Rerasan

Betapa Brengseknya Sebuah Kekuasaan

Apakah diam adalah cara melawan horor? Ataukah horor justru terjadi kalau orang terus berdiam diri? Siapa yang diuntungkan? Masyarakat? Lagi-lagi saya merasa: betapa brengseknya kekuasaan ini.

Kalau Anda mau tau betapa brengseknya sebuah kekuasaan, Anda dapat menengok pada bagaimana goyangnya kekuasaan berdampak pada hubungan antaragama – dengan demikian, antartetangga. Pasca-1998, pola kekerasan perlahan berubah dari yang tadinya berbasis etnis menjadi berbasis agama.

Menjelang “pesta demokrasi” 2014, saya nguping percakapan di samping rumah. “Aku pilih Jokowi.”, kata Rosi. “Kalau aku dan keluargaku Prabowo.”, timpal Yuni. Mereka diam sepersekian detik, Yuni kembali berkata, “Lha iya, kamu sekeluarga kan Katolik. Orang Katolik ya pilih Jokowi. Kalau aku Prabowo.” Sebegitu muramkah sebuah “pesta”? Barangkali Anda tak hendak percaya kalau percakapan di atas terjadi antara Rosi yang berusia 4 tahun dan Yuni yang berusia 8 tahun. Untuk sementara, saya andaikan Anda percaya.

Saya tinggal di sebuah dusun yang menarik. Selama Orde Baru, dusun saya terkenal sebagai basis Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pasca-1998, banyak warga menjadi terpecah pilihan partainya. Ada yang tetap di PPP, ada pula yang kemudian turut ke Partai Amanat Nasional (PAN). Dusun kami memiliki cara pandang yang unik; seakan-akan “kalau agama saya x, pasti partainya x”. Misalnya sebelum 1998 Anda seorang non-Muslim, maka sesegera mungkin Anda diidentifikasi ke partai tertentu, misal PDI atau Golkar (Golongan Karya).

Beruntung saya tinggal di Rukun Tetangga (RT) di pinggiran dusun. RT saya berbatasan langsung dengan dusun yang kini didominasi oleh orang PDIP – artinya, sebelum 1998 bukan orang PPP. Saya merasa bisa menarik diri dari kedua dusun dan berada di tengah-tengahnya. Saya tak perlu susah-susah memilih partai yang mana. Lagian, saya bukan pemuja partai. Namun, ketika berbicara soal dusun, mau tak mau saya harus mengingat masa kecil yang diwarnai dengan kegembiraan berkampanye dan sok-sok-an ikut partai bersama anak-anak lain.

Bapak saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak punya pilihan lain selain ngikut Golkar. Tahun 1997, ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD), saya ikut kampanye mengelilingi kecamatan. Dengan membonceng Bapak yang mengendarai Honda Win, saya memakai atribut Golkar. Sebagai seorang anak kecil, keramaian adalah sesuatu yang menarik bagi saya. Apalagi, seorang SD pada waktu itu belum diijinkan menjadi pengendara motor. Selain belum punya Surat Ijin Mengemudi (SIM), saya belum cukup dianggap remaja – yang dalam konteks Indonesia menandakan bahwa saya boleh mulai “melawan perintah orangtua”.

Periode 1997 merupakan masa menantang sekalipun terkadang bikin kheki. Saya bersama kawan-kawan yang beberapa tahun lebih tua membuat sebuah kampanye ala anak-anak kecil. Dengan memanfaatkan botol atau gelas plastik air mineral, kami menciptakan bunyi serupa knalpot kendaraan. Kami memasangnya di antara rangka dengan ruji sepeda. Lantang tidaknya suara ditentukan oleh kecepatan menggenjot sepeda. Makin kuat genjotan, bunyi berisik makin terasa membanggakan.

Dalam sepeda gaduh yang saya kendarai, atribut Golkar terpasang. Bendera saya bawa. Ikat kepala saya kenakan. Belasan anak kecil, paling besar seorang kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP), berputar-putar mengelilingi dusun. Kami senantiasa menghindari pertemuan dengan kelompok anak-anak yang juga mengelilingi dusun dengan atribut PPP dan sepeda berisiknya. Suatu kali kelompok anak PPP dengan Golkar bertemu. Adu mulut terjadi. Akhirnya kami menyelesaikannya di lapangan. Berkelahi? Tentu saja bukan, kami bertanding sepak bola. Kelompok kami seringkali memenangi pertandingan. Maklum, kami sudah terbiasa latihan sepak bola kampung.

Saya kemudian menyadari bahwa pertandingan-pertandingan bola ini amat serius. Suatu kali, seorang anak yang cukup besar dari mereka yang ikut kampanye-kampanye-an PPP, menyeloroh dengan cukup mengagetkan: “Wah, ini pertandingan Islam melawan Katolik!” Kebetulan, saya seorang Katolik. Saya memahami betul bahwa anggota tim sepak bola kami bukan cuma orang Katolik. Dari sekitar 12 pemain, barangkali cuma 5 yang Katolik, sisanya menganut Islam. Buat saya, seloroh itu menyadarkan betapa agama menjadi identitas yang penting bagi sebagian keluarga dan warga.

Masa-masa terakhir kekuasaan Soeharto semakin terasa. Suasana makin panas. Gereja-gereja dilempari batu hingga kaca-kaca berpecahan. Kalau tidak, setiap kali lewat gereja, massa dari PPP akan menggeber-geberkan motornya dengan amat nyaring. Entah apa maksudnya. Beruntung bahwa pada masa-masa tegang tersebut, Soeharto dilengserkan.

Semenjak kelengseran Soeharto hingga lima tahun berikutnya, suasana bukannya makin tenang. Hampir menjelang akhir tahun 2000, sebuah dusun yang berjarak 500 meter dari dusun saya, diduduki oleh milisi Islam; Gerakan Anti Maksiat (GAM) dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Isu agama dimainkan, seorang pemuda dusun yang kebetulan beragama Katolik dituduh menggoda anak seorang tokoh Islam dan melakukan pencurian. Tentu saja keduanya adalah tuduhan jadi-jadian yang digunakan untuk melegitimasi pendudukan ormas yang mendaku diri mewakili Islam (Haaa, Islam yang mana?). Dalam ingatan saya, di kalangan orang Katolik, horor dan kengerian di dusun tersebut menjadi tema bisik-bisik.

Tak ada asap kalau tak ada api. Apabila membaca tulisan John T. Sidel, Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence ini Indonesia (2006), Anda akan menemukan bahwa apa yang terjadi selama masa 2000an adalah gejala rapuh dan rentannya identitas keagamaan. Kerapuhan dan kerentanan ini kemudian dimanfaatkan dengan cara organisasi dan mobilisasi kelompok berbasis agama untuk memberi tekanan orang yang berbeda agama.

Empat belas tahun kemudian, menjelang Pemilu 2014, efek mobilisasi identitas keagamaan tampaknya masih mendominasi kehidupan dusun. Partai sudah terpecah-pecah. Partai lain seperti PDIP, Hanura, Gerindra, PKS, PBB, PKPI, dan Nasdem mulai diikuti beberapa warga. PAN dan PPP tetap mendominasi suara di dusun. Dalam keseharian, kehidupan antarwarga terasa tenang-tenang saja. Namun, tiap kali memasuki tahun politik, identitas keagamaan terasa cukup menonjol. Bahkan, semenjak Pemilu 2014, beberapa isu agama mulai didengungkan hingga Pemilu 2019 menjelang.

Dalam Pemilu 2019, gang samping rumah saya tiba-tiba dipasang spanduk dari sebuah kubu Capres-Cawapres. Entah siapa yang memasang. Di alam pikir orang-orang RT saya, kedua paslon mewakili kekuasaan yang mengeksploitasi identitas keagamaan. Sebagian besar orang di RT saya sebetulnya merasa jengkel dengan wajah kedua orang di dalam spanduk. Saya tanya kepada orang-orang RT kok tidak dicopot saja? Tentu saja mereka bilang sambil menurunkan nada bicara: “Ndak usah, nanti malah bikin rame.” Jawaban tersebut membawa ingatan saya kembali ke tahun 1997-2014. Apakah diam adalah cara melawan horor? Ataukah horor justru terjadi kalau orang terus berdiam diri? Siapa yang diuntungkan? Masyarakat? Lagi-lagi saya merasa: betapa brengseknya kekuasaan ini.

Tentang Penulis

Penulis dan peneliti lepas. Saat ini sedang tidak menulis dan tidak meneliti apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *