berupa penyalaan lilin, pengiriman karangan bunga, dan doa bersama di sekitar area penyerangan (Hoover, 2006).
Sekalipun dari sudut pandang tertentu hal tersebut dilihat sebagai bentuk perilaku kerumunan yang dianggap irasional dan tidak dewasa, tetapi dengan mengubah perspektif kita bisa melihatnya sebagai bentuk liminalitas (Turner, 1967). Bentuk liminalitas ini menandai bahwa seseorang berada tidak di sana dan tidak di sini (betwixt and between). Ia berada dalam suatu peralihan yang bukan lagi dirinya sendiri dan tergabung dalam suatu komunitas. Dalam rentang sejarah, pola pembentukan ditandai dengan kondisi liminalitas tersebut. Liminalitas menandai bahwa seseorang tengah mengalami perubahan dalam hidupnya dan bersiap dengan identitas barunya. Baik peristiwa dukacita karena kematian Diana Spencer maupun Peristiwa Selasa Kelabu menunjukkan bahwa irasionalitas manusia bukan sekadar membuat orang menjadi brutal, melainkan juga merasa tergabung dalam satu komunitas yang tidak mempedulikan kelas, ras, agama, dan identitas lainnya.
Secara khusus, menjelang berakhirnya abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, terjadi perkembangan perubahan konsep diri secara kolektif dalam kultur Barat yang mendominasi secara global (Blackman & Walkerdine, 2001). Pemahaman diri berkembang lewat peran budaya populer dan media yang membentuk sirkulasi hasrat dan meregulasi citra yang membuat kita merasa diri sebagai manusia. Secara spesifik, media dan psikologi bertemu dalam agenda membangun konstruksi berupa konsep menjadi orang normal yang berperilaku normal. Konsep ini berkebalikan dengan konsep kerumunan yang irasional dan bodoh. Subjek baru yang muncul adalah subjek yang rasional.
Rose (1989) menyatakan bahwa dalam dunia kontemporer atau pada masa neoliberalisme, berkembang konsep diri yang disebut sebagai fiksi diri-yang-otonom (fiction of autonomous selfhood). Fiksi tersebut menciptakan norma bagi manusia untuk mengembangkan diri berdasarkan privilesenya sehingga diri dapat melampaui dan berkembang menjadi entitas yang lebih Tangguh, tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membuat pilihan dan keputusan dalam pekerjaan, hubungan, waktu luang dan sebagainya. Konstruksi diri-yang-otonom ini ditandai dengan sifat positif berupa independensi, otonomi, tanggung jawab, kontrol diri, dan berpikir ke depan. Konstruksi demikian dengan mudah kita temukan dalam berbagai iklan, televisi, film, musik, maupun budaya populer lain. Diri-yang-otonom merupakan manifestasi dari gagasan neoliberalisme yang berkembang secara global dan ditandai dengan gagasan ideal Margareth Thatcher mengenai “lakukanlah sendiri” (going it alone). Gagasan tersebut mengundang kita untuk menjadi seorang entrepreneur bagi diri sendiri dengan segala prestasinya. Secara apik, Han (2015) menunjukkan bahwa undangan tersebut justru mendatangkan berbagai persoalan mental dan membentuk sebuah burn-out society.
Beranjak pada gagasan mengenai pemahaman massa yang irasional dan bodoh dan kemudian mengalami bersitegang dengan subjek yang otonom, bagaimana kemudian penelitian mengenai media massa diarahkan? Bagian selanjutnya secara khusus akan berupaya menjawab pertanyaan termaksud.
Psikologi Media Massa Macam Apa yang Kita Butuhkan?
Pada masa kini, Psikologi Media cenderung membahas mengenai manusia sebagai subjek pasif yang terstimulasi media kemudian menunjukkan respons. Gagasan ini menekankan bahwa subjek, sebagaimana gagasan Bon (1896/2002), bahwa manusia merupakan makhluk yang irasional di hadapan media dan massa. Namun, perlahan tren penelitian bergeser menjadi bagaimana manusia menjadi subjek aktif dan konsumen media yang memiliki agensi untuk menggunakan media sebagai sarana untuk mencapai agenda tertentu. Sebagai contoh adalah revolusi kewargaan di Tunisia, Mesir, dan Libya (Arab Spring) yang berupaya melengserkan pemerintah otoriter (Dill, 2013). Dalam revolusi yang terjadi pada awal dekade lalu tersebut, media sosial seperti Facebook, Twitter, dan You Tube memungkinkan masyarakat aktivis untuk mengorganisasikan, merekrut, dan mengkomunikasikan informasi yang memungkinkan revolusi terjadi. Dalam fenomena tersebut, media sosial mengamplifikasikan pesan dengan cara yang baru. Singkat kata, media memungkinkan pengorganisasian kekuatan rakyat (people power) (Blackman & Walkerdine, 2001; Dill, 2013).
Dalam penggunaan media tradisional, kita juga mengalami perubahan. Apabila pada masa 1980an hingga 2010an kita mengonsumsi televisi dengan pilihan yang terbatas, hari ini kita tidak lagi dibatasi oleh pilihan saluran yang dimiliki oleh pengusaha media (media moguls). Sekalipun demikian, patut dicatat bahwa saat ini saluran televisi tradisional di Indonesia sampai hari ini masih di bawah kepemilikan pengusaha sekaligus politisi (Tapsell, 2018). Artinya, agenda saluran boleh jadi mendukung agenda politik para pengusaha dan penguasa termaksud.
Contoh lain adalah soal telepon seluler yang berkembang begitu tidak terbayangkan dengan hadirnya internet. Pada awal 2000an, orang bisa bertukar pesan lewat sandek. Kala itu, sandek adalah barang mewah yang menjadi konsumsi kelas menengah ke atas. Hari ini, setiap orang dengan kelasnya masing-masing menggunakan smartphone. Pada awal 2021, laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan bahwa sebanyak 167 juta orang Indonesia menggunakan smartphone (Hanum, 2021). Angka tersebut setara dengan 89% dari total penduduk Indonesia. Artinya, berbeda dengan awal 2000an, hari ini kita tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa sandek.
Dua contoh di atas menunjukkan bahwa media menjadi piranti yang digunakan manusia untuk mengorganisasikan hidupnya, termasuk di dalamnya adalah mengisi waktu luang dalam hidupnya. Sekalipun demikian, betapa masifnya media sejak abad ke-20 tersebut membawa keuntungan dan kebuntungan masing-masing. Orang terus bertanya-tanya apakah media ini membawa kerusakan komunikasi atau justru membuat komunikasi semakin berkembang. Tidak bisa dipungkiri bahwa media dengan teknologinya menjadi semacam prostesis atau alat tambahan bagi tubuh manusia. Atraktivitas media yang kemudian menjadi perpanjangan manusia inilah yang tidak memungkinkan kita kembali pada psikologi yang tanpa media.
Lantas, Psikologi Media Massa macam apa yang kita butuhkan hari ini? Pergeseran dalam perdebatan akademik menunjukkan bahwa manusia sebagai konsumen dan subjek yang berhadapan dengan media tidak lagi melulu menempatkan pikiran massa (mass mind) sebagai lokasi di mana psikopatologi berada. Cara pandang demikian menolak agensi yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, dalam Psikologi Media Massa kontemporer, para peneliti berupaya untuk menemukan dan merayakan aktivitas kreatif dan intensionalitas subjek. Massa atau kerumunan bisa saja menyangkal pesan yang disampaikan melalui media dan secara kritis menanggapinya, artinya tidak lagi massa menjadi bodoh sebagaimana dipahami pada masa sebelumnya. Kebodohan tidak lagi ditempatkan dalam ranah problem perkembangan, tetapi dalam arena manusia sebagai subjek yang berada dalam dunia sosial. Subjek media massa yang diharapkan adalah mereka yang menjadi konsumen kritis dan resisten. Singkat kata, seseorang tidak sekadar individu yang terbentuk secara pasif oleh media.
Daftar Acuan
Badiou, A. & Truong, N. (2012). In praise of love (Penerj. Peter Bush). London: Serpent’s Tail.
Blackman, L. & Walkerdine, V. (2001). Mass hysteria: Critical Psychology and Media Studies. Macmillan Education.
Bon, G.L. (1896/2002). The crowd: A study of the popular mind. Dover Publications.
Dill, K.E. (2012). The Oxford handbook of media psychology. Oxford University Press.
Fischoff, S. (2005). Media Psychology: A personal essay in definition and purview. Division 46. https://www.apadivisions.org/division-46/about/fischoff-media-psychology.pdf
Giles, D. (2003). Media psychology. Lawrence Erlbaum Associates.
Han, B-C. (2015). The burnout society (Penerj. Erik Butler). Stanford Briefs.
Hanum, Z. (2021, 7 Maret). Kemenkominfo: 89% penduduk Indonesia gunakan smartphone. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/389057/kemenkominfo-89-penduduk-indonesia-gunakan-smartphone
Hoover, S.M. (2006). Religion in the media age. Routledge.
Kemp, S. (2021, 27 Januari). Digital 2021: Global overview report. Data Reportal. https://datareportal.com/reports/digital-2021-global-overview-report
Luskin, B.J. (2012, 30 November). Defining and describing Media Psychology. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-media-psychology-effect/201211/defining-and-describing-media-psychology
Rose, N. (1989). Governing the soul: The shaping of the private self. Routledge.
Rutledge, P. (2010, Juni). What is Media Psychology? And why you should care. Division 46. https://www.apadivisions.org/division-46/about/rutledge-media-psychology.pdf
Tapsell, R. (2018). Kuasa media di Indonesia: Kaum oligarki, warga, dan revolusi digital (Penerj. Wisnu Prasetyo Utomo). Serpong: Marjin Kiri.
Yogi, S. (2013). Role of media in social awareness: A review study. Humanities & Social Sciences Reviews, 1.1: 71-73.

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.