Dalam disiplin ilmu psikologi, ada beberapa tokoh yang dianggap menyumbang pemikiran dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Lev Semnovich Vygotsky (1896-1934), Jean Piaget (1896-1980), Carl Rogers (1902-1987), Burrhuss Frederic Skinner (1904-1990), Jerome S. Bruner (1915-2016), Lawrence Kohlberg (1927-1987), dan Howard Gardner (1942-…). Namun, dalam perkembangannya, Piaget dan Vygotsky menjadi tokoh yang paling sering dikutip ketika seseorang berbicara psikologi pendidikan dan perkembangan awal seorang anak. Mengapa Piaget dan Vygotsky penting dibicarakan dalam psikologi pendidikan? Apa yang membedakan gagasan keduanya? Tulisan berminat untuk memaparkan bagaimana kontestasi pemikiran Piaget dengan Vygotsky berlangsung dalam disiplin psikologi.
Piaget dan Perkembangan Kognitif
Piaget memperkenalkan gagasan mengenai perkembangan kognitif. Tokoh yang lahir pada 9 Agustus 1896 di Swiss tersebut meraih gelar Ph.D. dalam bidang biologi. Ia banyak menulis pemikiran pendidikan konstrukstivis (bukan konstruksionis!) yang dimulai dengan pertanyaan: Bagaimana pengetahuan sejati berkembang? Piaget menjelaskan bahwa sebuah pendidikan amat tergantung pada epistemologinya. Pengetahuan dan perkembangan merupakan fakta-fakta normatif, artinya tidak terberi sejak seseorang dilahirkan dan oleh karenanya perlu dilihat saat dan tempat di mana seseorang berkembang.
Epistemologi yang dimaksud Piaget adalah sebagaimana ditanyakan oleh Immanuel Kant: Bagaimana sebuah pengetahuan mungkin diperoleh? Pengetahuan dalam pemahaman demikian berbeda dengan takhayul dalam pemahaman rasionalitas. Rasionalitas inilah yang kemudian disebut sebagai norma atau nilai yang menentukan kriteria mengapa sesuatu bisa disebut pengetahuan dan yang lain adalah bukan. Misalnya seseorang mengalami radang tenggorokan pagi ini, kemudian ia minum air jeruk sunkist hangat dua kali sehari selama 5 hari. Ia kemudian menyimpulkan “air jeruk sunkist hangat merupakan obat radang tenggorokan”. Setiap mengalami radang tenggorokan, orang tersebut kemudian mengandalkan “teori” ciptaannya. Apakah contoh tersebut merupakan pengetahuan? Apabila kita identifikasi, kasus tersebut menunjukkan anecdotal evidence yang mana satu contoh keberhasilan dijadikan kebenaran dalam pengetahuan. Lewat epistemologi Piaget, kasus tersebut dianggap sebagai pengetahuan yang dikonstruksi lewat pengalaman.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Piaget mendefinisikan pendidikan sebagai jembatan antara sisi individu yang tengah tumbuh dengan nilai sosial, intelektual, dan moral. Artinya, pendidik memiliki tanggung jawab untuk mendorong individu mencapai nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut membentuk norma yang kemudian membuat batasan atas apa yang diwajibkan, diperbolehkan, atau dilarang. Pendidikan berpusat pada hubungan antara anak dengan nilai, tetapi nilai ditentukan oleh guru. Karena nilai ditentukan oleh guru yang mengajar generasi selanjutnya, maka transmisi dan transformasi nilai menjadi indikator keberhasilan dalam pendidikan.
Dalam dua tulisannya, Piaget mengisahkan sebuah masyarakat tanpa sejarah. Misalkan setiap individu dalam masyarakat tersebut berusia 7 tahun. Tidak satupun orang lebih tua dan lebih muda yang hidup dalam masyarakat tersebut, artinya tidak ada budaya tradisional dan warisan turun-temurun. Bagaimana kira-kira perkembangan intelektual masyarakat tersebut? Menurut Piaget, perkembangan mungkin terjadi, tetapi masyarakat akan mengalami kesulitan besar sebab tidak ada peradaban yang eksis sebelumnya. Dalam konteks ini, pendidikan ala Piaget bersifat materialisme historis, dalam arti bahwa keadaan sosial menentukan bagaimana kesadaran seseorang.
Tugas guru dalam ruang pendidikan adalah memperkenalkan sistem norma yang dikodifikasi dan dikonstruksi bagi masyarakat terdidik. Pengetahuan baru lewat aturan bahasa tersebut bukannya tanpa masalah, sebab memiliki cakrawala dunia yang berbeda antara pendidik dengan peserta didik. Perbedaan dalam cara pandang ini disebut Piaget dengan “horison intensionalitas”. Oleh karena itu proses belajar adalah pemerolehan pengetahuan untuk mempersempit horison intensionalitas.
Genovese (2003) menuliskan bahwa sumbangan Piaget amat luas. Dalam perkembangan kognitif, tugas Piagetian menjadi patokan penting dalam mengidentifikasi tumbuh-kembang anak. Meskipun demikian, ada beberapa problem yang diajukan neo-Piagetian, misalnya seperti penekanan pada struktur logika matematis yang dikembangkan Piaget digantikan dengan struktur kognitif independen yang diregulasi oleh kapasitas umum perkembangan. Atau misalnya yang lebih populer adalah karakterisasi yang dibuat Piaget bahwa mulai remaja, seseorang akan masuk dalam tahapan operasional formal. Padahal, secara empiris, tidak sedikit remaja atau orang dewasa yang belum bernalar dalam karakteristik yang digambarkan Piaget: logika preposisional, logika induktif, pengetesan hipotesis, kemampuan berpikir abstrak, menalar secara logis, atau mampu menarik kesimpulan dari berbagai informasi yang ada. Artinya, dalam tahap perkembangan kognitif keempat, yakni operasional formal, seseorang diharapkan mampu mengindentifikasi dan memilah perspektif yang eksis di lingkungannya.
Sebagai catatan, Piaget merumuskan 4 tahapan perkembangan kognitif (Babakr, Mohamedamin & Kakamad, 2019). Tahap pertama adalah sensorimotor yang biasa dikategorikan dalam rentang usia 0-2 tahun. Pada tahap ini, perkembangan anak ditandai dengan kemampuan refleks dan spasial. Karakter utama dalam tahap ini adalah permanensi obyek (object permanence) dan imitasi tertunda (deferred imitation). Permanensi obyek berarti suatu obyek tetap eksis sekalipun tidak bisa dilihat atau diindera. Piaget mencatat bahwa pada 8 bulan sejak kelahiran, si anak tidak bisa memahami obyek yang tidak tampak atau meyakini bahwa obyek tidak eksis. Kita dapat membayangkan ketika melakukan “cilukba” terhadap seorang anak. Ketika kita bersembunyi atau kita tutup muka dengan tangan, seorang anak yang telah berkembang kemampuan permanensi obyeknya akan menunggu kita untuk tampak lagi. Sementara itu, imitasi tertunda berarti si anak mulai memiliki kemampuan untuk mereproduksi aktivitas yang ia lihat. Namun, dalam beberapa pengamatan kontemporer, kemampuan permanensi obyek dan imitasi tertunda ternyata terjadi lebih awal dari yang ditemukan Piaget (Baillargeon, Li, Gertner & Wu, 2011).
Dalam tahap kedua, pada usia 2-7 tahun, anak masuk pada tahap praoperasional. Tahap ini ditandai dengan kemampuan anak menggambarkan objek lewat gambar dan kata sebagai simbol dalam dunia fisiknya (Babakr, Mohamedamin & Kakamad, 2019). Meskipun demikian, anak belum mampu membedakan perspektif yang dia miliki dengan perspektif orang lain. Karena belum memiliki kemampuan perspective-taking, maka mereka kesulitan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain atau kita kenal dengan istilah egosentris. Gagasan Piaget ini kemudian diuji-ulang oleh Newcombe dan Huttenlocher (1992) yang menemukan bahwa hanya anak berusia tiga tahun yang egosentris, anak berusia empat tahun sudah mulai memahami kondisi mentalnya berbeda dengan orang lain yang dihadapinya. Selain egosentris, karakteristik lainnya adalah animisme, yakni kemampuan untuk membedakan obyek hidup dan tak hidup. Dalam tahap ini, anak memahami bahwa semua benda di sekitar memiliki kehidupan, misalnya terkait dengan keberadaan Sinterklas di YouTube atau televisi. Penelitian Backsheider, Shatz, dan Gelman (1993) justru menunjukkan bahwa anak usia tiga dan empat tahun telah bisa memahami bahwa tanaman yang daunnya rusak akan bisa bertumbuh. Artinya, ia telah bisa menentukan obyek merupakan makhluk hidup atau bukan. Contoh lain adalah Doraemon, seorang anak usia empat tahun telah bisa mengenali bahwa Doraemon tidak ada dalam kehidupan fisik. Karakteristik ketiga adalah kesulitan melakukan konservasi, yang ditandai dengan kemampuan untuk mengenali bahwa sesuatu jumlahnya sama sekalipun bentuknya berbeda, misalnya air dalam gelas yang dituang ke dalam gelas lain yang berbeda bentuk. Namun dalam eksperimennya, Gelman (1972) menemukan bahwa anak tiga tahun telah bisa melakukan konservasi, tanpa harus menunggu masuk ke taman kanak-kanak.
Selanjutnya, pada usia 7-11 tahun, anak memasuki tahap ketiga, yakni operasional konkrit. Dalam tahap ini, logika anak mulai berkembang yang ditandai dengan kemampuan mengurutkan, mengklasifikasikan, melakukan decentering (bahwa pusat kehidupan bukan cuma dia seorang), dapat berpikir secara terbalik (reversibility), konservasi, dan kecenderungan egosentrik mulai pudar. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kemampuan-kemampuan tersebut belum tentu dimiliki seorang anak dalam tahap ini. Misal, seorang anak belum bisa menemukan kaitan antar-benda yang ada di sekitarnya (Babakr, Mohamedamin & Kakamad, 2019).
Terakhir, usia lebih dari 11 tahun, si anak akan masuk dalam tahapan operasional formal. Dalam tahapan ini, anak mulai bisa berpikir abstrak, logis, dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi di sekitarnya (Babakr, Mohamedamin & Kakamad, 2019). Tahapan keempat ini dianggap yang palripurna dari perkembangan kognitif manusia. Artinya, keempat tahapan yang disebutkan merupakan suatu urutan, sekalipun usianya bisa berbeda-beda tergantung pada konteks. Konteks dalam hal ini bisa dilihat dalam ada tidaknya pendidikan yang diperoleh lewat institusi sekolah atau perkembangan biologis seperti pubertas.
Perdebatan sengit dalam teori perkembangan Piaget ini terletak pada tahap keempat atau operasional formal, apa yang menentukan kemampuan dalam operasional cenderung berubah seiring perkembangan dan asupan informasi dari sekitar. Kemampuan bernalar dalam tahap operasional formal diperoleh lewat pelatihan dan ketekunan dari subyek atau anak. Seorang berusia 15 tahun di Indonesia masa kini, mungkin memiliki nalar yang lebih tajam terkait privilese dibanding seorang anak berusia 15 tahun pada tahun 2005. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsumsi pengetahuan yang pada akhir-akhir ini isu soal privilese kelas diwacanakan dalam berbagai media. Artinya kultur sekolah dan di mana seseorang hidup akan sangat memengaruhi cara orang tersebut mengembangkan logikanya. Artinya, aspek sosiologis perlu menjadi perhatian penting dalam pemikiran Piaget.
