Teori

Wacana dalam Pendekatan Konstruksionisme Sosial

Dalam konstruksionisme sosial, bahasa menjadi hal paling signifikan. Bahasa menjadi dasar pikiran dan kedirian. Karena setiap hari kita terpapar dengan bahasa dan bahasa sendiri terus berkembang, maka identitas kedirian kita bersifat temporer, fragmented, dan terbuka terhadap pertanyaan. Alih-alih bahasa merupakan representasi atau cerminan dari kedirian, konstruksionisme sosial melihat bahwa bahasa merupakan piranti konstitutif dari pengalaman (Willig, 1999). Dengan kata lain, lewat bahasa, identitas personal kita dicari, dikontestasikan, divalidasi, dan dipelihara. Strukturasi dunia lewat bahasa ini memungkinkan makna dari penanda (atau kita sebut “petanda”) tergantung pada konteks di mana wacana dipraktikkan.

Misalnya dalam bahasa yang digunakan dalam istilah ilmu kesehatan adalah ‘dokter’ dan ‘pasien’. Kedua istilah tersebut menyimpan konstitusi dan praktik yang berbeda. Ketika Anda disebut ‘pasien’, maka Anda mengabulkan orang lain untuk mengakses bagian tubuh Anda. Atau misalnya Anda membicarakan ‘cinta’, maka Anda mesti berhenti untuk memikirkan bahwa semua ‘cinta’ di dunia ini sama. ‘Cinta’ mesti dilihat dalam situasi yang spesifik, negosiatif, dan mengandung unsur tindakan sosial tertentu. Ketika Anda ditampar oleh pacar Anda, mungkin dia bisa mengatakan ‘itu aku lakukan karena semata-mata aku mencintaimu’. Namun, pertanyaan lebih lanjutnya, ‘cinta’ yang seperti apa?

 

Dua Pendekatan dalam Kajian ‘Wacana’

Gagasan mengenai studi wacana secara dominan berkembang di Prancis. Pada awalnya, kajian wacana ini berkembang dalam mendiskusikan isu mengenai identitas, kedirian, perubahan personal dan sosial, serta relasi kekuasaan. Selain menggunakan pendekatan wacana, konsep psikoanalisis ala Jacques Lacan juga menjadi tren dalam memahami kedirian dan subyektivitas. Namun, dalam tulisan ini, pemahaman mengenai wacana akan dibatasi pada pendekatan post-strukturalis yang digagas Michel Foucault. Orang mesti memahami Foucault terlebih dulu baru kemudian bisa memperluas gagasan mengenai wacana dari beberapa tokoh seperti Jacques Derrida, Judith Butler, atau Slavoj Žižek. Secara ringkas, Foucault membahas topik-topik mengenai abnormalitas, penjara, sakit jiwa, dan seksualitas. Dalam History of Sexuality (1978), misalnya, ia menunjukkan bahwa seksualitas didomestifikasikan (dirumahtanggakan). Alih-alih bentuk represi, domestifikasi seksualitas ini justru merangsang pembicaraan terkait seksualitas.

Pendekatan lain menyoal wacana lebih menekankan pada kualitas performatif dari wacana, yang mana menyasar pada bagaimana orang berbicara atau menulis serta apa yang hendak mereka capai dengan penyampaian wacana termaksud. Penelitian dalam tradisi ini berfokus pada bagaimana suatu hal dibangun dalam wacana dan bagaimana efeknya terhadap si penyampai pesan. Artinya, bagaimana bahasa dipraktikkan sebagai alat retorika. Tokoh yang terkenal dengan pendekatan ini adalah Judith Butler. Sebagian dari tokoh ini berfokus pada subversivitas hasrat manusia. Artinya, performativitas tampil sebagai bentuk dari negosiasi terhadap wacana yang mendisiplinkan subjek. Kedua pendekatan bukan berarti berlawanan satu sama lain, keduanya memiliki irisan yang sama hanya fokusnya saja yang berbeda.

 

Apa itu Wacana?

Taylor (2014) menyatakan ada dua cara mendefinisikan wacana. Pertama, wacana secara sederhana didefinisikan sebagai bentuk bahasa, misalnya pembicaraan atau tulisan. Dalam definisi pertama ini, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang teknis. Cara orang berbicara dan mengapa ia menunda dalam kosakata atau kalimat tertentu menjadi fokus pada definisi pertama ini.

