Catatan Awal: Tulisan ini terbit dalam jurnal Retorik 5(1), Januari 2017. Ditayangkan kembali untuk kepentingan pendidikan.
“Meskipun demikian, alasan penyingkiran karena keberbedaan secara teologis agaknya menyembunyikan satu hal yang jauh lebih besar: kekuasaan. Artinya, alasan teologis justru menjadi dalih untuk menyembunyikan ancaman terhadap kekuasaan yang telah mapan. Kekuasaan ini bisa berupa kekuasaan sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan.”
Cahyo Pamungkas (Peny.). (2017). Mereka yang terusir: Studi tentang ketahanan sosial pengungsi Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia (xvi+266 hlm.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Persoalan Syiah dan Ahmadiyah bukan sekadar masalah orang dengan identitas keagamaan dan keyakinan teologis yang menempel pada masing-masing aliran kepercayaan. Lebih jauh, ini merupakan masalah bagaimana hasrat kekuasaan diumbar begitu gamblang.
Pada masa Orde Baru, kita dengan mudah menemui siapa yang tersingkir dari dalam pembayangan mengenai anggota negara-bangsa Indonesia. Dalam setiap keterpurukan ekonomi yang dialami Indonesia, sosok Tionghoa selalu muncul sebagai mereka yang dijadikan kambing hitam. Seorang yang terlahir pada tahun 1950, mungkin akan dengan mudah mengingat peristiwa 1965 yang menyingkirkan orang Tionghoa hanya karena negara China menganut paham komunis. Kemudian, kalau orang tersebut berkesempatan hidup hingga Jenderal Besar Soeharto dilengserkan pada Mei 1998, maka ia menyaksikan pula bagaimana kekejian terhadap orang Tionghoa Indonesia senantiasa berlangsung dengan sangat memalukan. Namun, setelah Orde Baru tumbang, mungkin ia akan merasa aneh dengan sedikit perubahan mengenai siapa sosok yang kemudian disingkirkan dari pikiran mengenai bangsa.
Selama dekade 1990an, kekerasan yang terarah pada Tionghoa perlahan ditambahi dengan terjadinya kekerasan komunal sebagaimana dalam Kerusuhan Poso (25 Desember 1998 s.d. 20 Desember 2001) dan Kerusuhan Ambon (Desember 1998 s.d. Desember 2000). Meskipun demikian, kedua contoh tersebut adalah kerusuhan dengan skala yang besar, artinya dalam jumlah korban maupun akibatnya secara ekonomi, sosial, kultural dan politik. Selain dua kerusuhan tersebut, kerusuhan-kerusuhan dengan skala lebih kecil juga mewarnai saat menjelang dan setelah pergantian kekuasaan.
Kerusuhan ini dimungkinkan dengan kondisi masa-masa pergantian kekuasaan yang ditandai dengan lemahnya kontrol pusat sehingga daerah-daerah dengan mudah dipolitisir berdasarkan permainan identitas. Dengan demikian, kompetisi kekuasaan akan semakin menjangkau lingkup kedaerahan. Hasrat berkuasa dalam tingkat lokal ini, sekalipun dalam rentang waktu yang pendek, namun berakibat sangat fatal.
***
Buku “Mereka yang Terusir: Studi tentang Ketahanan Sosial Pengungsi Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia” yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor dan disunting Cahyo Pamungkas ini tepat menyasar mengenai bagaimana kelanjutan kerusuhan-kerusuhan di atas dipantik oleh perebutan kekuasaan di tingkat daerah. Permainan kekuasaan dalam lingkup daerah ini menyasar bentuk-bentuk baru kekerasan baik agama maupun etnis yang dipolitisir. Meskipun demikian, sebagaimana dalam kerusuhan sosial sebelumnya dan berbeda dengan kerusuhan yang menyasar Tionghoa, mereka yang dianggap “pribumi” merupakan pelaku sekaligus korban. Artinya, tak lagi muncul pihak yang dianggap “asing” dan “aseng”.
Buku yang dikembangkan dari kajian minoritas agama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini berbicara atas dasar “ketahanan sosial kelompok minoritas agama [yang] berkaitan erat dengan intervensi negara dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara dan strategi suatu komunitas dalam bertahan menghadapi perubahan.” Ada tiga hal yang hendak dikaji dalam buku ini. Pertama menyoal strategi para pengungsi untuk bertahan hidup, baik secara fisik maupun ekonomi. Kedua adalah perkara ketahanan teologis mengenai bagaiman keyakinan pengungsi Syiah atau Ahmadiyah ini bisa dipertahankan di tempat pengungsian atau bahkan mampu mendorong ketahanan sosial. Terakhir adalah berkaitan dengan relasi kekuasaan kedua komunitas dalam kaitannya dengan pemerintah maupun organisasi tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Penelitian ini memilih dua kasus penyingkiran berlatar identitas keagamaan, yakni komunitas Syiah di Sampang, Madura dan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, Mataram. Tahun 2012 hunian anggota komunitas Syiah di Karang Gayam, Sampang diserang. Sebanyak 500 penyerang ini kemudian membakari rumah yang menyebabkan 300 anggota komunitas Syiah terpaksa diungsikan ke Gedung Olah Raga Sampang pada 26 Agustus 2012 untuk kemudian dipindahkan ke kompleks Puspa Agro, Sidoarjo. Tindakan kekerasan dan penyingkiran terhadap komunitas Syiah ini berawal pada tahun 2000 yang kemudian terulang pada tahun 2006 dan berlanjut hingga kini. Sementara itu, di Lombok, para anggota JAI telah mengungsi sejak tahun 2006 sebagai dampak dari ancaman dan kekerasan yang akhirnya pengusiran secara paksa dari kampung halamannya. Anggota JAI ini kemudian menempati Asrama Transito Mataram.
Buku yang merupakan hasil penelitian ini terbagi ke dalam tujuh bab. Secara ringkas, Bab I berisi mengenai penjelasan terminologis yang akan digunakan. Misalnya, Cahyo Pamungkas menyebut bahwa pengungsi adalah mereka yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena adanya ancaman kekerasan dari kelompok mayoritas. Atau menyoal bagaimana ketahanan sosial dibicarakan dalam ranah teoretis yang menurut Cahyo Pamungkas, dalam sebuah negara berkembang, membutuhkan peran aktif negara. Ia mendefinisikan ketahanan sosial sebagai “kemampuan suatu komunitas untuk mengatasi gangguan dan menghadapi ancaman dari luar yang diakibatkan oleh perubahan sosial politik, dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya, dan tetap mempertahankan perbedaan kepentingan di dalamnya.”
Menarik bahwa kedua kasus yang dipilih melibatkan Islam sebagai sebuah identitas keagamaan. Meskipun Ahmadiyah dan Syiah mengaku diri dalam satu bangunan agama Islam, namun kelompok penyerang mengatasnamakan Islam mayoritas sebagai legitimasi atau pembenaran tindakan pengusiran paksa. Maka, sebelum masuk terlalu jauh ke dalam permasalahan ketahanan sosial, Wabilia Husnah menjelaskan dalam Bab II mengenai bagaimana perkembangan dan pembentukan Ahmadiyah maupun Syiah dalam bangunan Islam. Ia menjelaskan baik dalam konteks global maupun nasional mengenai bagaimana jejak-langkah keduanya dalam menghadapi berbagai macam konflik dengan kelompok Islam yang menyebut diri Ahlusunnah wal Jama’ah atau populer dengan nama Sunni. Diskriminasi mungkin terjadi dengan adaya perbedaan persepsi antar kelompok penafsir agama. Dalam kasus Syiah, dapat ditelusur dari rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 7 Maret 1984 yang menyatakan bahwa Syiah berbeda dengan Sunni terkait masalah imamah, keaslian Al Quran, khilafah Abu Bakar, hak kekhalifahan oleh Ali bin Abi Thalib, dan pemaknaan Ahlul Bait (keluarga Muhammad). Sementara terkait dengan Ahmadiyah adalah soal kenabian Muhammad SAW yang menjadi nabi terakhir ataukah masih memungkinkan adanya nabi-nabi baru.