Terkait dengan isu sosiologis dalam perkembangan kognitif, Piaget (1965/2011) menuliskannya dalam Sociological Studies dengan pertanyaan, misalnya: Bagaimana pikiran mengenai apa yang benar dan apa yang tidak tepat bisa berubah? Dengan menjawab pertanyaan tersebut, maka konteks sosial sebetulnya bisa diuraikan lewat gagasan Piaget. Smith (2011) mengatakan bahwa Piaget menolak psikologisme (dalam arti proses psiko-sosial yang menentukan individu) sekaligus menolak logisisme yang menyatakan bahwa kebenaran itu logis dan tidak psikologis. Menurut Piaget (1965/2011), perkembangan konsep, kewajiban, dan aturan ditentukan lewat inter-relasi antara psiko-sosial dengan logika. Artinya, suatu pengetahuan memiliki temporalitas — dan spasialitas — yang menentukan seberapa pengetahuan tersebut bisa dipertahankan dan ditransmisikan.
Sayangnya, bukan gagasan Piaget dalam studi sosiologisnya ini yang dominan berkembang dalam disiplin psikologi. Teori perkembangan kognitif cenderung diamini dan mendominasi perbincangan pemikiran Piaget. Reproduksi perkembangan kognitif ini sangat masuk akal sebab memang bisa digunakan dengan mudah untuk melakukan kategorisasi dan memiliki fungsi praktis yang mudah dipahami. Namun, masalah justru muncul dengan pengabaian terhadap pentingnya studi sosiologis Piaget. Orang akan cenderung menggunakan temuan Piaget hanya sebagai bentuk konsumsi dan reproduksi pengetahuan belaka — yang tidak jarang jatuh pada esensialisasi tanpa melihat keberagaman konteks. Gagasan soal keberagaman konteks inilah yang kemudian akan dibicarakan banyak oleh Vygotsky.
Vygotsky dan Psikologi Kultural-Historis
Berbeda dengan Piaget, Lev Vygotsky menekankan bahwa bidang psikologi perlu menjelaskan psikologi manusia secara sosial (Ratner, 1998). Kebanyakan tokoh psikologi menjelaskan bahwa peristiwa atau fenomena psikologi terjadi karena determinan intra-organismic atau kaitan intra-organismic dengan faktor sosial. Dengan radikal, Vygotsky mengatakan yang sebaliknya bahwa fenomena psikologi berasal dari relasi sosial. Mengapa perspektif Vygotsky begitu berbeda dengan kebanyakan ahli psikologi pada jamannya?
Vygotsky lahir pada 1896, tahun yang sama dengan kelahiran Piaget. Vygotsky mashyur sebagai orang yang memiliki cakupan minat yang luas, secara khusus dalam bidang filsafat, sastra, dan budaya. Pada level sarjana, Vygotsky menyelesaikan kuliah dalam jurusan hukum ketika Revolusi Oktober berlangsung di Rusia pada 1917. Berbeda dengan jurusan awalnya, ketika disertasi Vygotsky justru mengerjakan psikologi seni. Setelah lulus doktoral, Vygotsky kemudian mengajar dan mencipta karya sastra, hingga pada akhirnya menjadi pemikir dalam perkembangan dan pedagogi. Pada usia 24 tahun, ia menderita TBC dan membuatnya sakit-sakitan hingga meninggal pada usia 37 tahun. Meskipun demikian, Vygotsky dikenal sebagai ahli teori Marxist terkemuka di antara pemikir psikologi Soviet pasca-revolusi. Pertanyaan utama Vygotsky adalah: Apa bentuk aktivitas baru yang mampu membangun tenaga kerja sebagai cara atau jalan untuk menghubungkan manusia dengan alam serta bagaimana konsekuensi psikologis dari aktivitas tersebut? Apabila diperhatikan, pertanyaan tersebut kental dengan nuansa pendekatan Marxian.
Karya-karya Vygotsky berfokus pada kaum marjinal seperti mereka yang buta huruf, isu etnis, atau kelompok yang disingkirkan dalam partisipasi masyarakat. Posisionalitas penelitian tersebut tidak terlepas dari kecemerlangan Vygotsky sebagai pemikir yang berasal dari aktivitas revolusionernya. Karya-karyanya memanfaatkan — bahkan memperbaharui — semiotika, linguistik, dan budaya Rusia; filsafat Jerman; pedagogi dan psikologi Eropa dan Amerika; Marx dan Engels; konflik antar-intelektual, politik, ekonomi, budaya dan kontradiksi negara sosialis baru.
Vygotsky menjadi tokoh penting yang diakui pada 1920-an dan 1930-an oleh sekelompok sarjana Soviet yang dengan penuh semangat mengejar pembangunan psikologi baru untuk melayani apa yang diharapkan akan menjadi jenis masyarakat baru yang tanpa kelas dan eksploitasi (Ratner, 1998). Minatnya ini bermula dari keyakinan bahwa sosialisme dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Bagi Vygotsky, transformasi revolusioner masyarakat memerlukan perubahan kondisi material (produksi, standar hidup, dan kesempatan ekonomi), hubungan sosial, akses pendidikan, serta kapabilitas kognitif dan psikologis. Namun, belum pula jenis masyarakat baru (tanpa kelas) ini terwujud, Josef Stalin (1878-1953) — yang naik ke tampuk kekuasaan Uni Soviet pada 1920an hingga 1950an — dengan lekas memberangus tiap upaya kreatif dan segala eksperimentasi terkait masyarakat; politik, seni, budaya, keilmuan, keluarga, pendidikan, juga kerja. Karena itu pulalah Vygotsky dengan terang menolak program-program Stalin (Ratner, 2006).
Usia pendek, pemerintahan Stalin, dan tulisannya dalam bahasa Rusia membuat berbagai karya Vygotsky tidak banyak dikenal dalam lingkup internasional. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, pengenalan terhadap karya-karya bahasa di luar Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris mulai berlangsung. Pada 1962, buku Piaget berjudul The Language and Thought of the Child pertama kali terbit dalam bahasa Inggris, yang disadur dari teks berbahasa Perancis berjudul Le Langage et la pensée chez l’enfant (1923). Pada 1978, ketika Mind and Society-nya diterbitkan dalam bahasa Inggris, barulah Vygotsky mulai dipertimbangkan dalam bidang keilmuan level internasional.
Popularitas gagasan Piaget dan Vygotsky tidak terlepas dari berkembangnya psikolinguistik dan sosiolinguistik pada 1960-1970an yang dipicu oleh gagasan Noam Chomsky tentang bahasa dan tata bahasa pada 1950an. Alhasil, penelusuran bahasa dan bagaimana bahasa diapropriasi selama rentang perkembangan manusia menjadi pembicaraan publik intelektual. Dalam konteks jaman kala itu, disiplin ilmu sosial-humaniora mulai memasukkan bahasa sebagai perkara penting (disebut masa turn to language atau palingan bahasa). Sebagai contoh adalah psikoanalisis Perancis yang digawangi Jacques Lacan, mengatakan bahwa “ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa” (Lacan, 1966/2006) atau filsuf Inggris John Langshaw Austin yang terkenal dengan tulisannya terkait “bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata” (Austin, 1962/2011).
Newman dan Holzman (1993) menuliskan bahwa apa yang juga membuat Vygotsky lebih menarik di tahun 1970-an dan 1980-an daripada di awal 60-an adalah perubahan sosial-politik yang terjadi di lembaga penelitian sains manusia. Pada masa tersebut dan dalam skala global, atau secara khusus konteks Amerika, area “terapan” dari ilmu sosial (misal perkembangan anak, pembelajaran dan pengajaran, membaca dan melek huruf) dianggap memiliki status yang lebih rendah daripada area ilmu “murni”. Dengan kegagalan “Perang Melawan Kemiskinan” yang diinisiasi oleh Presiden Lyndon Johnson, pemerintah Amerika membuat pengurangan besar dalam dana penelitian. Banyak ilmuwan sosial yang sebelumnya “murni” dalam bidang psikologi, antropologi, sosiologi, dan linguistik terpaksa mengalihkan perhatian mereka ke bidang terapan untuk melanjutkan karier. Banyak juga yang benar-benar prihatin dengan masalah sosial yang parah pada masa itu, terutama dampak kemiskinan dan rasisme terhadap kegagalan pendidikan dan peran komunikasi dalam perkembangan sosial dan kognitif serta keterbelakangan. Muncul optimisme di antara beberapa sarjana bahwa psikologi yang lebih sosial dan relevan secara sosial dapat berkontribusi untuk mengurangi, jika tidak mungkin untuk menghilangkan, “penyakit sosial” dan ketidakadilan.
Lantas, bagaimana gagasan Vygotsky ini kemudian diterjemahkan oleh khalayak psikologi? Menyitir gagasan Vygotsky, Aleksei N. Leontiev (1903-1979), dan Alexander Luria (1902-1917); Ratner (2006) menuliskan bahwa struktur aktivitas mental berubah seiring perkembangan manusia (historisitas). Perkembangan kultural perilaku, isi dan bentuk pikiran, mekanisme, fungsi, operasi, dan metode aktivitas terus tumbuh — dengan kata lain, fungsi mental yang lebih tinggi merupakan produk perkembangan sejarah manusia. Gagasan tersebut tentu saja tidak asing, sebab Vygotsky memang mendasarkan diri pada gagasan Marx terkait materialisme historis yang kira-kira memiliki diktum: “bukan kesadaran yang menentukan aktivitas manusia, melainkan aktivitas yang menentukan kesadaran” (Fromm, 1961/2004). Gagasan Marx menyumbang banyak dalam hal bagaimana cara orang bertahan dan mengisi hidup yang terorganisasi secara sosial dan lewat bermacam institusi, artifak, dan konsep dalam masyarakat (Ratner, 2006). Artinya, bukan sekadar manusia ditentukan oleh dunia dan produknya, tetapi manusia memproduksi dan diproduksi oleh produknya sendiri.
Dari gagasan terkait materialisme historis tersebut, Vygotsky dikenal sebagai tokoh psikologi yang mengembangkan psikologi dengan pendekatan kultural-historis (cultural-historical approach). Pada masa pemerintahan Stalin, Vygotsky terkenal dengan upaya radikalnya untuk melakukan reformasi masyarakat guna peningkatan kualitas hidup material maupun psikologis setiap manusia. Ia meyakini bahwa pembebasan manusia dari segala opresi akan membebaskan pula perkembangan kepribadian manusia. Agaknya, yang dimaksud Vygotsky di sini mirip dengan gagasan Theodor W. Adorno (1903-1969) soal kepribadian otoriter yang berkembang selama kekuasaan Hitler di Jerman. Menurut Adorno, Frenkel-Brensik, Levinson, dan Sanford (1950/2019) pada masa Hitler berkembang kepribadian otoriter yang berupa konvensionalisme, tunduk terhadap otoritas, agresi otoriter, anti-intelektualisme, anti-intrasepsi (mengamati emosi diri), takhayul dan stereotipikal, mendambakan kekuasaan dan keras, destruktif dan sinis, suka berproyeksi, serta melebih-lebihkan perkara seks. Adorno menyumbang besar dalam analisisnya betapa kondisi sosial, historis, dan politik menentukan dominasi kepribadian tertentu. Pun demikian dengan Vygotsky yang menempatkan arena sosial sebagai determinan kepribadian.
Para pengikut Vygotsky, kemudian meneruskan gagasan Vygotsky dengan usaha untuk membuatnya lebih general dan bisa diterapkan dalam konteks yang berbeda sehingga bisa diidentifikasi properti psikologi manusia beserta tindakannya. Vygotskian ini dikenal dengan sebutan para teoretisi aktivitas (activity theorists). Mereka berupaya untuk mempertimbangkan hubungan antara kebutuhan, motif, tujuan, dan tindakan. Sebisa mungkin, mereka menekankan bahwa aktivitas merupakan integrasi antara subyektivitas dengan obyektivitas. Namun, di sisi lain, para teoretisi ini justru mengabaikan kehidupan sosial yang konkrit dan fitur historis-kultural dari sebuah fenomena psikologis. Yang paling sering dikembangkan oleh para teoretisi aktivitas adalah zone of proximal development (ZPD), secara khusus dalam teknik pedagogi di ruang kelas. ZPD merupakan kondisi yang menggambarkan perbedaan antara apa yang bisa dilakukan pembelajar (peserta-didik) tanpa bantuan dan apa yang bisa dilakukan dengan bantuan orang lain (pendidik). Dalam praktiknya, seringkali ZPD ini dipahami dengan sangat naif dan menafikan kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan secara konkret. Persoalan relasi-kuasa antara pendidik dengan peserta-didik, kondisi kerja pendidik, hubungan sosial pendidik dengan peserta-didik, hubungan antara peserta-didik dengan manajemen sekolah, atau hubungan antar-peserta-didik tidak lagi menjadi hal penting untuk diperhatikan. Hal-hal lain seperti infrastruktur pendidikan, komersialisasi sekolah, media yang sering dikunjungi peserta-didik, peluang kerja, atau sistem kerja yang tidak adil tidak lagi menjadi bahasan penting dalam alam pikir para Vygotskian tersebut (Ratner, 1998).