Definisi kedua merujuk pada kumpulan makna dan konvensi, semisal bahasa dan gagasan yang disahkan untuk berbicara mengenai suatu topik atau persoalan seperti “kondisi sakit” (illness). Wacana dipahami sebagai suatu bentuk pengetahuan yang memerintah dan mengontrol atau menentukan apa yang bisa dikatakan, ditulis, atau dikomunikasikan dan dengan demikian dipahami — rangkaian kesatuan (continuum) dari penggunaan bahasa (definisi pertama) ke masyarakat, terkait dengan institusi formal maupun informal. Alih-alih mengatakan bahwa percakapan atau tulisan bisa dijelaskan dengan pikiran, niatan, pengalaman, atau kepribadian individu, wacana berfokus pada konteks seperti apa yang memungkinkan orang mengatakan atau menuliskan sesuatu.

Parker (1992) secara jeli mengatakan bahwa wacana merupakan sistem pernyataan yang mengkonstruksi suatu objek. Wacana merupakan rangkaian makna, metafor, representasi, gambar, cerita, pernyataan dan segala sesuatu yang secara bersamaan memproduksi versi persitiwa tertentu. Karena banyaknya cara pandang terhadap suatu objek, maka apa yang dinamakan wacana ini saling bertumbuk satu sama lain.

Misalnya, dalam Gerakan Reformasi Dikorupsi yang sejak akhir September 2019 terjadi di sebagian kota besar di Indonesia, kita akan menemukan dua wacana yang saling berkontestasi. Pertama adalah dari kalangan aktivis dan mahasiswa atau pelajar yang bersepakat dengan gerakan tersebut. Sementara itu, dari pihak birokrat tingkat seko­lah, kampus, hingga pemerintahan menolak dan melakukan pelarangan para anggota komunitasnya untuk turut serta dalam gerakan termaksud. Wacana bahwa ‘gerakan penting dilakukan untuk memperbaiki hak-hak sipil’ menjadi pengetahuan dominan dari orang-orang yang mengikuti demonstrasi. Perasaan bahwa mereka berhak untuk berpartisipasi menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memungkinkan gerakan bisa terjadi. Tidak sedikit dari kelompok ini yang merasa bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak benar-benar menyuarakan kepentingan rakyat. Dalam wacana ini, gerakan mogok dan turun ke jalan merupakan cara terbaik agar suara kerakyatan didengarkan. Berdasar wacana ini, kira-kira orang akan mengatakan ‘RUU KUHP dan UU KPK tidak mewakili kepentingan masyarakat banyak’, ‘DPR mengedepankan kepentingan politik mereka’, ‘sebagai seorang mahasiswa saya akan terkena dampak dari RUU KUHP, kehidupan privat saya akan terganggu’.Sejalan dengan wacana ini, maka status media sosial maupun poster yang dibawa dalam demonstrasi diarahkan pada DPR, RUU KUHP, dan UU KPK. Wacana yang berbeda datang dari kalangan birokrat dan pemerintah. Wacana ini kira-kira mengatakan bahwa ‘gerakan ditunggangi oleh PKS dan HTI yang tujuannya membuat kekacauan selama persiapan pelantikan presiden’, ‘akan ada orang yang dikorbankan (martir) dan inilah yang akan menciptakan kekacauan’.

Beberapa model cara berpikir di atas adalah wacana yang datang dari posisi para pewicara yang berbeda. Wacana tersebut merupakan sikap dan representasi dari peristiwa terhadap kehidupan sosial. Wacana tersebut bukan sekadar berasal dari pemikiran seseorang, melainkan pemikiran yang kemudian dibicarakan dalam lingkungan diskursif di mana orang-orang tersebut tinggal. Karena wacana merupakan produk pemikiran atau pengetahuan, maka bisa mengambil berbagai penanda atau bentuk selain tulisan; misalnya poster, foto, baju, arsitektur, bahkan tubuh kita sendiri; asal sesuatu bisa dijadikan ‘teks’, maka hal tersebut bisa dianggap sebagai sumber wacana. Misalnya, apa yang mau dikatakan dengan bangunan-bangunan kopinan yang minimalis? Atau apa yang mau dikatakan dengan bangunan model vertikal?

Wacana bisa digagas sebagai bentuk kerangka refe­rensi (berpikir), sebuah latar konseptual yang menaungi apa yang kita ucapkan sehingga bisa diinterpretasi. Maka, terdapat hubungan dua arah antara wacana dengan apa yang dikatakan atau dituliskan seseorang: Wacana menunjukkan hal-hal yang diucapkan atau ditulis seseorang, juga apa yang kita katakan dan kita tulis tergantung pada suatu makna yang terdapat dalam konteks diskursif di mana wacana tersebut muncul.

 

Wacana dan Identitas

Identitas terbentuk dari interaksi bersama orang lain dan berdasar pada bahasa. Bahasa dan orang lain amat terbatas pada pengalaman, yang berimplikasi pada identifikasi kita amat terbatas pada ketersediaan kultural. Kita membuat analogi demikian: Manusia adalah kain yang ditenun dari aneka warna benang. Benang-benang berwarna ini menyimbolkan usia, kelas, etnisitas, gender, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Semua benang atau identitas tersebut di/terkonstruksikan dari ketersediaan identitas yang ada dalam kebudayaan kita. Dari usia, kita akan menemukan masa kanak-kanak, muda, dan tua. Orang tua seringkali digambarkan dengan kehilangan kompetensi personal atau status dan kekuasaan atau absennya perkembangan. Di lain pihak, orang tua juga digambarkan sebagai orang yang matang, bijaksana, terhormat, atau tenang. Sementara itu, masa muda seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang penuh perkembangan, eksplorasi, krisis identitas, masa yang berbahaya. Remaja misalnya, dalam konteks Indonesia digambarkan sebagai ‘kumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan terutama, tidak penting’ (Shiraishi, 2009). Bahkan, kita tidak dapat melepaskan pemmbentukan konsep ‘remaja’ ini dari institusi pendidikan. Hanya setelah ada institusi pendidikan, kategori ‘remaja’ muncul.

Dalam setiap wujud identitas, kita akan menemukan wacana yang terbatas dan bisa kita pilih. Misalnya dalam seksualitas, kita akan menemukan wacana yang kental dengan normalitas atau abnormalitas. Dikotomi antara heteroseksual dengan homoseksual menunjukkan problem dari dikotomi tersebut. Heteroseksual seringkali direpresentasikan sebagai seksualitas yang normal, alami, dan benar (naturalness dan moral righteousness). Sebaliknya, homoseksual direpresentasikan sebagai menyimpang, tidak alami, dan salah. Bahkan di dalam heteroseksual sendiri masih terbagi menjadi yang normal dan abnormal. Dalam budaya swing couple, dua pasangan akan bertukar pasangan satu sama lain dan melakukan hubungan seksual dan cinta romantis. Dalam kerangka monogami, swing couple dianggap sebagai menyimpang.

Dalam kondisi ketersediaan identitas, kita akan menemukan berbagai identitas ini saling berkontestasi atau juga saling berkombinasi. Misalnya, Anda tidak akan bisa disebut sebagai seorang nasionalis apabila Anda menggunakan identitas kesukuan atau keagamaan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi presiden. Kontestasi identitas dari kategori-kategori tersebut tidak mungkin didamaikan. Sementara itu seorang muda yang melanjutkan ke perguruan tinggi akan disebut sebagai “mahasiswa”. Hal tersebut mungkin terjadi sebab pendidikan mampu melengkapi wacana kemudaan yang penuh dengan perkembangan, eksplorasi, atau ketangkasan fisik dan mental lewat perguruan tinggi.

Wacana mengenai sains dan gender juga bisa menjadi contoh. Sains dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya logis, objektif, dan bebas-nilai. Sementara itu, wacana maskulinitas menampilkan rasionalitas dan kemampuan untuk mengelola emosi dan mengedepankan berpikir. Seorang laki-laki yang kemudian menjadi ilmuwan cenderung lebih sedikit menemui persoalan dibanding dengan perempuan. Perempuan yang mengambil jalur keilmuan boleh jadi akan menemukan area yang konfliktual dan kebingungan. Wacana terkait femininitas adalah emosional, tidak logis, dan intuitif yang mana bukan sifat-sifat dari sains. Tidak hanya gender, bahkan bisa pula kita memperluasnya dengan kategori kelas sosial. Orang dengan kelas sosial rendah seringkali digambarkan ssebagai orang yang kurang terdidik, sementara itu orang dengan kelas sosial yang tinggi akan dianggap lebih well-educated. Wacana dan privilese kelas kemudian memungkinkan kelas sosial bawah akan butuh perjuangan lebih untuk menjadi ilmuwan.

Banyakanya tawaran wacana di sekitar kita secara konstan mengkonstruksi dan memproduksi identitas kita. Tugas manusia dalam konstruksionisme sosial adalah menerakan tanda-tanda. Dunia laiknya lautan bahasa yang penuh dengan penanda. Kita berenang di dalamnya, terapung-apung dalam banyaknya penanda yang membentuk identitas kita.

 

Wacana, Struktur Sosial, dan Praktik Sosial

Wacana terhubung erat dengan cara masyarakat diorganisasikan dan dijalankan. Dalam masyarakat, kita memiliki ekonomi kapitalis dan memiliki intitusi seperti hukum, pendidikan, perkawinan dan keluarga, atau agama. Institusi-institusi ini memberikan bentuk dan substansi dalam kehidupan sehari-hari. Ekonomi kapitalis akan memberi Anda identitas sebagai ‘pekerja’, ‘pegawai’, atau ‘pengangguran’. Institusi pernikahan akan memberi Anda identitas berupa ‘ayah’, ‘ibu’, ‘bujangan’, ‘tidak berketurunan’, ‘bercerai’, ‘janda’, atau ‘duda’. Strukturasi da­lam masyarakat dipraktikkan setiap harinya lewat apa yang dilakukan orang, yakni dengan praktik sosial. Ekonomi kapital akan dipraktikkan lewat jam kerja, upah, kenaikan jabatan. Sekolah akan dipraktikkan dengan pertemuan di kelas-kelas, kenaikan kelas, dan mengerjakan tugas. Praktik-praktik sosial ini juga diatur oleh institusi, misal ekonomi kapital oleh negara dan perkawinan oleh agama (juga negara, misalnya dalam kasus RUU Ketahanan Keluarga).

Berada dalam struktur dan praktik sosial tertentu, berarti berada dalam kontestasi wacana. Misalnya dalam dunia industri, kita akan menemukan aturan kesehatan reproduksi untuk perempuan. Aturan ini meliputi cuti kehamilan, melahirkan, dan juga cuti haid. Dalam UUK (Undang-Undang Ketenagakerjaan) 1948, disebutkan bahwa buruh perempuan diberikan jaminan perlindungan hak-hak reproduksi (wacana kesusilaan sosial). Sekalipun demikian, sekitar tahun 1948-1949, persoalan ini tidak dibahas dan diliput media secara serius sebagaimana persoalan upah dan tunjangan. Hal ini bisa berarti dua hal, pertama dampaknya tidak terasa langsung bagi semua buruh atau kedua karena persoalan reproduksi tidak dianggap sebagai suatu ‘persoalan’. Terlepas dari penting tidaknya, tidak sedikit buruh perempuan yang kemudian terancam diberhentikan karena dianggap sebagai ‘beban’ ekonomi kapitalis (wacana kepentingan ekonomi). Wacana kesehatan reproduksi ini tidak akan menjadi praktik sosial di hari ini apabila tidak ada protes dari gerakan buruh (secara khusus perempuan) pada tahun 1950an (Suryomenggolo, 2015).

Dari bagian praktik sosial wacana ini, kita dapat mencatat dua hal. Pertama, kita mesti menyadari bahwa wacana yang dominan dapat dipastikan berada dalam posisi dominannya secara abadi atau dengan kata lain tidak pernah ada wacana yang berhasil take over secara penuh. Misalnya terkait posisi perempuan dalam ekonomi kapital. Pada masa-masa belakangan ini, penempatan perempuan dalam ekonomi kapital semakin kuat. Kita dengan mudah menemukan seorang ibu yang memilki anak juga memiliki perkerjaan di lembaga atau perusahaan tertentu. Hal ini akan berbeda apabila bandingkan dengan kondisi tahun 1980an di Indonesia, di mana pembagian kerja dalam keluarga masih cenderung ketat. Kedua, wacana tidak sesederhana mengatakan bahwa “dunia ini diatur konspirasi politik”.

Lalu, kedua, bagaimana kita bisa menentukan wacana dominan? Dengan kriteria apa? Bagaimana kita bisa meyakini seseorang tengah menjadi “agen” wacana tertentu? Apakah kita bisa yakin bahwa kita tidak tengah mengenakan baju teori tertentu, jargon intelektual? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab, namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita akan membahas beberapa masalah yang muncul dari pendekatan wacana.

 

Masalah: Personhood (Kedirian), Agensi, dan Realitas

Sampai pada bagian ini mungkin Anda akan menyimpulkan bahwa bahasa memiliki signifikansi dalam kehidupan jauh dari apa yang dibicarakan ahli psikologi kebanyakan. Segala sesuatu yang berada dalam kesadaran kita, apa yang kita pikirkan, lakukan, ucapkan; termasuk di dalamnya identitas, kedirian, atau sikap kita dikonstruksi lewat bahasa. Foucault mengatakan bahwa wacana merupakan praktik yang membentuk objek yang dikatakan. Sebuah wacana meyediakan kerangka referensi, sebuah cara untuk menginterpretasi dunia dan memberi dunia ini makna sehingga objek tersebut dapat termanifestasikan.

Problem pertama adalah kita terbiasa untuk berpikir bahwa kita memiliki kepribadian tertentu, memegang keyakinan dan pendapat tertentu, memikirkan bagaimana dunia ini bekerja atau seharusnya bekerja; kita juga berasumsi bahwa ide-ide kita, pengalaman, pendapat, dan keyakinan yang kita praktikkan berasal dari pikiran kita. Singkat kata, kita adalah penulis dari hal-hal tersebut. Kalau begitu, bagaimana dengan gagasan bahwa kita punya kepribadian, diri, emosi, sikap, keahlian, temperamen? Dengan istilah-istilah tersebut, kita seperti diundang untuk berpikir bahwa kita ‘diberkahi’ dengan berbagai kualitas dengan variasi jumlahan yang berbeda, entah sejak lahir atau diperoleh lewat belajar. Istilah-istilah tersebut adalah objek yang terbentuk lewat wacana individualisme; sebuah cara untuk membicarakan, menulis, maupun merepresentasikan orang sebagai kombinasi unik dari material psikis yang menentukan bagaimana kehidupan seseorang. Namun sebagai catatan, istilah-istilah tersebut hanya muncul dalam wacana individualisme.

Mengapa kita senantiasa memisahkan diri kita dengan kategori pikiran dan tubuh? Bahkan kita berbicara, berpikir, dan mengalami diri kita seolah-olah dikotomi ini merupakan realitas konkrit. Kategori ini mengkondisikan kita seakan-akan pengalaman kita datang duluan untuk kemudian kita deskripsikan lewat bahasa. Sementara itu, dalam KS, bahasa menyediakan pengalaman subjektif terhadap dunia. Inilah kesulitan atau problem pertama.

Problem kedua adalah persoalan agensi manusia. Apabila memang kita hanya efek bahasa atau produk dari wacana, lalu bagaimana kita bisa mengatakan bahwa kita memiliki agensi? Tindakan, kata-kata, dan pikiran manusia tampaknya direduksi pada level entitas linguistik yang besar dan kita tak menyadarinya. Alih-alih produk agensi manusia, harapan, hasrat, dan niatan kita menjadi produk kultural dan struktur diskursif di mana kita hidup. Cara pandang bahwa manusia tidak memiliki kedirian dan agensi ini merupakan pandangan ekstrem yang memungkinkan muncul bahaya pengabaian yang terkspresikan dengan “let it flow aja deh”.

 

Daftar Acuan

Foucault, M. (1978). The history of sexuality volume 1: An introduction. New York: Pantheon Books.

Parker, I. (1992). Discourse dynamics: Critical analysis for social and individual psychology. London: Routledge.

Shiraishi, S.S. (2009). Pahlawan-pahlawan belia: Keluarga Indonesia dalam politik. Jakarta: Nalar.

Suryomenggolo, J. (2015). Politik perburuhan era demokrasi liberal 1950an. Serpong: Marjin Kiri.

Taylor, S. (2014). Discourse analysis. Dalam T. Teo, Encyclopedia of critical psychology (hlm. 449-451). New York: Springer-Verlag.

Willig, C. (1999). Applied discourse analysis: Social and psychological intervention. Buckingham: Open University Press.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *