Teori

Sebuah Pengantar Singkat Menyoal Pedagogi Kritis

Dalam sebuah novela yang membuatnya terkenal, George Orwell menceritakan revolusi yang dilakukan di sebuah peternakan. Novela berjudul Animal Farms (1945/2015) tersebut menceritakan bahwa gagasan soal eksploitasi manusia terhadap binatang dimulai dari mimpi seekor babi tua bernama Major. Dalam mimpinya, Major menceritakan sebuah lagu pemersatu kaum binatang yang hendak melawan tirani manusia. Sayang, malang tak bisa ditolak, Major keburu meninggal sebelum melihat masa keemasan yang ia impikan jadi nyata. Di bawah pimpinan dua babi, yakni Napoleon dan Snowball, para binatang yang terdiri dari babi, kuda, domba, ayam, angsa dan binatang lain kemudian melakukan pemberontakan terhadap si pemilik peternakan, Pak Jones dan keluarganya. Akhirnya, Pak Jones berhasil diusir dari peternakan tersebut dan Napoleon, dengan kelicikannya, berhasil menjadi pemimpin serta membangun rezim baru dalam peternakan. Kisah yang terjadi selanjutnya sangat menarik, Napoleon mengorganisasi pemerintahannya dengan cara melakukan propaganda bahwa “kaki dua jahat [manusia], kaki empat baik”. Bahkan, pada akhirnya Napoleon meniru gaya Pak Jones dengan hidup di rumah Pak Jones dan mengenakan pakaian-pakaian Pak Jones. Mengapa Napoleon demikian? Apakah yang ingin disampaikan oleh novela fabel ini?

Apabila kita melihat konteks Indonesia, kita akan menemukan cerita-cerita demikian, yakni orang atau pemerintah yang meniru gaya kolonialis, untuk kemudian memiliki posisi seperti penjajah. Setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang, Indonesia masuk ke zaman yang dirayakan sebagai “kemerdekaan” atau pasca-kolonial. Soekarno naik ke tampuk pemerintahan dan menjalankan negara yang secara de jure eksis pada tahun 1949. Lewat peristiwa 1965, Soeharto menggantikan rezim Soekarno dan membuka sebuah era: Orde Baru. Pada awal Orde Baru, Indonesia membuka perekonomian yang pada 1960an oleh Soekarno ditutup sebagai ekspresi anti-Barat atau anti-imperialisme. Dipimpin oleh para begawan ekonomi (yang dikenal dengan nama Mafia Berkeley) seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin, Indonesia membuka lebar-lebar keran investasi asing. Indonesia kemudian mengembangkan perekonomian dengan gagasan developmentalisme. Gagasan developmentalisme ini segera memberi angin segar untuk rezim Orde Baru melakukan kontrol terhadap rakyat atas nama pembangunan. Lebih lanjut, muncul gagasan seperti pemberadaban kaum tertinggal atau membantu orang miskin. Imajinasi mengenai membangun suatu masyarakat yang diposisikan tertinggal inilah yang memiliki kesamaan dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Mengapa kecenderungan meniru atau seperti penjajah tersebut muncul?

Homi K. Bhabha (1994) menyebut fenomena tersebut sebagai mimikri (mimicry). Mimikri terjadi karena ada tegangan yang terbentuk secara ambivalen, ingin lepas dari jeratan kolonial tetapi tidak memiliki cukup kemampuan untuk melakukannya. Dalam temuan Bhabha, mimikri menjadi siasat orang-orang tertindas untuk melawan kekuasaan dan pengetahuan para penjajah. Contoh terbaik yang bisa didapati dalam konteks Indonesia adalah tokoh pergerakan nasional seperti Ki Hadjar Dewantara atau Hatta yang punya kapasitas berpikir dan berbicara layaknya penjajah, tetapi kemudian memanfaatkan kapasitasnya untuk membebaskan diri dari penjajahan. Sekalipun mimikri seringkali menjadi jalan untuk mencapai pembebasan, tetapi tidak menutup kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya. Dalam wacana kolonial, mimikri berdampak pada menormalisasi negara kolonial atau bahkan subjeknya (rakyat). Dengan kata lain, penguasa berpotensi menjadi penjajah.

Dalam tradisi pemikiran kritis di Psikologi, kita akan menemukan gagasan di atas pada bahasan Psikologi Pasca-kolonial (Postcolonial Psychology) atau Psikologi Pembebasan (Liberation Psychology). Sistem masyarakat menunjukkan hadirnya kontradiksi antara kelompok yang berkehendak untuk mempertahankan dominasi atau memperkuat identitasnya dengan kelompok yang memberikan tekanan-balik (baca: resistensi) dengan kehendak untuk berubah (will to change). Penting untuk dicatat, keberguliran sebuah sistem pemerintahan memunculkan persoalan baru dalam masyarakatnya. Dalam ruang yang lebih kecil, kita bisa menemukannya dalam sistem sekolah. Freire mengenalkan pada kita istilah banking system, yakni sebuah sistem dalam pendidikan yang membuat proses pendidikan hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan dari guru ke peserta-didik. Dalam sistem tersebut, peserta-didik dikenalkan pada sebuah ilmu yang mesti dipelajari tanpa sempat membuat gagasan baru atau analisis lebih jauh terkait kondisi yang memungkinkan sebuah pengetahuan berlangsung. Misal, ketika di kelas ada seorang mendapat nilai buruk, pelabelan bahwa orang tersebut malas akan dengan mudah diberikan. Alih-alih membuat label demikian, gagasan Freirean akan mengajak kita mempertanyakan lebih jauh: Dari mana asalnya “malas”? Struktur sosial macam apa yang beroperasi dalam ruang yang memungkinkan orang melabeli orang lainnya dengan istilah “malas”? Tulisan ini akan menjadi pengantar teoretis dalam memahami bagaimana gagasan pedagogi kritis ini berkembang dari masa ke masa. Sebelum masuk ke bagaimana pedagogi kritis berkembang, kita akan mengenal lebih jauh pedagogi kritis.

Pedagogi Kritis, Pedagogi Hadap-Masalah

Para pemikir pendidikan seringkali berkutat pada dua pandangan mengenai pendidikan (Topatimasang, Rahardjo & Fakih, 2004/2015). Pandangan pertama menyatakan bahwa pendidikan senantiasa bersifat politis. Dalam pandangan ini, pendidikan merupakan sebuah institusi yang berpotensi melanggengkan sistem sistem sosial-ekonomi dan dominasi kekuasaan. Dengan demikian, pendidikan menjadi media bagi aparatus dominan untuk mereproduksi kekuasaan dengan penciptaan sistem yang tidak adil. Dalam istilah Althusser (1970), pendidikan menjadi aparat ideologis yang melanggengkan suatu dominasi.

Sementara itu dalam pandangan kedua, dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses produksi kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran kritis ini tampil dalam keberpihakan terhadap mereka yang tersingkirkan dari produksi sosial. Dalam pandangan kedua ini, pendidikan menjadi jalan untuk melihat manusia yang berada dalam sistem dan struktur yang menciptakan proses dehumanisasi. Dengan melihat manusia dalam sebuah sistem, maka pendidikan berupaya untuk membebaskan manusia dari opresi dan alienasi yang diciptakan oleh ketimpangan kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lainnya. Pendidikan tidak hanya dilihat sebagai ruang reproduksi dominasi, melainkan cara untuk mendobrak dominasi termaksud.

Apa itu pedagogi kritis? Pedagogi kritis merupakan pendekatan berbasis transformasi sosial dalam konteks pendidikan. Pedagogi kritis mencoba melakukan sinkretisasi atau sintesis terhadap kedua model pandangan tersebut di atas, melihat secara jeli dan waspada proses reproduksi kekuasaan, serta di lain pihak berupaya membebaskannya dari dominasi tersebut. Tesis utama dalam pedagogi kritis adalah pendidikan mestinya melampaui transfer pengetahuan dan pelatihan untuk tenaga buruh masa depan, tetapi mesti sampai pada membangun kesadaran kritis yang terarah pada transformasi individu dan mempelajari lingkungan dan masyarakat secara luas (Abraham, 2014). McLaren (1998) mendefiniskan pedagogi kritis sebagai cara untuk berpikir, negosiasi, dan transformasi hubungan dalam ruang kelas, produksi pengetahuan, struktur sekolah, serta relasi sosial-material dari komunitas, masyarakat, dan negara-bangsa. Dengan mampu menganalisis tegangan-tegangan di dalamnya, maka diharapkan muncul kesadaran kritis dalam diri dan kesadaran sosial yang menjadi dasar dalam tindakan yang appropriate melawan kekuasaan yang opresif.

Mengapa pedagogi kritis penting dibahas? Dalam sistem pendidikan kontemporer, proses yang terjadi masih berkutat pada bagaimana peserta didik dapat menjadi subjek masyarakat yang mampu beradaptasi dengan norma, pendidikan dilakukan dalam pendekatan non-kritis yang kemudian menawarkan pemeliharaan terhadap sistem yang telah ada. Bagaimana sistem yang telah ada ini? Dalam sistem hari ini, gagasan bahwa “pendidikan menjadi jembatan untuk mengisi dunia kerja” masih mendominasi — misalnya saja konsep “Merdeka Belajar” yang diklaim “mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja.” Gagasan demikian hanya sekadar menjadikan kita sebagai subjek kapitalisme, yakni subjek yang dijadikan sarana untuk mengumpulkan laba atau keuntungan. Subjek inilah yang terus dipertanyakan sejak berkembangnya kapitalisme industri. Dalam catatan terakhir, alih-alih membuat orang memiliki kesetaraan terhadap akses, ekses kapitalisme justru membuat kelompok tertentu menjadi super-kaya dan kelompok lainnya biasa saja, bahkan serius miskin atau kere (Wright, 2019). Kehadiran kelompok yang tidak sejahtera, misalnya kaum miskin, menunjukkan bahwa kita butuh sebuah sistem dan pedagogi yang fokusnya pada kelompok sosial yang tidak diuntungkan. Kelompok yang tidak diuntungkan ini bukan melulu soal ekonomi, tetapi juga soal identitas yang tidak diuntungkan, misalnya perempuan, LGBT, difabel, atau etnis tertentu.

Pedagogi kritis adalah pedagogi yang mengambil keberpihakan terhadap mereka atau bahkan diri kita sendiri yang tidak diuntungkan oleh sistem yang ada. Sistem ini juga sangat bermacam, dari global, nasional, bahkan sampai lingkungan sosial di sekitar kita. Sistem yang dimaksud adalah yang bersifat opresif, bahkan juga dalam relasi sosial. Sistem yang opresif ini misalnya dapat kita temukan dalam pemberian tugas dari pengajar. Apabila tugas seorang pengajar adalah sekadar transfer ilmu atau melatih peserta-didik terampil atau ahli dalam suatu hal tanpa sampai pada penemuan sendiri oleh si peserta-didik, maka dapat dilihat lebih jauh apakah yang terjadi hanya banking system. Tantangannya adalah bagaimana peserta-didik bisa difasilitasi dalam mekanisme kerja suatu masyarakat dan memperoleh gambaran besar mekanisme historis, sosial, politik, dan ekonomi. Dengan memperoleh gambaran besar tersebut, maka diharapkan akan timbul simpati dan welas asih para peserta-didik terhadap kasus yang diangkat. Pada akhirnya, peserta-didik bisa menjadi agen yang secara aktif berkolaborasi secara emansipatif dengan masyarakat yang tidak diuntungkan.

Pedagogi yang memiliki dasar teori kritis (critical theory) ini kemudian dikembangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brazil. Menurut Freire (1998), yang terpenting untuk ditekankan dalam proses pendidikan dalah relasi yang adil, serius, rendah hati, dan dermawan. Syarat dari pendidikan yang demikian, pertama-tama adalah bahwa pengajar mesti memahami bahwa tanggung-jawab utamanya bukan sekadar menyiapkan peserta-didik memiliki profesi tertentu, tetapi bahwa peserta-didik memiliki agensi untuk melakukan transformasi dalam masyarakat. Membuat transformasi memiliki perbedaan dengan melakukan resistensi. Dalam melakukan resistensi, seseorang hanya perlu keberanian dan sedikit pengetahuan, sementara untuk melakukan transformasi, seseorang butuh untuk tahu dan memahami konteks sistemik di mana sebuah perubahan dikehendaki. Pemahaman kritis atas sistem tersebut yang kemudian akan diarahkan pada tindakan kritis (Freire, 1974). Lantas, pertama-tama seseorang yang hendak belajar pedagogi kritis mesti membaca dulu mengenai sistem sosial di mana sebuah pendidikan diselenggarakan.

Dalam pendidikan sistem bank, Freire (1970/2005) menuliskan bahwa belajar mengakar pada kemampuan peserta didik untuk mengonsumsi informasi yang disuapkan untuk mereka dari para pengajar, kemudian peserta didik dituntut untuk mengingat dan menyimpan rapat-rapat informasi yang diberikan. Freire kemudian menawarkan pendidikan yang membebaskan, bukan sekadar pendidikan yang menghapal. Dalam model pendidikan ini, keberhasilan proses pembelajaran adalah bahwa para peserta didik mampu membuat penemuan atas masalah dengan gayanya sendiri sembari tetap melekat pada konteks sosio-kultural terkait masalah tersebut.

Namun, apa syarat seorang peserta didik bisa sampai pada penemuan tersebut? Freire menyatakan bahwa apa yang penting dalam sebuah pendidikan adalah conscientization (penyadaran), yang merupakan neologisme dari bahasa Spanyol conscientizacion. Penyadaran merupakan gagasan memperkembangkan, memperkuat, dan memperluas kesadaran. Pada pertengahan 1970an dan awal 1980an, Psikologi mengembangkan teori kritis dengan menyertakan proses penyadaran ini sebagai kunci dalam praktik transformasi sosial.