Menurut Vygotsky, fenomena psikologis bersifat sosial dalam dua hal: pertama tergantung pada pengalaman sosial dan perlakuan, serta kedua terwujud dalam artifak kultural. Misalnya, ketika seseorang marah, orang tersebut menginterpretasikan bahwa ada porang lainnya yang secara sengaja membuatnya terancam. Kesengajaan membuat terancam ini adalah konstruk sosial. Namun, ada pula masyarakat yang tidak mengenal konstruk tersebut, dan menginterpretasi tindakan mengancam sebagai nasib atau kehendak Tuhan. Karena interptretasi tersebut, maka kemarahan tidak dibebankan kepada si pembuat keterancaman.
Ratner (1998) menyatakan bahwa kedekatan Vygotsky dengan cara pandang sosialisme membuatnya menjadi lebih peka terhadap kondisi sosial yang memengaruhi psikologi seseorang. Menurut Vygotsky, tidak ada psikologi lain yang bisa dikatakan sebagai psikologi kalau tidak menggunakan pendekatan Marxist. Apa yang disampaikan Vygotsky ini akan kita bahas lebih jauh dalam bagian selanjutnya, yakni karakter kultural-sosial-hitoris dari fenomena psikologi.
Karakter Kultural-Sosial-Historis ala Vygotsky
Secara khusus, Vygotsky menyebut bahwa fenomena psikologis bersifat sosio-genesis (Ratner, 1998). Sosio-genesis berarti fenomena psikologis diorganisasikan oleh proses kultural yang melibatkan proses biologis. Dalam masa awal hidup, seorang bayi akan melakukan proses dasar berperilaku (behaviors elementary processes). Pada masa ini, anak tidak berpikir mengenai dunianya, ia hanya berperilaku untuk merespon stimulus dari luar. Perilaku yang ditampilkan misalnya dalam wujud tersenyum, menggenggam, atau menangis. Dengan kata lain, pada tahap atau masa ini, belum muncul keterlibatan dengan konten pengalaman. Pada masa selanjutnya, si anak mulai bisa memisahkan antara dirinya dengan dunia sekitar. Kesadaran akan keterpisahannya dengan dunia ini membawa pemahaman, interpretasi, antisipasi terhadap stimulus kemudian menentukan bagaimana respon psikologis terhadap stimulus. Apabila dalam sekolah menggunakan artifak budaya seperti tulisan, maka hal tersebut berfungsi untuk mengorganisasikan perilaku peserta-didik.
Secara biologis, perubahan dalam otak manusia terjadi dari proses dasar menjadi proses yang membutuhkan taraf psikologis yang lebih tinggi. Perubahan dalam korteks otak terjadi dengan adanya stimulasi dari pengalaman dan hubungan sosial. Hal tersebut juga terjadi dalam kerja memori secara mnemonic dalam bentuk asosiasi simbolik dan pengingat. Apabila diperhatikan, seorang anak kecil akan cenderung mudah melupakan sesuatu. Namun, seiring perjalanan menuju dewasa, kita akan mengamati bahwa cara mengingat seseorang berkembang lebih kompleks. Misalnya, kita hendak mencari sebuah judul lagu, tetapi semakin coba untuk mengingat judulnya, maka kita hanya akan menjadi semakin lupa. Lalu kita ingat bahwa si penyanyi berasal dari Belgia. Kita kemudian menelusuri lagu dengan genre yang kita dengar dengan membatasi asal grup musik yang menyanyikan lagu tersebut. Akhirnya, kita bisa menemukan judul lagu sekaligus nama grup musik yang menyanyikan lagu yang kita cari. Contoh lain dari cara kita mengingat ini adalah ketika kita membaca buku lalu menandai sebuah kalimat yang menurut kita penting dengan pulpen warna merah. Namun, mengapa warna merah? Hal tersebut hanya bisa dijawab secara kultural-historis.
Dalam tulisannya bersama Luria, Vygotsky menunjukkan bahwa pada kenyataannya, manusia memiliki fitur biologis yang identik (Vygotsky & Luria, 1930/1993; Ratner, 1998). Padahal, fenomena psikologis yang dialami tiap orang dengan konteksnya menunjukkan perbedaan pola atau struktur pengalaman. Karena itu, untuk mengatakan bahwa fenomena psikologis ditentukan secara ketat oleh proses biologis adalah tak mungkin. Kita bisa mengambil contoh saat jatuh cinta. Mengapa saat jatuh cinta kita tertarik kepada orang tertentu dan bukan yang lainnya? Apa yang menyebabkan ketertarikan kita itu muncul? Apakah karena dopamin, norepinefrin, atau serotonin diproduksi? Pertanyaan lebih lanjut, mengapa ketiga hormon tersebut diproduksi ketika kita melihat seseorang yang kita cintai dan tidak muncul kepada orang lain? Dalam hal ini, psikologi Vygotsky memiliki kemiripan dengan gagasan B.F. Skinner (1904-1990) soal menjadikan seseorang dan kehidupan intrapsikisnya sebagai pusat dari perilaku. Baik Skinner maupun Vygotsky berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh rangsangan dari luar yang kemudian ditanggapi dengan respon tertentu. Namun, dalam hal berbahasa, keduanya berbeda. Apabila Skinner mengatakan bahwa bahasa dipelajari, maka Vygotsky lebih memandang bahasa sebagai alat kebudayaan yang dipelajari sekaligus dikembangkan.
Lalu bagaimana perbedaan pandangan Piaget dengan Vygotsky? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita akan menilik beberapa kritik terhadap Piaget. Setelah melihat kritik terhadap Piaget, kita akan diantar untuk secara lebih spesifik melihat bagaimana Vygotsky mencermati gagasan-gagasan Piaget.
Beberapa Kritik terhadap Piaget
Smith (2011) menuliskan bahwa ada empat kritik utama yang diarahkan ke Piaget. Pertama adalah anak atau manusia diposisikan Piaget sebagai makhluk yang bisa mengetahui dengan sendirinya (the solitary knower in a physical world). Kedua, bahwa pengalaman empiris berarti mengandaikan adanya pengalaman sosial (empirical under-determination of social experience). Ketiga, terdapat kecacatan norma epistemologis dari gagasan Piaget. Keempat, terdapat alternatif terhadap teori Piaget, secara khusus gagasan Vygotsky. Keempat kritik terhadap Piaget diarahkan pada gagasan individualisme Cartesian (Cartesian individualism) yang menyingkirkan kondisi sosial dan peran intersubyektif dalam masyarakat.
Meskipun demikian, kritik ini muncul dari interpretasi terhadap Piaget yang dilakukan untuk menyederhanakan gagasan developmentalisme. Piaget menjadi tokoh perkembangan yang sering dikutip dalam perkembangan anak. Sayangnya, pengutipan Piaget ini jarang menyebut studi sosiologis yang dilakukan Piaget. Dalam studi sosiologis, Piaget berargumen bahwa pemerolehan pengetahuan didasarkan pada dua komponen yang saling tergantung. Komponen pertama adalah psiko-sosial yang kira-kira diwakili dengan pertanyaan: Apa kontribusi pengalaman terhadap asal-mula pengetahuan? Lalu komponen kedua adalah epistemologis: Bagaimana pengalaman menyumbang legitimasi pengetahuan dengan membuatnya berhasil dan diterima secara rasional?
Dalam studi sosiologis, Piaget (1965/2011) menyajikan beberapa tema berikut: (1) tindakan sebagai unit analisis, (2) problem kesesuaian, (3) otonomi intelektual, (4) level perkembangan dalam pengetahuan universal, (5) model pertukaran, dan (6) intervensi normatif. Berbeda dengan representasi (ilmu kognitif) dan praktik (sosiologi), tindakan beroperasi atas dasar logika koordinasi tindakan (logic of action coordination) level psikologi dan sosial. Entah kelompok, masyarakat, angka, alfabet, atau pohon, semua beroperasi dalam logika koordinasi tindakan.
Logika koordinasi tindakan berimplikasi pada dua hal (Smith, 2011). Pertama adalah kesesuaian antara subjek dengan objek (S-O match). Sistem logika mana yang digunakan dalam tindakan subjek terkait dengan objek fisik, sosial, dan abstrak? Apa yang menjadi hal penting dalam problem relasi subjek-objek ini adalah rekonsiliasi antara diri dengan hukum, aspirasi manusia, afeksi, dan afirmasi dengan sistem norma. Kedua adalah hubungan antara subjek dengan subjek (S-S match). Pertanyaan dalam S-S match adalah: Seberapa jauh logika digunakan oleh individu tertentu dan digunakan individu lainnya? Problem antar-subjek ini yang menjadi fokus dalam pendidikan. Di ruang pendidikan, kita menemui transmisi pengetahuan. Pengetahuan menjadi proses sosialisasi (transmisi kultural) dan juga kreativitas (penciptaan pengetahuan baru). Oleh karena itu, ketika menyebut transmisi dalam gagasan Piaget, bisa jadi dimaksudkan bukan sekadar rekonsktruksi, atau replikasi dari sistem nilai, tetapi juga kebaruan pengetahuan.
Selain itu, Smith (2011) menuliskan bahwa dalam tema otonomi intelektual, Piaget menunjukkan dua ciri pertukaran, yakni bisa koersif atau menciptakan otonomi. Proses koersif yang dimaksud Piaget bisa tampil dalam tekanan afektif dari keluarga, sekolah, atau lingkungan; anggapan tak pantas ketika melanggar tradisi dan otoritas; atau paksaan atas ideologi tertentu. Koersi menjadi tidak mungkin diurai apabila kehadirannya tidak disadari dan tidak terdeteksi. Apabila tidak terdeteksi, maka hasilnya adalah heteronomi (penundukan ke hal lain di luar diri) kehendak, apabila disadari maka memungkinkan otonomi kehendak. Manusia memiliki akses terhadap gagasan, aturan, dan tanda-tanda, tetapi tiap orang memiliki perbedaan kuasa atau akses untuk mencapainya. Piaget menunjukkan bahwa pendidikan merupakan relasi antara nilai-nilai (intelektual, moral, sosial) di bawah tanggung-jawab pendidik dengan akal individual dari para pembelajar. Pendidik memiliki ketersediaan akses pengetahuan yang mana pengetahuan ini menjadi sistem yang mendominasi dan berada dalam arena kompleksitas keyakinan, ideologi, intelektual, maupun pedagogi. Sementara itu, pembelajar memiliki kecenderungan akan penguasaan dan intelektual dan afektif. Dalam sistem relasi tersebut, pertukaran rasional yang berhasil mesti terarah pada kebenaran, alih-alih pada konformitas dan tradisi gerontokratik. Aktivitas intelektual memerlukan individu untuk berpikir melampaui, memikirkan-ulang, dan secara kolektif ditransmisikan, bukan sekadar menempatkan pembelajar sebagai penerima pasif warisan generasi si pendidik atau generasinya.
Sementara itu, dalam level perkembangan asal-usul pengetahuan, Piaget menggagas 3 level perkembangan yang strukturnya menyeluruh (over-arching structure), yakni sensori-motorik, pra-operasional, dan operasional. Struktur tersebut universal tetapi tidak bisa digeneralisasikan ke seluruh populasi. Mengapa demikian? Pertama adalah pemahaman bahwa diri merupakan rangkaian kecenderungan intelektual dan afektif. Kedua adalah kepribadian yang terkait dengan kuasa produktif hasil sintesis norma dan konsep kolektif. Keduanya menentukan kecenderungan egosentris dan sosiosentris individu. Meskipun secara empiris berbeda, tetapi Piaget berpendapat bahwa struktur ini menjadi dasar perkembangan epistemik subyek. Mekanisme perkembangan memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan universal. Sebagai contoh pengetahuan universal adalah sistem geometri seperti segitiga memiliki tiga sudut atau manusia bernafas dengan oksigen.
Selanjutnya, dalam model pertukaran (exchange model), Piaget mengklaim bahwa interaksi yang berhasil tergantung pada pertukaran nilai yang berwujud aturan, tanda, dan konsep. Model tersebut menunjukkan bahwa gagasan Piaget mensyaratkan pertukaran rasional terjadi dalam perjumpaan psiko-sosial. Sayangnya, pertukaran rasional ini terjadi dalam kondisi yang sangat individual, artinya penekanan pada proses individual mengambil jatah utama dan mengandaikan bahwa manusia adalah makhluk rasional belaka.
Kritik Vygotsky terhadap Piaget
Dalam kacamata psikologi atau biologi evolusioner, tahap operasional formal dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Padahal, yang terjadi tidak demikian. Kemampuan operasional formal bukanlah tahapan yang secara natural muncul dalam tahapan perkembangan. Kemampuan dalam operasional formal diperoleh dengan usaha dan seringkali membutuhkan instruksi. Sebagai contoh, kapasitas membaca dan menulis seseorang tidak serta-merta melekat pada keahlian seseorang, melainkan sesuatu yang dilatih terus-menerus. Dalam proses pelatihan terus-menerus ini, sekolah menjadi ruang untuk menginternalisasi kemampuan dan kecakapan. Sekolah merupakan cara untuk menciptakan dan memperkembangkan apa yang tadinya dianggap “buruk” dalam mental seseorang (Pinker, 2002).
Perhatian Pinker (2002), yang terpusat pada mengubah apa yang ada di dalam diri manusia, pada akhirnya menempatkan anak untuk menekankan pada pentingnya faktor ekstrinsik dalam belajar. Pada awal sekolah (atau pra-sekolah), seorang anak termotivasi secara intrinsik dan penasaran dengan segala hal. Pengajar hanya membutuhkan sedikit upaya untuk memfasilitasi kelas. Namun, seiring berjalannya waktu motivasi intrinsik tersebut berubah menjadi ekstrinsik. Dalam surveinya, Pulaski (1971) menemukan bahwa alasan paling umum para siswa berusaha keras selama di sekolah adalah mendapatkan nilai bagus untuk masuk ke jenjang selanjutnya, misalnya perguruan tinggi. Oleh karena itu, minat yang tulus untuk mempelajari materi tidak lagi menjadi norma dominan dalam bersekolah. Dengan demikian, terlepas dari apa yang diinginkan orang tua dan guru, motivasi intrinsik memainkan peran yang relatif kecil dalam memotivasi kinerja siswa di masa remaja dan seterusnya.
Baik Piaget maupun Vygotsky adalah para pembaca Marx dan mendasarkan pemikiran pada gagasan Marx. Namun, ada dua hal yang kemudian menjadi celah pemikiran Piaget dari sudut pandang Marxian. Pertama, dalam konsep ekulibrasi, Piaget menempatkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan adalah keseimbangan. Tentu saja, hal tersebut berkebalikan dengan konsep materialisme dialektik yang melihat bahwa kehidupan manusia berdasar pada kontradiksi — yang menjadi asumsi dasar Marx. Kedua, penekanan Piaget pada subyek-yang-mengetahui justru menekankan pada pentingnya manusia sebagai penentu eksis atau tidaknya suatu obyek di sekitarnya. Hal ini berkebalikan dengan metodologi Marx yang dikenal dengan materialisme historis, yang meyakini bahwa fenomena sosial merupakan hasil dari kondisi material.
Secara khusus Vygotsky memberikan kritik terhadap Piaget dalam masa perkembangan anak sebelum usia 7 atau 8 tahun (Ratner, 1991). Menurut Piaget, mental anak (juga manusia) cenderung digerakkan oleh mekanisme biologis. Piaget juga menyampaikan bahwa pada dasarnya proses kognitif bersifat egotistik dan anti-sosial. Relasi sosial menjadi penentu kehidupan dan fenomena psikologis setelah si anak memasuki tahapan operasional konkrit. Ketika memasuki dunia sosial (sosialisasi), skema anak akan dihadapkan pada proses adaptasi. Dalam proses adaptasi, berlangsung beberapa proses seperti asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi berarti menggunakan skema yang telah ada untuk berhadapan dengan situasi baru. Dalam akomodasi, skema yang dimiliki tidak bekerja dan butuh untuk diubah sesuai dengan obyek atau situasi baru. Sementara itu, dalam ekuilibrasi, skema diubah melalui respon terhadap asimilasi atau akomodasi. Yang kemudian dipersoalkan Vygotsky adalah terkait tahap awal seorang anak masuk ke dalam sosialisasi. Menurut Vygotsky, pada usia 2 tahun si anak telah mulai berpartisipasi dalam hubungan sosial. Oleh karena itu, Vygotsky melihat bahwa anak pada dasarnya bersifat sosial, bukan anti-sosial.
Vygotsky juga memperlebar definisi mengenai komunikasi. Bagi Piaget, interaksi sosial merupakan komunikasi yang murni (pure communication) (Ratner, 1998). Namun, Vygotsky menyangkal dengan mengatakan bahwa interaksi sosial juga mewujud dalam praktik komunikasi lewat bekerja, sekolah, atau hidup sesuai norma dalam masyarakat (tertentu). Karenanya, menurut Vygotsky, konteks aktivitas sosial di mana si anak hidup menentukan psikologi seseorang. Vygotsky mengklaim bahwa Piaget menempatkan anak terisolasi dari realitas sekitar dan menekankan pada proses komunikasi dan interaksi yang terjadi dalam diri si anak atau intra-individual.
Kritik Vygotsky terhadap Piaget selanjutnya adalah terkait agensi. Ratner (1998) menyatakan bahwa Vygotsky tidak menekankan pendekatan sosio-historisnya akan mempopulerkan determinisme mekanis, sebagaimana Skinner mencetuskan soal penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Sama dengan Piaget, Vygotsky melihat bahwa anak adalah pembelajar aktif. Meskipun fenomena psikologis tertentukan secara sosial, tetapi individu berpikir, mengevaluasi, menganalisis, melakukan sintesis, mengabstraksi, dan memilih pengaruh sosial tertentu. Vygotsky menyatakan bahwa penciptaan makna, konstruksi, kondisi, institusi, konsep, dan artefak baru; berangkat dari realitas yang telah ada sebelumnya. Misal gagasan privilese yang akhir-akhir ini ramai dalam media sosial. Dalam kacamata Vygotskian, fenomena ini akan dilihat bahwa awal-mulanya berlangsung amatan-amatan terkait mengapa seseorang tertentu dapat melakukan (memiliki akses) atau memiliki sesuatu sementara orang lainnya tidak. Atau misalnya terkait homoseksual yang berangkat dari penolakan terhadap dominasi norma heteroseksual. Lantas, dari gagasan Vygotsky kita bisa berkesimpulan bahwa agensi (atau subyektivitas individual) muncul dari/dalam momen aktivitas sosial.
Apa yang disampaikan Vygotsky dan kritik-kritiknya terhadap Piaget membawa kita dalam cakrawala yang lebih luas. Karena fenomena psikologis ditentukan oleh aktivitas sosial, kita bisa membayangkan bahwa apa yang baru-baru ini menjadi ramai dalam pembicaraan publik, yakni pelecehan seksual dan rasisme, bukan sekadar karena orang Indonesia melihat bahwa terjadi ketidakadilan dalam ruang pendidikan, keagamaan, atau politik nasional. Pertama-tama, perlu dilihat dalam konteks lebih luas lagi bahwa isu tersebut merupakan isu global yang menjadi concern para ahli, akademisi, jurnalis, atau seniman dalam lingkup internasional. Seseorang belajar dan melihat bahwa kesadaran dan wacana yang muncul berasal dari satu tempat yang secara geografis amat jauh dari Indonesia. Melihat isu global tersebut, sikap seseorang terhadap pelecehan dan rasisme yang terjadi dalam konteks Indonesia menjadi berbeda — terjadi transformasi kesadaran. Kita disuntik informasi dan isu mengenai kedua perkara tersebut untuk kemudian turut pula memperkarakan institusi, konsep budaya, maupun artefak (lihat Ratner, 2006) yang seringkali muncul, bahkan mendukung, kasus pelecehan seksual atau rasisme. Ada di antara kita yang mengutuk bahkan menjadi benci dengan bagaimana hal-hal termaksud disikapi dalam konteks kebangsaan kita. Dalam hal ini, Vygotsky (1978) sama sekali tidak keliru bahwa “lewat orang lain, kita menjadi diri kita sendiri.”
Daftar Acuan
Adorno, T.W, Frenkel-Brenswik, E., Levinson, D.J. & Sanford, R.N. (1950/2019). The authoritarian personality. London: Verso.
Austin, J.L. (1962/2011). How to do things with words. Oxford: Clarendon Press.
Babakr, Z.H., Mohamedamin, P., & Kakamad, K. (2019). Piaget’s cognitive developmental theory: Critical Review. Education Quarterly Reviews, 2(3), hlm. 517-524.
Backscheider, A. G., Shatz, M., & Gelman, S.A. (1993). Preschoolers’ ability to distinguish living kinds as a function of regrowth. Child Development, 64, hlm. 1242–1257. https://doi.org/10.2307/1131337
Baillargeon, R., Li, J., Gertner, Y., & Wu, D. (2011). How do infants reason about physical events? Dalam U. Goswami (Ed.), The Wiley-Blackwell handbook of childhood cognitive development (hlm. 11–48). Wiley-Blackwell.
Fromm, E. (1961/2004). Marx’s concept of man. London & New York: Continuum.
Genovese, J. E. C. (2003). Piaget, Pedagogy, and Evolutionary Psychology. Evolutionary Psychology. https://doi.org/10.1177/147470490300100109
Lacan, J. (1966/2006). Ecrits (Penerj. Bruce Fink). New York: W.W. Norton & Company.
Newcombe, N., & Huttenlocher, J. (1992). Children’s early ability to solve perspective-taking problems. Developmental Psychology, 28(4), hlm. 635–643. https://doi.org/10.1037/0012-1649.28.4.635
Newman, F. & Holzman, L. (1993). Lev Vygotsky: Revolutionary scientist. London & New York: Routledge.
Piaget, J. (1965/1991). Sociological studies. London & New York: Routledge.
Pinker, S. (2002). The blank slate: The modern denial of human nature. New York: Viking.
Pulaski, M. A. S. (1971). Understanding Piaget: An introduction to children’s cognitive development. New York: Harper and Row, Publishers.
Ratner, C. (1991). Vygotsky’s sociohistorical psychology and its contemporary applications. New York: Plenum.
Ratner, C. (1998). Historical and contemporary significance of Vygotsky’s sociohistorical psychology. In R. W. Rieber & K. Salzinger (Eds.), Psychology: Theoretical-historical perspectives (hlm. 455–473). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10276-018
Ratner, C. (2006). Cultural psychology: A perspective on psychological functioning and social reform. New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Smith, L. (2011). Introduction to Piaget’s sociological studies. Dalam J. Piaget, Sociological studies (hlm.1-22). London & New York: Routledge.
Steinberg, L. (1996). Beyond the classroom: Why school reform has failed and what parents need to do. New York: Simon and Schuster.
Vygotsky, L. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge: Harvard University Press.
Vygotsky, L., & Luria, A. (1993). Studies on the history of behavior: Ape, primitive, and child. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.