NLRSpedia

Buku Saku Pesan Emosional

[Tulisan ini merupakan pengantar untuk Buku Saku Pesan Emosional, silakan unduh ebook-nya di sini. Sebelumnya, tulisan ini telah terbit dalam Web Puskaloka, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.]
Tanpa emosi, kita menjadi sekadar penonton dan bukan partisipan dalam hidup kita sendiri.
(Sally Planalp, 1999).

Bayangkan Anda tengah berkelakar bersama 4 orang teman Anda. Seorang menyodorkan banyolan yang lucunya minta ampun. Tentu saja semua tertawa, kecuali seorang teman Anda yang memang terkenal sulit tertawa. Bagi teman Anda tersebut, banyolan tersebut juga amat lucu. Namun, raut mukanya sama sekali datar. Bagaimana Anda mempercayai bahwa teman tersebut memang menganggap kelakar yang disampaikan teman Anda yang lain tersebut memang lucu bagi si-ekspresi- muka-datar?

Barangkali kasus di atas terlampau ekstrem. Tidak sedikit kasus-kasus dalam praktik hidup sehari- hari yang menunjukkan betapa tidak mudahnya mengekspresikan emosi. Ketika kita tengah pedekate dengan seseorang, kadang kecanggungan membuat emosi menjadi sulit untuk diatur. Atau ketika kita hendak memberitahu dengan serius suatu hal, kadang orang lain malah mempersepsikan kita tengah bercanda. Singkat kata, ada tantangan dan hambatan tersendiri yang muncul dari pengungkapan pesan yang sifatnya emosional.

Namun, apa itu emosi? Mengapa ia begitu penting? Bagaimana Psikologi membicarakan emosi? Lebih khusus lagi, mengapa penting untuk memahami emosi dalam suatu pesan? Apakah terdapat prinsip-prinsip dalam menyampaikan pesan yang memuat emosi? Adakah hambatan-hambatan dalam penyampaiannya? Lalu, bagaimana menyampaikan pesan yang memuat emosi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut-lah yang hendak dijawab dalam buku saku ini

American Psychological Association (t.t.) mendefiniskan emosi sebagai “pola reaksi yang kompleks, yang melibatkan elemen pengalaman, perilaku, dan fisiologis, yang digunakan seseorang untuk menangani masalah atau peristiwa penting secara pribadi. Kualitas khusus dari emosi (misalnya, ketakutan dan rasa malu) ditentukan oleh penafsiran khusus dari suatu peristiwa. Misalnya, jika tafsiran melibatkan ancaman, ketakutan kemungkinan besar akan muncul; jika tafsiran melibatkan ketidaksetujuan dari orang lain, rasa malu kemungkinan besar yang akan ditimbulkan. Emosi biasanya melibatkan perasaan tetapi berbeda dari perasaan yang memiliki keterlibatan terbuka atau implisit dengan dunia.”

Definisi tersebut tentunya perlu dilengkapi dengan pemahaman bahwa cara orang memahami konsep emosi berubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa hingga saat ini emosi menjadi konsep pelik yang senantiasa dibahas dalam Psikologi. Bahkan, pada akhir abad lalu, muncul gerakan dalam disiplin ilmu Psikologi yang disebut sebagai “turn to affect” atau “palingan ke afek”. Gerakan “palingan ke afek” tersebut menunjukkan bahwa emosi tidak hanya menjadi kategori penting dalam ilmu Psikologi, tetapi juga dalam hidup sehari-hari.

Pembahasan mengenai konsep emosi — terlebih dalam dunia Barat yang hari ini masih mendominasi kiblat keilmuan — menjadi tema sejak abad ke-18 dan ke-19 (Cromby, 2014). Sebelum abad tersebut, emosi seringkali disebut dengan hasrat, sentimen, atau atau afeksi. Perhatian pada konsep emosi muncul setelah merosotnya pengaruh Kristen dan terjadi sekularisasi dalam sejumlah negara Barat. Dalam konsep Kristen, istilah hasrat merupakan hal yang penting sebab ia menandai ketidakmampuan manusia dalam menghindari dosa. Selain itu, pada abad tersebut di atas, Revolusi Industri terjadi. Revolusi Industri merubah struktur masyarakat feodal (berbasis agama dan kelas priyayi) menjadi masyarakat yang lebih modern sehingga menciptakan etika moral baru dalam dunia sosial; yakni meletakkan moral pada individu dan bukan lagi ke subyek metafisik seperti Tuhan. Sebagai contoh, pada 1739, David Hume menuliskan bahwa pada masa itu terbentuk diskusi yang menyasar perbedaan antara hasrat yang “tenang” dengan yang “tidak bisa diatur” atau “kasar”. Hasrat yang “tenang”, secara sosial, dianggap lebih baik dan lebih pantas diperkembangkan apabila dibandingkan dengan hasrat yang “tidak bisa diatur”. Dari gagasan tersebut, yang mana terjadi individualisasi hasrat, muncul gagasan emosi yang kemudian terus dibahas hingga hari ini.

Dalam Psikologi, setidaknya ada sekitar 150 teori mengenai emosi (Strongman, 2003). Perkembangan awal teori emosi menunjukkan bahwa, emosi seringkali diperlawankan dengan kognisi atau alasan. Apabila kognisi menandai kemajuan akal manusia, maka emosi adalah sebaliknya: penuh dengan penilaian yang bias dan kekeliruan pemrosesan informasi. Mula-mula, emosi dibahas dalam sejarah evolusioner yang menunjukkan cara orang bertahan hidup, sebagaimana digagas Darwin. Sekalipun demikian, pembagian dikotomis antara kedua konsep juga penting untuk diproblematisasikan.

Teori emosi lainnya adalah yang bersifat fenomenologis di mana lebih memperhatikan pengalaman yang membentuk pengalaman subyektif mengenai emosi. Dalam tradisi pemikiran fenomenologis, emosi menjadi cara untuk mengatasi, mengubah, atau menhadapi dunia. Dalam pendekatan fenomenologis, emosi merepresentasikan identitas dan kedirian.

Teori-teori lain yang bisa kita temukan adalah behaviorisme yang memahami bahwa emosi dikembangkan lewat belajar dan pengkondisian; fisiologis atau neurosains yang memahami emosi didasarkan pada mekanisme di otak; teori kognitif yang mempercayai bahwa emosi dengan kognisi berkelindan satu sama lain; teori perkembangan yang membahas mengenai kesalingterhubungan antara perkembangan emosi, sosio-kognitif, dan kompetensi emosi; teori sosial yang melihat emosi sebagai hasil dari hubungan sosial dan diwariskan; atau juga teori di luar disiplin Psikologi yang kemudian diadopsi dan mencermati emosi dari pendekatan konstruksionisme sosial dan posmodern — yang mana menyatakan bahwa emosi dikonstruksi secara sosial berdasarkan konteksnya, sehingga terkait dengan tatanan moral suatu masyarakat.

Tentunya, kita perlu untuk membahas secara khusus bagaimana historiografi perkembangan teori emosi. Namun, untuk kepentingan praktis, kita akan fokus dalam penyampaian pesan emosional. Untuk mengkomunikasikan pesan secara emosional bukanlah hal yang mudah. Setiap orang mempelajari emosi dan ekspresinya berdasar pada lingkungannya masing-masing. Bahkan, mungkin Anda tidak diajari untuk mengkomunikasikan emosi, sebab komunikasi seakan-akan hanyalah persoalan fakta dan informasi. Padahal, dalam sebuah informasi sendiri tidak jarang termuat sifat emosional. Secara khusus, Buku Saku Pesan Emosional yang merupakan karya mahasiswa Psikologi Komunikasi Kelas D Tahun Ajaran 2020/2021 ini berfokus pada bagaimana sebuah pesan memuat apek emosi dan bagaimana kemudian sesnsitivitas terhadap emosi perlu diperkembangkan demi efektivitas komunikasi.

Dalam komunikasi digital, kita dapat menemukan emotikon, emoji, atau kaomoji yang menunjukkan betapa mengkomunikasikan pesan emosional merupakan hal yang tidak bisa dinafikan. Ketika Anda menjadi orangtua, Anda juga perlu menciptakan pesan emosional sehingga si anak bisa tahu apa yang mesti dilakukan ketika kita menampilkan emosi tertentu. Pentingnya pesan emosional muncul dalam istilah kontemporer sebagaimana dikembangkan Goleman (1995), yakni kecerdasan emosi atau kecerdasan sosial. Bahkan, muncul sebutan untuk menamai ketidakmampuan seseorang dalam menangkap pesan emosional, yakni dyssemia. Seorang yang mengalami dyssemiakesukaran untuk menangkap pesan nonverbal dari sebuah perjumpaan. Mereka juga tidak mampu untuk mengkomunikasikan makna secara nonverbal (DeVito, 2016).

Singkat kata, praktik komunikasi tanpa emosi dapat kita bayangkan seperti memasak sayur tetapi lupa kita garami. Kalaupun berasa, barangkali hambar belaka.

 

Daftar Acuan

American Psychological Association. (t.t.). Emotion. Dictionary.apa.org. Diunduh pada 8 Mei 2021 dari https://dictionary.apa.org/emotion

DeVito, J.A. (2016). The interpersonal communication book (ed.ke-14). Pearson.

Cromby, J. (2014). Emotion. Dalam T. Teo (eds.), Encyclopedia of critical psychology (hlm.555-560). Springer.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence. Bantam.

Planalp, S. (1999). Communicating emotion: Social, moral, and cultural processes. Cambridge University Press.

Strongman, K.T. (2003). The psychology of emotion: From everyday life to theory (ed.ke-5).Wiley.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *