Esai

Asyiknya Menjadi Masyarakat Penonton: Refleksi Konsep Spectacle ala Guy Debord

Pada suatu ketika, kawan saya mengirimkan sebuah akun Instagram dengan nama Sisca Kohl melalui direct message Instagram. Viralitas Sisca Kohl sendiri dimulai dari aktivitas TikTok-nya yang identik dengan kutipan “masak di kamar, cek!” Hingga 2 Maret 2022, akun TikTok Sisca Kohl diikuti oleh 10,1 juta pengguna. Salah satu video yang menarik adalah aktivitas membuat es krim opor ayam yang dipublikasikan di Instagram (diputar 2,5 juta lebih dan disukai 143 ribu kali per 2 Maret 2022) dan TikTok (diputar hingga 12,2 juta per 2 Maret 2022).

Dalam video tersebut Sisca Kohl dan adiknya, Aaliyah Kohl, membuat es krim opor dengan cara memasukkan komponen opor ayam (ayam (beserta tulangnya!), tahu, kuah santan, dan lontong) ke dalam blender, dicampur bubuk es krim dan pewarna makanan, lalu diolah dengan mesin es krim. Mereka menyajikan es krim opor ayam tersebut dengan side dish ayam opor, lontong, dan bawang merah goreng. Video tersebut ditutup dengan ajakan “selamat mencoba!”

Apa yang dipertontonkan Sisca Kohl tersebut mengingatkan saya kepada konsep conspicuous consumption-nya Thorstein Veblen ([1899] 2007) alias kegiatan “pamer kemewahan” yang dibahas dalam buku The Theory of Leisure Class. Bagi Veblen, yang mengamati masifnya aktivitas konsumsi pada era revolusi industri pada abad ke 19, melihat aktivitas pembelian jorjoran yang dilakukan oleh kaum elit tersebut merupakan praktik menunjukkan kekuasaan (prestise). Kekuasaan tersebut dinilai dari akumulasi barang (objek) mewah (akumulasi kapital) – semakin banyak barang (mewah) yang dia punyai, maka posisi dia semakin tinggi pula posisi dia di dalam masyarakat.

Mungkin bisa diilustrasikan seperti ini; apabila seseorang menikah, dan melaksanakan resepsinya di gedung yang besar, dengan sajian yang bervariasi, maka di dalam masyarakat dan komunitasnya, dia akan dipandang sebagai seseorang yang memiliki kekayaan material yang berlimpah serta menimbulkan rasa kekaguman, bahkan memicu sikap pengidolaan. Selain itu, praktik pamer kemewahan di mantenan tersebut memperjelas ceruk antara yang “kaya” dan orang biasa yang resepsinya berupa “piring terbang” dengan sajian sederhana. Namun, kenyataannya, pementasan distingsi kelas sosial tidak hanya dilakukan dengan mempertontonkan kemewahan layaknya Kohl bersaudara di atas. Aktivitas mementaskan relatability atau “kesederhanaan” kehidupan sehari-hari selebritis Indonesia melalui video blog di Youtube juga menjadi tren yang digemari.

Misalnya seperti Raffi Ahmad (Rans Entertainment) yang diikuti 20 juta pengguna serta Baim Wong dan Paula Verhoeven (Baim Paula) yang diikuti 18 juta pengguna. Aktivitas mempertontonkan kesederhanaan dan relatability tersebut mungkin ingin menguatkan gagasan bahwa “selebritis juga manusia”. Namun, bagi saya apabila bayangan-bayangan tersebut di(re)produksi secara terus menerus, mampukah prosumen (gagasan bahwa yang namanya konsumen itu tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga memproduksi) mengunyah informasi tersebut sesuai dengan konteks dirinya dan si creator-nya?

Ralph Schroeder (2018) mengungkapkan bahwa internet tidak hanya memfasilitasi kegiatan bersosialisasi, tetapi juga menyediakan “ruang baru” untuk berburu informasi. Aktivitas di jagat maya ini juga memperlihatkan lapisan-lapisan interaksi manusia yang berbeda dari yang ada di luar jaringan (luring). Hilanglah sudah pemahaman naif bahwa media sosial itu adalah ruang untuk merayakan interaksi manusia, yang ada hanyalah persemaian informasi yang dimediasi citra, yang notabene merupakan produk representasi yang di(re)produksi terus menerus secara cepat.

Tulisan ini merupakan hasil refleksi saya atas gagasan spectacle Guy Debord (1967/2014) yang dituliskan dalam buku The Society of the Spectacle.  Debord adalah seorang pembuat film, penulis, dan pemikir yang juga merupakan pemimpin grup Situationist Internatioal (SI) yang berdiri tahun 1957 dan dibubarkan pada tahun 1972 (Morgan & Purje, 2016). Bagi saya, gagasan Debord, yang sudah dituliskan berpuluh-puluh tahun ini, sangat relevan dalam dinamika produksi informasi yang didorong oleh hasrat-hasrat kapitalis. Sebagaimana yang terjadi di dalam industri periklanan, film, dan televisi yang mengedepankan citra sebagai tipu muslihat, aktivitas di media sosial (medsos) juga mendewakan citra yang bergulir cepat. Misalnya, seperti Instagram dan TikTok – notabene platform yang berbasis (re)produksi visual – yang menawarkan fitur kustomisasi yang memanjakan pengguna dalam proses mengonstruksi citra dirinya yang direpresentasikan dan dapat di(re)produksi secara cepat.

Guy Debord (1967/2014) dalam bukunya, menuliskan 221 tesis “pendek” yang mempertanyakan kehidupan sosial yang “otentik” dalam hamparan citra-citra representasi. Namun, perlu diperhatikan bahwa gagasan Debord memang cenderung pesimistis. Sama halnya dengan gagasan Theodor Adorno dan Horkheimer dalam memandang industri budaya (culture industry). Dari sudut pandang kedua gaya logika berpikir ini, seorang subjek dianggap tidak memiliki agensi – bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya – terus menerus mengonsumsi tanpa pikir panjang asalkan hati senang. Walaupun begitu, gagasan Debord cukup berpengaruh dalam ranah Kajian Media dan dalam kesempatan ini, saya mencoba merefleksikan ide-ide spectacle Debord.

Debord (1967/2014) melihat bahwa kehidupan sosial yang otentik itu telah diganti oleh representasi (tesis 1). Representasi yang menambal serpihan-serpihan realita menjadi sebuah dunia yang semu (tesis 2). Dari kedua tesis tersebut, Debord sebenarnya ingin menyampaikan bahwa kehidupan manusia itu telah terkikis dan semakin terasing karena pandangan yang selalu tertuju pada apa yang direpresentasikan, bukan apa yang otentik. Selain itu, Debord juga ingin membuka mata para “penonton” (spectactor) untuk menyadari tipu muslihat citra-citra spectacle yang sarat akan kebutuhan kapitalistik. Media (sosial) dalam konteks tersebut lantas bukanlah definisi spectacle, melainkan instrumen kapitalis dalam menghadirkan spectacle di depan mata kita. Lantas apa yang dimaksud dengan spectacle?

Spectacle adalah gambaran terbalik atas masyarakat; “Spectacle bukanlah rangkaian citra, tetapi relasi sosial yang dimediasi oleh citra (tesis 4), dan spectacle tersebut menjadi instrumen kapitalis untuk membuai dan menjinakkan massa. Belantara visual, seberapa indahnya itu, mengalienasi kita, tidak hanya dari diri kita sendiri, tetapi juga dari orang lain. Spectacle juga mengikis pemikiran kritis dan kehidupan sosial kita.  Sebagai contoh, Debord (1967/2014), di tesis 17, mengatakan bahwa kehidupan sosial manusia mengalami degradasi dari being (seseorang) menjadi having (memiliki) dan kemudian menjadi appearing (berpura-pura).

Degradasi kehidupan manusia tersebut berkaitan dengan dua tipe spectacle. Spectacle yang terkonsentrasi (concentrated) dan spectacle yang menyebar (diffuse) (tesis 63, 64, dan 65). Spectacle yang terkonsentrasi merupakan bentuk otoriter yang memusatkan diri pada pengkultusan suatu objek atau subjek secara paksa – misalnya paham fasisme yang menggunakan media sebagai alat propaganda. Sedangkan, spectacle yang menyebar hadir di dalam masyarakat “penonton” yang memiliki akses ke segala jenis komoditas yang berkonflik satu sama lain. Segala jenis komoditas seakan-akan memberi ilusi urgensi yang berbeda. Mereka diberi standar-standar kepuasan tertentu spectacle tersbut membujuk mereka untuk terus mengonsumsi – terus ingin “terlihat punya”.

Secara sekilas, sikap pesimistis Debord (1967/2014) menunjukkan bahwa teknologi sebagai hal yang penuh dengan keburukan. Tetapi, padahal tidak begitu, Debord justru mengkritisi pemanfaatan teknologi yang berlandaskan profit dan keuntungan ekonomi – salah satunya melalui spectacle. Melalui spectacle masyarakat diposisikan sebagai “penonton” (spectactor) yang selalu terkesima yang dibuai untuk bekerja demi mendapatkan liburan yang layak – atau demi membeli barang terbaru dan tercanggih. Nah, menariknya, spectacle bagi saya tidak hanya menghadirkan citra gaya hidup mewah ala Veblen (1899/ 2007), tetapi melalui sikap relatability, yang memiliki relevansi dalam kehidupan masyarakat “biasa”. Misalnya, kita mengonsumsi suatu barang bukan karena nilai prestisiusnya, tetapi karena barang tersebut dinilai banal (biasa-biasa saja) dan yang menjadi poin utamanya adalah bagaimana barang yang banal itu juga dimiliki oleh sosok yang memiliki status tertentu di masyarakat (selebritis, politikus, dan pejabat).

