Teori

Wacana dan Agensi/Struktur

Setelah membahas persoalan ideologi, kita akan menjawab pertanyaan: Dalam dunia yang penuh ideologi, lalu bagaimana kemudian manusia didefinisikan sebagai ‘manusia’? Apakah manusia sekadar produk ideologi dan dengan demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk merubah hidupnya? Apakah ia sekadar makhluk fatalis yang mengikuti jalannya dunia? Ataukah manusia merupakan makhluk yang memiliki kesempatan untuk memiliki agensi dan merubah dunianya? Bagaimana manusia dilihat dalam konstruksionisme sosial?

 

Debat Terkait Agensi/Struktur

Burr (1995) mengatakan bahwa dalam ilmu sosial, debat apakah individu menentukan masyarakat atau masyarakat menentukan individu merupakan debat yang tak kunjung selesai. Orang-orang yang mengamini pandangan struktural berpendapat bahwa struktur-lah yang membentuk individu (top-down), sementara itu mereka yang percaya pada agensi manusia (bottom-up) menyatakan bahwa masyarakat merupakan produk segala pilihan dan keputusan individual; apa yang disebut masyarakat merupakan jumlahan total dari individu-individu yang hidup di dalamnya. Namun, cara pandang yang melulu menekankan agensi ini juga memiliki kelemahan: Mengapa orang-orang memiliki selera musik yang sama? Memiliki agama yang sama? Memiliki pakaian yang sama? Justru, gagasan soal penekanan pada individu yang menentukan masyarakat (ego-psychology) inilah yang dikritik oleh konstruksionisme sosial. Oleh karena itu, pertama-tama kita akan fokus pada kritik termaksud.

Pandangan bahwa individu sebagai pusat dari masyarakat merupakan gaya mainstream dalam disiplin psikologi. Tujuan psikologi untuk menjelaskan dan memprediksi manusia, dari cara pandang konstruksionisme sosial, berdasar pada premis yang keliru. Kekeliruan premis ini abai terhadap sumber nyata dari kedirian seseorang dan bahkan bersifat opresif, sebab praktik dan pengetahuan yang dilakukan adalah demi ketimpangan dalam masyarakat. Apa maksudnya ketimpangan? Bagaimana contohnya? Berikut adalah analogi yang diberikan Teo (2010):

Sekali waktu, seorang penulis mengusulkan bahwa umat manusia harus dibagi menjadi orang-orang bertelinga besar dan bertelinga kecil. Penulis menyarankan agar orang-orang bertelinga kecil tidak pandai mendengarkan, memiliki kemampuan musik yang lebih rendah, kurang kemampuan berempati dengan orang lain, dan banyak lagi. Karena mereka tidak memiliki keterampilan interpersonal, orang-orang bertelinga kecil juga bertanggung-jawab atas kekejaman dan beberapa kejahatan terbesar dalam sejarah dunia. Pemerintah saat itu mengesahkan ide-ide penulis dan memberlakukan undang-undang yang membagi anak-anak, berdasarkan konsep baru tentang ukuran telinga (earedness), menjadi taman kanak-kanak dan sekolah yang terpisah. Sebagai akibatnya, seluruh masyarakat dibagi ke dalam kelas besar dan kecil, dengan pendidikan, kesehatan, dan sistem hukum yang terpisah, dan dengan ruang perumahan dan rekreasi yang terpisah untuk masing-masing kelompok.

Pada saat psikologi menjadi disiplin yang independen, para peneliti mulai menguji hipotesis dengan cara empiris. Mereka menemukan bahwa beberapa asumsi tentang kewaspadaan terhadap jenis telinga, meskipun tidak semua, memiliki dukungan empiris. Baru-baru ini, psikolog evolusi membahas keunggulan adaptif ukuran telinga; psikolog klinis menggunakan konsep tersebut sebagai alat diagnostik; para psikolog agama menemukan bahwa para pendiri agama memiliki telinga yang jauh lebih besar daripada orang-orang sezamannya; sejarawan psikologi menggunakan lukisan, foto, dan deskripsi telinga; tercipta perdebatan apakah Kant memiliki telinga yang lebih besar daripada Descartes, atau apakah Kant yang bertelinga besar, terjadi di antara para psikolog kepribadian.