Bagian selanjutnya, Bab III, yang ditulis oleh Wahyudi Akmaliah secara khusus mengeksplorasi mengenai konflik di Sampang. Ia berpendapat bahwa konflik di Sampang menandai adanya perubahan struktur dan agensi di Indonesia. Runtuhnya Orde Baru yang diikuti dengan otonomi daerah memungkinkan terbukanya peluang untuk desentralisasi dalam segala bidang, yang tentunya juga soal kekuasaan. Keadaan ini menyebabkan kekuasaan pemerintah dan elite lokal jauh lebih kuat dibandingkan pusat yang tengah menghadapi pergolakan dan kekosongan kekuasaan. Situasi ini dibarengi dengan sentimen terhadap Syiah yang semakin menguat setelah kembalinya Tajul Muluk dari Arab Saudi pada tahun 1999. Tajul Muluk ini kemudian mengajarkan Syiah secara terbuka sampai tahun 2004. Setelah kematian Kiai Makmun, seorang berkharisma dan berpengaruh yang juga ayah dari Tajul Muluk, penentangan yang dipimpin oleh Kiai Karar (paman Tajul Muluk) mulai rutin terjadi terhadap dakwah Tajul Muluk. Pengaruh Tajul Muluk ini menjangkau hingga struktur ekonomi dan kekuasaan yang mapan mulai goyah. Karena keadaan ini elite lokal yang terancam kedudukannya mulai memusuhi Tajul Muluk. Puncaknya adalah penyerangan pada tanggal 26 Agustus 2012 yang mengharuskan kelompok Syiah mengungsi di GOR Sampang untuk kemudian meninggalkan Madura dan mengungsi ke Sidoarjo. Para pengungsi Syiah ini nyatanya menghadapi ketidakjelasan nasib dari pemerintah, karenanya mereka mencoba bertahan hidup dengan menjalankan perekonomian individu. Lantas, tak hanya karena doktrin dan keyakinan keagamaan, keterpaksaan untuk bertahan hidup ini mendorong mereka untuk melakukan sebentuk ketahanan sosial.
Memasuki Bab IV, Erni Budiwanti melakukan penelusuran soal pengorganisiran kelompok pengungsi Ahmadiyah di Transito Mataram. Fokusnya adalah siasat memberdayakan diri sementara secara bersamaan mendapatkan tekanan sosial dari kelompok mayoritas, secara khusus dalam kasus Ahmadiyah. Penyingkiran Ahmadiyah di Lombok diperparah dengan adanya otoritas yang secara gamblang melegitimasi kekerasan tersebut, yakni MUI, SK Bupati Lombok Barat dan SKB 3 Menteri. Tekanan sosial ini menunjukkan betapa arus utama justru sangat berpotensi untuk secara sepihak melakukan penghakiman dan penghukuman terhadap mereka yang minoritas. Kenyataan bahwa para pengungsi ini mengalami tekanan secara sosial membuatnya semakin solid. Dengan kata lain, justru di tempat pengungsian ini nilai kebersamaan semakin terbentuk. Berdasar kebersamaan dan solidaritas senasib sepenanggungan ini, terbentuk pula ketahanan sosial para pengungsi.
Bagian selanjutnya, Bab V, membicarakan soal pengungsi Syiah dan Ahmadiyah yang diposisikan sebagaimana homo sacer-nya Giorgio Agamaben (2005). Filsuf Italia tersebut menuliskan homo sacer sebagai figur yang tak diizinkan untuk dibunuh, namun barangsiapa membunuh tak akan didakwa atas pembunuhan. Bagian yang ditulis Amin Mudzakkir ini secara khusus mengamati dinamika penyingkiran Ahmadiyah dan Syiah ini sebagai sebuah perubahan hubungan antara dengan agama. Pada saat sebelum diusir paksa, orang-orang yang menganut Ahmadiyah maupun Syiah memiliki kewarganegaraan, namun setelah pengungsian justru kewarganegaraan mereka dipertanyakan. Dalam pandangan agama dan negara, para pengungsi internal (internally displaced person) dari Ahmadiyah dan Syiah tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan beragama. Mereka tidak diperkenankan menyebut diri Islam, namun untuk mengubah dokumen resmi negara menyoal identitas keagamaan menjadi Syiah atau Ahmadiyah bukanlah hal yang gampang. Menurut Amin Mudzakkir, penyelesaian diskriminasi ini bisa dilakukan dalam kerangka demokrasi. Namun, pada prakteknya, usaha rekonsiliasi dan komunikasi berbasis demokrasi ini mengalami kendala, misalnya para anggota Ahmadiyah dan Syiah dipaksa kembali pada keyakinan teologis yang dianut mayoritas.
Sementara itu, apa yang menjadi kekuatan pada Bab VI adalah penggambaran pola hubungan kekuasaan yang terjadi dalam kedua studi kasus. Dalam kasus Syiah di Sampang, terdapat tiga otoritas lokal yang penting untuk dilihat rentang kekuasaannya. Pertama adalah kiai yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat yakni, Kiai Karar. Kedua adalah Tajul Muluk, pemimpin Syiah, yang tradisi beragamanya mengancam posisi, identitas dan otoritas kiai di tengah masyarakat. Terakhir adalah blatter yang dalam masyarakat Madura dianggap sebagai preman yang tidak mematuhi ajaran agama dan menyelesaikan masalah lewat adu fisik. Meskipun tidak mematuhi ajaran agama, namun para blatter ini menjadi bagian dari pengikut kiai. Sebagian besar dari mereka meminta berkah atau bahkan jimat kekebalan fisik (apaghar) untuk mendapatkan kepentingannya, dari pertarungan fisik hingga hasrat menjadi pemerintah lokal. Para blatter ini menentang Syiah dalam wujud massa maupun dalam birokrasi pemerintahan. Sementara itu, dalam kasus Ahmadiyah di Lombok, aktor yang berperan adalah Tuan Guru (seperti kiai di Sampang) dan Ahmadiyah sebagai sebuah organisasi. Aktivitas Ahmadiyah ini bisa dibilang sangat gencar dalam menyebarkan ajaran-ajarannya lewat pengajian, brosur-brosur, atau renovasi masjid. Diperkuat dengan adanya fatwa MUI mengenai penyimpangan ajaran Ahmadiyah, Islam mayoritas yang dipimpin Tuan Guru ini melakukan penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah. Dalam kondisi pertikaian antar kubu tersebut, pemerintah diharapkan dapat masuk sebagai mediator antar aktor. Namun, dalam kasus Ahmadiyah, justru JAI-lah yang memiliki pengaruh dalam mengurusi para pengungsi. Hal ini tak terlepas dari pemerintah NTB yang cenderung berada di pihak Islam mayoritas.
Bagian terakhir dari buku ini ditulis oleh Cahyo Pamungkas. Terkait dengan bab awal mengenai penjelasan teoritis dari aspek ketahanan sosial, pada Bab VII Cahyo Pamungkas memberikan kesimpulan hasil penelitian. Secara khusus ia menggarisbawahi bahwa ketahanan sosial yang ditemukan dalam dua studi kasus terhadap pengungsi Syiah dan Ahmadiyah muncul dalam rupa persoalan mengatasi kebutuhan dasar, mendapatkan pekerjaan yang layak, perlindungan dari masyarakat setempat dan hak-hak kewarganegaraan. Cahyo Pamungkas menuliskan bahwa ketahanan sosial hidup dan berakar di komunitas serta terus tumbuh dan berkembang. Meskipun, perkembangan yang dimaksud Cahyo Pamungkas ini tidak begitu jelas apakah akan semakin menumbuhkan harapan akan pluralitas sosial atau justru menciptakan segregasi yang makin kaku. Namun secara ringkas ia mengambil kesimpulan bahwa ketahanan sosial dilihat sebagai sebuah strategi komunitas untuk mendapatkan pengakuan mengenai keyakinan agama yang dianut para pengungsi.
***
Sumbangan buku ini jelas terletak pada bagaimana penggambaran mengenai tubuh Islam yang sangat fragmentatif sementara negara tidak beres dalam mengatasi lapisan tersebut. Lapisan-lapisan ini justru menimbulkan pertentangan dalam Islam, antara yang punya pengikut banyak (mayoritas) dengan pengikut yang relatif lebih kecil (minoritas). Buku ini menunjukkan bahwa sosok seperti Tajul Muluk atau organisasi JAI dirasa cukup hebat oleh orang-orang dari Islam mayoritas. Kemampuan Tajul Muluk dalam memperbaharui tatanan dan kuatnya jaringan JAI dijadikan sebagai sesuatu yang menimbulkan kekaguman namun di lain pihak dijadikan objek kebencian.
Meskipun demikian, alasan penyingkiran karena keberbedaan secara teologis agaknya menyembunyikan satu hal yang jauh lebih besar: kekuasaan. Artinya, alasan teologis justru menjadi dalih untuk menyembunyikan ancaman terhadap kekuasaan yang telah mapan. Kekuasaan ini bisa berupa kekuasaan sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Justru, ancaman terhadap kekuasaan yang mapan ini menunjukkan bahwa Islam mayoritas mengalami rasa tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk memberikan rasa aman terhadap identitas pengikutnya. Bahkan, dalam pengungsian, kedua kelompok justru mendapati solidaritas kelompok makin berkembang. Dengan kata lain, penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah ini adalah keberhasilan sekaligus kegagalan golongan Islam mayoritas dalam mempertahankan kekuasaannya.
Setelah reformasi dan elite-elite daerah “dihibahi” kekuasaan, kelompok Islam mayoritas menjadi kendaraan untuk memperebutkan dan mempertahankan kursi kekuasaan. Hal tersebut bisa diinsafi sebab selama Orde Baru, Islam sebagai sebuah kekuatan politik dengan jumlah ummat terbesar di negara-bangsa ini tidak mendapatkan porsi dan ekspresi yang memadai dalam kekuasaan. Golongan tertentu dalam Islam (celakanya, golongan inilah yang gemar bersuara!) merasa bahwa selama 32 tahun pemerintahan Soeharto tidak ada satu orang pun yang mampu mewakili kepentingan mereka. Meskipun pada 1990-an awal ICMI terbentuk, pada akhirnya kelompok ini tidak bisa merangkul jumlah ummat yang begitu besar. Artinya, ICMI berkembang hanya sebagai kumpulan elite dalam skala nasional. Mereka punya pemimpin yang tenar, namun tanpa ummat.
Ahmadiyah dan Syiah kemudian hadir sebagai kelompok dalam Islam yang memiliki ukuran relatif lebih kecil, artinya juga lebih rentan. Bagi para pelaku penyerangan, pengusiran terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah tidaklah hanya dihasratkan oleh kelompok Islam mayoritas, melainkan karena kedua kelompok tersebut secara aktif berpartisipasi untuk menimbulkan hasrat penyerangan. Bukan karena perbedaan bangunan teologis, melainkan karena aktivitas yang terlampau terbuka dalam masyarakat-lah penyerangan ini terjadi.
Yang menjadi tantangan kemudian adalah kemungkinan untuk terjadinya kekerasan yang sifatnya rutin, entah dalam kondisi atau kepentingan seperti apa yang mendasari. Beberapa generasi ke depan, sekalipun tak tahu duduk perkara mengenai permasalahan Syiah dan Ahmadiyah ini, bisa saja ikutan menyerang. Kita bisa membayangkan demikian: ketika ditanyai apakah menurut mereka (generasi mendatang) Syiah dan Ahmadiyah ini mengancam kehidupan pendahulu mereka, mereka bisa saja menjawab tidak percaya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka tetap ikutan menyerang hanya karena mengetahui bahwa para pendahulu mereka juga menyerang. Celakanya, tidak hanya dalam kasus Syiah dan Ahmadiyah, Pilkada Jakarta 2017 menunjukkan kecenderungan demikian. Sementara itu, di depan mata kita masih menunggu pemilihan-pemilihan kepala daerah maupun negara selanjutnya. Namun, apakah hasrat berkuasa selalu ditakdirkan menang?
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.