Debord (1967/2014) dalam bukunya mengusulkan langkah detournément (tesis 206 dan 208) alias pembelokan atau pembajakan spectacle dengan cara menggunakan visual spectacle itu sendiri. Dalam detournément sikap plagiarisme menjadi hal yang diperlukan (teis 207) guna membelokkan makna yang ada dari pesan-pesan spectacle menjadi pesan yang lain. Detournément, bagi Debord merupakan langkah untuk merevisi ideologi. Sederhananya, produk visual (baliho, misalnya) diplesetkan dari satu hal ke hal yang lain guna mengkritisi pesan visual tersebut. Walaupun begitu, tesis-tesis Debord tetaplah kumpulan retorika-retorika yang masih sulit untuk diikuti karena dia tidak menawarkan strategi yang konkrit tentang melawan hantaman representasi citra kapitalisme media.

Melalui pandangan Debord (1967/2014), kita juga diberi gambaran bahwa betapa kelirunya apabila kita terlalu terlena dengan kedahsyatan teknologi. Karena kenyataan pahitnya, informasi yang kita dapatkan merupakan produksi oligarki yang melihat medsos sebagai lahan yang subur, dan kita dilihat sebagai sapi perahan serta tong sampah. Kalau kita tidak cermat dan waspada, kita juga dapat terjebak dalam pusaran yang tidak hanya mempertontonkan kemewahan, tetapi ilusi relatability dan “kesederhanaan”, serta aktivitas (re)produksi informasi yang tidak sehat (penyebaran hoaks, dan berita yang tidak jelas asal muasalnya) yang dihadirkan public figure di jagat maya. Lantas, representasi dari refleksi gagasan Debord, bagi saya, adalah suatu kepura-puraan – selubung, tipu muslihat, dan jampi-jampi – yang memang digunakan sebagai strategi dominasi kapital yang mempertontonkan realitas yang superficial – dan mungkin hyper – guna menguasai jagat maya yang memanjakan kita dengan citra-citra yang sarat akan standard gaya hidup dan ideologi tertentu.

Nah, sebagai penutup, supaya diskusi ini menjadi agak “menentramkan jiwa”, kita dapat menyandingkan pemikiran Debord (1967/2014), dengan konsep jeruji karet (rubber cage) (Gellner, 1987, dalam Schroeder, 2018). Konsep tersebut merujuk pada gagasan rasionalisasi Max Weber yang secara sederhana menjelaskan sifat determinisme teknologi dalam kehidupan sosial yang seakan-akan membuat seseorang itu merasa dikurung dalam jeruji besi (iron cage) (Schroeder, 2018). Gellner melihat gagasan Weber terlalu pesimistis dan determinis, maka dia melihat bahwa kurungan yang ditawarkan dunia maya justru kurungan yang ramah pengguna (Schroeder, 2018). Konten (informasi dan visual) yang kita dapat, mungkin saja hadir dari apa yang yang kita pilih. Kita, sebenarnya, dapat secara mudah keluar dari kurungan itu. Toh, jerujinya terbuat dari karet. Namun, mungkin kita sendiri ragu-ragu keluar karena sudah terlalu nyaman dan terlalu asyik berleha-leha di dunia maya, dunia yang memenuhi kebutuhan (hasrat) kita untuk menjadi subjek yang (seakan-akan) utuh.

 

Daftar Acuan

Adorno, T.W. & Horkheimer, M. (1947/2002). Dialectic of enlightenment: Philosophical fragment. Stanford University Press.

Baudrillard, J. (1970/1998). The consumer society: Myths and structures. Sage.

Debord, G. (1967/2014). The society of the spectacle (Penerj. Knabb). Bureau of Public Secrets.

Gellner, E. (1987). Culture, identity and politics. Cambridge University Press.

Morgan, T. & Purje, L. (2016, 10 Agustus). An illustrated guide to Guy Debord’s ‘the society of the spectacle’. hyperallergic.com. Diunduh pada 3 Maret 2022 dari https://hyperallergic.com/313435/an-illustrated-guide-to-guy-debords-the-society-of-the-spectacle/

Schroeder, R. (2018). Social theory after the internet: Media, technology, and globalization. UCL Press.

Veblen, T. (1899/2007). The theory of leisure class. Oxford University Press.

Tentang Penulis

Tertarik pada kajian makanan (food studies), sesekali menghabiskan waktu dengan nyanyi dan puisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *