Sebagaimana disinggung sebelumnya, praktik hidup sehari-hari (practice of everyday life) menjadi bagian yang justru luput dibahas dalam psikologi. Dengan obsesi terhadap konstruk psikologis tertentu, misalnya self-control, resilience, atau subjective well-being; sebagian besar penelitian psikologi berbicara mengenai bagian kecil atau fragmen dari pengalaman hidup dan bukan pengalaman hidup itu sendiri. Akibatnya, kompleksitas pengalaman individual atau subyek bukan menjadi perkara penting untuk dibicarakan. Pengalaman sehari-hari yang dimaksud dalam hal ini bukan soal apa yang dibicarakan Windelband sebagai nomothetic dan idiographic (Lamiell, 1998). Ketika berbicara mengenai pengalaman hidup, orang cenderung terjatuh dalam unsur idiographic, pengalaman individual yang unik. Dalam psikologi dialektik-materialis, pengalaman hidup merupakan sesuatu yang tersituasikan dalam rentang historis, bersifat sosio-kultural. Oleh karenanya, pengalaman hidup hanya berarti pengalaman hidup yang di/tersituasikan (situated lived-experience).
Satu hal yang penting dalam konteks kapitalisme adalah bahwa kehidupan personal dalam kapitalisme tak lagi personal belaka. Kapitalisme membentuk masyarakat yang teradministrasi (administered society). Kita seakan-akan didorong untuk mempraktikkan kehendak bebas kita dan membuat pilihan individu yang bermakna terkait kehidupan kita. Bagaimana contohnya? Ambillah contoh mengenai hedonisme. Apa yang disebut sebagai hedonisme merupakan praktik hidup sehari-hari yang dimungkinkan dengan hadirnya kapitalisme. Kapitalisme menciptakan masyarakat konsumsi dan hedonisme merupakan istilah yang muncul dalam masyarakat konsumsi. Dalam pemahaman ini, ketika kita mengatakan seorang hedonis, berarti kita menyebut bahwa orang tersebut mempraktikkan hidup untuk mengonsumsi; “Aku mengonsumsi maka aku ada”. Kamus Merriam-Webster mencatat bahwa istilah ‘hedonisme’ berasal dari bahasa Yunani hēdonē (pleasure) dan digunakan di Inggris pada 1856, pada abad di mana revolusi industri yang melahirkan kapitalisme tengah berlangsung.
Menurut cara pandang psikologi sosial, mengapa muncul gaya hidup hedonis? Pertanyaannya bisa diperlengkap dengan; psikologi sosial yang mana dulu? Psikologi sosial butuh untuk dipahami dalam istilah social psychologies, alirannya banyak sekali. Psikologi dialektik-materialis secara khusus dipahami dalam kerangka sociological social psychology atau psikologi sosial yang memang memberi perhatian pada struktur masyarakat dan subyektivitas manusia. Psikologi dialektik-materialis kira-kira mengatakan bahwa hedonisme dimungkinkan muncul dalam masyarakat konsumsi yang lahir dari kapitalisme. Karenanya, untuk bicara soal hedonisme, pertama-tama kita mesti bicara kapitalisme. Kapitalisme menjadi sistem budaya yang dominan selama lima abad terakhir. Secara ringkas, kapitalisme merupakan sistem yang memungkinkan laba menjadi tujuan akhir. Persoalannya, laba ini tak pernah ada habisnya. Selalu meminta akumulasi lebih. Dorongan untuk memperoleh keuntungan yang lebih ini kemudian memunculkan sifat eksploitatif dari kapitalisme. Sifat eksploitatif yang bagaimana? Sifat eksploitatif tampil dalam cara seseorang memperlakukan orang lain maupun diri kita sendiri, sebagai implikasinya hubungan antarmanusia jadi transaksional belaka. Akibat lebih jauh, sisi afektif menjadi perkara yang dirindukan manusia (lack)dan dengan mudah soal afektif ini menjadi perkara yang menuntun manusia ke dalam persoalan eksistensial. Dalam kultur hedonis, kita seakan-akan diminta untuk terus memenuhi hasrat kita. Padahal yang namanya hasrat ini insatiable. Kita memeras diri kita sendiri supaya hasrat kita terpenuhi, dan nyatanya tidak pernah mungkin.
Selama kapitalisme menjadi sistem yang berkembang dalam masyarakat, maka selama itu pula hedonisme akan berlangsung. Pertanyaannya bukan lagi soal ada atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana hedonisme ini mengalami perubahan. Misalnya, hari ini kita menjadi hedonis karena kita merasa bersalah. Anda mengonsumsi banyak barang, anehnya Anda akan merasa bersalah karena terlalu banyak mengonsumsi. Ada semacam hukum yang merangkai hidup kita dan mengatakan bahwa banyak konsumsi menempatkan kita sebagai orang yang serakah, orang yang tidak bisa mengendalikan hasrat atau nafsu. Namun pada hari ini, yang aneh adalah kita mengatasi rasa bersalah ini dengan mengonsumsi lebih banyak. Kita menghendaki lepas dari jeratan konsumsi tapi tidak pernah bisa. Akhirnya muncul alternatif, Anda bisa mengonsumsi sembari membantu orang lain atau menunaikan tanggung jawab sosial. Di Indomaret, Anda bisa membeli banyak dan membayar rasa bersalah Anda dengan ‘Kembaliannya buat donasi boleh, Kak?’ Di Starbucks Anda bisa membeli kopi sambil membantu petani kopi di Sumatera lewat program ‘One Tree for Every 10 Cups’. Anda boleh-boleh saja merokok, asal rokoknya rendah nikotin dan membantu penghidupan petani tembakau. Bukankah ini berarti, “silakan mengonsumsi, tetapi ingatlah, jangan menjadi konsumen yang tidak bertanggung-jawab dengan dunia sekitar Anda”? Sekali lagi, mengonsumsi menjadi pemecahan atas rasa bersalah Anda terhadap dunia di sekitar kita.
Dalam dunia hedonis, kita diajak untuk terus-terusan menikmati sesuatu. Imperatif dalam proses menikmati ini adalah: “Anda mesti jadi orang yang bahagia, jangan lupa bahagia!” Apakah terus-menerus senang itu menyenangkan? Untuk mencukupi kebutuhan hedonistik, Anda mesti banyak-banyak kerja. Berapa banyak orang yang dibanjiri dengan pekerjaan dan kemudian bahagia? Kalau ada yang hilang dari kultur hedonis, maka adalah manusia itu sendiri. Dalam hubungan antarmanusia, keberadaan dan kondisi Anda ditentukan oleh produk yang bisa memuaskan Anda. Tak ada barang, kebahagiaan hilang.
Kalau secara etimologis, hēdonē (pleasure) juga diartikan ‘happiness’ oleh orang-orang berbahasa Inggris. Namun persoalan istilah berkembang dari waktu ke waktu. Apabila kita amati, yang disebut sebagai kebahagiaan di masa kini juga merupakan perwujudan dari hedonisme. Tidak sedikit orang yang tujuan hidupnya bahagia. Orang susah-susah mencari kebahagiaan. Karena terlalu bersemangat mencari kebahagiaan ini justru orang menjadi tidak bahagia (kehendak untuk bahagia). Persoalannya, lagi-lagi kita hidup di masyarakat konsumsi, kebahagiaan dijadikan industri.
Davies, dalam The Happiness Industry (2015), menunjukkan bahwa hari ini yang menjadi fokus bukan apa yang kita pikirkan atau kerjakan, tetapi apa yang kita rasakan. Masalahnya makin rumit, sebab apa yang kita rasakan ini ditempatkan dalam ranah yang sangat individual – kondisi mental yang sifatnya privat. Jadi, persoalan kebahagiaan ini sendiri mengalami perubahan. Kalau dalam etika pemikiran Aristoteles dan Aquinas hingga Hegel dan Marx, kebahagiaan hanya bisa tercapai dengan melihat kondisi material dan relasi antarmanusia. Artinya, kebahagiaan melekat dalam aktivitas yang terikat pada relasi sosial, terarah pada tujuan dan niat yang butuh untuk diinterpretasikan. Aristoteles mengatakan bahwa yang dinamakan kebahagiaan ini merupakan bentuk kesejahteraan, dan kesejahteraan hanya bisa dicapai lewat politik. Dalam hal ini politik diartikan bahwa apa yang kita lakukan berada dan menganut sistem keterhubungan antarmanusia. Gagasan kesejahteraan tersebut lah yang jarang secara serius dibicarakan oleh kebanyakan ahli psikologi, guru mindfulness, atau neuroscientist. Davies (2015) mengatakan bahwa persoalan afek atau sentimen manusia kini mengalami pengawasan dan kontrol dari sistem kapitalisme belakangan ini. Makanya, hari ini kita sering mendengar frase ‘jangan lupa bahagia’. Singkat kata, Anda mesti mengumpulkan laba sekaligus juga harus bahagia.
Davies (2015) mengelaborasi bahwa sejak abad ke-19, konsep kebahagian senantiasa dibicarakan sampai pada hari ini kita sering mendengar atau bahkan mengisi skala kebahagiaan. Kebahagiaan merentang dari pengalaman personal yang subyektif hingga fenomena obyektif yang dapat diukur. Masalah yang dimunculkan dengan kuantifikasi kebahagiaan ini adalah tidak adanya faktor obyektif yang bisa digunakan untuk mengukur emosi, sebab emosi sendiri bersifat subyektif. Kondisi ini memaksa para ahli psikologi untuk menggunakan unit lain yang “dirasa” mampu mengukur kebahagiaan seperti: uang dopamin, atau bahasa tubuh. Akibatnya, kebahagiaan ditempatkan dalam nilai guna; asal sesuatu membuat kita bahagia, maka produk tersebut baik adanya. Promosi kebahagiaan dari para ahli psikologi, pemerintah, atau korporat ini justru memunculkan persoalan kesehatan mental, alienasi, dan manipulasi oleh mereka yang berkepentingan membuat kita bahagia atau merasa sejahtera. Implikasi lebih jauh, emosi kita bisa dipermainkan dan orang menjadi abai terhadap persoalan yang lebih besar sehingga secara politis menjadi jinak. Pengukuran kebahagiaan sejak 1990an, dan didominasi dari psikologi positif, akhirnya berpotensi pada akhir yang tidak begitu membahagiakan: kalau Anda merasa tak bahagia, mungkin itu kesalahan Anda yang kurang bersyukur dan tak memiliki hati yang berkecukupan. Tidakkah hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi victim-blaming sekaligus pengabaian terhadap konteks yang menjadikan kita tidak bahagia? (Lihat Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3)
Daftar Acuan
Anugrah, I. (2013). Pelarangan Marxisme, Sebuah Kekonyolan Sejarah. Indoprogress. Diunduh pada 5 September 2020 dari https://indoprogress.com/2013/03/pelarangan-marxisme-sebuah-kekonyolan-sejarah/
Davies, W. (2015). The happiness industry. London: Verso.
De Vos, J. (2014) Psychologization. Dalam T. Teo (ed.), Encyclopedia of critical psychology. New York: Springer.
Elhammoumi, M. (2015). Marxist psychology and dialectical methods. Dalam I. Parker (ed.), Handbook of critical psychology. London & New York: Routledge.
Fromm, E. (1961/2004). Marx’s concept of man. London & New York: Continuum.
Wahid, A. (2018). Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil of 1950s-1960s. Archipel, 95, 31-52.
Hayes, G. (2004). Marxism and critical psychology. Dalam D. Hook (Ed.), Critical psychology (hlm. 162–186). Cape Town, South Africa: UCT Press.
Kagarlitsky, B. (2000). The twilight of globalization: Property, state, and capitalism. London: Pluto.
Komlosy, A. (2018). Work: The last 1000 years. London: Verso.
Lamiell, J. T. (1998). `Nomothetic’ and `Idiographic’: Contrasting Windelband’s Understanding with Contemporary Usage. Theory & Psychology, 8(1), 23-38. https://doi.org/10.1177/0959354398081002
Marx, K. (1867/1906). Capital: A critique of political economy. New York: The Modern Library.
Osborne, P. (2005). How to read Marx. New York & London: W.W. Norton & Company.
Teo, T. (2010). What is Epistemological Violence in the Empirical Social Sciences? Social and Personality Psychology Compass, 5(4), 295-303.
Wright, E.O. (2019). How to be an anticapitalist in the twenty-first century. London: Verso.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.