Namun, beberapa kritik terhadap konsep ini juga muncul: Para ahli metodologi berpendapat bahwa ukuran telinga harus dilihat tanpa menafikan tinggi dan jenis kelamin dan bahwa variabel tersebut bersifat continous. Kritik lain berpendapat bahwa ukuran telinga adalah konstruksi sosial. Namun, para pembela konsep menunjukkan bahwa studi empiris mengkonfirmasi pentingnya ukuran telinga, bahwa variabel tersebut merupakan prediktor yang sangat baik untuk kesuksesan profesional, dan bahwa ukuran telinga menunjukkan korelasi tinggi dengan banyak variabel psikologis lainnya. Mereka juga menunjukkan bahwa rata-rata orang tahu bahwa ukuran telinga nyata-nyata memengaruhi kepasitas seseorang dan menolak kenyataan tersebut berarti menentang akal sehat.

Guna menghentikan kritik terhadap teori ukuran telinga, tim peneliti terkemuka dari psikologi mengadakan studi skala besar dan studi meta-analisis terhadap penelitian ukuran telinga yang dilakukan sebelumnya. Semua hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan yang konsisten antara individu bertelinga besar dan bertelinga kecil, studi tersebut juga menunjukkan bahwa sifat ukuran telinga tersebut diwariskan. Para psikolog menafsirkan hasilnya dengan cara berikut: ‘Karena pola perbedaan antara kelompok bertelinga besar dan bertelinga kecil dapat ditemukan dalam banyak penelitian dan dalam meta-analisis ini, kita menyimpulkan bahwa perbedaan adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Ukuran telinga memiliki korelasi biologis yang dapat diukur secara objektif, ditunjukkan pula dalam penelitian bahwa sifat orang dengan ukuran telinga tertentu ini diwariskan. Karena perbedaan dalam empati antara orang-orang bertelinga kecil dan bertelinga besar diwariskan, masuk akal untuk memisahkan kedua kelompok ini dalam berbagai bidang kehidupan sosial.’

Apabila cara pandang psikologi terhadap manusia menjadi persoalan, ada dua kemungkinan yang muncul. Pertama, psikologi menjadi tidak relevan dan lebay, sebab pada kenyataannya alasan perilaku dan pengalaman seseorang tidak ditemukan di dalam kepalanya sendiri. Kedua, kita mesti mengembangkan model lain psikologi yang dapat mengakomodir dan melengkapi catatan konstruksionisme sosial terkait ‘individu’, yang akan diperdalam pada bagian di bawah ini.

 

Yang Individual dan yang Sosial dalam Psikologi

Apa yang selama ini kita pelajari dalam psikologi (sosial) berakar dari tradisi eksperimen di Amerika Utara (North American psychology) (Burr, 1995). Kita bisa melihat bahwa dalam psikologi jenis termaksud, asumsi yang digunakan adalah bahwa perilaku dan pengalaman manusia dapat dipahami dengan melihat penjelasan intra-psikis (psyche seseorang). Dalam tradisi ini, kita akan menemui bahwa memori, persepsi, motivasi atau emosi merupakan peristiwa yang sangat privat atau personal — dalam arti bahwa hal-hal tersebut berasal dari diri kita dan bekerja dalam kepala kita.

Laboratorium yang dimanfaatkan dalam psikologi menjadi penanda bahwa sebuah lingkungan yang ideal adalah ketika tidak ada variabel lain yang mengganggu — atau variabel tersebut bisa dieliminasi dan dikontrol. Dalam cara pandang psikologi laboratorium, konteks sosial dilihat sebagai ruang yang penuh dengan variabel yang mendistorsi dan menyembunyikan karakteristik dan kapasitas individu. Oleh karenanya, dalam laboratorium, konteks sebisa mungkin dikontrol supaya dapat dihasilkan penelitian yang tidak terdistorsi (objektif).

Eliminasi terhadap berbagai variabel lain inilah yang kemudian memunculkan masalah. Misalnya, dalam penelitian mengenai ‘sikap’, kita akan dihadapkan pada pertanyaan ‘apakah seseorang pro atau kontra terhadap suatu objek?’ Asumsinya, sikap kita akan menentukan bagaimana kita berperilaku, meskipun pada kenyataannya seringkali tidak demikian. Teori sikap menanggapi temu­an tersebut dengan menyatakan bahwa ada banyak sekali variabel eksternal dan individual, seperti norma dan nilai dalam masyarakat. Seseorang yang melakukan tindakan  akan melihat kondisi orang lain dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Hal-hal tersebut kemudian dianggap memodifikasi sikap dasar seseorang.

Contoh lain adalah temuan Allport (1924) terkait disharmoni rasial. Ia mengatakan bahwa disharmoni terjadi karena kepribadian inferior dari orang kulit hitam. Dengan kata lain, Allport mereduksi fenomena yang kompl­eks ke dalam intra-psikis individu. Selain itu, temuan Allport akan dianggap rasis pada masa kini dan kita akan lebih memilih penyebab lain seperti rumah tangga yang buruk, prospek kerja yang tidak memadai, atau ketidaksetaraan dalam pendidikan. Model-model pendekatan yang intra-psikis ini terus mengalami reproduksi hingga tahun 1950an. Theodor Adorno (1950), seorang pemikir dan kawan satu lingkaran Erich Fromm, membuat postulasi bahwa prasangka timbul dari kepribadian otoriter. Ia menulis­kan bahwa lewat pendidikan dan penanaman dalam keluarga, kepribadian otoriter ditanamkan. Meskipun sudah mulai melihat orang dari sejarah hidup dan lingkungannya, namun Adorno tetap saja menjelaskan prasangka dalam proses intra-psikis, yakni kepribadian otoriter.

Penelitian eksperimen selanjutnya sebagaimana dilakukan Asch (1956) atau Latane dan Darley (1970) mulai menunjukkan adanya pengaruh konteks terhadap individu. Dalam eksperimen Asch terkait konformitas, ditunjukkan bahwa ketika seseorang membuat penilaian akan kesamaan antar-garis akan cenderung lebih akurat dibanding ketika mereka ditempatkan pada kelompok. Sementara itu, dalam eksperimen soal ‘bystander apathy’ yang dilakukan Latane dan Darley, ditunjukkan bahwa orang akan cenderung menolong ketika dalam kondisi individual daripada dalam kelompok. Kedua eksperimen tersebut menyumbang gagasan bahwa kondisi sosial memiliki pengaruh terhadap penilaian atau pengambilan keputusan individu. Kedua eksperimen menunjukkan bahwa rasionalitas dan moralitas individu ditentukan oleh kehadiran mereka dalam sebuah kelompok. Dengan kata lain, secara moral/politis, penelitian tersebut menunjuk­kan bahwa kelompok menciptakan potensi keberbahayaan bagi individu.

Ada dua poin penting yang perlu dicatat dari bagian ini. Pertama, faktor sosial dianggap sebagai rangkaian variabel yang mampu memengaruhi individu. Kedua, pengaruh faktor sosial tersebut dianggap berbahaya. Lalu apa soalnya dengan cara pandang individual? Bagian selanjutnya akan membahas pertanyaan tersebut.

 

Permasalahan yang Muncul dari Individualisme

Seandainya kita diminta untuk menjelaskan mengapa prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada Tionghoa di Indonesia, dapatkah kita mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan mereka yang melakukan diskriminasi adalah orang dengan kepribadian otoriter? Ataukah karena kognisi sosial? Kalau kognisi sosial, bagaimana kognisi sosial ini bisa muncul? Tentu saja kita juga tidak bisa menafikan bahwa terdapat fakta-fakta lapangan yang menonjolkan ketimpangan sosial-ekonomi yang kemudian dimitoskan. Sama halnya dengan: Apakah diksriminasi terhadap perempuan atau LGBT merupakan hasil dari sikap individu terhadap objek sikap? Tidakkah diskriminasi ini juga terjadi secara sistematis dalam ranah politik, hukum, pendidikan, industri, atau periklanan? Bagaimana kita menjelaskan bahwa diskriminasi atau sikap tersebut tampak ‘berurat-akar’ dalam keseharian kita? Lebih spesifik lagi, bagaimana psikologi menanggapi persoalan tersebut?

Jawaban dari pertanyaan tersebut terarah pada bagaimana psikologi dan konstruksionisme sosial tampak tidak akur satu sama lain. Burr (1995) mengatakan bahwa salah satu tujuan utama dari konstruksionisme sosial adalah menganalisis relasi kuasa dalam konteks hidup manusia, bagaimana framing terhadap pengalamannya, dan, akhirnya, bagaimana memfasilitasi perubahan sosial. Meskipun demikian, konstruksionisme sosial bukan kemudian menempatkan psikologi mainstream sebagai objek yang senantiasa dikritik. Konstruksionisme sosial berintensi untuk memperlihatkan perbedaan antara logika dalam psikologi mainstream dengan konstruksionisme sosial sendiri.

Persoalan lain akan muncul dengan hanya membatasi pada pandangan bahwa struktur sosial yang menentukan individu (top-down approach). Top-down approach maupun bottom-up approach (individu menentukan struktur sosial) hanya berbeda dalam perkara arah pengaruhnya saja. Keduanya dilihat bermasalah oleh konstruksionisme sosial. Karena itu, apabila kita melihat keduanya sebagai komponen dikotomis, kita hanya akan terjebak pada esensialisme; bahwa ada yang lebih benar dari yang lain­nya. Dalam keseharian, kita akan kesulitan untuk membedakan atau memisahkan antara masyarakat dengan individu. Dikotomi antara masyarakat dengan individu ini juga merupakan contoh konstruksi sosial, salah satu cara saja dalam memandang dunia — yang kita boleh saja untuk tidak sepakat.

 

Ekosistem: Alternatif terhadap Dikotomi Individu/ Masyarakat

Guna memahami apa alternatif dari cara pandang dikotomis ini, kita akan diperkenalkan dengan Jacques Derrida (1930-2004) yang sama seperti Foucault, seorang pemikir asal Perancis. Gagasan Derrida jauh lebih tidak mudah dipahami dibandingkan Foucault. Pada bagian sebelumnya, kita diperkenalkan oleh konsep penanda dan petanda. Saussure mengatakan bahwa hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, sekalipun keduanya terikat bersama. Derrida menunjukkan bahwa makna penanda secara konstan terus berubah dan amat tergantung konteks dan tidak menetap. Implikasinya adalah: kata memiliki makna yang berubah sesuai lingkungan; tergantung siapa yang mengatakan, kapan, dan dalam kondisi yang bagaimana.

Lebih spesifik lagi Derrida mengatakan bahwa bahasa merupakan self-referent system atau penanda hanya bisa dijelaskan oleh penanda lainnya (Burr, 1995). Sebuah kata hanya bisa bermakna ketika berada dalam hubungan dengan kata lainnya. Misalnya, Anda hanya bi­sa menjelaskan ‘gelap’ karena kita mengenal istilah ‘terang’. Pada praktiknya, ketika kita ditanyai apa itu ‘gelap’, kita akan berpikir bahwa ‘gelap’ merupakan absennya terang. Menurut Derrida, identitas penanda hanya bisa diberi­kan dengan cara menunjukkan ‘apa yang tidak’, yakni ‘sesuatu yang absen dari penanda tersebut’. ‘Pensil’ bukan ‘pulpen’, bukan ‘penghapus, bukan ‘buku’, bukan ‘sumpit’, dan lain-lain. Makna tergantung pada perbedaan (difference) sebuah penanda dengan penanda lain dan secara konstan ditunda (deffered) dalam rangkaian yang tanpa akhir. Derrida menggunakan istilah ‘différance’ untuk menunjukkan aspek ‘difference’ dan ‘deferral’ dari makna.

Apabila kita mengaplikasikan pada istilah ‘individual’ maka kita akan memahami bahwa penanda ‘individual’ merujuk pada fungsi dan ‘apa yang bukan’. Maka, untuk menjelaskan fenomena yang kita anggap sebagai individu­al, kita mesti menjelaskannya pula dalam istilah sebaliknya, bukan-individual atau societal. Kita tidak bisa menjelaskan yang individual tanpa lewat yang societal.

Menurut Derrida, praktik dikotomis ini telah mendominasi cara berpikir orang Barat. Dengan kacama­ta Derrida, persis cara dikotomis inilah yang menunjukkan tipikal ideologi: satu hal memiliki privilese dibanding yang lain. Misalnya, nalar lebih ditekankan dibandingkan emosi, kebebasan lebih dominan dibanding determined. Cara pandang dikotomis ini menipu kita dengan cara meyakinkan bahwa satu hal lainnya jauh lebih baik dibandingkan yang lain, padahal keduanya tidak bisa mengada tanpa satu lainnya. Derida menyarankan agar kita menolak logika ‘either/or’ ini dan mengadopsi logika ‘both/and’. Dengan demikian, alih-alih berpikir bahwa individual dan societal membentuk dikotomi, kita lebih disarankan untuk memikirkannya sebagai komponen yang tak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan sebuah unit atau kesatuan.

Dalam cara pandang dekonstruksi ini, pertanyaan seperti ‘apakah kita memiliki kehendak bebas atau perilaku kita ditentukan?’ atau ‘apakah kita memiliki agensi atau kita merupakan produk dari masyarakat’ tidak lagi relevan. Lalu mengapa dekonstruksi ini penting dalam KS? Apabila agensi dan struktur merupakan sistem yang tidak terpisahkan, maka untuk memahami agensi manusia maka kita juga harus memahami struktur sosial.

Lalu apa yang mesti kita lakukan setelah kini menggunakan logika pelengkap (‘both/and’), bukan logika dikotomis? Sampson (1989) mengajak kita menggunakan istilah ‘ekosistem’ untuk melihat hubungan antara individu dengan masyarakat. Sebagai contoh adalah bagaimana perempuan mendefiniskan ‘diri’. Rasa ‘diri’ yang dialami perempuan cenderung muncul dari pengalaman perempuan dalam masyarakat dan kehidupan sosialnya. Laki-laki tinggal dalam dunia publik, dunia pekerjaan, kompetisi, sebuah dunia di mana bakat dan keahlian diuji dengan kompetitor. Lain halnya dengan perempuan yang ‘dibiasakan’ untuk berfokus pada keluarga, yang mana kemudian membentuk rasa kedirian berdasarkan peduli satu sama lain dan berlandaskan kerjasama dengan orang dalam keluarga. Rasa ‘kedirian’ perempuan secara intim terkait dengan kondisi sosial di mana kita terikat (embedded) di dalamnya. Istilah ‘embedded’ inilah yang kemudian menandai bahwa pemisahan antara individu dengan masyarakat tak lagi relevan.

Dengan bersepakat bahwa individu dan masyarakat merupakan entitas yang terhubung, bagian dari sebuah sistem, persoalan agensi manusia dan wacana bisa dipahami dengan lebih terang. ‘Individu’, ‘praktik sosial yang dilakukan’, ‘struktur sosial di mana orang hidup’, serta ‘wacana yang memberi kerangka pikiran dan pengalaman’; menjadi aspek dari sebuah fenomena. Artinya, wacana bukan sekadar produk dari struktur sosial maupun individu. Wacana melekat dalam struktur dan dalam waktu bersamaan menyusun identitas dan pengalaman kita. Dengan demikian, wacana dapat dilihat sebagai pendorong terjadinya perubahan sosial maupun personal.

Lalu apa implikasinya terhadap penelitian psikologi? Dengan mempertanyakan asumsi lawas terkait dengan esensialisme dan humanisme, konstruksionisme sosial mengalihkan perhatian yang berpusat pada orang ke ruang sosialnya. Dalam pengertian demikian, psikologi menjadi sebuah studi terhadap makhluk yang secara sosi­al dikonstruksi, produk dari wacana historis dan kultural yang spesifik, dan wacana tersebut penuh dengan relasi kuasa. Lantas, untuk mempelajari manusia, tidak bisa tid­ak untuk melihat manusia sebagai tenunan historis, sosial, dan politis yang terikat pada konteks hidupnya. Lalu, bagaimana KS melakukan konseptualisasi ulang terhadap konsep-konsep esensialis seperti sikap, kepribadian, emosi, dorongan? Mari kita cari dengan memahami apa artinya menjadi manusia dalam perspektif konstruksionisme sosi­al — yang akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

 

Daftar Acuan

Adorno, T., Frenkel-Brunswick, E., Levinson, D. and Sanford, R.N. (1950). The authoritarian personality. New York: Harper.

Allport, F. (1924). Social Psychology. Boston: Houghton Mifflin.

Asch, S. (1956). Studies of independence and conformity: A minority of one against a unanimous majority’. Psychological Monographs 70:9.

Burr, V. (1995). An introduction to social constructionism. London & New York: Routledge.

Latané, B. and Darley, J.M. (1970). The unresponsive bystander: Why doesn’t he help? New York: Appleton-Cenrury-Crofts.

Sampson, E.E. (1989). The deconstruction of the self. Dalam J. Shorter & K.J. Gergen (eds.), Texts of identity. London: Sage.

Teo, T. (2010). What is epistemological violence in the empirical social sciences? Social and Personality Psychology Compass, 4(5), 295–303.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *