Esai

Sejarah Trauma dan Trauma Kesejarahan

Psikologi mengadopsi istilah ‘trauma’ dari bidang medis. Secara etimologis, ‘trauma’ berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘luka’ dan secara khusus merujuk pada ‘luka fisik’. Istilah ‘trauma’ pertama kali digunakan pada sekitar 1693. Dengan merangkak naiknya isu kesehatan dan gangguan mental, istilah ‘trauma’ mengalami penggunaan yang merentang dari persoalan lokal harian hingga pada level politik global. Penggunaan istilah tersebut tidak lepas dari peristiwa-peristiwa besar di dunia, terlebih dalam persoalan perang. Popularitas penggunaan kata tersebut juga dibarengi dengan industri farmakologis yang menyertai diagnosis terhadap gangguan mental. Tulisan ini akan menguraikan bagaimana trauma muncul dalam perdebatan dalam Psikologi, menjadi percakapan populer, untuk kemudian menilik apa yang dihilangkan dalam perdebatan mengenai trauma.

Histeria dan Trauma

Dalam persoalan gangguan mental (mental illness), istilah ‘trauma’ mulai digunakan pada akhir abad ke-19 oleh Jean Martin Charcot (1825 – 1893), seorang neurolog Perancis yang meneliti histeria. Saat itu, tidak sedikit perempuan yang melaporkan dirinya mengalami paralisis, amnesia, kehilangan kemampuan sensori, dan tertawa secara hiperbolis (convulsion). Berbeda dengan dokter lain yang mendiagnosis bahwa hal tersebut dikarenakan alasan biologis, yakni uterus yang ‘berjalan-jalan’ dalam tubuh perempuan, Charcot memahami bahwa histeria terjadi bukan karena fisiologis, melainkan psikologis. Charcot berpendapat bahwa peristiwa traumatis dapat menginduksi suatu status hipnosis dan menyebabkan problem disosiatif – pengalaman yang tidak tertanggungkan kemudian memisahkan diri dari kelompok. Dalam satu seminarnya, Charcot menguraikan bahwa di Sapeltriere – rumah sakit di mana Charcot bekerja – perempuan yang mengalami fase hipnosis adalah mereka yang mengalami kekerasan seksual. Mereka seolah menemukan keamanan dan perlindungan di rumah sakit. Lantas, Charcot berupaya menyembuhkannya dengan melakukan hipnotis sehingga si perempuan dapat berkisah dan simptom dapat ditemukan.

Temuan dan keyakinan yang dipegang oleh Charcot ini kemudian diteruskan oleh muridnya, Pierre Janet (1859 – 1947). Janet meneliti tentang bagaimana peristiwa traumatis berpengaruh pada pengembangan kepribadian dan perilaku seseorang. Janet menunjukkan bahwa afek yang intens dalam diri pasien merupakan reaksi mengenai peristiwa traumatis. Janet mengusulkan bahwa lewat hipnotis dan pelepasan (abreaction) energi psikis dilakukan untuk memulihkan pasien. Janet berpendapat bahwa energi psikis tersebut merupakan bentuk gagasan menetap yang tidak disadari. Untuk pertama kalinya, istilah ketidaksadaran (unconsciousness) muncul dalam perdebatan mengenai gangguan mental. Gagasan menetap yang dimiliki pasien tersebut memuat memori, pengalaman sensori, emosi, dan perilaku yang diasosiasikan dengan trauma. Proses terbentuknya trauma ini dialami oleh seseorang dalam rentang hidupnya, yang bahkan seseorang tersebut tidak menyadari sesuatu yang traumatis telah terjadi. Oleh karenanya, butuh identifikasi dalam tahap mana seseorang mengalami trauma untuk kemudian diberi perlakuan (treatment) sesuai dengan tahap perkembangannya.

Adalah Sigmund Freud (1856-1939), seorang neurolog muda yang kala itu terpengaruh oleh gagasan Charcot dan Janet. Bersama koleganya, Josef Breuer (1842 – 1925), Freud melakukan kajian mengenai histeria. Selama 1877 hingga 1893, Freud menerbitkan setidaknya 27 makalah mengenai neurologi (Verhaeghe, 1990). Menurut Freud, kajian mengenai histeria penting untuk menguraikan bagaimana disosiasi dan terpecahnya (splitting) konten kesadaran seseorang. Freud dan Breuer mengatakan bahwa disosiasi traumatik terjadi karena histeria hipnoid. Freud menemukan bahwa persoalan dewasa sebelum waktunya (precocious) karena kekerasan seksual merupakan sebab utama histeria. Kesimpulan dari para neurolog – terlebih Charcot, Janet, dan Freud – mengarah pada hal yang sama bahwa reaksi yang muncul pada pasien histeria merupakan manifestasi dari kondisi kesadaran tertentu yang disebut disosiasi. Penyelesaiannya adalah: memberi bahasa untuk emosi sehingga terjadi rekonstruksi pengalaman masa lalu yang membantu untuk menunjukkan simptom para pasien.

Freud dan Studi tentang Histeria

Apa yang membedakan Freud dengan Charcot dan Janet adalah aspek visual dalam memahami histeria. Baik Charcot maupun Janet memanfaatkan gambar dan fotografi untuk memvisualisasikan perempuan yang mengalami histeria. Freud sendiri kemudian mengabaikan aspek visual dan mulai untuk mendengarkan perempuan yang mengalami histeria. Faktanya, mereka yang mengalami histeria kehilangan kontrol visual dari liyan. Tatapan liyan yang biasanya menghidupkan hasrat disangkal oleh seorang yang mengalami histeria. Dengan mengabaikan aspek visual tersebut, Freud berupaya untuk membawa keluar hasrat-hasrat para perempuan yang histeris lewat bercakap (talking-cure). Dalam upaya mendengarkan tersebut, Freud menemukan bahwa trauma memiliki efek terhadap jiwa (psyche) dan tubuh (soma). Mengikuti hukum termodinamika, Freud menganalogikan jiwa manusia berisi quantum of affect yang butuh untuk dilegakan demi kewarasan. Kegagalan untuk melegakan afek ini melalui Ego sadar membuat orang mengalami paralisis, misalnya dalam wujud lemah tungkai atau lemas lengan.

Kelahiran teori trauma ditandai dengan publikasi “Preliminary Communication” (1893) yang ditulis oleh Breuer dan Freud. Dalam teks tersebut Breuer dan Freud menjelaskan bahwa seorang histeris adalah mereka yang menjadi korban dari satu atau beberapa trauma. Memori terkait trauma tersebut direpresi sehingga tidak muncul dalam representasi keseharian dan kemudian menjadi patogenik sebab tidak terlegakan (abreacted). Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa diperlukan pelegaan dan bagaimana dalam kasus histeria afek tersebut tidak kunjung terlegakan? Menurut Freud, kondisi kejiawaan pasien histeria tidak memungkinkan melegakan afek sebab terdapat splitting dalam fungsi psikisnya, terdapat disosiasi antara dua kondisi yang mana dua kondisi tersebut tidak saling menyediakan informasi satu sama lain. Freud, sebagaimana didasarkan pada hipotesis psikoseksualnya, berpendapat bahwa splitting atau spaltung terjadi akibat adanya konflik antara Ego dengan kelompok yang merepresentasikan seksualitas. Mekanisme yang dilakukan Ego adalah dengan memperlemah grup seksualitas dengan melemahkan quantum of affect-nya sehingga grup seksualitas tersebut hilang dari aktivitas sadar yang asosiatif. Karena dipaksa untuk tidak muncul dalam kesadaran, maka – sesuai dengan hukum termodinamika – grup seksualitas tersebut kemudian terekspresikan dalam wujud lain. Dalam kasus histeria, grup tersebut terekspresikan dalam simbol mnemic yang terlukiskan dalam tubuh, misalnya dalam bentuk lebam-lebam.

Konversi menjadi lebam pada tubuh tersebut merupakan investasi quantum of affect. Meskipun quantum of affect tersebut tidak kompatibel dengan Ego, tetapi tetap perlu dilegakan dalam bentuk sensorik atau aktivitas motorik. Dalam kondisi normal, pelegaan sangat mungkin terjadi melalui aktivitas keseharian. Oleh karenanya, kondisi histeris merupakan distorsi karena kenormalan tidak dimungkinkan. Apabila tidak mungkin terlegakan, Freud menyimpulkan ada tiga kemungkinan. Pertama adalah pelegaan yang tidak memadai, misalnya masturbasi – yang menunjukkan bahwa hasrat psikoseksual (libido) adalah hal normal sementara pelegaannya keliru. Kedua adalah ketidaktercukupan psikis, yang menghasilkan impuls somatik tetapi gagal menghasilkan aktivitas psikis yang memadai. Ketiga adalah pertahanan dengan substitusi. Histeria sendiri termasuk dalam kategori ketiga ini, di mana tegangan psikis yang tidak berhasil diproses kemudian disubstitusi dan menghasilkan tegangan somatik. Dengan demikian, tujuan terapi adalah melegakan afek tidak sadar menjadi emosi yang disadari.

Masalahnya, afek tidak sadar ini tidak terakses oleh dokter atau pasien, sehingga seorang dokter perlu menemukan simptom yang biasanya mengalami pemindahan (displacement). Displacement secara singkat berarti ada sesuatu yang dipindah pada bentuk ekspresi tertentu yang tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, dalam beberapa kasus seorang anak yang dimarahi orang tua mungkin tidak akan memarahi balik orangtuanya; melainkan memindahkan energinya kepada teman sekelasnya yang dianggap lebih lemah. Apa yang dipindahkan atau mengalami displacement adalah energi, quota of affect, atau jumlahan stimuli. Energi atau jumlahan termaksud disebut dengan Wunsch, desire, atau hasrat yang secara khusus merujuk pada hasrat psikoseksual.

Dari temuan-temuan tersebut Freud kemudian membuat kesimpulan pada 27 Oktober 1897 yang menyatakan bahwa: “Kerinduan adalah karakter utama histeria, kondisi anestesia mungkin yang secara potensial menjadi simptom utamanya.” Kesimpulan demikian kemudian diperkuat dengan gagasan Lacan bahwa “hasrat subjek histeris adalah memiliki hasrat yang tidak terpuaskan.” Ketidakterpuaskan tersebut terjadi karena adanya pemindahan yang berlangsung terus menerus. Freud mencontohkan bahwa mimpi merupakan pemenuhan dari hasrat yang dilarang, kecerobohan sebagai realisasi hasrat yang direpresi, dan banyolan sebagai jalan aman bagi hasrat terlarang.

Lebih jauh, psikoanalisis Lacanian mengatakan bahwa displacement adalah metonimi. Apa yang dipindahkan adalah hasrat, sejauh hal tersebut bermakna. Menurut Lacan, hasrat termanifestasikan dalam bahasa. Oleh karenanya, afek, bahasa, dan hasrat berkelindan dan butuh untuk diuraikan guna mengetahui objek hasrat apa yang dituju oleh subjek. Berbeda dengan Freud yang melihat histeria sebagai gangguan mental, Lacan mengatakan bahwa setiap manusia yang mengenal bahasa adalah subjek histeris. Kondisi ini membuat kabur antara histeria yang normal dengan yang patologis. Karena displacement terjadi lewat bahasa, maka hasrat-hasrat terpendam muncul dan dipindahkan dari satu penanda ke penanda lain. Maka, pemulihan hanya bisa terjadi lewat kerja-kerja bahasa.

Trauma setelah Freud

Pada awal 1900an, mulai muncul intervensi krisis psikis. Bahkan pada 1902 ada hotline bunuh diri di San Fransisco. Peristiwa traumatis yang memengaruhi aktivitas seseorang menjadi perhatian para ahli dan masyarakat. Selama Perang Dunia I (1914 – 1918), para psikiater mengamati fenomena yang terjadi pada para prajurit perang, yakni teriakan dan tangisan yang tidak terkontrol, hilang ingatan, lumpuh, serta tidak responsif. Kondisi demikian disebut sebagai ‘shell shock’ – yang dikenal sebagai respons umum pasca-perang. Kondisi saat itu menunjukkan bahwa para tentara mengalami kejadian traumatis secara aktual, meskipun peristiwa riilnya sudah lewat, bagi mereka nyatanya terasa di depan mata.

Perang Dunia II kemudian berlangsung pada 1939 – 1945. Pada masa ini, trauma dipulihkan dengan diadakannya pertemuan pasca-perang yang menghadirkan prajurit, unit, dan pemimpin perang. Mereka secara berkala berjumpa untuk melakukan terapi. Kebanyakan terapi yang dilakukan adalah dengan hipnotis. Namun, tetap saja yang bisa dicermati adalah kondisi somatik penderita trauma, makna dan perasaan dari para penderita trauma tetap tidak kunjung bisa diatasi. Artinya, kemungkinan untuk kembali berada dalam kondisi disosiatif juga amat besar. Dalam kasus demikian, persoalannya bukan bahwa seseorang tidak mampu mengalami dan mengekspresikan secara emosional, tetapi lebih pada ketidakmampuan untuk merefleksikan pengalaman afektif yang mendalam.

Persoalan perang masih berlangsung hingga kemudian terjadi Perang Vietnam pada 1955 – 1975. Pascaperang Vietnam, tentara dan para veteran menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan fungsi sipil sehari-hari. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami ketergantungan dengan alkohol dan obat-obatan, melakukan kekerasan terhadap pasangan, atau bahkan tidak bekerja dan tidak memiliki rumah. Dari kondisi tersebut, Lifton dan Shatan kemudian mengumpulkan gejala-gejala neurosis traumatik yang nantinya akan dijadikan dasar pengkategorian PTSD dalam DSM-III. Tidak hanya sampai di situ, dunia pascaperang memunculkan gagasan baru soal trauma. Misalnya, Shay (1994) menggunakan imajinasi mitologi Yunani, yakni kisah Illiad yang dikarang oleh Homer. Shay mengatakan bahwa apa yang terjadi terhadap para veteran adalah moral injury yang mereka alami selama perang berlangsung. Luka moral yang mereka lakukan saat perang (misalnya dengan membunuh anak atau perempuan) berimplikasi pada kehidupan pascaperang dalam wujud mimpi buruk, pikiran intrusif, depresi, dan gagasan untuk bunuh diri.

Pada saat yang sama dengan Perang Vietnam, yakni 1970an, berlangsung gerakan feminis gelombang kedua. Perdebatan soal trauma kemudian mengarah pada kondisi perempuan yang didomestikasi di rumah-rumah. Kelompok penyadaran perempuan memiliki model yang sama dengan Perang Vietnam yang membentuk kelompok berbagi, validasi, dan saling mendukung. Tujuannya tidak hanya terjadi pemulihan secara psikologis, melainkan perubahan sosial dan kebijakan yang menyejahterakan perempuan. Pusat krisis perempuan mulai muncul pada 1971 dibarengi dengan kasus-kasus trauma yang dialami perempuan dalam rupa kekerasan seksual dan kekerasan domestik.

Trauma dalam DSM-III

Selama tahun 1960-an hingga 1970an, terjadi kontestasi dalam kesehatan mental, yakni antara psikiatri, psikoanalisis, dan psikologi klinis di Amerika Serikat yang kala itu telah menjadi ‘pusat’ dunia (Strand, 2011). Dalam masa kontestasi tersebut, American Psychiatric Association (APA) kemudian menerbitkan “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Third Edition” (DSM-III) pada 1980. Alasan yang disampaikan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan klasifikasi terhadap gangguan dan kemudian bisa digunakan sebagai panduan untuk melakukan treatment. Alasan lainnya adalah demi perubahan terkait asuransi dan penukaran medis, deinstitusionalisasi fasilitas treatment yang berkepanjangan, penerapan kebijakan kesehatan mental berbasis komunitas, dan kritisisme publik terhadap kebijakan kesehatan mental. Terbitan tersebut kemudian digunakan dalam ruang-ruang asuransi, farmasi, hukum, dan pendidikan sehingga kerja-kerja dalam kesehatan mental menjadi lebih terkontrol. Oleh karena adanya DSM-III ini, maka kewenangan psikiatri dalam menentukan isu kesehatan mental menjadi lebih besar. Meskipun demikian, tuaian kritik tetap berlangsung sebab DSM-III hanya berisi nosografi mengenai simptom-simptom yang sifatnya general tanpa perlu menjelaskan dinamika psikologis yang terjadi pada individu. Dengan kata lain, DSM-III menjadi dibutuhkan bukan karena pertama-tama memang dibutuhkan, melainkan masyarakat dibuat butuh terhadap dokumen tersebut.

Sebetulnya, setelah lima kuliah Freud pada 1909 di Clark University, psikoanalisis memegang peranan penting dalam psikiatri dan kesehatan mental. Bahkan, hingga 1953, prinsip penjelasan psikodinamika menjadi kewajiban para psikiater untuk bisa menjelaskan kondisi pasien. Pada 1950an tersebut, psikoanalis menjadi figur paling dominan di Amerika Serikat apabila dibandingkan psikiater dan psikolog klinis. Namun tidak lama setelahnya, masih pada 1950an, terjadi pergeseran kebutuhan akan kepraktisan. Karena psikodinamika dianggap kurang praktis, sekolah-sekolah psikiatri kemudian mengajarkan ‘administrative psychiatry’ yang menekankan pada teknik penanganan gangguan mental akut.

Pada 1962, data di Amerika Serikat menunjukkan perubahan yang signifikan. Terdapat sekitar 17.000 psikolog yang 70%-nya bekerja dalam bidang kesehatan mental. Dari 70% tersebut, sebanyak 41% bekerja dengan psikoterapi. Kemunculan psikoterapi ini membuat psikoanalisis dan psikiatri menjadi tersingkirkan. Namun, persoalan pendefinisian dan identifikasi gangguan mental kemudian menjadi pertanyaan dalam kerja-kerja kesehatan mental. Dalam kondisi demikian, model diagnosis dalam psikiatri kemudian mendapatkan ruang gerak yang lebih lebar pada 1970an. Ruang gerak diagnosis yang makin melebar ini kemudian juga muncul dukungan terhadap kepentingan praktis dalam menentukan kepastian. Dukungan tersebut juga berasal dari pemerintahan Kennedy yang pada 1960an membangun infrastruktur dan SDM dalam bidang kesehatan mental. Jumlah pasien dan tenaga kesehatan mental yang terus naik mendatangkan kepentingan terhadap treatment yang membutuhkan waktu lebih singkat. Dengan demikian, psikoanalisis dan psikodinamika semakin tersingkirkan dari bidang kesehatan mental.

Kemenangan psikiatri terhadap psikologi klinis dan psikoanalisis, serta kerja sama dengan industri farmasi, membuat DSM-III menjadi semacam kitab suci bagi para pekerja di bidang kesehatan mental. Dalam DSM-III, untuk pertama kalinya Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) dimunculkan. Berikut adalah kriteria diagnostik PTSD menurut DSM-III:

  1. Adanya pemicu stres yang dapat memunculkan gejala signifikan pada hampir semua orang.
  2. Pengalaman ulang trauma yang ditunjukkan oleh setidaknya salah satu dari yang berikut ini: (1) ingatan berulang dan mengganggu tentang peristiwa tersebut (2) mimpi berulang tentang peristiwa tersebut (3) tindakan atau perasaan mendadak seolah-olah peristiwa traumatis tersebut terulang kembali, karena hubungan dengan stimulus lingkungan atau ideasi.
  3. Berkurangnya responsivitas atau keterlibatan yang berkurang dengan dunia eksternal, yang dimulai beberapa waktu setelah trauma, seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya salah satu dari yang berikut ini: (1) minat yang sangat berkurang dalam satu atau lebih aktivitas penting (2) perasaan terpisah atau terasing dari orang lain (3) afek yang terbatas.
  4. Setidaknya dua dari gejala berikut yang tidak ada sebelum trauma: (1) kewaspadaan berlebihan atau respons kaget yang dibesar-besarkan (2) gangguan tidur (3) rasa bersalah untuk bertahan hidup ketika orang lain tidak bisa bertahan hidup, atau tentang perilaku yang diperlukan untuk bertahan hidup (4) gangguan memori atau kesulitan berkonsentrasi (5) menghindari aktivitas yang membangkitkan kenangan tentang peristiwa traumatis (6) intensifikasi gejala oleh paparan pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai peristiwa traumatis.

Menyambung pergolakan tahun 1970an mengenai gerakan feminisme gelombang kedua, kriteria di atas dihasilkan dari kondisi veteran pascaperang Vietnam serta kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak. Secara ringkas, ada empat klaster simptom yang dialami, yakni (1) pengalaman berulang yang intrusif, (2) penghindaran, (3) kesiagaan yang berlebihan, dan (4) kemunculan yang kuat. Keempat simptom tersebut juga dibarengi dengan gejala kecemasan dan dysphoria – kondisi mental dengan ketidakpuasan yang mendalam. Meskipun menyajikan nosografi simptom, pada kenyataannya DSM-III justru menyederhanakan persoalan pasien tanpa perlu merasa mencermati sejarah hidup atau stresor psikososial dari para pasien. Dengan kata lain, apa yang hilang dari nosografi simptom adalah konteks. Mereka coba untuk menjawab ‘apa’ tetapi bukan ‘mengapa’ atau ‘bagaimana’.

Dalam catatan Alayarian (2011), berikut adalah simptom PTSD yang sering kali ditunjukkan:

  1. Fisik: kesulitan tidur atau tetap tidur, detak jantung cepat dan kesulitan bernapas, sakit kepala atau nyeri, merasa lelah, mual, diare atau sembelit, mudah terkejut oleh suara, kegelisahan, dan tegang otot;
  2. Mental: ketidakmampuan berkonsentrasi, masalah ingatan, pikiran intrusif tentang trauma masa lalu atau/ dan usaha untuk menghindari kenangan menyakitkan, mimpi (buruk) tentang apa yang terjadi, gambar dan kilasan yang mengganggu;
  3. Emosional: kemarahan, duka, kesedihan, ketakutan, rasa malu, kebingungan, kecemasan dan depresi berat, perasaan mati rasa emosional, tidak responsif terhadap sekitar, dan anhedonia; dan
  4. Perilaku: menarik diri dari orang lain, mudah tersinggung oleh orang lain, kehilangan minat dalam aktivitas dan hobi, kehilangan nafsu makan, kehilangan minat seksual, dan peningkatan konsumsi alkohol atau rokok, insomnia, dan waspada berlebihan.

Pada 1990an kemudian berkembang industri trauma dan didirikanlah Traumatologi. Dengan berdirinya traumatologi, muncul kelas-kelas terapi trauma dan riset-riset mengenai trauma. Kebanyakan dari pendidikan kesehatan mental mengikuti kurikula biomedis sesuai dengan APA. Dengan banyaknya kajian soal trauma, banyak pula sudut bidik untuk melakukan psikoterapi terhadap trauma. Namun, setidaknya ada tiga kesepakatan yang dilakukan dalam treatment trauma secara sekuensial: stabilisasi, “working through”, dan integrasi psikososial. Dengan integrasi psikologi dan farmakologi, maka pendekatan biomedis semakin menyingkirkan pendekatan psikodinamik. Dengan demikian, pada masa selanjutnya, trauma adalah persoalan medis.

Konsep ‘Trauma’ Pasca-DSM-III

Setelah nosografi DSM-III diterbitkan, PTSD kemudian menjadi bagian penting dalam industri kesehatan. Pola ini terus berlangsung pada masa-masa selanjutnya. Kebanyakan terapis dan produk farmakologis membutuhkan klien atau konsumen yang lebih banyak. Lewat media, istilah trauma juga menjadi gangguan mental yang memayungi banyak hal. Dalam hal ini, profesional kesehatan mental juga berdampingan dengan industri farmasi dalam menciptakan ‘sakit’ dan ‘penyembuhan’-nya. Bidang kesehatan mental juga berhasil membangun wacana bahwa ada reaksi-reaksi stres yang abnormal, entah apapun penyebabnya tetapi selalu dilihat dalam kerangka medis.

Populerisasi dan familiarisasi masyarakat dengan istilah trauma menunjukkan bahwa bahasa umum keseharian digantikan oleh bahasa profesional. Persoalan yang muncul dengan bahasa profesional tersebut adalah munculnya kecenderungan melabeli orang dengan istilah ‘trauma’ kemudian memberikan kebutuhan mereka untuk memulihkan traumanya. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk menunjukkan bahwa trauma bukan sekadar penyakit, melainkan reaksi kebanjiran oleh kondisi yang stressful. Artinya, konstruksi istilah trauma tidak sekadar datang dari profesional ke masyarakat, melainkan juga memberi ruang masyarakat untuk menciptakan makna terhadap trauma sehingga patologisasi bisa dihindari. Persoalan patologisasi ini menunjukkan bahwa adanya ketimpangan kekuasaan antara yang profesional dan dilegitimasi oleh kekuasaan dengan di sisi lain ada kelas yang dianggap tidak memiliki sumber daya pengetahuan yang tidak memadai.

Dalam perkembangannya, yakni di DSM-IV dan DSM-V, kriteria trauma juga turut berubah. Dalam DSM-IV (APA, 1994), PTSD tidak lagi sekadar peristiwa di luar normal yang menimpa seseorang, melainkan juga peristiwa tersebut menimbulkan ketakutan, ketidakberdayaan, dan horor yang intens. Perluasan kriteria tersebut berarti menambah panjang daftar peristiwa yang bisa dikategorikan di bawa payung PTSD, seperti kecelakaan, bencana buatan manusia, kemendadakan, kematian orang yang signifikan, atau mendapatkan diagnosis yang mengancam hidup. Dalam DSM-V (APA, 2013), trauma diperluas dengan terbentuknya kategori baru Trauma and Stressor-Related Disorders. Trauma dialami tidak hanya orang yang mengalami suatu peristiwa secara langsung, tetapi juga mereka yang menyaksikan atau mendengar peristiwa mengerikan yang dialami orang lain.

Dalam perkembangan selanjutnya bahkan dikenal istilah ‘Post-traumatic Growth’ yang dipasarkan oleh Martin Seligman – bapak Psikologi Positif. Gagasan tersebut selaras dengan ekosistem neoliberal yang melihat bahwa setiap krisis adalah peluang untuk bertumbuh (Wright, 2021).  Atau, dengan kata lain, seseorang seolah-olah tidak perlu menitikberatkan peristiwa yang membuat ia mengalami trauma, ia hanya perlu berfokus pada bagaimana bernegosiasi dengan traumanya. Apa yang problematis dengan gagasan demikian adalah pengabaian terhadap lingkungan yang membuat trauma muncul, sehingga orang dengan mudah akan menghindarkan diri dari lingkungan tersebut dan enggan berpartisipasi dalam mengubah lingkungan tersebut.

Dalam perdebatan kontemporer, trauma bisa dipahami dalam komponen subjektif maupun objektif (Alayarian, 2011). Biasanya, pengalaman subjektif terhadap peristiwa objektif mengkonstitusikan trauma. Misalnya, ada dua orang anak yang dipukul dengan sapu oleh orangtuanya. Anak yang pertama merasa bahwa apa yang dilakukan orangtuanya adalah sesuatu yang secara fisik menyakitkan, tetapi secara emosional tidak berdampak kuat. Sementara anak yang lain mengatakan bahwa secara fisik dan emosional berdampak pada dirinya. Ia menjadi panik dan tidak terkontrol saat melihat ada perilaku yang mengingatkan akan peristiwa pemukulan tersebut. Anak, yang kemudian menjadi dewasa ini, merasakan bahwa perjumpaan dengan peristiwa yang mirip tersebut membanjiri emosi dan menimbulkan rasa tidak berdaya. Ada gangguan psikologis yang muncul dan menciptakan kebingungan antara mental dan tubuhnya.

Dari contoh di atas, dapat dicermati bahwa sesuatu menjadi trauma apabila peristiwa yang dialami sehari-hari mengkonstitusikan tekanan mental dan psikologis yang berlebih. Peristiwa tersebut biasanya dialami dalam rupa kecelakaan, putusnya hubungan yang dirasa bermakna, kekecewaan mendalam, kondisi difabel, penyakit kronis, kekerasan, pengabaian, dan penyingkiran. Dengan kata lain, peristiwa apapun bisa menjadi trauma, asalkan oleh seseorang dimaknai sebagai suatu kesakitan atau luka yang mendalam secara psikis dan emosional. Oleh karenanya, definisi trauma amat lah luas dan bervariasi tergantung pada struktur kepribadian atau respons seseorang serta kerasnya suatu peristiwa. Selama suatu peristiwa dapat meruntuhkan kedirian dan identitas seseorang, kemudian peristiwa tersebut menyebabkan kegoyahan, maka trauma terjadi. Guna memulihkannya, orang butuh ruang dan waktu untuk memaknai peristiwa dan mengintegrasikan kembali kedirian orang tersebut.

Berbeda dengan stres yang menciptakan kegagalan sementara dalam regulasi terhadap kecemasan, seorang yang mengalami trauma akan mengalami keterpurukan yang mendalam. Suatu peristiwa yang traumatik pasti diawali dengan stres, tetapi belum tentu stres berakhir pada trauma psikologis. Saat stres, seseorang orang mengalami kegoyahan atau kegugupan selama beberapa hari atau minggu, kemudian ia akan semakin tenang dan kembali pada ekuilibrium. Namun, pada saat mengalami peristiwa traumatik, seseorang akan dibanjiri dengan intensitas emosional – yang sering kali juga tidak disadari. Singkatnya, stres sehari-hari memiliki level yang berbeda dengan trauma terkait dengan intensitas emosionalnya.

Kembali lagi pada wacana mengenai cara menanggulangi trauma, pasca-DSM-III peran perusahaan farmasi semakin besar dalam mengatasi trauma. Apa yang kemudian terabaikan dalam pengalihan masalah lewat farmakologis adalah agensi dan kapasitas manusia. Oleh karenanya, perlu pula ditunjukkan keterbatasan obat-obatan dalam mengatasi trauma. Singkat kata, diperlukan de-patologisasi terhadap trauma sehingga mendorong orang untuk berpartisipasi penuh dalam kesehatan dan kesejahteraannya.

Apa yang hilang dalam pemahaman dan pemulihan trauma secara biomedis adalah soal individualisasi problem. Terapi dan obat-obatan diberikan kepada orang yang mengalami trauma, tetapi kondisi atau penyebab psikososialnya tidak diubah. Cara-cara demikian barangkali efektif dalam jangka waktu tertentu, tetapi akan gagal saat return of repressed terjadi. Beberapa kondisi traumatik seperti perilaku abusif, kekerasan komunal, atau kekerasan terhadap perempuan yang ditritmen secara individual barangkali berhasil memulihkan seseorang, tetapi tidak banyak berkontribusi terhadap keberdayaan masyarakat dalam melakukan de-patologisasi dan pengembangan rasa berkomunitas. Dalam beberapa kasus, terapi testimoni yang dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-orang yang mengalami kasus trauma serupa kemudian membuka ruang berbagi nyatanya membuat orang-orang saling menguatkan sehingga ketergantungan terhadap proses terapi dan pengobatan bukan lagi menjadi penyelesaian utama. Model kelompok pemberdayaan demikian juga memiliki kekuatan politik untuk mengangkat kasus yang serupa dengan kekuatan komunitas yang jauh lebih strategis dibandingkan kekuatan individual.

Trauma dalam Psikoanalisis Lacanian

Pontalis dan Laplanche (1980) menuliskan bahwa trauma merupakan:

[S]ebuah peristiwa dalam hidup subjek yang ditentukan oleh intensitasnya, oleh ketidakmampuan subjek dalam merespons secara memadai terhadapnya, dan oleh kekacauan serta efek berkepanjangan yang dihasilkannya dalam organisasi psikis.

Dalam istilah ekonomi, trauma ditandai oleh datangnya rangsangan yang berlebihan jika dibandingkan dengan standar toleransi dan kapasitas subjek untuk mengatasi dan mengolahnya secara psikis.

Definisi di atas menunjukkan bahwa trauma membutuhkan energi psikis untuk menjaga konstansi ekuilibriumnya. Namun, kata ‘berkepanjangan’ menunjukkan bahwa trauma juga mengkonstitusikan ancaman radikal terhadap subjek. Ancaman tersebut muncul dalam bentuk kecemasan yang memberikan sinyal kepada Ego. Oleh karenanya, trauma bukan lagi sekadar datangnya hal eksternal, melainkan juga internal yang mana Ego diserang dari dalam lewat perangsangan instingtual. Perangsangan dan kecemasan ini nantinya, dalam psikoanalisis Lacanian, akan disiasati lewat fantasi.

Dalam perkembangan psikoanalisis terkini, trauma dipahami dalam konteks psikoanalisis Lacanian sebagai elemen dari tatanan Real yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata (Verhaeghe, 1998b). Sebelum membahas mengenai Lacan, kita perlu mengulas kembali Freud sebagaimana pada bagian awal tulisan ini. Bagi Freud, trauma adalah konflik antara dua hal, yakni Kesadaran dengan Ketidaksadaran. Tujuan terapeutik dalam trauma dicapai lewat katarsis. Katarsis ini ditujukan untuk membebaskan quantum of affect atau energi psikis agar terlegakan. Oleh karenanya, Freud mengatakan bahwa Absprechen atau speak out menjadi cara untuk mengeluarkan energi psikis tersebut. Freud mengatakan bahwa aspek Ketidaksadaran – yang berisi energi yang direpresi – berupa karakter visual. Yang visual ini memerlukan verbalisasi agar bisa dilegakan. Secara khusus, dalam catatan klinisnya, Freud mengatakan bahwa energi psikis yang ditekan tersebut merupakan perkara seksual.

Dalam perkembangan praktiknya, Freud menemukan elemen baru yang membuka ruang baru dalam trauma, yakni fantasi. Fantasi menjadi upaya anak untuk memahami apa yang tidak bisa dijelaskan, sehingga fantasi terstruktur sebagai mekanisme pertahanan diri. Dalam istilah Lacan kemudian, fantasi merupakan upaya untuk memberikan makna pada bagian Real yang menolak tatanan Simbolik. Dengan munculnya gagasan mengenai fantasi, maka Freud kemudian meragukan isi realitas yang diceritakan pasiennya. Bahkan, Freud kemudian memahami bahwa adalah tidak mungkin membedakan antara realitas dengan fantasi di dalam kisah si pasien. Pada 1916 Freud kemudian mengatakan bahwa:

“Kita menggunakan istilah ‘traumatik’ pada pengalaman yang dalam jangka pendek waktu menghadirkan mental dengan peningkatan yang terlampau kuat untuk diatasi atau bekerja dengan cara normal, dan hal tersebut menghasilkan gangguan permanen pada cara energi beroperasi.” (Freud, 1916)

Dari pernyataan tersebut, dapat dicermati bahwa ada hal eksternal yang secara intrusif memengaruhi mental dengan menciptakan tegangan. Tegangan ini bisa dibayangkan seperti seorang anak kecil yang dikeluarkan dari suatu ruangan, kemudian pintu ruang tersebut dikunci dari dalam. Si anak kemudian berteriak-teriak, merengek, dan menggedor pintu hendak masuk. Energi yang dimiliki anak untuk masuk ke dalam ruangan (katakanlah ruang tersebut adalah Kesadaran) terus-menerus dikeluarkan oleh si anak. Ketika pintu belum dibuka, maka dengan berbagai cara, anak tersebut akan berupaya. Dalam konteks trauma, maka energi trauma yang tidka berhasil terverbalkan muncul dalam, misalnya, mimpi. Manifestasi atau displacement tersebut merupakan inti dari neurosis histeris (structurally determined trauma). Sementara itu, dalam trauma tipe kedua, yakni accidental real trauma. Dalam tipe kedua ini, sering kali muncul kasus automutilation atau melukai diri atau fenomena psikosomatis. Kemunculan dalam realitas tersebut menunjukkan bahwa konflik internal mengalami eksteriorisasi atau diproyeksikan.

Dengan munculnya konsep fantasi, maka tujuan terapeutiknya bukan lagi melakukan katarsis energi psikis atau meningkatkan ruang kesadaran. Freud mengatakan bahwa perlu ada proses working-through yang menyediakan perlakuan terhadap pasien dengan tujuan yang berbeda. Lacan kemudian menggunakan istilah ‘traversing the fantasy’ yang mana mengubah dari sekadar fantasi menjadikannya tindakan. Logika ‘draining away of the Real into the Symbolic’ ini juga terjadi sebagaimana pernah dikemukakan Freud sebelumnya, bahwa tindakan dapat melegakan atau menciptakan alternatif pelepasan hasrat yang direpresi.

Dalam psikoanalisis Lacanian (yang berarti juga Freudian – sebagaimana Lacan mengatakan dirinya seorang Freudian), trauma memungkinkan berlangsungnya formasi subjek. Lacan sendiri mengidentifikasi tiga kategori subjek, yakni psikotik, neurotik (subkategori: histeris, obsesif, phobia), dan perversi. Struktur subjek akan menentukan bagaimana trauma berlangsung. Bagi Lacan, tak satupun subjek bisa dikatakan normal, setiap subjek memiliki abnormalitasnya masing-masing.

Lacan membuat topografi dunia mental (psychical subjectivity) manusia ke dalam tiga tatanan, yakni Imaginer, Simbolik, dan Real. Pada awal kehidupan, tatanan yang berkembang pada seorang bayi adalah tatatan Imajiner. Tatanan imajiner ini menjadi fokus dalam formasi ego menurut Lacan. Penamaan Imaginer merujuk pada sifat tatanan ini yang fiksional, simulatif, dan virtual. Kemudian, ketika mulai membaca simbol dan bahasa dari lingkungan sekitarnya, seorang anak akan belajar bahasa, yakni konten dari tatanan Simbolik. Dalam dunia bahasa ini, seseorang akan mengalami kastrasi. Kastrasi terjadi karena tidak mungkin segala sesuatunya tersampaikan lewat bahasa. Kastrasi ini dimungkinkan dengan hadirnya adat, tradisi, institusi, aturan, norma, praktik, ritual, serta segala sesuatu yang ada dalam dunia sosial dan budaya. Selanjutnya, tatanan Real yang dimaksud Lacan adalah segala sesuatu yang menolak untuk disimbolisasi. Lacan mengatakan bahwa konten tatanan ini adalah sesuatu yang sifatnya traumatik. Dikatakan bersifat traumatik sebab isi tatanan Real ini adalah sesuatu yang tidak pernah bisa terpuaskan atau akan menyajikan kengerian apabila terpuaskan. Tatanan Real ini berisi hasil kastrasi yang terjadi dalam dunia Simbolik. Lacan kemudian menyebutnya sebagai objet petit a (objek penyebab hasrat).

Saat kastrasi berlangsung, subjek akan melakukan kompensasi dengan cara membangun fantasi. Oleh karena itu, psikoanalisis Lacanian memfokuskan analisis terhadap fantasi yang mendasari pembentukan subjek. Secara umum, Lacan membuat formulasi matematis dalam proses pembentukan subjek dengan: $ ◊ a. Subjek yang terbelah (terkastrasi) disimbolkan dengan $, kemudian menyimbolkan penghasratan, serta a menyimbolkan objek penyebab hasrat. Struktur matematis tersebut merupakan struktur umum subjek neurotik-obsesif. Sementara itu, kategori subjek lain akan memiliki struktur matematis yang berbeda, misalnya subjek neurotik-histeris yang memiliki struktur: a A. Dalam struktur ini, A menyimbolkan Autre atau Big Other atau Liyan Besar. Liyan Besar dalam konteks ini dihasratkan oleh subjek histeris (posisinya sebagai objek hasrat) karena mengalami penjelasan atau pengetahuan yang tidak memadai, oleh karena itu disimbolkan dengan terbelah. Karena tidak memadai inilah kemudian hasrat subjek histeris dikatakan sebagai tidak terpuaskan. Sebagai catatan, posisi subjek dan fantasi dasar tersebut merupakan hasil deskripsi Lacan – dan bukan preskripsi – dalam kasus-kasus klinis yang ia tangani.

Untuk kepentingan praktis dan ketidakmungkinan penjelasan detail mengenai teori psikoanalisis Lacan, tulisan ini hanya membatasi sampai paragraf di atas. Sebagai catatan, dua posisi subjek tersebut yang lazim muncul dalam keseharian dan disebut ‘normal’. Posisi subjek yang lain, misal psikotik, cenderung menempatkan bahasa (tatanan Simbolik) secara berbeda dengan subjek yang lain. Oleh karenanya, diperlukan penjelasan dengan porsi yang berbeda dari tujuan awal tulisan ini. Lantas, untuk kembali melihat tujuan awal tulisan terkait dengan narasi sejarah trauma dan bagaimana kemudian dipraktikkan dalam beberapa kajian di Indonesia, maka pada bagian selanjutnya akan melihat bagaimana kajian mengenai trauma dipetakan dalam penelitian di Indonesia.

Kajian Trauma di Indonesia

Ada dua gagasan utama dalam kajian soal trauma. Gagasan pertama mengacu secara ketat pada sudut pandang Psikiatri yang kemudian diadopsi Psikologi. Dalam gagasan pertama ini, konsep PTSD sebagian besar diturunkan semena-mena untuk mendiagnosis individu. Penyelesaian soal trauma dalam gagasan pertama ini dilakukan dalam ruang konseling dan psikoterapi. Dalam kasus yang berat atau dinilai tidak tertangani lewat talking-cure, maka akan ada tindakan medis yang dilakukan, misalnya lewat pemberian resep obat atau Electroconvulsive therapy (ECT). Gagasan pertama ini menekankan pada penanganan individual dan menafikan keberdayaan komunitas yang menaungi individu. Tipe ini sesuai dengan cara pandang neoliberal dan berimplikasi pada kebutuhan kapital besar yang perlu dikeluarkan individu untuk berobat.

Sementara itu, dalam berbagai kasus justru tidak jarang menunjukkan penanganan individual hanya berujung pada pola-pola berulang yang melakukan konseling sebagai sebuah plasebo atau sekadar pertolongan pertama pada trauma. Fenomena lain justru menunjukkan bahwa trauma bisa ditanggulangi dengan komunitas secara terintegratif – artinya bisa kemudian dalam level keluarga atau komunitas. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penanganan dengan memanfaatkan komunitas jauh lebih membuat individu berdaya. Dengan kata lain, ritual-ritual kolektif lebih potensial dalam menyelesaikan trauma.

Gagasan penanganan dalam level yang melampaui individu tersebut adalah gagasan kedua yang memanfaatkan model interdisiplin. Dalam gagasan tersebut, ada kecenderungan untuk mengkritik konsep trauma yang dibawa oleh psikiatri Barat. Sebagian besar tokohnya adalah antropolog dan sosiolog. Kritik diarahkan pada kategori diagnostik PTSD yang diambil dari konteks WEIRD, yang menggambarkan mental dan perilaku orang Barat. Mereka juga menekankan bahwa trauma psikologis tersituasikan secara kultural dan historis, serta tidak bisa diekstraksi dari kompleksitas konteks sosial, kultural, dan politik (Pols & Micale, 2023). Karena tidak bisa diekstraksi dari kompleksitasnya, maka penanganan perlu dilakukan dalam level individual maupun societal.

Salah satu contoh penanganan trauma model kedua ini seperti yang dilakukan oleh Dialita Choir (singkatan Di Atas Lima Puluh Tahun), sebuah kelompok paduan suara yang beranggotakan ibu-ibu korban Peristiwa 1965 (Pitaloka & Duta, 2021). Dengan pembantaian ratusan ribu hingga jutaan orang yang dilabeli komunis, Peristiwa 1965 melahirkan orang-orang yang tidak memiliki orang tua, menjanda, mengalami kekerasan seksual, atau terus hidup dengan dealing terhadap masa lalunya. Pasca-Peristiwa 1965, stigmatisasi dalam kehidupan sosial, politik, dan eknomi terhadap korban dan kerabatnya menguat karena rezim Soeharto melakukan manipulasi sosial terhadap mereka yang dilabeli komunis. Dialita Choir merupakan proyek keberdayaan sosial guna melawan narasi anti-komunis yang masih bercokol di masyarakat. Ibu-ibu Dialita melakukan performansi yang menantang narasi militer dan stigmatisasi serta membawakan suara-suara solidaritas internasionalisme. Selain menempatkan perempuan sebagai perhatian utama untuk melawan ideologi maskulin yang hegemonik, Dialita juga berupaya menjadi sumber resiliensi dan recovery para korban.

Guna memperkuat gagasan kedua, ada bebrapa kasus yang disajikan dalam tulisan ini. Pada 1980an akhir terdapat satu kasus yang dalam media disebutkan bahwa orang-orang mengalami trauma. Dalam “A New Criminal Type in Jakarta” (1998), James Siegel menunjukkan pemberitaan kasus mengenai pembunuhan terhadap seorang polisi yang dilakukan oleh seorang anak pengusaha kaya. Si polisi dijemput oleh anak pengusaha kaya tersebut kemudian dibawa ke Cianjur. Di Cianjur, si polisi dibakar. Warga setempat ketakutan dan merasa ngeri. Kengerian tersebut, menurut yang diaku para warga, membuat orang trauma. Dengan kata lain, trauma terjadi tidak hanya pada orang yang mengalami langsung, melainkan juga pada orang yang menyaksikan. Penelusuran Siegel tersebut menyajikan bagaimana istilah ‘trauma’ mulai menyeruak dalam media dan percakapan sehari-hari masyarakat. Hantu, yang tadinya menjadi sumber utama ketakutan, dirasionalisasi menjadi kejahatan manusia. Artinya, ada perubahan cara pandang terhadap dunia dalam konteks masyarakat yang tadinya ketakutan dengan hantu.

Di sisi lain, masih terkait dengan hantu, pasca-konflik di Maluku Utara yang terjadi selama transisi Orde Baru ke Reformasi, Bubandt (2012) menemukan bahwa pada 2004 ada fenomena hantu kanibal berjenis suanggi. Suanggi membunuh korbannya dengan cara dihisap darahnya, layaknya vampir. Saat itu, Tobelo, ibukota kecamatan Maluku Utara, menjadi sepi saat gelap datang. Bubandt menyebut suanggi sebagai a ghost with trauma. Sosok suanggi berjenis kelamin perempuan. Sosok ini, menurut keyakinan orang Tobelo, dimotivasi oleh keinginan untuk balas dendam akibat pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak kepala desa. Suanggi menyerang mereka yang tertarik dengan kecantikan dan menerima tawaran untuk melakukan hubungan seksual.

Menurut Bubandt, selain isu mengenai kekerasan terhadap perempuan, suanggi secara simbolik menunjukkan mekanisme resiliensi masyarakat pasca-konflik Kristiani dengan Muslim yang menewaskan sekitar 2000 orang dan membuat perpindahan populasi sekitar 200.000 orang. Citraan mengenai vampir hidup ini menjadi metafor mengenai status kematian dan identitas yang tidak jelas yang menjadi korban konflik. Identitas suanggi pun juga tidak terlalu kentara. Di Ternate, daerah yang didominasi oleh penduduk beragama Islam, suanggi digambarkan sebagai seorang perempuan Kristiani. Sumber lain mengatakan bahwa vampir tersebut adalah seorang perempuan berjilbab dan jelmaan dari mujahid perempuan yang hendak balas dendam terhadap orang-orang Kristiani.

Bubandt menuliskan bahwa sebelum 2004, masyarakat di Maluku tidak mengenal ‘trauma’ hingga hadir program konseling psikososial dari NGO internasional dalam rangka rehabilitasi konflik Maluku Utara 1999-2001. Sebagai suatu istilah yang trendi dan juga otoritatif, trauma memberikan cara berbicara yang baru terkait peristiwa tak terselesaikan yang terjadi selama konflik. Kerangka berpikir baru masyarakat pun terbentuk: paradigma terapeutik yang memperhatikan kesehatan mental dan fisik amatlah penting bagi kedamaian. Singkat kata, vampir di Tobelo bukan merupakan bangkitnya roh tradisional, melainkan ledakan ngeri dari modernitas yang menyimpan bentuk pesonanya sendiri.

Kasus lain lagi adalah konflik yang menjadi transisi kelengseran Soeharto pada sekitar 1998-2000an. Di sebuah dusun di Yogyakarta, ada penyerangan dan pendudukan oleh ormas Islam. Pada saat itu muncul gosip yang mengatakan bahwa seorang penduduk Kristiani memotong kabel masjid dan mencuri televisi milik warga yang beragama Islam. Dusun tersebut kemudian didatangi oleh ormas yang membawa senjata tajam. Dusun diduduki kurang lebih sebulan. Pemuda Kristiani yang dianggap menjadi pelaku kemudian dicari-cari dan dipukuli. Sekitar 16 tahun kemudian, para penduduk dan orang yang dipukuli tersebut mengatakan bahwa “apa yang telah terjadi, ya sudah biar terjadi” (“sing uwis yo uwis”) (Harimurti, 2017). Mekanisme tersebut adalah sesuatu yang umum terjadi dalam masyarakat Indonesia, yang sering pula muncul pada para korban yang menanggapi Peristiwa 1965. Kelegaan terhadap peristiwa tersebut dan kehendak untuk tidak perlu mempersoalkannya lagi didasarkan pada ketakutan bahwa peristiwa naas tersebut akan kembali ke kampung mereka. Pada akhirnya, hubungan pertetanggan di kampung tersebut dibangun di atas rasa rikuh untuk membicarakan perkara agama dalam praktik kewargaan. Dalam kasus ini, ditunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki kelompok tertentu berpotensi menahan peristiwa traumatik untuk tetap berada dalam kendali. Kontrol tersebut juga menandai penundaan terhadap horor yang mungkin tertunda.

Mengenai PTSD, ada satu kasus menarik yang ditemukan di Indonesia. Selama ini, penanganan kasus bencana alam atau sosial berada di bawah payung besar PTSD. Agaknya, konsep barat yang dibawa oleh psikiatri ini juga tidak selalu kongruen dengan pendekatan lokal. Sebagai contoh adalah peristiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002. Pada saat itu, para ahli kesehatan mental berduyung-duyung ke Bali. Mereka mencermati bahwa pasca-bom Bali, tidak sedikit masyarakat yang kemudian berdiam diri. Kondisi inactive tersebut dianggap sebagai gejala trauma, yang mana orang mengalami depresi pasca-katastrofi. Kemudian, melihat kondisi tersebut, dilakukan pelatihan dan mitigasi untuk mengatasi PTSD. Pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang merasa mengalami traumatisasi atau ‘dipaksa’ menjadi trauma trehadap peristiwa tersebut. Mereka justru mengatakan pertama-tama bukan soal trauma, melainkan stres karena kejatuhan ekonomi yang mungkin menimpa mereka setelah pariwisata Bali ambruk. Jadi, diam yang mereka representasikan bukan karena PTSD, melainkan stres atas kondisi di masa depan (Santikarma, 2003).

Dari berbagai kasus tersebut ditampilkan bahwa apa yang relevan dalam kajian trauma adalah kemungkinan untuk melihat ketidaksinkronan antara model PTSD psikiatri Barat dengan apa yang riil dialami oleh seseorang. Karenanya, yang penting bukan apa diagnosisnya, tetapi bagaimana psikodinamika yang terjadi sehingga seseorang mengalami trauma (atau bukan trauma) dan bagaimana ia bergulat dengan kondisi tersebut. Psikodinamika dan pergulatan tersebut hendaknya akan membawa keluasan horizon terhadap persoalan trauma, bahwa trauma bukan melulu persoalan individual, melainkan juga yang sosiokultural berkontribusi menciptakan kondisi dan lingkungan yang traumatis dengan di lain sisi juga menciptakan resistensi atas trauma tersebut. Oleh karenanya, alih-alih berfokus pada penyebab, reaksi, dan simptom trauma, kajian mengenai tindakan, pikiran, dan perasaan yang menyertai seseorang dalam kondisi traumatik akan memperkaya perdebatan soal trauma.

 

Daftar Acuan

 “Trauma.” Merriam-Webster.com Dictionary, Merriam-Webster, https://www.merriam-webster.com/dictionary/trauma. Accessed 28 Nov. 2023.

Alayarian, A. (2011). Trauma, torture and dissociation: A psychoanalytic view. Karnac.

American Psychiatric Association. (1980). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (3rd ed.). American Psychiatric Press.

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.). American Psychiatric Press.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). American Psychiatric Press.

Bubandt, N. (2012). A psychology of ghosts: The regime of the self and the reinvention of spirits in indonesia and beyond. Anthropological Forum, 22:1, 1-23. DOI: 10.1080/00664677.2011.652585

Freud, S. (1917/1963) Introductory lectures on psycho-Analysis (Part III) (J. Strachey, trans.). Dalam S. Freud, The standard edition of the complete psychological works of Sigmund Freud volume XVI (1916-1917). The Hogarth Press and the Institute of Psycho-Analysis.

Harimurti, A. (2017). Setelah lengser keprabon: Tetangga & toleransi traumatik. Dalam B. Susanto, A. Windarto & A. Harimurti (Eds.), Proceeding of the international conference on reviving benedict Anderson: Imagined (cosmopolitan) communities (hlm.252-271). Sanata Dharma University Press.

Pedresen, B. (2014). Trauma. Dalam T. Teo (Eds.), Encyclopedia of critical psychology (hlm.2022-2024). Springer-Verlag.

Pitaloka, D. & Dutta, M.J. (2021). Performing songs as healing the trauma of the 1965 anti-communist killings in Indonesia. Dalam M.S. Micale & H. Pols (Eds.), Traumatic pasts in Asia: History, psychiatry, and trauma from 1930s to the present (hlm. 226-244). Berghahn Books.

Pols, H. & Micale, M.S. (2021). Introduction: History, trauma and Asia. Dalam M.S. Micale & H. Pols, Traumatic pasts in Asia: History, psychiatry, and trauma from 1930s to the present (hlm. 1-34). Berghahn Books.

Quosh, C. & Gergen, K.J. (2008). Constructing trauma and its treatment: Knowledge, power, and resistance. Dalam T. Sugiman, K.J. Gergen, W. Wagner, Y. Yamada (Eds.), Meaning in action: Constructions, narratives, and representations (hlm. 97-111). Springer.

Ringel, S. (2020). History and development of trauma theory: Discussion of main concepts. Dalam S. Ringel & J.R. Brandell, Trauma: Contemporary directions in trauma theory, research, and practice (hlm.3-19). Columbia University Press.

Santikarma, D. (2003, 18 Mei). Dari stres ke trauma. Kompas, hlm. 5.

Siegel, J. (1998). A new criminal type in Jakarta: Counter-revolution today. Duke University Press.

Strand, M. (2011). Where do classifications come from? The DSM-III, the transformation of American psychiatry, and the problem of origins in the sociology of knowledge. Theory and Society, 40, 273–313.

Verhaeghe, P. (1998a). Does the woman exist? From Freud’s hysteric to Lacan’s feminine. Other Press.

Verhaeghe, P. (1998b). Trauma and hysteria within Freud and Lacan. The Letter, 14, hlm. 87-105.

Wright, C. (2021). Lacan on trauma and causality: A psychoanalytic critique of post-traumatic stress/growth. Journal of Medical Humanities, 42, 235-244. https://doi.org/10.1007/s10912-020-09622-w

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *