[Tulisan ini merupakan pengantar untuk Buku Saku Pesan Percakapan, silakan unduh ebook-nya di sini]
Language is an efficient ordering of the world’s enigmatic abundance.Or, in other words, we invent nouns to fit reality. ( Jorge Luis Borges)
Pertama: Syahdan, manusia menemukan bahasa. Dengan bahasa, orang bercakap. Media sosial kini berperan serta menemukan bahasa-bahasa baru. Dua puluh tahun yang lalu, kata nge-twit tentu saja tidak ada. Dengan adanya Twitter, kini ia ada. Atau, lagi, kata selfie yang berarti memotret diri sendiri. Generasi 90-an mungkin tidak membayangkan akan mengenal kata tersebut. Kini selfie telah dimasukkan ke dalam kamus online Oxford ― bahkan online sendiri kata yang relatif baru. Baik nge-twit maupun selfie adalah bahasa yang sifatnya teknologis, yang pertama dari jejaring internet dan kedua dari kamera. Dalam sebuah artikel The Economist (2013), Robert Lane Greene ― seorang jurnalis Amerika ― menuliskan bahwa teknologi mempercepat perubahan bahasa. “Tapi,” lanjut Greene, “ini memungkinkan orang (bukan hanya yang muda) untuk menjadi berdaya-cipta dan mencoba-coba, barangkali lebih dari yang pernah ada.” Bahasa bukanlah sesuatu yang final, kapan saja bisa punah, kapan saja bisa bertambah, dan kapan saja bisa berubah.
Bagi Walter Benjamin, bahasa bukan hanya cuma bisa berubah. Bahasa juga menjadi sebuah resolusi sebuah konflik. Bahasa menawarkan resolusi konflik tanpa kekerasan lewat “hubungan pribadi antar-manusia”, rasa hormat, simpati dan kepercayaan. Bahasa adalah “the proper sphere of ‘understanding”. Tapi bagaimana dengan bahasa teknologis? Dengan usianya yang tergolong muda, apakah ia juga menghasilkan sebuah pemahaman?
Dalam sebuah esainya, Slavoj Žižek (2008) menawarkan pertanyaan: Bagaimana jika, manusia melampaui binatang dalam kapasitasnya untuk melakukan kekerasan karena mereka berbicara? Baginya, bahasa memuat kekerasan yang tak terkondisikan (unconditional violence). Žižek mencontohkan mengenai pembunuhan orang Yahudi, yang mana si anti-Semit telah mengalami konstruksi dari tradisinya. Oleh karena itu, yang dibunuh adalah imaji Yahudi. Di lain esai bertema serupa, Žižek menyebutkan bahwa kaum hitam (Negro) tidak inferior. Kaum hitam hanya mengalami inferiorisasi selama proses diskursus kaum putih yang rasis. Mereka dibebani inferioritas dari luar, tapi tidak pada eksistensinya sendiri.
***
Kedua: Kini, bayangkan kita hidup di sebuah dunia yang sangat lain. Dunia ini, yang tentu saja namanya World State, sebagaimana Aldous Huxley (1989) menamainya. Di sini penderitaan dan kesengsaraan dilarang, lebih tepatnya di-slamur-kan. Sumber konflik ditekan. Manusia dan sumber daya pun kemudian dikendalikan. Hari ini, setiap orang tidak perlu mencemaskan apa yang harus dimakan esok pagi. Kelaparan tidak ada. Bahkan, setiap manusia dibuat dan tidak dilahirkan. Jumlahnya pun dibatasi. Manusia tidak perlu mengendalikan dirinya, semuanya sudah ada yang mengendalikan. Lahirlah robot-robot baru dengan semangat jaman yang puitik; alienasi! Apablia Anda tidak percaya hari ini kita hidup di dunia baru yang melesat bagai anak panah, Anda adalah satu dari sekian banyak orang yang hidup dalam World State ― yang berarti teralienasi. Seakan menaklukkan waktu dan jarak, teknologi informasi dan komunikasi terus melesat pesat. Di koran hari ini, Anda akan membaca sebuah iklan yang menawarkan sebuah benda teknologis dengan fitur X, seminggu kemudian dengan fitur Y yang lebih canggih dari X. Dari semua itu kita, para konsumen, adalah orang yang diuntungkan.
Saking canggihnya benda itu, setiap orang ingin mengalami pengalaman kebaruan dari benda itu. Berduyun-duyunlah mereka membelinya. Kini setiap orang memilikinya. Alhasil untuk berjumpa dengan Miley Cyrus, artis kenes yang kontroversial itu, setiap orang tidak perlu susah-susah mengeluarkan kocek berlebihan untuk ke Nashville. Kini, mereka yang di Asia cukup follow di Twitter atau akun Instagram-nya untuk menjumpainya secara virtual.
Semua itu bisa dilakukan dengan internet. Maka tidak heran apabila MarkPlus Insight dan Marketeers Magazine pada November 2013 melaporkan sebanyak 74.57 juta penduduk Indonesia menggunakan internet; dan tentu saja meningkat terus hingga hari ini. Laporan tersebut menujukkan perubahan yang menarik. Jumlah pengguna internet tahun 2013 merangsek dengan tajam, 22% dari tahun 2012 yang berjumlah sekitar 61.08 juta pengguna internet. Di antara yang 74.57 juta tersebut, sebanyak 31.7% adalah Netizens. Netizens sendiri merupakan sebutan untuk pengguna internet dengan porsi waktu lebih dari 3 jam/hari.
Jumlah 31.7% tersebut menggambarkan bahwa proses migrasi sedang terjadi menuju dunia digital. Pada tahun 2012, Ipsos Global Public Affairs melakukan penelitian dengan partisipan dari 24 negara. Hasil penelitian Ipsos mendeskripsikan bahwa 85% masyarakat global menggunakan internet untuk keperluan email, 62% untuk jejaring sosial, dan 41% menggunakannya untuk voice-over IP. Penelitian lain dilakukan Semiocast menunjukkan bahwa Indonesia lima negara paling aktif dalam mikroblog dan Jakarta adalah ibukota yang paling aktif dalam penggunaan Twitter. Bandung, kota metropolis kedua di Indonesia setelah Jakarta, berada dalam urutan enam dari kota yang paling aktif dalam penggunaan Twitter (Grazella, 2012).
Sifat penggunaan internet secara global inilah yang kemudian menunjukkan bahwa perubahan teknis komunikasi baru ditemukan. Perubahan teknis komunikasi ini terjadi lewat berbagai macam media yang berbeda. Perubahan mode komunikasi oral kini bergeser dalam bentuk teks. Bahkan, penggunaan media komunikasi digital ini merambah kalangan tanpa mengenal strata. Dari presiden, tokoh agama, hingga ke kalangan menengah ke bawah kini memanfaatkan mode komunikasi dalam wujud teks ini.
Kini, media ditentukan oleh piranti apa yang digunakan. Semakin canggih dan mutakhir piranti yang digunakan, maka semakin banyak kesempatan untuk mencoba-coba fasilitas media yang tersedia. Ada orang yang lebih senang berkomunikasi via WhatsApp, ada pula yang lebih sering menggunakan Twitter, ada pula yang terbiasa menggunakan Line. Pelan tapi pasti, kini orang memperhatikan bukan lagi apa yang dikomunikasikan, tapi lebih pada bagaimana cara komunikasi itu berlangsung.
Hari ini, tidak seorangpun akan lebih mudah hidup tanpa menggunakan internet. Internet menjadi penanda kehidupan modern. Bahkan, transformasi digital terjadi besar-besaran semenjak pandemi Covid-19. Pada 2020 dilaporkan bahwa ada 175.5 juta jiwa dari 268.583.016 jiwa di Indonesia yang menggunakan internet (Mursid, 2020). Jumlah ini menunjukkan bahwa sirkulasi informasi dan percakapan, dan dengan demikian sirkulasi bahasa, semakin agresif dalam duni digital.
***
Ketiga: Bagaimana sebuah percakapan dihadapkan pada realitas komunikasi masa kini? Mungkinkah ia juga menyediakan ruang untuk negosiasi? Atau justru menyediakan ruang untuk kekerasan? Buku saku yang dikerjakan oleh Kelas C Psikologi Komunikasi, Universitas Sanata Dharma ini dimaksudkan untuk meminimalisir resiko-resiko yang mungkin membuka percakapan ke arah meyingkirkan sesama-yang-lain yang tengah menjadi tandem komunikasi. Dengan mempelajari bagaimana percakapan yang efektif berlangsung, diharapkan para pelaku komunikasi dapat menimbang-nimbang mengenai bagaimana melangsungkan percakapan; entah langsung maupun lewat media.
Daftar Acuan
Gotfried, K. (27 Maret 2012). Interconnected world: Communication & social networking. Diunduh 17 Mei 2021 dari http://www.ipsos-na.com/news-polls/pressrelease.aspx?id=5564
Grazella, M. (1 Agustus 2012). Jakarta named the world’s most active twitter city. The Jakarta Post. Diunduh 16 Mei 2021 dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/ 01/jakarta-named-world-s-most-active-twitter-city.html
Greene, R.L. (20 November 2013). Johnson: Don’t fear the tweeter. The Economist. Diunduh pada 17 Mei 2021 dari https://www.economist.com/prospero/2013/11/20/johnson-dont-fear-the-tweeter
Huxley, A. (1989). Brave new world. New York: Harper Perennial.
Marketeers. (30 Oktober 2013). MarkPlus Insight: Pengguna internet Indonesia 74 juta di tahun 2013. Marketeers. Diunduh 17 Mei 2021 dari http://www.the-marketeers.com/archives/Indonesia%20Internet%20Users.html#.Uq_mh9JdUjY
Mursid, F. (30 September 2020). Kominfo: Pengguna Internet di Indonesia Capai 175,5 Juta. Republika.co.id. https://republika.co.id/berita/qhgibx335/kominfo-pengguna-internet-di-indonesia-capai-1755-juta-jiw#:~:text=REPUBLIKA.CO.ID%2C%20JAKARTA,populasi%20sebanyak%20268.583.016%20penduduk.
Žižek, S. (2008). Language, violence and non-violence. IJŽS, Vol 2, No. 3, hlm. 1-12.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.