Penyadaran merupakan suatu proses. Dalam hubungan subjek-objek, si subyek bisa memahami secara kritis kesatuan dialektis antara dirinya dengan objek, misalnya antara dirinya sebagai subjek sekaligus objek dalam ruang kelas yang opresif. Artinya, tak ada penyadaran tanpa praxis, ada keseimbangan teori dengan praktik, dan disertai dengan hubungan antara aksi-refleksi (Montero, 2014). Montero (2009) menunjukkan bahwa mobilisasi kesadaran bertujuan untuk memproduksi pengetahuan kritis dan historis mengenai diri seseorang, kelompok di mana ia berada, sehingga memproduksi sebuah pemahaman baru yang memberikan rasa temporalitas dan spasialitas dalam masyarakat dari dunia hidup seseorang yang amat spesifik. Pedagogi kritis tertarik untuk meneliti bagaimana fenomena dalam saat dan tempat tertentu, bukan sesuatu yang sangat umum.

Secara singkat, Montero (2014) berargumen bahwa untuk mencapai proses penyadaran, diperlukan tiga karakter dinamis agar terjadi pembebasan. Pertama adalah dehabituation. Dalam dehabituation, kita dituntut untuk menarik diri dari pengalaman sehari-hari dan melihatnya dengan cara baru. Habituasi sendiri berarti praktik, gagasan, keyakinan, dankonsepsi umum yang memungkinkan terbatasnya pengetahuan seseorang dan bahkan lebih jauh kapasitas dan tindakannya mengalami kristalisasi, tanpa perlu lagi berpikir. Ketika orang melakukan sesuatu secara tidak reflektif dan tidak kritis, maka kemungkinan terjadi habituasi amatlah besar. Sebagai contoh adalah ketika kita memakan nasi. Selain merasakan pulennya nasi yang kita nikmati, kita juga diajak untuk mencari tahu bagaimana nasi tersebut bisa sampai di hadapan kita; di mana ia ditanam, siapa yang menanam, bagaimana kesejahteraan si penanam. Apabila proses habituasi terus berlangsung tanpa adanya dehabituasi, maka kondisi tersebut akan mengantarkan pada naturalisasi. Naturalisasi terjadi ketika sebuah fenomena atau pola perilaku dianggap alami dan “yaaa, begitulah sesuatu terjadi” dalam kehidupan kita. Anggapan bahwa “sesuatu terjadi secara alamiah terjadi” ini merupakan proses yang disebut sebagai familiarisasi. Dalam familiarisasi, proses kognitif kita membuat apa yang aneh, asing, tak diketahui, diasimilasikan pada yang telah diketahui dan diterima.

Lantas, apa yang diperlukan untuk mengurai kekakuan dan kebekuan dalam habituasi, naturalisasi, dan familiarisasi? Nah, kita akan menjawabnya dengan proses kedua, yakni denaturalization (denaturalisasi). Denaturalisasi dilakukan dengan memeriksa secara kritis gagasan, keyakinan, dan prosedur yang menyokong praktik dan gagasan yang telah dibuat kaku dan beku. Denaturalisasi dilakukan dengan menunjukkan bagaimana hal-hal tersebut dibentuk pada mulanya dan demi kepentingan spesifik golongan, budaya, atau ideologi tertentu (Montero, 2014). Sebagai contoh adalah kultur androcentric atau kultur yang meyakini bahwa dunia ini merupakan buatan laki-laki (man-made world). Kern (2020) mengangkat isu androcentric dalam ruang kota. Kern menunjukkan bahwa pengalaman seorang perempuan dengan seorang laki-laki dalam ruang kota amatlah berbeda. Misalnya, kampanye anti-obesitas seolah-olah menyerang masyarakat urban modern yang mengalami dependensi terhadap makanan cepat saji. Namun, apabila diperhatikan, ekses dari kampanye tersebut jauh lebih berdampak pada perempuan yang tidak diuntungkan dengan bentuk tubuh. Kita bisa pula menyebutkan perkara lain seperti: jalanan yang tidak ramah pada perempuan, mobil yang bahkan untuk memasukkan stroller saja kesusahan, pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami perempuan dalam ruang kerja sampai ruang ibadah, toilet publik dan ruang menyusui yang minim di tempat publik. Sebagai contoh lain adalah dalam cara orang Jawa mengidentifikasi problem pada masyarakat dengan “ma-lima”.  “Ma-lima” merupakan singkatan dari“maling” (mencuri), “mendem” (mabuk alkohol), “main” (berjudi), “madat” (memakai candu), dan, secara khusus, “medok” (main perempuan). Penyebutan “medok” menunjukkan bahwa moralitas alam pikir “ma-lima” ini ditentukan oleh man-made. Dengan mulai mempertanyakan praktik sehari-hari, kita melakukan problematisasi yang kemudian mengarahkan kita pada dehabituasi dan denaturalisasi.

Bagaimana metode praktis dari pedagogi kritis? Dari berbagai contoh di atas, kita mesti melewati proses ketiga yang disebut problematization (problematisasi) terhadap fenomena di sekitar kita. Topatimasang, Rahardjo, dan Fakih (2004/2015) menyebutnya dengan “hadap-masalah”. Metode “hadap-masalah” dilakukan dengan mulai menganalisis persoalan konkrit yang terjadi di sekitar peserta didik. Sebagai contoh, seorang karyawan, pekerja, atau buruh di suatu pabrik, memerlukan sebuah tantangan untuk memahami eksploitasi yang dialami. Kemudian memahami bagaimana alienasi (mislanya dengan gejala burn-out, kebosanan, atau di Malaysia dengan kesurupan) terjadi dalam pekerjaan sehingga opresi terus berlangsung. Sayangnya, dalam keseharian, kita lebih banyak menemui pelatihan para karyawan, pekerja, maupun buruh yang menempatkan mereka sebagai objek pelatihan. Mereka dilatih untuk mengembangkan motivasi dan efisiensi kerja yang kemudian semata-mata demi kepentingan akumulasi kapital. Contoh lain adalah dalam pertanian, para petani seringkali dituntut untuk meningkatkan produktivitas, tetapi jarang difasilitasi untuk mempertanyakan relasi kekuasaan dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya sistem ekologi global yang bersifat katastrofik; entah merusak planet maupun sumber hidup para petani. Guna menantang sistem opresif dan yang-menyingkirkan-komunitas-tertentu inilah kemudian pedagogi kritis berpegang pada humanisasi atau memanusiakan manusia.

Pedagogi yang Memanusiakan Manusia

Pedagogi kritis adalah pedagogi yang berfokus pada dehumanisasi dan membebaskan manusia. Dehumanisasi terjadi ketika manusia dijadikan alat atau sarana untuk mencapai tujuan, dan bukan menjadi tujuan itu sendiri. Misalnya, Anda dilatih untuk menjadi seorang yang produktif, maka kuantitas kerja Anda akan digunakan untuk mengukur kinerja. Persoalan Anda menikmati atau bisa belajar dari apa yang Anda kerjakan bukanlah perkara yang menjadi fokus utama. Freire (1970) menuliskan bahwa dehumanisasi merupakan fakta historis yang bukan sekadar nasib manusia, melainkan hasil dari tatanan tidak adil yang memungkinkan kekerasan berlangsung dari penindas terhadap mereka yang tertindas.

Pada masa kini, apa yang disebut sebagai kekerasan didefinisikan dengan lebih luas. Žižek (2008)menunjukkan bahwa kekerasan bisa bersifat subjektif, objektif, dan simbolik. Kekerasan subjektif memiliki pelaku yang bisa disebut atau jelas siapa yang melakukannya. Kita bisa menyebutnya dengan evil individual (bromocorah), aparatus yang represif, dan kerumunan yang fanatik. Dalam terminologi Žižek (2008), kekerasan tersebut masuk dalam physical violence atau kekerasan fisik. Sementaara itu, dalam perkembangan kontemporer, kekerasan bisa berwujud kekerasan mental atau psychical violence. Kekerasan mental ini tampil misalnya dalam ruang toxic family atau keluarga disfungsional di mana anak menjadi objek kekerasan lewat kata-kata yang merendahkan si anak, yang bisa berupa umpatan dan inferiorisasi si anak. Bentuk kekerasan objektif tampil dalam kesulitan untuk mengidentifikasi pelaku kekerasan. Sebagai contoh, ketimpangan menjadi bentuk kekerasan yang terjadi dalam level global. Sekalipun demikian, kita kesulitan untuk menunjuk muka orang yang bersalah atas terjadinya ketimpangan tersebut. Kita bisa menyebut orang-orang super kaya atau negara. Namun, keduanya sulit untuk dipersonifikasi dalam suatu sosok tunggal. Selain itu, Žižek juga menuliskan bahwa ada pula yang disebut sebagai kekerasan ideologis atau ideological violence yang bersifat simbolik. Dalam kekerasan ideologis, kita dapat menemukan bentuk seperti rasisme, hasutan, dan diskriminasi seksual. Namun, baik kekerasan fisik, mental, atau ideologis ini hanyalah menyembunyikan lokus masalah yang terjadi dalam level sistemik. Gagasan mengenai kekerasan subjektif maupun simbolik merupakan ekses dari kekerasan objektif yang tampil dalam wujud tertentu. Kekerasan dalam konteks ini tidak lagi diatribusikan pada individu dan intensi”jahat”-nya, tetapi lebih ke obyektif, sistemik, dan tak bernama.

Sebagaimana disebut di atas, kekerasan menunjukkan bahwa telah terjadi dehumanisasi. Senada dengan Freire, Haslam (2006) mengatakan bahwa dehumanisasi merupakan penyangkalan kemanusiaan terhadap liyan. Menurut Haslam (2006), ada dua bentuk dehumanisasi, yakni yang didasarkan pada keunikan manusia (human uniqueness) dan yang didasarkan pada sifat dasar manusia (human nature). Dalam dehumanisasi yang didasari keunikan manusia (human uniqueness), kita dapat menemukannya melalui konsep keberadaban (civility), kehalusan-budi (refinement), sensibilitas moral (moral sensibility), rasionalitas atau logika (rationality, logic), dan kedewasaan (maturity). Mereka yang menjadi target dehumanisasi diidentifikasi dengan ketidakberadaban (lack of culture), kasar (coarseness), amoral atau kurang bisa mengendalikan diri (amoral, lack of self-restraint), irasional atau hidup berdasar insting (irrationality, instinct), dan kekanak-kanakan (childlikeness). Dalam dehumanisasi yang didasari oleh keunikan manusia, bentuk yang muncul adalah dehumanisasi kebinatangan (animalistic dehumanization). Dalam kasus konflik etnis di Rwanda pada 1994, orang-orang Tutsi disebut sebagai kecoak oleh orang-orang Hutu. Tema dehumanisasi ini kemudian menjadi istilah yang mengantarkan Rwanda pada genosida etnis. Selain itu, pada masa kolonialisme di Hindia-Belanda, tipe dehumanisasi yang didasarkan pada keunikan manusia juga ditunjukkan oleh pemerintah kolonial yang menggambarkan kaum pribumi tidak beradab, tidak bermoral, infantil, dan irasional (Pols, 2016).

Sementara itu, dalam dehumanisasi tipe kedua yang didasarkan pada sifat dasar manusia, seseorang yang menjadi target dehumanisasi akan digambarkan memiliki ciri kelambanan-malas (inertness), dingin (coldness), kaku (rigidity), pasif (passivity, fungibility), dan dangkal (superficiality). Tipe yang didasarkan pada sifat dasar manusia ini akan menghasilkan dehumanisasi yang digambarkan mekanistik (mechanistic dehumanization). Sebagai contoh adalah ketika seseorang menyebut orang lain dengan kalimat “orang itu seperti robot, tidak punya hati nurani”. Contoh lain adalah mengenai Adolf Eichmann, organisator pembantaian Holocaust (1941-1945). Dalam temuan Hannah Arendt (1963), dikatakan bahwa Eichmann dan anggota Nazi lain melakukan genosida terhadap orang Yahudi karena kepatuhan terhadap perintah. Perintah ini kemudian dijadikan justifikasi untuk melakukan kejahatan atau bahkan kebas bahwa apa yang dilakukannya sama sekali bukan kejahatan, melainkan mematuhi perintah otoritas (banality of evil).

Meskipun demikian, apa yang menjadi temuan Haslam tidak bisa dengan mudah diapropriasi dan dibuat dalam kategori yang ketat. Pada masa kolonial, orang pribumi tidak hanya dianggap seperti anak-anak dan butuh diberadabkan, tetapi juga dianggap memiliki sifat malas. Artinya, orang pribumi menjadi target dehumanisasi dengan kombinasi antara keunikan dan sifat dasar manusia. Berbeda lagi misalnya dengan propaganda yang dilakukan di Indonesia dalam peristiwa 1965 yang digunakan oleh militer dan orang-orang anti-komunis untuk menyebut mereka yang (dianggap) komunis sebagai “setan” dan tak bertuhan. Akibatnya, di Indonesia terjadi pembantaian terhadap mereka yang disebut sebagai rakyat dan juga genosida intelektual (Wahid, 2018). Woodward (2011) menemukan bahwa orang-orang yang dibantai karena diduga komunis disebut dengan istilah “setan” atau “hantu” (demonization). Dengan kata lain, dehumanisasi yang terjadi pada peristiwa 1965 akan sulit untuk dikategorikan ke dalam bentuk dehumanisasi sebagaimana digagas Haslam (2006). Istilah demon, monster, atau alien masuk ke dalam kategori superhuman, yang tentu saja berbeda dengan mereduksi manusia ke dalam ranah subhuman atau makhluk yang berada di bawah hirarki manusia.

Terkait dengan subhuman, Teo (2020) menyebutkan bahwa apa yang secara dominan berkembang  dalam masyarakat kontemporer adalah ontologi subhuman. Teo menggagas lebih jauh mengenai bagaimana subhumanisme atau subhumanisasi yang memungkinkan seseorang melihat liyan dengan atribut dan perilaku yang berbeda dengan “kita”, tetapi hidup bersanding dengan “kita”. Subhumanisme merupakan kesadaran palsu (false consciousness) yang berupa afek negatif yang muncul dari citraan dan imajinasi, dibagikan lewat media massa dan media sosial untuk kemudian merambah orang dalam jumlah besar. Dalam ideologi subhumanisme, apa yang diidentifikasi sebagai manusia adalah mereka yang laki-laki, berkulit putih, sehat, muda atau paruh baya, dan atraktif. Lewat cara berpikir subhumanisme ini, manusia yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut dianggap “tidak terlalu manusia”.

Orang yang dikategorikan dalam subhuman berbeda dengan subaltern sebagaimana digagas Gayatri Spivak. Apabila subaltern didengar suaranya dan mungkin melakukan perubahan karena suara tersebut, maka subhuman suaranya didengar tetapi tidak diperhitungkan. Boleh jadi subhuman tidak perlu dikolonisasi, bahkan ia bisa saja seorang yang sangat terpelajar. Sebagai contoh dari kategori subhuman ini adalah orang dengan disabilitas, tahanan, minoritas keagamaan, orang dengan penyakit, migran, atau kelompok marjinal lain. Mereka bahkan bisa menjadi sumber ketakutan dan kemarahan bagi populasi dominan.

Apabila dehumanisasi adalah bentuk proses dan praktik, maka subhumanisme merupakan ontologis atau cara kita memahami eksistensi manusia. Seorang migran bisa jadi dipahami sebagai subhuman sebelum ia diperlakukan semena-mena, tetapi kemudian dehumanisasi memperkuat status subhuman dari orang tersebut. Seseorang atau kelompok disebut subhuman ketika perilaku mereka tidak sesuai dengan standar atau norma. Misalnya kita sering membaca di media-media bahwa “seorang difabel memiliki prestasi dan bisa menjadi inspirasi dari kita semua” atau ketika seorang remaja disebut sebagai “ya begitulah remaja, masih butuh bimbingan dan sedang mengalami persoalan identitas”. Apabila perilaku yang dilakukan seseorang dianggap tidak sebagaimana biasanya, maka proses subhumanisasi akan sangat mungkin terjadi.

Lalu apa yang mebedakan inferiorisasi dengan subhumanisasi? Pertanyaan tersebut adalah soal bagaimana seseorang diberi nilai (valued). Setiap subhuman dianggap inferior, tetapi tidak semua yang inferior adalah subhuman. Sebagai contoh ketika Anda membayangkan teman sekelas Anda, soal skor atau nilai kuliah si Toni jauh lebih baik dari si Tino. Tino dianggap inferior dalam nilai, tapi bukan berarti dia diturunkan derajatnya. Namun, ketika muncul rasa superioritas, misalnya Toni menganggap derajatnya lebih tinggi dari Tino dengan berbasiskan pada nilai, maka subhumanisasi terjadi.

Rasa superioritas dalam subhumanisasi ini didasarkan pada isyarat visual dan afektif, bukanlah konsep saintifik sebagaimana dalam epistemological violence atau scientific racism (Teo, 2010). Ontologi subhuman beroperasi dalam dunia nyata maupun simbolik dengan emosi atau perasaan yang menimbulkan rasa jijik, penghinaan, dan ketakutan. Ketika muncul ketakutan terhadap warga biasa, subhumanisasi mulai terbentuk. Ketika di Yogyakarta muncul kost-kostan yang menolak orang dari Indonesia Timur, maka fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada resentment terhadap liyan yang dimarjinalkan dan seolah-olah perlu dihukum. Ketika seorang guru atau pengajar merasai bahwa derajatnya lebih tinggi dan superior dibanding peserta didik yang diposisikan intelectually disabled atau lack of intellectuality, maka subhumanisasi juga terjadi.

Bagaimana ontologi subhuman ini kemudian digunakan untuk memahami proses pendidikan? Dalam perdebatan soal pendidikan, muncul gagasan bahwa proses pendidikan mesti memebebaskan manusia. Pembebasan ini dilakukan dengan penyadaran. Perjuangan untuk pembebasan ini dilakukan oleh mereka yang mengalami opresi atau dengan kata lain kerinduan akan pembebasan berakar pada mereka yang mengalami opresi. Meskipun demikian, persoalan yang muncul adalah bagaimana orang memahami bahwa dirinya memang mengalami opresi? Ataukah justru kita menilai mereka diopresi padahal dirinya sendiri tidak merasa demikian? Pertanyaan tersebut amatlah susah dijawab sejak persoalan opresi ini bukan sesederhana si X mengalami opresi oleh si Y atau oleh sistem Z.

Begitupun dengan kebebasan, sebetulnya apa itu kebebasan dalam ranah pengalaman manusia? Seberapa orang membutuhkannya? Apakah kadar kebebasan yang diperlukan masing-masing budaya berbeda? Apakah kebebasan itu justru menjadi beban berat sehingga orang berusaha menghindarinya? Fakta sejarah menunjukkan bahwa orang tidak semata-mata memperjuangkan kebebasan. Fromm (1941) menuliskan bahwa ada beberapa upaya orang untuk lari dari kebebasan (escape from freedom), yakni otoritarianisme (authoritarianism), destruktivitas (destructiveness), dan konformis (automaton conformity). Gagasan tersebut merupakan temuan Fromm dalam Perang Dunia II, secara khusus dalam Nasizme. Fromm menjadi salah satu penyintas Nazisme yang kemudian menyelamatkan diri ke Amerika. Karena kondisi yang mengopresi atau menekan pada masa itu, Fromm menunjukkan bahwa kerinduan untuk mengenyam kebebasan menjadi simptom penting untuk ditelisik.

Pertanyaan lebih lanjut adalah, manakah yang dimaksud kebebasan dalam konteks pedagogi kritis? Apakah “bebas dari” opresi atau “bebas untuk” membuat pilihan? Dari pertanyaan tersebut, pertama-tama yang perlu dipahami adalah: Dengan logika bahwa opresi hadir, maka seseorang perlu membebaskan diri dari opresi untuk kemudian bisa menentukan hidupnya. Toh pada praktiknya, cara seseorang menentukan hidup juga masih diatur oleh sebuah sistem yang memungkinkannya untuk melampaui sistem atau mengikuti sistem tersebut. Persoalan kebebasan ini masih menyisakan pertanyaan lebih lanjut mengenai bagaimana orang bisa merasa bebas sekalipun di mata orang lain ia dilihat sama sekali tidak bebas. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pada bagian selanjutnya kita akan mencermati bagaimana opresi menjadikan seseorang menjadi tidak sadar bahwa dirinya mengalami kondisi ketertindasannya.

 

Daftar Acuan

Abraham, G. Y. (2014). Critical pedagogy: Origin, vision, action and consequences. KAPET, 10(1), 90-98.

Arrendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. New York: The Viking Press.

Freire, P. (1970/2005). Pedagogy of the oppressed (30th anniversary edition). New York & London: Continuum.

Freire, P. (1974). Education for critical consciousness. New York: Continuum International Publishing Group.

Freire, P. (1998). Pedagogy of Freedom: Ethics, democracy, and civic courage. New York: Continuum International Publishing Group.

Fromm, E. (1942/1960). Fear of freedom. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Haslam, N. (2006). Dehumanization: An integrative review. Personality and Social Psychology Review, 10(3), 252–264.

Montero, M. (2009). Methods for liberation: Critical consciousness in action. Dalam M. Montero & C. Sonn (Eds.),Psychology of liberation (hal. 73-92). New York: Springer.

Montero, M. (2014). Conscientization. Dalam T. Teo (Ed.), Encyclopedia of critical psychology (hal. 296-299). New York: Springer.

Orwell, G. (1945/1996). Animal farm. New York: Signet.

Teo, T. (2010). What is epistemological violence in the empirical social sciences? Social and Personality Psychology Compass 4/5, 295–303.

Teo, T. (2020). Subhumanism, The re-emergence of an affective-symbolic ontology in the migration debate and beyond. Journal for the The Theory of Social Behavior, 50(2), 132-148.

Topatimasang, R., Rahardjo, T., Fakih, M. (Peny.). (2004/2015). Pendidikan populer: Membangun kesadaran kritis. Sleman: Insist Press.

Wahid, A. (2018). Campus on fire: Indonesian uniuversities during the poolitical of 1950s -1960s. Archipel, 95.

Woodward, M. (2011). Only now can we speak: Remembering politicide in Yogyakarta. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 26, 36 – 57.

Wright, E.O. (2019). How to be an anti-capitalist in the 21st century. London & New York: Verso.

Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *