[1]
Jacques-Marie-Émile Lacan lahir pada 13 April 1901 dalam sebuah keluarga Katolik yang cukup konservatif. Keluarga Lacan terkenal sebagai pebisnis sabun dan minyak yang cukup berhasil, bahkan terkenal sebagai keluarga elite di kotanya; Montparnasse, Paris. Jacques merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ia tidak begitu berminat dengan ayahnya sendiri, Emile Lacan, yang sangat disetir oleh nenek Jacques dalam tiap pengambilan keputusan di keluarganya (Roudinesco, 1997). Karakter inilah yang nantinya akan kuat menancap dalam tema hidup Jacques Lacan yang dinarasikan subversif.
Roudinesco (1997) mengisahkan bahwa ketika dididik dalam sekolah Jesuit bernama College Stanislas antara 1909-1917, Lacan terkenal sebagai siswa yang excellence dalam bahasa Latin dan pelajaran religiusitas. Meskipun demikian, ia bukan siswa dengan nilai terbaik di Stanislas. Pada masa sekolah ini, Lacan menunjukkan minatnya pada filsafat, terlebih pada karya dan gagasan Baruch Spinoza (1632-1677), seorang Yahudi yang mempertanyakan gagasan mengenai Tuhan dan disebut-sebut orang Kristen sebagai seorang ateis. Dalam asramanya, Lacan memasang diagram ateis yang digagas Spinoza. Bagi seorang yang lahir dan besar dalam tradisi Katolik yang konservatif dengan latar kelas menengah, tindakannya tersebut bisa dianggap subversif dan menunjukkan indikasi sikap terhadap institusi dan otoritas (Homer, 2005).
Selepas dari College Stanislas, Lacan mempelajari kedokteran dan berfokus pada psikiatri. Setelah lulus, pada 1927 ia bekerja dengan mempraktikkan psikiatri dan berminat kuat pada psikosis. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai praktisi, Lacan dipertemukan dengan gagasan surealisme yang kala itu tengah merebak dalam dunia seniman di Perancis (Roudinesco, 1997). Surealisme menjadi gerakan kebudayaan (artistik dan kesusastraan) yang menampilkan sesuatu yang mengerikan, tidak logis, dan mengekspresikan alam bawah sadar dalam karyanya. Tidak sedikit para tokoh surealis yang berupaya mengekspresikan mimpi ke dalam wujud sastra, film, dan lukisan. Sebagai contoh adalah Salvador Dalí yang berupaya melukis realitas mimpi yang ia anggap lebih nyata dibandingkan hidup keseharian.
Gambar 1. Lukisan Salvador Dalí, La persistència de la memòria (1931)
Dalam konteks sosio-kultural pasca-Perang Dunia I dan merebaknya gagasan surealisme tersebut, Lacan menyelesaikan tesis doktoralnya yang berjudul Paranoid Psychosis and Its Relations to Personality (1932). Pada masa yang sama, sekitar 1934, Lacan tergabung dalam La Societe Psychoanalytique de Paris (SPP) di bawah asuhan Rudolph Loewenstein (1898-1976), seorang psikoanalis Polandia yang nantinya akan terkenal dengan Ego-Psychology setelah ke United Stated (US) karena Perang Dunia II. Setelah sekitar 6 tahun mengikuti Loewenstein dengan berbagai kontroversi hubungan dengannya, Lacan kemudian berpisah dengan Loewenstein. Lacan semakin akrab dengan André Breton (penyair yang menggagas surealisme), Salvador Dalí, dan menjadi dokter pribadi dari Pablo Picasso (Roudinesco, 1997).
Pada 1940an, Loewenstein mengembangkan Psikologi Ego di US. Gagasan Psikologi Ego sendiri juga telah berkembang pesat di Perancis di bawah tangan Marie Bonaparte (1882-1962). Lacan secara terang-terangan memperselisihkan gagasan Psikologi Ego ala Bonaparte yang menekankan pada aspek biologis perkembangan manusia. Sementara itu, di bawah Loewenstein, Psikologi Ego di US menekankan pada penguatan mekanisme pertahanan diri dari pikiran sadar alih-alih pada motivasi ketidaksadaran yang telah digagas oleh Sigmund Freud (1856-1939). Dari perjumpaan dengan Psikologi Ego tersebut, Lacan melihat adanya pengkhianatan terhadap psikoanalisis klasik. Lewat gagasan Lacan, psikoanalisis tidak sekadar berdasarkan pada kerja-kerja klinis, melainkan juga pemahaman kultural dari ketidaksadaran dan gangguan mental. Oleh karenanya, model psikoanalisis Perancis yang hari ini berkembang lebih bersifat poetic, artistik, dan merambah pada ilmu-ilmu humaniora.
Secara pribadi, Lacan dikenal sebagai figur yang kontroversial. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang pemikir, guru yang karismatik, flamboyan, charming, dan dandy. Bahkan, dalam biografi yang ditulis Roudinesco (1997), Lacan digambarkan pula sebagai seorang yang ambisius, arogan, dan otoriter. Narasi mengenai dirinya tersebut pada akhirnya membangun semacam atraktivitas yang jarang dimiliki pemikir-pemikir lain.
Melalui psikoanalisis, Lacan dan para pemikir pada masa itu menekankan bahwa psikoanalisis mempertanyakan fakta yang dianggap semata-mata obyektif dan rasional serta bahwa segala tindakan manusia didorong oleh logika dan rasionalitas (Homer, 2005). Sebaliknya, psikoanalisis justru coba berfokus pada ketidaklogisan, irasionalitas, dan ketidaksadaran. Generasi penerus Freud melakukan revisi secara brutal terhadap konsep dasar Freud mengenai ketidaksadaran. Sebagai implikasinya adalah penekanan pada aspek mekanisme pertahanan diri yang cenderung reaksioner dan konservatif sebagaimana tampil dalam Psikologi Ego.
Pada masa pasca-perang, Lacan menjadi tokoh mashyur yang melakukan ceramah dengan audiens praktisi, seniman, dan akademisi. Dari seri seminar reboan yang ia sampaikan selama 1952-1980, transkripsinya kemudian diterbitkan dalam Book I hingga Book XXIV. Selain ceramah-ceramah yang diterbitkan menjadi buku, Écrits (1977; 2006) menjadi buku yang memperkenalkan Lacan ke dalam panggung internasional. Pengaruh gagasan Lacan merentang dalam berbagai macam teori seperti teori kebudayaan, teori kritis, teori feminis, teori film, hingga dalam psikoanalisis sendiri.
Karena kontroversialitas gagasan mengenai psikoanalisis, pada 1962 Lacan dilarang oleh International Psychoanalysis Association (IPA). Dengan pengucilan tersebut, Lacan kemudian mendirikan L’Ecole Freudienne de Paris (EFP) pada 1963. Berbeda dengan IPA, EFP lebih berfokus pada analisis dan praktik psikoanalisis Lacanian. Selang 18 tahun setelahnya dan setahun sebelum kematiannya, pada 1980 Lacan membubarkan EFP dan mendirikan La Cause Freudienne; sebuah masa yang menegaskan bahwa dia sendiri adalah seorang Freudian – dan bukan Lacanian.
[2]
Publikasi awal yang mengawali pemikiran Lacan adalah ceramahnya yang berjudul ‘Le Stade du miroir. Théorie d’un moment structurant et génétique de la constitution de la réalité, conçu en relation avec l’expérience et la doctrine psychanalytique’ (1936) yang terindeks sebagai ‘The Looking-Glass Phase’ (atau ‘The Mirror Stage’), International Journal of Psycho-Analysis, vol. 18, 1937 (Macey, 1988). Teks tersebut dipengaruhi oleh gagasan Freud, tradisi fenomenologis, pemikiran psikolog Henri Wallon (1879-1962) mengenai mirroring, ethologist Roger Caillois (1913-1978) mengenai mimicry, dan Alexandre Kojève (1902-1968) mengenai recognition dan desire (Homer, 2005).
Ceramah yang ia bagikan dalam pertemuan IPA di Merienbad tersebut dipotong oleh Ernest Jones (1879-1958), seorang murid dan penulis biografi Freud. Karena merasa disingkirkan, paginya Lacan meninggalkan kongres tersebut dan menonton Olimpiade ke-11 di Berlin. Pada 1968, teks tersebut justru diterbitkan dalam jurnal Marxist New Left Review. Pada masa-masa setelahnya, narasi mengenai pengucilan dan penerbitan teks tersebut memperkuat cerita mitologis Lacan sebagai seorang yang terbuang dari komunitas psikoanalisis internasional sekaligus figur heroik yang melawan otoritas yang konservatif dan reaksioner (Homer, 2005).
Gagasan mengenai mirror-stage (fase cermin) berisi mengenai pembentukan ego lewat identifikasi dengan gambaran diri (Homer, 2005). Lacan berupaya menjelaskan gagasan Freud yang menyatakan bahwa ego merupakan bagian dari id yang telah dimodifikasi denagn adanya pengaruh dari dunia eksternal. Gagasan tersebut jelas berbeda dengan Psikologi Ego yang seolah-olah memahami bahwa seseorang dapat memikirkan dan mengidentifikasi ketidaksadarannya. Dalam Psikologi Ego, ego senantiasa diasosiasikan dengan kesadaran. Lacan memahaminya secara berbeda, menurut pembacaannya terhadap Freud; ego memang terhubung dengan kesadaran tetapi ego berada dalam tegangan konstan dengan permintaan (demand) dari ketidaksadaran dan imperatif superego. Lantas, ego bersifat defensif dan memediasi antara ketidaksadaran (id) dan permintaan realitas eksternal (superego).
Melalui fenomenologi yang digagas Edmund Husserl (1859-1938), pemikiran Lacan mempertimbangkan bahwa kesadaran manusia bukan lah pengenalan pasif terhadap fenomena material terberi, melainkan sebuah proses aktif yang dengan sengaja mengkonstitusikan fenomena (Homer, 2005). Fenomenologi kemudian dikembangkan oleh murid Husserl bernama Martin Heidegger (1889-1976). Heidegger berargumen bahwa sebagai manusia (human being), kita senantiasa memandang dunia dari situasi yang spesifik. Hasrat mendasar manusia adalah melampaui suatu situasi. Heidegger menyebutnya sebagai project, yakni subyek yang secara fisik tersituasikan dalam ruang dan waktu sekaligus yang memproyeksikan diri ke depan. Gagasan bahwa manusia berada dalam suatu situasi historis dan melakukan proyeksi ke depan tercermin dalam istilah ex-sistence (proses mengada di dunia atau being-in-the world). Gagasan mengenai ex-sistence ini kemudian dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang memebdakan antara subyek dengan ego (self-consciousness). Menurut Sartre, kesadaran diri berisi kekosongan (nothingness) dan ego sendiri merupakan obyek yang dipersepsi oleh subyek.
Gagasan penting kedua yang memengaruhi konsep fase cermin adalah psikologi eksperimental Henri Wallon (Homer, 2005). Roudinesco (2014) mengatakan bahwa Lacan malu-malu atau sembunyi-sembunyi bahwa gagasan mirror ia comot dari Wallon. Pada 1940an, Psikologi meyakini bahwa kesadaran diri muncul secara gradual dan meningkat sejak masa bayi sehingga individu sadar mengenai tubuh fisiknya. Wallon berpendapat bahwa kesadaran tidak berhenti pada tubuh fisik, melainkan juga terhadap lingkungan dan dunia eksternal. Seorang yang mengidentifikasi sebagai diri yang mandiri dan koheren, pertama-tama perlu membedakan diri mereka dengan liyan dalam lingkungan sosialnya. Rasa kedirian merupakan kemampuan bayi untuk mengenali dan membedakan diri dengan refleksi cerminnya. Pantulan cermin menimbulkan dilemma bahwa seorang bayi terhubung dengan dirinya sekaligus berada secara eksternal dari dirinya. Proses bercermin inilah yang diambil Lacan dan dijadikan teori olehnya.
Apa yang tidak dipahami oleh Psikologi adalah mengapa citra cermin tersebut membuat bayi terkesima (fascination) dan berpengaruh kuat terhadap si bayi (Homer, 2005). Pertanyaan tersebut kemudian dijawab Lacan lewat ilmu kebinatangan atau ethology, secara khusus melalui konsep mimikri. Mimikri dipahami dalam kerangka bahwa suatu ekosistem menawarkan perlindungan seekor binatang dari serangan predator. Roger Caillois menunjukkannya secara berbeda. Menurut Caillois, binatang-binatang yang melakukan mimikri terpesona dengan ekosistem tersebut sehingga mereka melakukan asimilasi terhadap lingkungan tersebut. Pun dengan yang terjadi pada bayi dan manusia, mereka terpesona sehingga membentuk dirinya sesuai dengan citraan yang mereka lihat.
Gagasan keempat yang memengaruhi munculnya fase cermin adalah seminar Alexandre Kojève mengenai G.W.F. Hegel (1770-1831). Hegel mengembangkan sistem filosofis yang berupa bentuk berpikir dialektis (Homer, 2005). Secara ringkas, dialektik merupakan mode gagasan filosofis yang menekankan kesalingterhubungan antar-fenomena dan kesatuan dari yang berlawanan. Secara skematis, gagasan tersebut sering ditampilkan sebagai ‘thesis – antitesis – sintesis’. Sebagai contoh, ‘subyek individu’ (tesis) hanya masuk akal ketika berhubungan dengan subyek lain yang disebut ‘liyan’ (antitesis). Ketika keduanya saling terhubung, kita akan menemukan istilah baru, yakni subyek kolektif yang disebut ‘kita’ (sintesis). Dialektik menunjukkan bahwa setiap fenomena selalu memuat negasi atas fenomena termaksud. Dalam pembacaan secara dialektis, Kojève menekankan bahwa kemunculan kesadaran diri (self-consciousness) merupakan transisi dari nature ke culture atau dari binatang menjadi manusia. Lewat refleksi, seseorang akan membangun kesadaran dirinya.
Pemikiran Hegel juga menekankan mengenai dialektika antara Master/Slave (Homer, 2005). Seorang Master, hanya bisa disebut Master kalau ada Slave, begitu pun sebaliknya. Namun, identitas seorang Slave tidak sekadar diafirmasi oleh Master. Seorang Slave bisa mengafirmasi dirinya lewat pekerjaannya, tetapi Master tidak bisa meyakinkan bahwa dirinya seorang Master kecuali ia diakui oleh Slave. Menurut Kojève, dialektika Master/Slave tersebut merupakan perjuangan akan hasrat (desire) dan pengakuan (recognition). Keduanya berjuang untuk pengakuan. Gagasan dialektis tersebut lah yang kemudian diakomodasi oleh Lacan untuk menunjukkan formasi ego/subyek yang memosisikan hubungan antara diri dengan liyan sebagai sesuatu yang konfliktual yang membawa subyek ke dalam alienasi atau keterasingan. Keterasingan pertama adalah momen ketika fase cermin dan pembentukan ego. Kemudian, momen keterasingan kedua adalah ketika berjumpa dengan bahasa dan mengkonstitusikan subyek.
[3]
Relasi dialektis dan alienasi memungkinkan pembentukan identitas manusia bersifat ‘decentred’. Gagasan ‘decentred’ menunjukkan bahwa identitas seseorang tidak berpusat semata pada orang tersebut, melainkan liyan (other) dan Liyan (Big Other) (Verhaeghe, 1995). Gagasan fase cermin merupakan hasil pengamatan Lacan menyangkut perilaku bayi antara usia 6-18 bulan (Evans, 2006; Lacan, 1966/2001; Homer, 2005). Usia tersebut juga terkait dengan narsisisme primer yang digagas Freud; yakni subyek jatuh cinta pada dirinya sendiri sebelum nantinya akan jatuh cinta pada orang lain. Gagasan pantulan cermin yang ditemui/kan oleh bayi membuatnya mengenali gambaran dirinya dalam cermin. Dalam konteks ini, cermin bisa diartikan secara literal maupun wajah liyan, misalnya ibu. Momen pengenalan ini disertai pula dengan kesenang-riangan (pleasure and jubilation). Dengan bercermin, bayi mulai mengenali tubuhnya memiliki bentuk total (gestalt).
Gambar 2. Fase Cermin
Meskipun bayi mulai mengenali bentuk totalnya, tetapi bayi tidak sepenuhnya mampu mengontrol tubuhnya. Pengenalan ini juga disertai reaksi depresif akibat melihat keserba-mampuan ibu Jadi, si bayi tetap merasa bahwa tubuhnya terfragmentasi. Gambaran dalam cermin menyediakan bayi dengan rasa keseluruhan dan unifikasi. Lacan menyebutkan bahwa pantulan cermin tersebut merupakan proses identifikasi, ia menuliskan bahwa:
Kita hanya perlu memahami fase cermin sebagai identifikasi, dalam arti penuh yang diberikan analisis pada istilah tersebut: yaitu, transformasi yang terjadi dalam subjek ketika dia memberi gambaran – yang predestinasi efek fase ini cukup ditunjukkan oleh penggunaan, dalam teori analitik, dari istilah kuno “imago”. (Lacan, 1966/2001, hlm. 1-2)
Ego muncul dalam momen alienasi pertama ini disertai dengan keterkesimaan dengan gambaran dirinya. Oleh karena itu, ego merupakan efek dari citraan dan berada dalam wilayah imajiner. Oleh karenanya, ego hanya sekadar bentuk kesalahan pengenalan (mis-recognition) terhadap diri guna menyangkal kebenaran bahwa terjadi fragmentasi dan alienasi.
Karena keseluruhan gambaran yang terbentuk ini mengancam subyek dengan fragmentasi, muncullah tegangan agresif antara subjek dengan gambarannya yang ideal (menyeluruh). Agresivitas ini merupakan dialektika antara specular image dengan badan yang sebenarnya (real body). Guna mengatasi tegangan ini, subjek mengidentifikasikan diri dengan gambaran dari liyan yang dianggap terintegrasi dan tak terbelah.
Kritik yang diarahkan pada Lacan terkait dengan fase cermin adalah bahwa untuk melakukan kesalahan pengenalan, maka pertama-tama bayi mesti memiliki rasa kedirian. Oleh karena itu, mestinya ada non-alienated subject sebelum hadir alienated subject. Meskipun demikian, kritik tersebut agak berbeda dengan apa yang dimaksud Lacan sebagai alienasi (Homer, 2005). Bagi Lacan, momen alienasi primer ini dimaksudkan pada lack of being yang dialami bayi karena ia hanya bisa menyaksikan dirinya melalui liyan. Oleh karena itu, bayi tidak teralienasi dari sesuatu atau bahkan dari dirinya sendiri, melainkan teralienasi dari keber-ada-annya sendiri.
Referensi:
Evans, D. (2006). An introductory dictionary of lacanian psychoanalysis. Routledge.
Homer, S. (2005). Jaqcues Lacan. Routledge.
Lacan, J. (1966/2001). Ecrits: A selection (Penerj. Alan Sheridan). Routledge.
Macey, D. (1998). Lacan in contexts. Verso.
Roudinesco, É. (1993/1997). Jacques Lacan (Penerj. Barbara Bray). Columbia University Press.
Roudinesco, É. (2014). Lacan in spite of everything. Verso.
Verhaeghe, P. (1997). Does the woman exist? From Freud’s hysteric to Lacan’s feminine. Other Press, Llc.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.